Sebelumnya
* * *
Maxi sedikit jengah ditatap sang kakak sedemikian rupa.
“Pertanyaanku... salah?” gumamnya, ragu-ragu.
“Enggak.” Livi menggeleng tegas. “Hanya saja..., pasti ada alasan tertentu kamu menanyakan hal itu.” Mata Livi menyipit.
“Iya, memang ada alasannya,” timpal Maxi, jujur. “Tapi sementara ini, biar aku sendiri saja yang tahu.”
“Oke...,” Livi manggut-manggut. Ia kemudian justru balik bertanya, “Menurutmu sendiri, bagaimana?”
Maxi tertegun sejenak. Sesungguhnya ia punya jawabannya. Tapi balik ditodong sedemikian rupa, ia sedikit tidak siap. Sejenak ia berdehem sebelum menjawab.
“Ehem....” Maxi mendegut ludah. “Menurutku... penting untuk dijaga, tapi bukan segalanya.”
“Seandainya ‘tidak terjaga’—,” Livi membuat tanda kutip di udara dengan jemarinya, “—dengan baik, apakah bagimu masih tetap bukan segalanya?”
“Orang bisa saja suatu saat terpeleset, kan, Mbak?” ujar Maxi dengan nada bijak. “Asal bukan kebiasaan, ada penyesalan, ada keinginan untuk jadi lebih baik lagi, dan ada kejujuran di awal, bagiku masih bisa diterima.”
Livi menatap Maxi. Lama. Sang adik kembali merasa sedikit jengah. Dialihkannya tatapan ke arah lain.
“Apakah... Keke... sudah nggak gadis lagi?” bisik Livi, ragu-ragu.
“Kok, Keke, sih?” Maxi menoleh cepat. Mengerutkan kening dengan raut wajah terlihat kurang suka.
Livi meringis. Sungguh, ia tak menemukan nama lain. Selama ini, karena masuk ke jurusan yang minim cewek, Maxi juga nyaris tak pernah terlihat dekat dengan kawan lawan jenisnya.
“Ya, habis siapa lagi?” Livi tersenyum. Sumbang. “Cewek yang dekat sama kamu belakangan ini, kan, cuma Keke doang. Nggak mungkinlah aku. Apalagi Mela. Dia masih culun begitu.”
Maxi menghela napas panjang. Kemudian terdiam. Menatap mugnya. Dalam hening, Livi mematikan dan menutup laptopnya. Ia kemudian melipat kedua tangannya di atas meja, di depan dada. Wajahnya terlihat serius.
“Max,” ucapnya dengan suara rendah. “Aku senang kamu punya pandangan seperti itu soal keperawanan. Bukan karena aku sependapat. Tapi karena memang benar, keperawanan tidak bisa jadi ukuran mutlak untuk menentukan kehormatan seorang cewek. Bisa menjaga keperawanan, itu bagus. Namun, seandainya sampai bobol, pasti ada alasannya. Salah satunya, bisa jadi karena terpeleset. Kecelakaan. Kebablasan. Kalau kemudian disesali dan tobat, ya, sudah. Berarti ada upaya memperbaiki diri. Tapi kalau sudah bolak-balik, itu bukan terpeleset lagi namanya, tapi kebiasaan. Bukan kebiasaan bagus tentunya. Seperti itu pendapatku.”
Maxi tercenung sejenak. Livi berdiri dan melangkah ke arah kulkas di salah satu sudut dapur untuk mengisi ulang gelasnya dengan air dingin. Sambil menuangkan air dari dalam botol, ditatapnya Maxi sekilas.
“Kalau bukan Keke, siapa?” tanyanya, terkesan sambil lalu. “Tisha? Donner sore tadi curhat sama kamu?”
Maxi balas menatap Livi. Bimbang.
Barangkali Mbak Livi malah justru punya solusi?
Maxi menimbang-nimbang. Akhirnya ia memutuskan untuk bercerita sedikit. Berusaha untuk tidak menyebut nama Pingkan.
“Mm...,” Maxi mendegut ludah. “Aku lagi pe-de-ka-te sama seorang cewek. Sudah aku tembak. Sinyalnya, sih, kuat, dia juga suka sama aku. Cuma... dia bilang nggak bisa. Dia nolak aku. Lalu dia menghindar. Sampai kemudian aku tahu sebabnya. Ternyata... dia... pernah di...rudapaksa.”
Suara Maxi makin hilang. Ia kemudian tertunduk. Wajahnya terlihat sedih dan sarat beban.
Mendengar penuturan dengan suara lirih itu, hampir saja Livi kehilangan kekuatannya menggenggam gelas. Ia sedikit tersentak ketika merasa gelas itu hampir meluncur dari tangannya. Buru-buru ia kembali ke tempat duduknya.
“Kapan kejadiannya? Siapa yang melakukan? Kamu tahu cerita itu dari mana? Dia jujur bilang sama kamu?” tanyanya beruntun.
Tangan Livi sedikit mengguncang bahu Maxi. Membuat pemuda itu melengak. Ditatapnya sang kakak dengan sorot mata sedikit tajam.
“Mbak,” suaranya berubah jadi tegas. “Untuk sementara aku baru bisa segitu ceritanya.”
Livi menyurutkan tubuhnya. Merasa bersalah karena terlalu bersemangat ‘ikut campur’ urusan adiknya.
“Oke, sorry....” Livi menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Suaranya terdengar sangat tulus. Tapi ia belum mau menyerah. “Tapi dia baik-baik saja, kan?”
“Kelihatannya mulai pulih setelah sempat depresi,” gumam Maxi.
“Oh....” Livi menanggapi tanpa suara. Wajahnya terlihat sangat prihatin. Kembali dijangkaunya bahu sang adik.
“Max,” ucapnya kemudian. Sangat halus. “Kalau kamu memang benar-benar sayang sama dia, kalau dia memang berharga buat kamu, jangan tinggalkan dia. Tapi kalau kamu merasa tak sanggup, hanya ingin dekat dengannya karena rasa kasihan, sebaiknya kamu menjauh mulai detik ini juga. Supaya kamu nggak tambah menyakitinya. Untuk itu, kamu perlu mengenali lebih dalam perasaanmu sendiri. Ambil jarak untuk melihatnya dari kejauhan. Setelah kamu benar-benar yakin, putuskan apa yang memang harus kamu lakukan. TANPA sedikit pun menambah rasa sakitnya. Paham maksudku?”
Seketika Maxi mengangguk.
“Mm..., kalau boleh tahu, memangnya siapa yang melakukan itu padanya?”
Maxi mendegut ludah sebelum menjawab dengan suara hanya menyerupai bisikan, “Saudara sepupunya sendiri.”
Livi terhenyak. Lagi-lagi salah satu orang terdekat korban....
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)