Sebelumnya
* * *
Empat
“Mbak, ada yang nyariin Mbak, tuh!”
Ingrid menoleh sekilas ke arah pintu. Di tengah pintu yang terbuka lebar itu, salah seorang ART-nya berdiri dan memberikan laporan.
“Siapa, Bik?” sahut Ingrid sambil tetap menarikan jemarinya di atas papan ketik laptopnya.
“Andru. Mas Andru.”
Seketika gerakan tangan Ingrid terhenti. Ia kembali menoleh. Kali ini disertai tatapan yang berlumur kejengkelan.
“Bibik bilang aku ada?”
“Ya, iyalah, Mbak. Kan, Mbak Ingrid nggak ada pesan apa-apa.”
Ingrid mengembuskan napas keras-keras. Bukan salah Bik Lami, sih. Ia menggeleng.
“Ya, deh, suruh tunggu sebentar. Bilang saja aku lagi mandi.”
Lami mengangguk dan berlalu. Ingrid masih duduk menghadap layar laptopnya. Setelah menyimpan kembali pekerjaannya di sebuah berkas, ia pun berdiri. Tapi.... Sebersit pikiran masuk ke dalam benaknya. Ia kembali duduk dan meraih ponselnya yang tergeletak di sebelah laptop. Sejenak ia menimbang-nimbang sebelum mengetikkan sebuah pesan.
‘Mas, lagi sibuk, nggak?’
Balasannya ia terima tak lama kemudian.
‘Enggak, ini lagi mau pulang. Kenapa?’
‘Main ke sini, dong. Itu... cowok reseh yang kapan hari aku ceritain itu nongol lagi. Males, ah!’
‘Oh, oke. Aku langsung ke situ, deh. Tunggu, ya? Eh, tapi mungkin agak lelet sedikit. Soalnya hari ini aku pakai mobil, nggak bawa motor.’
‘Gpp. Tapi nanti Mas nurut sama skenarioku, ya?’
‘Sip!’
Ingrid menarik napas lega. Ia terpaksa melakukan hal itu. Menghubungi salah satu ‘penggawa’-nya untuk dijadikan bumper.
Untungnya dia bisa! Kalau tidak? Hmm....
Maka, ia memutuskan untuk sekalian mengerjai Andru. Membuat pemuda itu menunggunya ‘selesai mandi’.
Pada awalnya, ia memang merasa tertarik pada Andru. Lebih karena bentuk fisik pemuda itu yang menyerupai Ken. Tapi beberapa kali pertemuan sebelum berangkat ke Perth dan selama di Perth sudah berhasil membuka matanya lebar-lebar. Bahwa Andru tetaplah hanya Andru. Sama sekali bukan Ken.
Ken yang selama ini dikenalnya adalah sosok pemuda yang ramah dan sopan. Walaupun anak seorang pemilik sanggar, tapi tak pernah sekali pun bersikap mentang-mentang terhadap staf maupun anggota sanggar. Selama masih ikut berlatih menari secara rutin, Ken pun bersikap sangat disiplin dan bertanggung jawab. Ia pun serius dalam menjalani setiap latihan dan menyiapkan pementasan.
Sedangkan Andru? Seketika Ingrid mencibir.
Beberapa waktu lamanya mengenal Andru sejak di Jakarta hingga di Perth, Ingrid sudah keburu ilfeel. Baginya, Andru bukan pemuda yang ‘terlalu menyenangkan’. Dengan jelas, ia bisa melihat, bahwa Andru sedikit arogan terhadap anggota tim lainnya, terutama yang dianggapnya masih level ‘kroco’ dan tak sepenting dirinya. Sikap Andru akan berubah jadi manis sekali bila punya mau. Pun, Andru lumayan teledor mengurus kostumnya sendiri, sehingga cukup merepotkan penanggung jawab kostum sanggarnya. Bahkan Ingrid juga pernah tanpa sengaja ‘menemukan’ Wulan menegur keras Andru.
Sialnya, Andru kelihatannya tertarik untuk mendekati Ingrid. Selama di Perth, ke mana pun Ingrid beringsut, Andru selalu berusaha untuk menempelnya. Sikap itu membuat Ingrid risih dan akhirnya tak mau jauh-jauh dari Fritz. Untungnya sang paman paham, dan berhasil membuat Andru mengerem langkah karena segan terhadapnya.
Ingrid beranjak dari depan meja tulisnya dan pindah ke depan meja rias. Kali ini, tampaknya senjata paling ampuh untuk menghentikan langkah Andru adalah dengan berpura-pura sudah punya cowok.
Dan, untuk menyambut kehadiran cowokku itu, maka aku perlu berdandan lebih cantik.
Ingrid nyengir sekilas ketika menatap pantulan wajahnya di cermin. Sejenak kemudian ia mulai membuat wajahnya jadi lebih ‘indah’ dan sedikit lebih berwarna.
* * *
Menerima pesan itu, mendadak saja seluruh kelelahannya luruh. Setelah menyimpan ponsel di saku kemeja, Endra segera meluncurkan mobil keluar dari slot parkir di basement gedung kantornya. Ingrid memintanya datang? Oh, sepertinya itu kesempatan sekali dalam seribu tahun. Walaupun tahu perannya hanya sebagai bumper, tapi tak masalah baginya.
Rumah Ingrid tak terlalu jauh jaraknya dari kantor. Maksimal, kalau terjebak macet, kurang dari sejam pun sudah sampai. Tapi arus lalu lintas sore ini seperti berpihak padanya. Jalurnya mulus hingga sampai ke depan rumah Ingrid. Dalam jangka waktu tak sampai setengah jam sejak Ingrid mengirimkan pesan, ia sudah memarkir mobilnya di depan rumah Ingrid. Di belakang sebuah mini MPV berwarna putih.
Ketika masuk ke halaman rumah Ingrid, dilihatnya pintu depan terbuka lebar. Ia pun melongok dengan wajah ceria ketika sampai di sana.
“Halo!” sapanya.
Ingrid yang posisi duduknya menghadap ke pintu segera meloncat berdiri dengan wajah cerah. Endra sedikit kaget melihatnya. Di matanya, Ingrid terlihat cantik sekali sore ini. Lain daripada biasanya. Dan, ia pun dengan senang hati mengikuti skenario yang diciptakan Ingrid.
“Nggak macet, ya?” Ingrid meraih tangan Endra dan sedikit menarik pemuda itu mendekat ke arahnya.
“Lancar jaya,” senyum Endra.
“Kenalin, Mas, ini temen yang kemarin barengan tampil di Perth,” Ingrid mendekatkan Endra kepada Andru.
Kedua pemuda itu bersalaman. Jelas sekali bahwa sikap yakin Endra berhasil membuat ciut nyali Andru. Hanya sekitar lima menit setelah Endra datang, Andru pun berpamitan. Ingrid pun melambaikan tangan dengan wajah lega ketika melepas Andru untuk berlalu bersama mobilnya. Gadis itu kemudian menatap Endra yang ikut dengannya mengantar Andru hingga ke mobil.
“Makasih, ya, Mas,” ucapnya dengan ekspresi sedikit tersipu. “Jadi merepotkan Mas Endra.”
“Nggak apa-apa. Santai saja. Kebetulan juga lagi bisa.”
Hening tercipta ketika keduanya beriringan kembali ke rumah. Di teras, Endra menghentikan langkahnya. Sedikit ragu, ditatapnya Ingrid, yang ikut menghentikan langkah.
“Mm.... Aku tadi lewat taman yang di depan blok sana, kayaknya banyak yang jual makanan sama jajanan, ya?”
“Oh.... Iya, ramai kalau sore.”
“Ke sana, yuk, In.”
“Boleh....”
Endra lega sekali ketika Ingrid mengangguk. Bahkan menyambung ucapannya.
“Mas Endra suka siomay Bandung, nggak?”
Serta-merta Endra mengangguk.
“Ada siomay enak banget di sana. Mm.... Tapi murahan, sih.”
Memang kenapa kalau murahan?” Endra menaikkan alisnya sedikit.
“Takut nggak level,” Ingrid nyengir.
“Aduh, In...,” Endra menggeleng dengan wajah menyimpan senyum. “Kalau cuma jajan di warung pinggir jalan, sih, aku sering. Nggak pernah sakit perut juga. Sudah kebal ini!”
“Hehehe...,” Ingrid terkekeh mendengarnya.
Keduanya kemudian berjalan kaki ke taman yang disebutkan Endra. Letaknya tak jauh. Hanya di seberang portal blok rumah Ingrid saja. Ketika hendak menyeberang, dua buah motor berhenti di dekat mereka. Salah satu pengemudinya membuka visor helm. Ernest.
“In! Mau ke mana?”
Ingrid menoleh dan menjawab, “Ke situ, beli siomay.”
“Aku mau dimsum yang di sebelah siomay itu, dong! Nanti bawain pulang, ya? Dua porsi.”
Ingrid mengangguk, dan kedua motor itu pun berlalu. Ia dan Endra melanjutkan langkah menyeberangi jalan. Tangan Endra otomatis menggenggam tangan Ingrid ketika menyeberangi jalan yang cukup ramai itu. Tapi melepasnya kembali ketika mereka sudah sampai di seberang dengan selamat.
“Tumben Ernest pulang sore-sore?” celetuk Endra.
“Kayaknya, sih, hari ini habis kerja bakti benahin kantor,” jawab Ingrid.
“Oh....”
Penjual siomay yang dimaksud Ingrid memang terlihat sekali jualannya laris. Terbukti dengan pembeli yang cukup berjubel di sekitarnya. Dengan sabar keduanya ikut mengantre, dan mendapatkan apa yang diinginkan sepuluh menit kemudian. Tak lupa membeli pula dua botol air mineral pada seorang pedagang asongan.
Mereka kemudian menikmatinya sambil duduk-duduk di salah satu bangku beton di bawah sebatang pohon akasia. Ingrid benar. Siomay itu enak juga. Sambil makan, mereka mengobrol.
“Aku harap, setelah ini dia nggak datang-datang lagi ke rumah,” ucap Ingrid sebelum menggigit sepotong kentang.
“Memangnya dia ngebet banget, ya?” senyum Endra.
“Banget,” Ingrid menegaskan. “Kalau enak buat diajak berteman, sih, aku oke-oke saja berteman sama dia. Sayangnya enggak. Sikapnya bikin males. Bawaannya jadi jengkel melulu lihat dia.”
Endra tertawa ringan mendengar curcol Ingrid. Sebetulnya ia ingin bertanya, kenapa ia yang dipilih Ingrid untuk jadi bumper sore ini. Tapi rasa-rasanya pertanyaan itu bisa saja berpotensi merusak suasana. Maka, ia memilih untuk menelan saja pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, dan mengalihkannya dengan membicarakan aneka topik lain hingga langit menggelap sempurna di atas mereka.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)