Sebelumnya
* * *
Dua Belas
Janjinya, Endra akan menjemput Ingrid pukul tujuh sore. Hendak wisata kuliner dulu sebelum menonton film. Oleh karenanya, pada pukul lima sebelum mandi, Ingrid asyik berguling-guling dengan Ciprut dan Badut di atas rumput halaman belakang. Dua ekor herder bersaudara kesayangan Ingrid itu tampak riang bercanda dengan nona muda mereka. Sayangnya, Lami datang mengganggu keasyikan itu.
“Mbak, sudah dijemput, tuh!” ujar Lami.
“Heh???” Seketika Ingrid duduk tegak, masih di atas rerumputan. “Jam segini???”
“Wah, ya, Bibik nggak tahu, Mbak.”
Ingrid masih setengah bengong menatap Lami.
“Lha, si Mbak, malah melamun?” gerutu Lami, menyadarkan Ingrid.
Seketika Ingrid bangkit dan menyuruh kedua anjingnya bermain sendiri. Ia pun melangkah sambil mengomel dalam hati.
Gimana, sih? Janjinya pukul tujuh, gini hari sudah nongol! Aneh, nih, orang. Yang lain pada suka ngaret, eh... dianya malah kepagian. Haduuuh...
Tapi omelannya seketika menguap saat melihat siapa yang tengah duduk manis membelakanginya di teras. Astaga... Ingrid mendekap mulut dengan telapak tangan kanannya.
Sebelum menyadari apa yang sebenarnya ada dalam hati, Ingrid pasti senang melihat siapa yang datang. Tapi setelah menyadarinya... Ingrid meringis, kemudian melanjutkan langkah yang sempat tertahan di ambang pintu depan.
“Eh, Mas Ken,” sapanya ramah, tapi biasa-biasa saja.
Pemuda itu menoleh. Setengah terbengong melihat Ingrid yang masih mengenakan celana ‘gemes’ dan kaus tanpa lengan. Memperlihatkan kaki jenjang dan lengan mulusnya. Rambut coklat Ingrid pun terkesan masih uwel-uwel sekadarnya dan dijepit ke atas dengan sebuah jepitan besar.
“Rapi amat?” Ingrid mengulas senyum sambil mendekat dan duduk di sofa seberang Ken. “Mau kondangan?”
“Enggak...,” Ken menggeleng dengan sikap kikuk. “Sebenarnya... aku mau ajak kamu keluar.”
“Sekarang?” Ingrid mengangkat alis.
“Iya,” angguk Ken.
“Wah, gimana, ya? Aku sudah telanjur ada janji nanti jam tujuh. Belum mandi segala ini.”
“Oh.... Mau ke mana?”
“Nonton midnight, tapi mau putar-putar dulu, cari jajanan.”
“Oh.... Terus, kamu kapan bisanya keluar sama aku.”
“Kapan saja bisa, sih. Tapi kalau nggak janjian dulu, takutnya sudah keduluan. Kayak gini.”
Ken sudah hendak membuka lagi mulutnya, tapi perhatiannya dan Ingrid sama-sama tersedot ke satu arah. Melalui pintu pagar yang terbuka lebar, Bimbim meluncur masuk ke carport dengan skutik bongsornya. Pemuda itu tersenyum cerah saat membuka helm dan meninggalkan motornya.
“Hai! Hai!” sapanya.
“Wuidiiih.... Mas Ganteng nongol,” Ingrid tertawa lepas.
Bimbim pun ikut tertawa. Ia memang tampak sangat tampan dan gagah sore ini. Kalau biasanya hanya mengenakan celana denim dan sneakers dipadu dengan kaus oblong, kaus polo, atau paling banter kemeja lengan pendek, kali ini Bimbim mengenakan pantalon hitam, sepatu mengilat hitam juga, dan hem batik lengan panjang bermotif parang berwarna hitam putih. Bersama Ernest, ia akan menghadiri undangan resepsi pernikahan salah seorang teman seangkatan mereka. Sierra tidak bisa ikut karena sedang mengikuti acara kantornya training di Cipanas. Karenanya, Ernest dan Bimbim sepakat untuk berangkat berdua saja.
“Kamu nge-date jam berapa, gini hari, kok, masih setengah telanjang gini?” goda Bimbim.
“Idih! Enak aja, setengah telanjang,” gerutu Ingrid.
“Belum mandi, kan?” goda Bimbim lagi. “Pasti baru uleng-ulengan sama duo berandal.”
“Hihihi...,” Ingrid terkikik. “Tahuuu ajah...”
Bimbim kembali tertawa. Ia kemudian masuk ke rumah Ingrid melalui pintu depan. Ingrid kembali mengalihkan perhatiannya kepada Ken. Pemuda itu kembali menatapnya.
“Ya, sudah, deh, In. Aku pamit dulu. Nanti aku kabari lagi kalau mau ajak kamu keluar.”
“Oh, oke,” Ingrid menjawab ringan. Tak berusaha menahan Ken lebih lama.
“Om sama Tante ada? Mau pamitan,” ucap Ken.
“Oh.... Malam Minggu jam segini, sih, biasanya Mama sama Papa jajan di taman,” Ingrid meringis. “Baru pulang habis magrib.”
“Oh...,” Ken menanggapinya dengan senyum.
Sepeninggal Ken, Ingrid pun masuk ke rumah dan langsung ke kamarnya untuk bersiap diri. Di tangga, ia berpapasan dengan Ernest dan Bimbim. Ernest menggoyangkan kunci mobil yang ada di tangannya.
“Aku jadi pinjam mobilmu, ya,” ucap Ernest.
“Bensinnya dipenuhin lagi, lho, ya!” canda Ingrid.
Baik Ernest maupun Bimbim tertawa mendengarnya.
* * *
Nonton midnight... Bukan sama cowok tadi, yang tempo hari antar dia ke kampus. Jangan-jangan...
Ken menghela napas panjang sambil berpikir-pikir dan menarik kesimpulan. Walaupun penampilannya jauh berbeda, ia masih cukup kenal pemuda berbusana batik tadi. Itu pemuda yang sama dengan pengantar Ingrid ke kampus beberapa hari lalu. Makin berpikir lagi, setelah melihat motor pemuda itu tadi, sepertinya itu motor pengemudi ojek daring yang mengantarnya pulang dari rumah Ingrid beberapa hari lalu pula. Motor yang terlihat khas, dengan stiker berbentuk tribal unik menghiasi bagian samping badan motor.
Sampai di sini pikiran Ken nyaris buntu. Masa tukang ojek keren begitu? Tapi waktu jemput aku, kayaknya nggak sapa-menyapa sama Ingrid. Ah, ngaco bener pikiranku! Bukan dia, ‘kali!
Dan, pikirannya beralih lagi. Kalau nggak keluar sama cowok tadi, berarti....
Seketika Ken menepuk kening. Pikirannya langsung tertuju pada satu nama. Untuk memastikannya, ia memutar balik mobilnya yang belum terlalu jauh meninggalkan rumah Ingrid.
* * *
Rasa-rasanya ia ingin berdandan sedikit lebih cantik daripada biasanya sore ini. Bukan jaim, tapi hanya ingin sekadar tampil ‘lain’ saja. Bila dibandingkan dengan Bimbim, Endra berpenampilan lebih rapi walaupun tetap terlihat casual dan tidak berlebihan.
Kalau biasanya hanya memulaskan bedak dan lipbalm sekadarnya saja pada wajah dan bibir, kali ini ia memutuskan untuk ngembat beberapa perlengkapan rias ibunya. Berdasarkan panduan dandan cepat dan cantik melalui video yang diunggah Risna – salah seorang teman kuliahnya – ke youtube, ia pun mulai memoles wajahnya, hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Matanya terlihat lebih indah karena ada semburat warna di kelopaknya. Alisnya tersikat rapi. Bulu matanya terlihat lebih lentik karena terpulas maskara walaupun tanpa penambahan bulu mata palsu. Pipinya sedikit lebih merona. Dan, bibirnya terlihat lebih segar berwarna merah muda. Rambutnya....
Mm.... Ingrid berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk mengikat saja rambutnya tinggi-tinggi. Baju? Setelah menimbang-bimbang, pilihannya jatuh pada sehelai blus biru terbuat dari bahan kaus dengan hiasan payet yang cukup modis, dan celana jegging berwarna biru gelap. Untuk mengalasi kakinya, ia memilih sepatu flat terbuat dari bahan denim. Serba biru dan denim, ia pun menyambar sling bag berbahan denim dari gantungan. Diisinya tas mungil itu dengan ponsel, dompet, lipbalm, cairan pembersih tangan, tisu basah, dan tisu kering. Cukup gembung, membuatnya tersenyum. Setelah merasa siap, sekali lagi ia mematut dirinya pada cermin. Sudah tampak cukup sempurna. Ia pun tersenyum puas.
Dengan langkah ringan, ia keluar dari kamar dan menuruni tangga. Pukul tujuh masih beberapa menit lagi. Maka, ia pun menjatuhkan diri di sebelah ayahnya yang tengah duduk santai di sofa ruang tengah.
“Cieee.... Cantik banget anak Papa,” goda ayahnya sambil merengkuh bahu si putri bungsu.
“Iya, dong!” Ingrid tergelak. “Masa ganteng?”
“Mau ke mana?”
“Nonton midnight lagi, Pa,” jawabnya sembari meraih cangkir kopi sang ayah dan menyesap sedikit isinya.
“Jadi pergi sama Endra?” Flora muncul dengan membawa sepiring roti panggang beraroma menggoda.
“Lho, sama Endra? Nggak sama Bimbim?” Bian mengangkat alisnya.
“Kan, Mas Bimbim kondangan sama Abang,” Ingrid menanggapi sambil meraih setangkup roti panggang berisi selai coklat.
“Oh, iya.”
Sambil menunggu kedatangan Endra, Ingrid pun bercakap dengan kedua orang tuanya. Obrolan ringan yang lari ke mana-mana. Hingga bel yang berasal dari pagar depan bergema nyaring. Sebelum Ingrid bergerak, Lami sudah melesat dengan gesit dari arah belakang untuk membuka pintu pagar.
“Mas Endra, Mbak,” lapor Lami ketika berpapasan dengan Ingrid di dekat pintu garasi.
“Oke, sip!”
Dan, Endra cukup ternganga melihat penampilan manis Ingrid sore ini.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan : Emput, pinjem nama herdermu yak! Ahihihi... Muakasiiih... 😘😘😘
Tidak ada komentar:
Posting Komentar