Forum kecil yang dipimpin oleh Caruso sudah memutuskan, bahwa yang akan berangkat ke Andromeda bersama Gematri adalah Kana, Aldebaran, satuan tim pengaman elit Bhumi, dan Salindri – wakil Caruso. Sejenak, Aldebaran menatap Salindri. Perempuan ayu berusia pertengahan lima puluhan, berkulit sawo matang, dengan mata hitam bening, dan rambut hitam digelung ke atas itu dari luar tampak begitu anggun, lembut, dan rapuh. Tapi sungguh, Aldebaran tak meragukan kehebatan pemimpin Negara Serikat Javantara, tempat di mana Observatorium Tandan berada.
Sekitar dua puluh tahun lalu, pernah ada lubang cacing yang muncul tiba-tiba di dekat kompleks portal yang mereka punyai di Observatorium Tandan. Dari dalamnya, muncul sepasukan makhluk asing entah dari mana yang berupa makhluk dengan kepala katak dan sepasang kaki kuda. Makhluk itu merangsek begitu saja dan berhasil menghancurkan Observatorium Tandan.
Bukan itu saja. Makhluk itu berkembang biak dengan begitu cepat sehingga jumlahnya berlipat ganda hanya dalam waktu enam hari keberadaan mereka di Bhumi. Juga tidak bisa binasa oleh senjata apa pun. Salindri, yang saat itu menjadi salah satu komandan regu pasukan elit Javantara, berada di garis depan perang melawan musuh. Dengan kecerdikan dan kecerdasannya, Salindri berhasil mengetahui kelemahan musuh. Yaitu tidak tahan terhadap cairan yang mengandung natrium klorida. Sesederhana itu.
Pada hari kedua belas, Salindri berhasil menggiring pasukan makhluk asing itu ke sebuah lembah di sebelah barat Gunung Tandan. Lembah itu sudah dikepung rapat oleh armada truk tangki penuh berisi cairan natrium klorida, yang merupakan kiriman dari negara-negara yang tergabung dalam Persekutuan Bhumi. Cairan natrium klorida itu mereka dapatkan secara bebas dan gratis dengan menyedot air laut yang berada di sebelah utara Javantara. Senjata yang sungguh murah.
Keampuhannya? Dalam waktu hanya kurang dari dua puluh menit, seluruh musuh yang disemprot secara simultan dengan cairan natrium klorida yang berasal dari ribuan truk tangki, meleleh dan menguap tanpa bekas. Seluruh area pengepungan pun bersih dalam waktu kurang dari sejam.
Dan, Salindri? Kariernya terus naik, hingga menjadi pemimpin Negara Serikat Javantara. Observatorium Tandan, yang segera dipulihkan dari kehancuran setelah perang berakhir, terus diperluas dan dipermoderen hingga menjadi observatorium termaju dan terbesar di Bhumi. Bahkan masuk ke jajaran observatorium elit dalam Galaksi Via Lactea. Tak cukup hanya menjadi pemimpin sebuah negara serikat, Salindri pun terpilih menjadi wakil Caruso. Menjadi orang nomor dua terpenting di Bhumi.
“Kita berangkat besok pagi, pukul sembilan tepat.”
Suara tegas Caruso membuyarkan lamunan Aldebaran.
“Saya harap, kita bisa tetap menjaga keamanan galaksi kita, sekaligus membawa pulang tim botani semesta tebaik yang kita punya, kembali ke Observatorium Tandan. Ada pertanyaan?”
Hening. Caruso pun menutup pertemuan itu. Mereka bubar untuk mempersiapkan diri menjelang keberangkatan ke Andromeda.
“Kita harus melapor kepada Profesor,” gumam Aldebaran saat ia dan Kana berjalan menyusuri lorong, hendak kembali ke kompartemen mereka.
“Kamu saja.” Kana menoleh sekilas. “Aku malas.”
Aldebaran terkekeh dengan suara lirih.
* * *
Moses pelan-pelan berdiri. Ditatapnya Azayala.
“Ada nitrogen cair?” tanyanya.
Azayala mengangguk dan menunjuk ke arah sebuah tabung logam besar setinggi kurang lebih tiga kaki di sudut laboratorium. Tanpa diminta, Dodge menyodorkan sebuah sarung tangan tebal kepada Moses. Dengan gerakan cepat, Moses mengenakan sarung tangan itu. Tak ada waktu lagi untuk mengenakan pakaian tameng standar. Tak ketinggalan, Azayala pun menyodorkan sebuah masker, dan para stafnya sibuk menyiapkan beberapa masker lain.
“Ambil tempat di titik terjauh, karena saya akan membuka kotak ini, dan memasukkan isinya ke dalam tabung nitrogen,” ucap Moses.
Semua serentak mundur ketika gumpalan ungu itu berkedut lagi beberapa kali.
“Ada nitrogen gas dalam tabung semprot?”
Tanpa diperintah, salah seorang staf Azayala segera meraih tabung yang dimaksud Moses, kemudian menyodorkan kepadanya. Dodge mengambil alih tabung itu. Moses menatap Dodge, kemudian mengangguk.
“Baik, Bos!” Dodge sudah paham sepenuhnya prosedur yang hendak mereka jalani.
Keduanya kemudian berlari ke arah tabung logam berisi nitrogen cair, bersamaan dengan staf yang lain menyisih ke sudut terjauh. Azayala sudah siap di samping tombol besar berwarna merah di dekat pintu keluar. Bila tombol itu ditekan, ujung-ujung nozel yang tersebar di langit-langit laboratorium akan segera menyemprotkan gas nitrogen sehingga seisi ruangan akan membeku, tapi masih memberi waktu bagi yang ada di dalam untuk menyelamatkan diri, dengan memakai masker yang saat ini menyelubungi wajah mereka.
Dengan cekatan, Dodge membuka tutup tabung nitrogen cair. Uap tipis mengepul. Sekali lagi, Moses menatap Dodge. Lalu, ia mulai menghitung. Pada hitungan ketiga, Moses membuka kotak kaca yang dipegangnya, kemudian menuang isinya ke dalam tabung logam. Ada letupan kecil yang terdengar, diikuti keluarnya asap berwarna ungu dari dalam tabung. Dodge segera menyemprotkan gas nitrogen dari tabung yang dipegangnya. Asap itu tak segera hilang. Bahkan mulai menyelimuti Moses dan Dodge walau hanya tipis-tipis saja.
“Lari! Lari!” teriak Moses sambil menarik lengan Dodge. Dodge mengikuti Moses dambil terus menyemprotkan nitrogen ke arah asap yang mengikuti mereka. Asap itu membeku dan mulai tertinggal di belakang, walaupun masih ada sisa yang terus menyembur.
“Keluar! Keluar!” seru Azayala sambil mendorong para staf dan anggota tim Moses ke arah pintu.
Bersamaan dengan itu, Azayala menekan tombol merah di dekatnya. Segera saja semprotan gas nitrogen yang sungguh membekukan memenuhi ruangan itu, bersamaan dengan alarm berbunyi nyaring. Azayala, Moses, dan Dodge segera berlari ke arah pintu kaca yang terbuka separuh. Begitu semua sudah keluar, Azayala menutup pintu dan menguncinya, kemudian meraih sebuah tuas berwarna jingga dan menariknya ke bawah. Lapisan dinding kaca tebal segera mengurung seluruh dinding laboratorium yang juga terbuat dari kaca itu.
Dari luar, dari balik dinding kaca, terlihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam ruang laboratoium kini membeku. Termasuk asap berwarna ungu yang ujungnya ada tepat di balik pintu. Setelah melepaskan masker, mereka terpaku menatap kondisi laboratorium.
Tepat saat itu, pasukan keamanan muncul. Begitu juga Xavier.
“Ada apa?” laki-laki tinggi besar bertelinga lancip itu menyeruak dari arah belakang pasukan keamanan.
Secara ringkas, Moses menjelaskan apa yang terjadi.
“Apakah harus diledakkan?” tanya Xavier setelah penjelasan Moses berakhir.
“Setidaknya, harus terus disemprot gas nitrogen selama tiga jam penuh,” jawab Moses. “Baru setelah itu ditunggu hingga enam jam. Kalau masih ada gerakan asap ungu, atau apa pun di dalamnya, harus disemprot lagi selama tiga jam. Ditunggu lagi selama enam jam. Kalau masih ada aktivitas juga, prosedur yang sama diulang lagi. Baru setelah sama sekali tidak ada aktivitas selama enam jam, lab harus diledakkan.”
Xavier segera memeriksa layar sensor gerakan yang ada pada bagian luar laboratoium. Aktif. Azayala terduduk di kursi luar laboratorium. Tampaknya benar bahwa laboratoriumnya harus diledakkan. Diembuskannya napas keras-keras. Membuat Moses teringat sesuatu.
“Satu hal lagi, semua yang kita kenakan saat ini harus dimusnahkan, tanpa terkecuali,” ujar Moses. “Kita semua harus disteril. Ada fasilitasnya?”
Azayala mengangguk. Ia kemudian menggiring stafnya dan Moses beserta tim ke sebuah ruangan di ujung lorong. Xavier mengikuti langkah mereka.
“Puan, tak apa bila lab Anda harus diledakkan?” tanya Xavier, halus.
“Tak apa, Tuan,” Azayala menoleh sekilas. “Semua hasil penelitian kami sudah ada sistem penunjangnya. Tinggal minta laboratorium baru saja kepada Yang Mulia Astrodi.”
Xavier mengangguk sambil tersenyum.
“Oh, ya, tim penjelajah kalian yang masih ada di dalam karantina harus dipindai dan disteril juga,” celetuk Moses.
“Kalau ada yang terkontaminasi?” tanya Azayala.
“Mohon maaf, Puan, yang terinfeksi harus dimusnahkan,” jawab Moses dengan suara lirih dan wajah sedih. “Kalau tidak, seluruh planet bisa terancam, karena penularannya sangat cepat.”
Azayala terdiam.
“Nanti aku sampaikan ke tim karantina,” ujar Xavier. “Aku sendiri yang akan mengawal kasus ini.”
Mereka sudah sampai di depan pintu fasilitas sterilisasi. Sejenak kemudian, mereka sudah menghilang ke dalamnya, kecuali Xavier. Laki-laki itu melanjutkan langkah ke arah gedung karantina. Dalam benaknya, sudah tersusun sebuah usulan dan rencana yang nanti akan dikemukakannya secara langsung kepada Astrodi.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
Mulai Senin, 5 November 2018, cerbung “Portal Trianglum” akan mengudara setiap hari Senin-Selasa-Rabu. Pada hari Kamis-Jumat-Sabtu, akan terbit cerbung baru berjudul “Sekeranjang Hujan”.
Terima kasih...