Sabtu, 02 Juni 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #9-3








Sebelumnya



* * *


Dengan kekuatan lebihnya sebagai seorang manusia abadi, Tirto membawa tubuh Kresna masuk ke dalam hutan bambu kuning. Pada sebuah pertigaan tersamar, ia berbelok ke kanan, masuk ke jalan setapak, dan terus menyelinap melalui rapatnya rumpun-rumpun bambu kuning. Janggo mengikuti langkahnya dengan setia.

Ujung jalan setapak itu adalah sebuah batu besar yang berdiri tegak dan kukuh. Tirto berhenti sejenak. Kemudian, dengan suara berat yang terdengar sopan, ia berucap, “Ki Selo Giri yang baik, tolong, biarkan kami lewat.”

Tanpa suara, batu besar itu menggelinding ke samping. Membuka mulut sebuah gua yang berbentuk lorong gelap berliku. Kali ini, Tirto membiarkan Janggo berjalan di depan. Memilih jalur yang benar untuk menuju ke ‘atas’. Mereka melewati bagian gua yang berlumut tebal, menyeberangi sungai dalam tanah yang kecil dan dangkal, berbelok masuk ke cabang sebuah lorong, keluar di ujung lorong, masuk ke lorong lainnya, begitu seterusnya.

Akhirnya mereka sampai juga di ujung. Ada dinding masif di depan mereka. Janggo menyentuh dinding itu dengan ujung hidungnya. Dinding itu pun terbuka pelan-pelan, tanpa suara. Bagian luar dinding itu – yang ada di sebuah tebing – tertutup juntaian akar beringin yang cukup rapat. Tapi dengan mudah Janggo dan Tirto menyelinapkan diri di antara juntaian akar itu.

Kini, mereka sudah ada di ‘atas’. Dengan lincah Janggo terus melangkah diikuti Tirto. Tak ada jalan setapak apa pun di daerah itu. Hanya ada pepohonan besar yang tumbuh rapat. Janggo dan Tirto menyelinap di antara pepohonan itu, hingga mencapai sebuah jalan setapak.

Di sekitar jalan setapak itu sudah menunggu Bondet dan kawanannya. Dengan sangat hati-hati, Tirto membaringkan tubuh Kresna di atas rumput di tepi jalan setapak. Setelah itu, ia melepaskan ikatan ransel di atas punggung Janggo, dan meletakkannya di sebelah kepala Kresna.

‘Tugasku sudah selesai,’ Tirto menatap Bondet.

Ajak putih itu mengangguk. ‘Aku akan segera menuntun Saijan ke sini. Anak-anak akan menjaga Kresna.’

Setelah berpamitan, Tirto dan Janggo kembali menyelinapkan diri di antara pepohonan. Makin menghilang ke kedalaman hutan. Hampir bersamaan dengan itu, Bondet pun meninggalkan kawanannya untuk mencari Saijan. Dengan sikap patuh tapi tetap waspada, empat ekor ajak berwarna coklat kemerahan dengan ukuran wajar duduk mengelilingi tubuh Kresna. Menunggu kedatangan penjemputnya.

* * *

Sambil menunggu kehadiran Bondet, Saijan menguliti pohon kedawung yang ditemuinya di sepanjang jalan setapak. Senter di kepalanya cukup terang sehingga ia bisa melakukan pekerjaan itu dengan mudah. Pun ketika ia harus mengumpulkan biji kedawung yang jatuh ke tanah.

Bondet datang ketika Saijan merasa bahwa kulit dan biji pohon kedawung yang dikumpulkannya sudah cukup. Bondet menandai kehadirannya dengan dengking pendek beberapa kali. Saijan menoleh dan mendapati bahwa ajak putih besar itu sudah ada di dekatnya.

‘Sudah siap, Kang?’ tanya Bondet, menembus pikiran Saijan.

Laki-laki itu mengangguk. Ia mengikuti langkah Bondet menyusuri jalan setapak. Kali ini ke arah bawah, tidak terus ke atas. Rupanya Kresna diletakkan di antara posisi terakhir Saijan dan pos pemangku hutan tempat laki-laki itu meninggalkan kendaraannya.

Tak jauh mereka melangkah, di dekat sebuah belokan, tubuh Kresna yang terbaring di rerumputan dapat segera dilihat Saijan. Kawanan ajak yang menjaga tubuh itu pun menyingkir begitu Bondet dan Saijan muncul.

‘Nah, Kang, kuserahkan pemuda ini padamu.’

‘Baik, Bon. Terima kasih banyak atas perlindungan kalian. Salamku untuk Emak dan semua di Bawono Kinayung.’

Bondet mengangguk, kemudian mengajak kawanannya menyingkir sambil melolong beberapa kali. Ketika gema lolongan itu memudar di udara, Saijan segera membangunkan Kresna. Digoyangkannya tubuh pemuda itu.

“Dik... Dik... Bangun, Dik... Bangun... Dik, bangun...”

Mata pemuda itu pun mulai mengerjap beberapa kali.

* * *

Tiba-tiba saja Kresna merasa seperti tergulung sebuah lorong gelap yang sangat panjang dan dalam. Bayang-bayang peristiwa yang dialaminya beberapa detik lalu seolah menghantui dan mengejarnya dari belakang. Susah payah ia berusaha berlari, tapi bayang-bayang itu tetap mengikuti. Bayang-bayang berbentuk Alex yang mendorongnya sekuat tenaga ke arah jurang. Tapi anehnya, ia tak jatuh terhempas. Ia merasa tubuhnya jadi ringan terayun-ayun selama beberapa lama. Dan, ia kembali terjebak di lorong gelap itu. Bersama dengan serangkaian film bisu tentang dirinya sendiri. Terulang berkali-kali.

Selama beberapa waktu situasi itu membungkus rapat tubuhnya. Hingga ada dengung-dengung yang ia tak bisa menangkap maksudnya. Diakhiri dengan lolongan-lolongan panjang yang mendirikan bulu kuduk, terdengar begitu dekat dengan telinganya.

Samar-samar, ia merasa tubuhnya tergoyang-goyang. Ada cahaya juga yang menembus kelopak matanya. Ia mulai mengerjap, berusaha membebaskan diri dari rasa berat yang mengganduli kelopak matanya. Ketika ia membuka mata, cahaya terang itu begitu saja menerjang matanya. Membuatnya buta sejenak. Ia mengeluh pendek.

Saijan yang menyadari bahwa sorot senternya terarah pada Kresna, segera mengalihkannya. Kresna kembali mengerjap beberapa kali.

“Akhirnya kamu bangun juga...,” desah Saijan. Lega.

Mata Kresna kembali terbuka lebar. Gelap mengepungnya, dengan sedikit berkas cahaya yang berasal dari lampu senter. Seketika Kresna bangun dan terduduk. Digelengkannya kepala beberapa kali untuk mengusir pening. Ketika matanya menangkap kehadiran seseorang asing di dekatnya, Kresna tanpa sadar bergeser menjauh.

“Bapak siapa?” tanyanya dengan nada panik. “Ini di mana? Apa yang terjadi?”

Saijan menatap Kresna dalam kegelapan. “Kamu sendiri siapa, Dik? Kenapa ada di sini sendirian?”

Kresna ternganga.

* * *

Diam-diam Saijan merasa lega. Dari penuturan pemuda itu, tampaknya hal terakhir yang diingatnya adalah peristiwa jatuhnya ia ke dalam salah satu jurang Gunung Nawonggo di jalur selatan.

Bawono Kinayung tetap aman...

“Hmm...,” Saijan terus menyetir mobilnya. “Itu tadi jalur Sembrani namanya. Jalur biasa di sebelah timur Gunung Nawonggo yang tidak bisa mencapai puncak karena berakhir di bibir Jurang Doblang. Diperkirakan jurang itu dalamnya lebih dari seratus meter. Biasanya jalur tadi hanya dipakai penduduk sekitar sini untuk mencari kayu bakar, atau orang-orang seperti aku yang butuh bahan dari alam untuk obat.”

“Kenapa saya bisa sampai di sana?” gumam Kresna, masih setengah linglung. “Tanpa luka pula.”

“Ya... Aku tidak tahu. Aku hanya mencari bahan obat ini tadi. Ketika turun lagi, kutemukan kamu begitu saja. Sudah tergeletak di tepi jalan setapak.”

“Hmm... Ngomong-ngomong, ada anjing liar di hutan Gunung Nawonggo, ya, Pak?”

“Oh, ada, Dik Kresna,” Saijan mengangguk. “Banyak. Anjing hutan atau ajak. Sering disebut juga asu kikik. Dia bisa melolong dan mendengking. Tak bisa menggonggong ataupun menyalak."

“Saya dengar lolongannya tadi. Entah benar atau mimpi.”

Saijan memilih untuk tidak menanggapi gumaman Kresna itu. Ia kemudian membelokkan jeep-nya ke kantor polisi terdekat di sektor Sembilangan yang terletak di timur Gunung Nawonggo. Setelah menceritakan kronologi penemuan Kresna, Saijan pun berpamitan. Tak lupa, ditepuknya bahu Kresna.

“Dik, ini sudah jadi urusan polisi, ya,” ucap Saijan. “Mereka yang nanti akan mengantarmu pulang setelah laporan percobaan pembunuhanmu selesai mereka rekap. Aku pamit dulu.”

Kresna mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Sepeninggal Saijan, seorang polisi berwajah ramah mengulurkan segelas teh hangat padanya.

“Nah, Dik, sekarang ceritakan pada kami sedetail-detailnya tentang perjalananmu,” ujar polisi itu. “Setelah itu, kami akan berkoordinasi dengan sektor Sumpiang tempatmu mulai mendaki di selatan, dan sektor Palaguna Kota tempatmu berasal, untuk pengantaranmu pulang ke rumah.”

Kresna pun mengangguk dan mulai bertutur, sembari sesekali menyesap teh hangatnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

4 komentar:

  1. Mau protes tp takut d bacok...yowes sabar menanti sampai senen kl bgtu...pinter tenan mba lizz ini bikin org penasaran 😄😄👍👍

    BalasHapus
  2. Huwiiiiiikkkkkk ancemane cik sauereme rek nyonyah iki wkkkkkkkk
    Wes awak nurut ae nimbangane digraji barang. Gacukup dibacok koyoe wkkkkkkkkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngekek dw moco komentare Kenyut haha..
      Sabar ae wis. Demi cerbung apik.

      Hapus
  3. Numpang tanya aja, teh hangatnya manis gak?

    BalasHapus