Sebelumnya
* * *
Sepuluh
Di Bawah Hangatnya
Cahaya Mentari
Sebesar apa pun rasa kehilangan itu, kehidupan yang masih tersisa haruslah tetap berjalan. Lagipula masih tersisa harapan bahwa Kresna akan kembali. Walaupun entah kapan. Sekilas Seta menatap Mahesa di seberang meja. Seorang ayah yang tegar dan kuat. Yang terkadang justru melemparnya kembali pada sepotong penyesalan.
Seandainya aku dulu semanis Kresna...
Dihelanya napas panjang. Mahesa mengangkat wajahnya. Ditatapnya Seta.
“Kenapa?” tanyanya halus.
Seta menggeleng. Kembali menekuni sarapannya.
“Kangen pada Kresna?”
Seketika Seta mengangkat wajahnya kembali. Pada satu titik waktu yang sama, tatapan mereka saling mengunci. Dan, keduanya sama-sama menemukan letupan kerinduan yang serupa. Seta mengerjapkan mata. Kembali menunduk.
“Ya,” gumamnya. “Dan Ibu.”
Didengarnya sang ayah menghela napas panjang.
“Entahlah, dua malam berturut-turut ini aku memimpikan Ibu,” lanjut Seta, dengan suara nyaris tak terdengar.
Mahesa terdiam. Ia juga sering bermimpi tentang Wilujeng. Mimpi yang selalu sama selama bertahun-tahun, tapi tak pernah membuatnya bosan. Karena dalam mimpi itulah senyum dan sosok Wilujeng seutuhnya hadir untuk membantunya tetap bernapas. Demi Seta. Demi Kresna. Mimpi yang membuatnya bertekad untuk tak akan pernah menggantikan sosok Wilujeng dengan siapa pun dalam kehidupannya.
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik segumpal awan. Menghangatkan suasana di sekitar meja putih bundar di tengah taman belakang itu. Acara makan pagi mereka hampir berakhir. Hampir tiba waktunya bagi mereka berdua untuk berangkat ke kantor. Tepat saat itu, ponsel di saku kemeja Mahesa berbunyi. Laki-laki itu segera menjawab panggilan itu.
“Halo, selamat pagi...,” sapanya dengan nada ramah walaupun nomor itu tak dikenalnya.
“Selamat pagi. Dengan Bapak Mahesa Prabangkara?”
“Iya, betul. Saya sendiri. Maaf, dengan Ibu siapa ini?”
“Saya Megasari dari Polsek Sumpiang, Pak. Ada yang ingin bicara dengan Bapak.”
Hening sejenak di seberang sana. Mahesa mengerutkan kening. Lalu...
“Yah...”
Mahesa tersentak mendengar suara lirih dan bergetar itu. Kresna???
“Kres?” hanya itu yang ia mampu bisikkan.
Mendengar Mahesa menggumamkan satu suku nama itu, Seta seketika terbelalak. Ditatapnya Mahesa tanpa berkedip.
“Iya, Yah... Ini aku...”
“Ya, Tuhan... Kresna... Kresna!” Mahesa menatap Seta.
Pemuda itu segera meloncat ke dekat ayahnya. Tanpa permisi direbutnya ponsel dari tangan Mahesa. Mahesa pun meraih dan merengkuh bahu Seta.
“Kres! Lo di mana? Gue jemput sekarang!” seru Seta dengan kegembiraan meluap.
Tapi Mahesa segera mengambil alih ponsel itu dari tangan Seta.
“Kres, Seta dan Ayah jemput kamu sekarang. Kamu masih di Sumpiang?”
“Lagi jalan ke Palaguna, Yah. Jemput di Polsek Palaguna Kota saja.”
“Ya! Ya! Ayah ke sana sekarang.”
“Yah, ini Bu Polisi mau bicara lagi sama Ayah.”
“Ya! Ya!”
Hening sesaat.
“Pak Mahesa, kami dari Polsek Sumpiang beberapa jam lalu mendapat kabar dari Polsek Sembilangan bahwa putra Bapak bernama Mahakresna Prabangkara telah ditemukan dalam kondisi baik dan sehat di wilayah Polsek Sembilangan di wilayah kerja Kepolisian Kota Saruji. Putra Bapak sudah diantarkan ke kantor kami. Kami pun sudah berkoordinasi dengan Polsek Palaguna Kota. Dan sekarang kami dalam perjalanan ke Polsek Palaguna Kota. Bapak bisa menunggu di sana.”
Berkali-kali Mahesa mengucapkan terima kasih. Ketika pembicaraan itu berakhir, yang bisa dilakukannya adalah memeluk Seta erat-erat sambil tak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan.
“Yah, boleh aku kabari geng?” ucap Seta ketika mereka beriringan melangkah ke garasi.
“Ya, kabarilah,” angguk Mahesa dengan antusias. “Kalau ada yang mau ikut jemput, suruh saja langsung ke Polsek Palaguna Kota.”
Seta tersenyum lebar sambil mulai sibuk dengan ponselnya.
* * *
“Aku mau ke ‘atas’ dengan Randu, Jeng,” ucap Paitun begitu mereka selesai sarapan. “Kamu titip apa?”
Wilujeng menatap Pinasti sebelum menjawab pertanyaan Paitun.
“Kamu butuh buku baru lagi, Nduk?” senyumnya.
Pinasti menggeleng. “Yang dibawakan Bibi Kriswo beberapa hari lalu belum semuanya selesai kubaca, Bu.”
Wilujeng mengalihkan tatapannya pada Paitun. “Nggak usah, Mak. Kebutuhan kami masih cukup.”
“Tak perlu masak hari ini. Nanti biar kusuruh Tirto ambil ikan dan buatkan kalian ikan bakar.”
“Baik, Mak,” Wilujeng mengangguk patuh. “Kalau begitu aku akan ajak Pinasti ke padang bunga atau padang rumput.”
Paitun mengangguk sambil tersenyum.
Sepeninggal Paitun, Wilujeng segera mengisi keranjang rotan dengan ubi panggang dan pisang kukus yang pagi-pagi tadi sudah ia siapkan. Pinasti pun mengambil beberapa buku yang belum dibacanya. Dimasukkannya pula buku-buku itu ke keranjang rotan.
“Mau ke padang rumput atau padang bunga, Pin?” tanya Wilujeng sembari menutup pintu pondok.
“Ke padang rumput saja, ya, Bu?”
Wilujeng pun mengangguk. Keduanya tak lupa mampir ke pondok Tirto untuk sekadar berpamitan.
“Nanti kuantarkan makan siang ke sana, Mbak,” ucap laki-laki tinggi besar itu.
Wilujeng mengucapkan terima kasih, kemudian berlalu bersama Pinasti.
* * *
Embun belum sepenuhnya menguap dari tepi rerumputan. Kerlip pantulan cahaya hangat mentari menyambut keduanya di sana. Segera saja Pinasti menjatuhkan diri di tempat kesukaannya di bawah naungan pohon. Ditatapnya kejauhan. Jalur di atas tebing-tebing Pegunungan Pedut mulai sibuk. Dunia ‘atas’ yang dikenalnya dari jauh.
Tiba-tiba saja, selintas pikiran menyeruak di dalam benaknya. Ditatapnya Wilujeng yang tengah mengeluarkan bekal mereka dari dalam keranjang.
“Bu, benarkah dunia ‘atas’ tidak seindah di sini?” celetuknya.
Seketika Wilujeng menoleh. Menatapnya dengan mata bulat yang berbinar indah. Perempuan itu tertawa ringan.
“Hah? Kata siapa?”
Sejenak Pinasti tercenung. Dikerutkannya kening. Rasa-rasanya ia pernah mendengar hal itu, tapi tak ingat siapa yang mengatakannya. Ia menggeleng.
“Aku lupa,” perawan sunti itu meringis lucu.
Wilujeng tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala. Ia kemudian duduk di sebelah Pinasti. Disorongkannya keranjang rotan pada Pinasti supaya gadis itu mudah memilih bahan bacaannya.
“Setiap dunia punya keindahannya sendiri-sendiri, Pin,” ucap Wilujeng, sembari mengupas sebuah pisang kukus. “Di ‘atas’ mungkin benar tak sedamai dan setenang Bawono Kinayung dan bawono lainnya, tapi tetap memiliki keindahannya sendiri.”
“Bu, apakah kita akan kembali ke ‘atas’ bersama-sama nantinya?”
Wilujeng tercenung sejenak. Lalu menggeleng seraya menghela napas panjang.
“Sepertinya tidak. Tapi semoga kita sama-sama baik-baik saja, Nduk. Ibu harap begitu.”
Pinasti tertunduk. Entah kenapa mendadak hatinya terasa sedih saat ini. Tadi saat ia bangun, ia merasa seperti ada bagian yang kosong dalam dirinya. Dalam hatinya. Entah apa. Ia sama sekali tak tahu. Dihelanya napas panjang. Ia mengangkat wajah dan menatap sekitarnya.
Padang rumput itu terlalu indah untuk diabaikan. Kemudian ia dan Wilujeng menikmati keindahan itu sembari bertukar cerita. Sesekali keduanya melanjutkan membaca buku-buku yang mereka bawa. Kemudian saling bercakap lagi. Begitu seterusnya. Sembari merasakan kehangatan cahaya mentari yang menyapa.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Jadi pengen ke Kinayung
BalasHapusMbak Lis rajin, pagi2 postingnya. tapi aku seneng,gak usah nunggu lama hi hi hi
BalasHapussalam hangat mbak
Hadir nyah. Ngintip ndisek sagurunge sc. Selak kedisikan nyonyah wkkkkkkkk
BalasHapusGood post mbak
BalasHapusPinasti....
BalasHapus