Sebelumnya
* * *
Mahesa menghentikan langkah ketika lewat di depan kamar Kresna. Sudah hampir pukul dua dini hari. Pintu kamar itu terbuka lebar. Ketika ia melongok sedikit, senyumnya terulas. Kresna masih sibuk menghadapi kanvas lebarnya. Tak cuma ada Kresna dalam kamar itu. Tapi Seta juga. Terlelap di ranjang Kresna.
“Belum tidur, Yah?”
Mahesa tersentak mendengar suara lirih itu. Rupanya Kresna mengetahui kehadirannya. Sedetik kemudian ia pun memutuskan untuk masuk ke kamar itu. Pelan-pelan, ia duduk di tepi ranjang Kresna. Seta bergerak sedikit, tapi matanya tetap terpejam. Ditatapnya coretan Kresna di atas kanvas yang masih berupa sketsa.
“Lagi melukis apa?” tanyanya, setengah berbisik.
Kresna tersenyum tipis.
“Entahlah, Yah,” sekilas diangkatnya bahu. “Hanya pemandangan yang beberapa hari ini muncul di pikiranku.”
Mahesa manggut-manggut. “Kelihatannya bagus.”
Kresna tersenyum lagi. “Belum tahu akan jadi seperti apa.”
“Kalau sudah jadi, buat Ayah, ya? Buat dipasang di ruang kerja.”
“Boleh...,” Kresna melebarkan senyumnya. “Semoga layak pajang.”
“Pasti layak,” Mahesa tertawa kecil. “Lukisanmu selalu bagus.”
“Nggak tidur, Yah? Sudah malam. Eh, hampir pagi malahan.”
“Besok, kan, tanggal merah,” jawab Mahesa sambil membaringkan dirinya di samping Seta. "Tadi asyik browsing, tahu-tahu sudah jam segini.”
Merasa ada pergerakan tak wajar di dekatnya, pelan-pelan Seta membuka mata. Mahesa menoleh ke arahnya. Tergelak ringan.
“Jadi sempit, ya?” ucapnya.
Seta menguap sambil tertawa. Sejurus kemudian ia bangun. Turun dari ranjang.
“Lho, malah minggat?” gerutu Mahesa.
“Mau buat kopi, Yah,” Seta kembali tertawa. “Ayah mau?” Seta menatap Kresna, “Lo mau juga?”
“Mau,” angguk Kresna.
“Ayah mau teh hijau hangat saja, Set,” ujar Mahesa. “Takutnya minum kopi jantung Ayah makin deg-degan. Nggak tahu, seharian ini rasanya nggak enak banget.”
“Ayah kurang istirahat,” Kresna menoleh cepat, menatap Mahesa dengan khawatir.
“Enggaklah...,” Mahesa mengelak. “Kerjaan Ayah di kantor sudah banyak ditangani Seta.”
“Kemarin-kemarin Ayah stress berat gegara lo ngilang,” Seta tertawa ringan sebelum beranjak ke dapur.
Kresna menatap manik mata Mahesa. Walaupun Seta seolah main-main ketika mengucapkan kalimatnya baru saja, tapi tampaknya saudara kembarnya itu serius. Sebersit keharuan merayap masuk ke dalam hati Kresna. Ia memutar arah duduknya. Sekarang menghadap tepat pada Mahesa yang masih berbaring.
“Yah, maafkan aku,” ucapnya, nyaris berupa gumanan. “Aku nggak bisa jaga diri dengan baik.”
“Sshh... Sudahlah,” Mahesa menggeleng, berusaha untuk tersenyum. “Yang penting kamu sudah kembali, dan yang mencelakakanmu sudah mendapatkan ganjarannya sendiri.”
Kresna tertunduk.
“Yang jelas, Ayah tak mau kehilangan lagi,” lanjut Mahesa. “Baik kamu maupun Seta. Kalian berdua berarti sangat besar buat Ayah.”
Mata Kresna mengaca.
Saat itu, samar-samar terdengar ada mobil yang berhenti di luar. Kresna bangkit dari duduknya, bermaksud untuk melongok melalui jendela kamarnya yang menghadap tepat ke arah pintu pagar. Dari balik jendela kamar di lantai atas rumah itu, Kresna mengerutkan keningnya.
Sebuah mobil double cabin berhenti tepat di depan rumah. Tampak jelas di bawah siraman lampu merkuri yang ada tepat di atas pintu pagar. Begitu juga ketika seseorang turun dari balik kemudi mobil itu. Seseorang berseragam polisi.
“Polisi, Yah,” gumamnya. “Mau apa dini hari begini?”
Sebelum Kresna dan Mahesa sempat beranjak, bel pagar terdengar berbunyi nyaring memecahkan kesunyian. Tanpa dikomando, bergegas Mahesa dan Kresna turun ke lantai bawah. Pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan garasi sudah terbuka. Tampaknya Seta sudah lebih dulu bergerak untuk membuka pintu garasi.
* * *
Benar, kantor polisi yang mereka tuju tidaklah jauh. Begitu keluar dari jalanan hutan dan masuk ke jalan raya beraspal halus, Tirto membelokkan sadonya ke kiri. Ketika sampai di perempatan pertama yang berjarak sekira tiga ratus meter dari arah mereka keluar dari hutan, Tirto kembali membelokkan arah sadonya. Kali ini ke kanan. Dan, kantor Polsek Ngentas Timur terletak tak jauh dari perempatan itu. Dengan tenang, Tirto membelokkan sadonya masuk ke halaman polsek.
Laporan yang ia sampaikan singkat saja. Bahwa bibinya bernama Sentini menemukan seorang perempuan tak dikenal bernama Wilujeng di tepi Telaga Wening ketika ia hendak mengambil air telaga. Perempuan itu terlihat seperti kebingungan. Dan, menurut pengakuannya sendiri, perempuan bernama Wilujeng itu pernah jatuh ke dalam jurang di Pegunungan Pedut sekitar tiga belas tahun yang lalu. Tak ingat apa-apa hingga ditemukan Sentini.
Polisi bernama Royan itu menatap Tirto dengan tajam. Tapi Tirto tetap tenang. Polos. Sama sekali tak terlihat merasa diintimidasi. Naluri Royan mengatakan, bahwa laki-laki bernama Tirto itu mengatakan hal yang sebenarnya. Kemudian ia mengalihkan tatapannya pada Wilujeng.
Wajah cantik perempuan itu terlihat kuyu dan masih menyisakan kebingungan. Pelan-pelan, Royan mulai menginterogasinya. Tapi sebelum pembicaraan itu terlalu dalam, Tirto memberanikan diri untuk berpamitan. Royan menatapnya lagi.
“Bibi saya umurnya sudah hampir delapan puluh, Pak,” ucap Tirto dengan nada sopan. “Saya tak tega kalau harus lama-lama meninggalkan beliau. Apalagi rumah kami jauh dari tetangga.”
Setelah berpikir sejenak, Royan kemudian mengabulkan permintaan Tirto. Tentu saja setelah mencatat dengan lengkap nama dan alamat Tirto. Laki-laki itu memang tak membawa tanda pengenal. Tapi Royan percaya pada nalurinya. Apalagi Tirto menyebut juga bahwa dirinya adalah salah seorang warga Lurah Suwari, yang memang dikenal Royan.
“Mbakyu, saya pulang dulu,” Tirto berpamitan pada Wilujeng. “Kalau ada waktu, mampirlah lagi ke gubuk kami. Mbakyu sudah tahu tempatnya. Tak jauh dari sini.”
“Terima kasih banyak, Kang Tirto,” Wilujeng mengucap setulus-tulusnya. “Titip salam buat Nek Sentini. Sampaikan juga ucapan terima kasih saya padanya.”
Royan kembali pada Wilujeng setelah Tirto pergi. Cerita yang ia dapatkan dari Wilujeng persis sama dengan yang disampaikan Tirto. Dan, kali ini nalurinya kembali membisikkan bahwa perempuan itu tidak berbohong.
“Baik, Bu,” ucap Royan di ujung interogasinya. “Laporan Ibu sudah saya buat. Sekarang saya akan melakukan laporan secara lisan pada atasan saya. Kalau memang Ibu harus diantarkan pulang secepatnya sesuai perintah atasan, maka akan kami antarkan. Ibu masih ingat alamat Ibu?”
Wilujeng mengangguk sekaligus menarik napas lega. Pulang... Ia mengerjapkan mata. Aku bisa kembali pulang. Benarkah? Setelah sekian belas tahun, entah ada di manakah aku...
* * *
Kapolsek datang tak lama kemudian bersama istrinya. Perempuan bertubuh subur dengan wajah sangat ramah itu kemudian melayani berbagai keperluan Wilujeng sementara suaminya melakukan berbagai koordinasi dengan kepolisian daerah Palaguna. Sungguh, ia prihatin dengan kondisi Wilujeng. Sama sekali ia tak berani membayangkan bagaimana kalau ia ada di posisi Wilujeng.
Pasti menyedihkan sekali...
Selesai mandi dan makan malam di bagian belakang kantor polsek, Wilujeng tampaknya sudah siap untuk diantarkan pulang. Ia sudah mengganti gaun katun sederhananya dengan sehelai daster batik bersih yang masih sangat bagus milik istri kapolsek. Sebuah ikat pinggang tipis menyelamatkan penampilan Wilujeng dari kedodoran karena daster yang didapatkannya agak terlalu longgar membungkus tubuhnya.
“Bu, Ibu akan kami antar pulang sekarang,” ucap Royan. “Pak Kapolsek sudah berkoordinasi dengan Polsek Palaguna Kota. Karena ini sudah mulai malam, maka Ibu akan kami antarkan langsung ke rumah. Tak perlu mampir ke Polsek Palaguna Kota.”
Wilujeng buru-buru mengangguk dengan wajah lega.
* * *
Seta membuka pintu pagar dengan wajah ragu-ragu. Sikapnya terlihat siaga. Saat ini benar-benar bukan waktu yang tepat untuk bertamu. Apalagi tamunya kali ini seorang polisi.
“Selamat malam, Dik,” polisi dengan bordir nama Royan di dadanya itu memberi hormat secara singkat.
“Selamat malam, eh, pagi,” Seta sedikit meringis.
“Saya Royan, dari Polsek Ngentas Timur, Kabupaten Maniksuri. Betul di sini rumah Ibu Wilujeng Swandayani Prabangkara?”
“Ada apa ini?”
Sebelum Seta menjawab, suara Mahesa sudah mengudara cukup keras. Seta dan polisi bernama Royan itu mengalihkan tatapan ke arah belakang Seta. Mahesa muncul diiringi Kresna. Mahesa menatap tajam ke arah Royan. Tanpa mereka sadari, salah satu pintu mobil yang ada di depan pagar terbuka dan tertutup. Lalu...
“Mas... Mahesa...”
Suara lirih itu memecahkan keheningan. Mahesa menoleh. Dan, mereka bertatapan. Sedetik. Hingga Mahesa berlari secepat kilat mendekati pemilik suara halus itu.
“Wilujeng? Wilujeng? Sayangku Wilujeng? Wilujeng? Ya, Tuhan... Wilujeng! Wilujeng-ku!”
Pelukan erat disertai derai air mata keduanya seolah tak lagi bisa diurai. Menyatu bagai setangkup belahan jiwa yang tak terpisahkan.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
So great job dear author!👍
BalasHapusNda perlu bnyk kata u/ menggambarkan sbh pertemuan tp situasinya bs dibayangkan o/ yg baca.👍 Apik tenan!👍
Melu brebesmili.👍
Good post mbak
BalasHapusMinta akun IG-nya, Mas Kres.
BalasHapus