* * *
Dua
Tanpa
suara, Olivia menapaki anak tangga menuju ke lantai dua untuk kembali ke balik
mejanya. Semua persiapan untuk meeting dengan
klien dari Kanada sudah sempurna. Begitu ia duduk kembali, dijangkaunya gagang
telepon. Ia menghubungi sederet nomor untuk konfirmasi ulang reservasi di
restoran sebelah kantor. Beres. Ia menatap berkeliling.
Suasana
kantor selama seminggu ini terasa berbeda. Antara ada Luken dan Sandra dengan
tidak, suasananya sungguh lain. Olivia sedikit kesepian. Bukan karena James
bukanlah boss yang baik. James sama
baiknya seperti Luken. Laki-laki itu juga dengan hangat mengajaknya mengobrol
saat pekerjaan mereka sedang senggang. Bahkan selama kantor dipegang James,
Olivia merasa kerjanya lebih santai walaupun harus merangkap tugas Sandra.
Tapi, ya, tetap saja terasa lain.
Ketika
ia berpikir lagi tentang hal itu di sela senggang pekerjaannya, diam-diam ada
sebersit kerinduan menyelinap begitu saja ke dalam hati. Kerinduan pada seorang
Luken. Apalagi...
Soal pesan itu... Aku belum
menjawabnya. Hanya sepotong ucapan terima kasih.
Tidak
lebih. Tapi tentu saja ia tidak bisa melupakan pesan dari Luken yang masuk ke
ponselnya, saat ada acara lamaran Navita, kakak sepupunya, hari Minggu pekan
lalu.
‘Semoga acaranya lancar, ya,
Liv. Semoga berikutnya adalah kamu. Dan semoga nanti aku yang akan melakukannya
untukmu.’
Kalimat
bersayap yang ia ragu apa maksudnya. Hingga ia harus mengandalkan ayahnya
sebagai tempat untuk bertanya.
Dengan wajah ragu, Olivia
menunjukkan ponselnya pada Prima. Pesan dari Luken tertera di layar. Prima
membacanya sejenak. Setelah itu dikembalikannya lagi pada Olivia.
“Sini, Liv,” Prima
mengulurkan tangan.
Gadis itu pun menggeser
duduknya. Merapat pada sang ayah. Lengan kiri Prima segera merengkuh hangat bahu
si putri sulung.
“Liv, meskipun di mata Papa
selamanya kamu tetaplah gadis kecil Papa, tapi Papa yakin kamu itu sudah
dewasa. Papa juga yakin kamu sebetulnya sudah memahami arti pesan itu.”
Olivia menghela napas
panjang. Jauh di dalam lubuk hati, ia memang sudah bisa meraba maksud Luken.
“Tapi selama ini belum ada
omongan apa-apa, Pa,” gumamnya.
“Ya, Papa tahu,” Prima
menepuk lembut bahu kiri Olivia. “Tapi sikapnya selama ini sudah cukup
menggambarkan itu. Perhatiannya padamu, semua kelonggaran yang dia berikan
padamu saat Papa dan Maxi sakit. Walaupun Papa yakin bukan padamu saja dia
melakukan kebaikan, tapi memang ada hal-hal lebih yang bisa dilihat dan
dirasakan, tanpa perlu dijelaskan.”
“Terus, aku harus
bagaimana?”
“Hm...,” seketika Prima
mengecup lembut puncak kepala Olivia. “Ini pertanyaan yang memang butuh
jawaban, atau sekadar penegasan?”
Olivia tersipu malu dan
menyusupkan wajahnya ke dada sang ayah. Prima tertawa sambil mengelus kepala si
putri sulung.
“Tunggu dia pulang,” bisik
Prima. “Dan kita lihat bagaimana selanjutnya.”
Olivia mengangguk.
“Terima kasih, Pa,”
gumamnya.
Dan ia mendapatkan satu lagi
kecupan hangat di puncak kepala.
Selama
seminggu ini, sesekali laki-laki itu memang meneleponnya. Tapi murni urusan
kantor. Tidak lebih.
Jadi... aku memang
benar-benar harus menunggunya pulang.
Suara
pintu yang terbuka dan tertutup membuyarkan lamunan Olivia. James melangkah
mendekat, dan duduk di belakang meja Sandra.
“Reservasi
untuk makan siang kita bersama Mr. Byrne sudah beres, Liv?” tanya James.
“Sudah,
Pak,” angguk Olivia. “Baru saja sudah saya konfirmasi ulang. Meja kita siap jam
setengah dua belas.”
“Bagus!”
senyum James. “Ruang meeting bagaimana?”
“Sudah
siap juga, Pak. Sudah saya cek sebelum saya cek resto. Semua berkas sudah siap
di sana. Minuman dan snack juga sudah
siap.”
James
mengacungkan jempol. “Snack-nya kamu
siapkan apa?”
“Ada
lapis Surabaya, sosis Solo, sama pastel teratai, Pak.”
“Yang
super enak itu?” mendadak mata James berbinar. “Buatan budhe-mu seperti minggu lalu?”
Olivia
mengangguk sambil tersenyum lebar. James kembali mengacungkan jempolnya.
“Ya,
sudah, Liv. Ayo, siap-siap ke bawah. Sudah hampir jam sepuluh ini.”
Olivia
pun mengiringi langkah James menuju ke lobi kantor di lantai bawah untuk menunggu
kedatangan klien mereka.
* * *
Victor
Byrne, laki-laki keturunan Irlandia berusia 60-an yang tinggal di kota Calgary itu
sudah menjadi klien Coffee Storage sejak
jaman perusahaan itu masih dikendalikan oleh James Sudianto. Kedatangannya ke
Indonesia kali ini, selain urusan bisnis dengan Coffee Storage sekalian menemui James, kawan lamanya, juga hendak
mengunjungi putranya yang berkantor resmi di Jakarta. Putra sulung yang saat
ini turut serta mendampingi sang ayah.
Dan
laki-laki muda yang kira-kira berusia akhir 20-an atau awal 30-an bernama Allen
Byrne itu adalah laki-laki paling menarik yang pernah ditemui Olivia. Ia belum
pernah berada begitu dekat dengan laki-laki bermata seindah itu. Jajaran bulu
mata lentik Allen seolah siap untuk memerangkap dan memenjarakannya. Sedangkan
iris mata laki-laki itu pelan-pelan menenggelamkannya di kedalaman samudera
bening bernuansa abu-abu kehijauan. Genggaman laki-laki itu terasa mantap dan
hangat ketika keduanya berjabat tangan.
Tidak
terlalu banyak pernik soal bisnis yang didiskusikan James dan Victor. Tak butuh
waktu lama hingga semua berkas selesai ditandatangani. Dasarnya adalah rasa
saling percaya yang telah teruji selama bertahun-tahun. Victor tidak melihat
ada perbedaan antara James dengan penerusnya. Kedua orang paman dan keponakan
itu sama-sama sangat profesional. Membuat Victor merasa aman dan nyaman
berbisnis dengan Coffee Storage.
Yang menyiapkan semuanya
pastilah sekretaris muda yang sangat cerdas dan cekatan ini...
Victor
melirik snack yang dimakannya
sepanjang meeting kali ini. Kue-kue
dengan kelezatan paling eksotis yang pernah dirasakannya. Victor kemudian menatap Olivia yang tengah sibuk merapikan berkas.
Gadis yang sungguh-sungguh menarik. Ada sesuatu di dalam diri gadis itu yang
membuat anak laki-lakinya kesulitan untuk melepaskan tatapan dari sosok cantik
itu. Dalam hati, Victor tersenyum simpul.
Selesai
urusan bisnis, James kemudian mengajak Victor dan putranya keluar untuk
menikmati makan siang bersama di restoran yang ada di sebelah kantor. Tentu
saja Olivia diajak serta. James dan Victor berjalan di depan, sedangkan Olivia
dan Allen mengiringi di belakang.
“Sudah
lama bekerja di Coffee Storage,
Olivia?” celetuk Allen tiba-tiba.
“Baru
dua tahun,” senyum Olivia.
“Tapi
kulihat kamu sangat menguasai pekerjaan.”
“Itu
karena aku punya senior dan boss yang
sangat hebat.”
“Ah,
kamu merendah,” Allen tertawa ringan.
Olivia
mengedikkan bahu. Tersenyum lebar.
“Kamu
sendiri, Allen?” gadis itu balik bertanya. “Sudah berapa lama di sini?”
Allen
menoleh. Tersenyum. “Ini tahun keduaku.”
“Betah
di sini?”
“Oh...
Negeri ini begitu indah, Olivia. Mungkin aku tidak akan sebetah ini kalau hanya
terkungkung di Jakarta.”
“Really?” Olivia mengangkat alis. “Sudah
ke mana saja?”
“Daerah
kerjaku sampai di Papua, Natuna, dan Jambi. Di Jakarta hanya satu
minggu setiap periode. Minggu ini aku sedang libur. Baru kemarin kembali dari
Natuna.”
“Oh...,”
Olivia manggut-manggut.
Mereka
sudah sampai di restoran. Olivia yang sudah melakukan reservasi segera mengurus
boss dan para tamu. Baik Victor
maupun Allen sepakat untuk memesan menu Indonesia saja. Victor tertarik untuk
mencicipi sop buntut dan nasi rames. Sedangkan Allen dengan yakin memesan nasi
dan rawon terpisah, lengkap dengan telur asin, tempe goreng, dan kerupuk udang
tambahan. Bahkan ia berani memasukkan sambal ke dalam mangkuk rawonnya,
walaupun tidak terlalu banyak.
Victor
menatapnya dengan ngeri. Allen tergelak melihat ekspresi ayahnya.
“Di
Kanada tidak ada, Dad,” ujarnya. “Ini
enak. Percayalah.”
“Whatever...,” Victor mengibaskan tangan
kirinya.
James
dan Olivia tertawa ringan melihat keduanya.
Mereka
kemudian menikmati makan siang sambil mengobrol. Dari situ Olivia tahu bahwa
Allen yang saat ini berusia 32 tahun itu adalah seorang teknolog atau engineering technologist di Royal Calgary Petrogas Corp. Perusahaan
minyak dan gas bumi yang berpusat di Calgary – Kanada itu beroperasi di daerah-daerah
kaya minyak dan gas bumi di seluruh penjuru dunia.
Di
Indonesia, perusahaan itu menjadi mitra Pertamina dalam mengelola sebagian
ladang pertambangan di tiga blok eksplorasi gas dan minyak bumi yang ada di
Papua, Natuna, dan Jambi. Allen akan berada di kantor Jakarta selama
lima hari kerja dari Senin sampai Jumat, kemudian terbang ke field pada hari Minggunya. Secara
berkesinambungan selama tiga minggu berturut-turut akan berada di field – satu minggu per field – sebelum menikmati libur selama
satu minggu penuh. Begitulah seterusnya ritme kerjanya.
“Karena
itu kamu masih melajang, Al?” goda James.
Allen
tergelak. Menampakkan kerut ‘indah’ di sudut luar matanya.
“Tidak
banyak perempuan yang tahan dengan ritme kerja saya, Uncle,” ungkapnya kemudian.
“Sebelum
ini kamu ditempatkan di mana saja?”
“Saya
mengawali karir sebagai teknolog junior selama masing-masing satu tahun di
Venezuela dan Nigeria. Setelah itu ditarik ke kantor pusat Calgary selama satu
tahun, lalu kembali lagi ke Nigeria sebagai teknolog selama dua tahun. Kemudian
ditarik ke field Alaska, di sana tiga
tahun, masih bisa sering pulang ke Calgary, dan satu setengah tahun lalu
dipindahkan ke sini.”
“Berikutnya?”
senyum James.
Allen
menggeleng. “Saya belum tahu.”
James
manggut-manggut.
“Luken
kapan kembali, James?” Victor tiba-tiba saja mengalihkan topik pembicaraan.
“Akhir
minggu depan.”
“Ah,
aku tidak bisa bertemu dengannya,” gumam Victor.
“Kapan
kamu kembali ke Kanada?”
“Akhir
minggu ini, langsung dari Bali. Nanti sore kami berangkat ke Lombok,” sekilas
Victor mengarahkan tatapannya pada Allen. “Dia mengajakku berlibur.”
“Good boy,” James tersenyum lebar.
Allen
tergelak.
“Kalau
tidak dipaksa berlibur, mana mau Daddy melakukannya,
Uncle,” tukasnya.
Acara
makan siang itu berlangsung hingga menjelang pukul dua. Mereka kemudian kembali
ke kantor Coffee Storage karena mobil
Allen ditinggalkan di sana. Sepeninggal Victor dan Allen, James dan Olivia
kembali ke lantai atas.
“Kayaknya
kerjaan kita longgar banget, ya, Liv?” celetuk James, duduk kembali di kursi
Sandra, membuka tabletnya.
“Sudah
dikebut Pak Luken sebelum berangkat, Pak,” senyum Olivia.
Gadis
itu sibuk membereskan meja dan merapikan lemari berkas.
“Masih
ada kerjaan hari ini?”
“Sudah
selesai, sih, Pak. Nggak ada janji juga.”
James
manggut-manggut.
“Pak,
boleh tanya, nggak?”
“Ya?”
James mengalihkan tatapannya dari layar tablet. “Boleh,” angguknya. “Apa, Liv?”
Olivia
menutup lemari berkas, dan kembali ke kursinya. Diputarnya kursi itu hingga
menghadap ke arah James.
“Mr.
Byrne... sendirian saja ke sini? Nggak sama istrinya?”
“Oh,
enggak,” James menggeleng. “Istrinya sudah meninggal sekitar dua belas tahun
lalu. Victor nggak menikah lagi. Sibuk mengurus anak-anak dan usahanya.”
“Oh...
Pantesan, kok, sendirian.”
“Aku
beneran nggak tahu kalau anaknya ada di sini. Dia juga nggak pernah cerita.”
“Mungkin
Mr. Byrne pikir, Bapak sudah nggak di Jakarta lagi. Sudah nggak pegang Coffee Storage lagi.”
“Bisa
jadi... Bisa jadi...,” James mengangguk-angguk.
Olivia
kemudian menghadap laptopnya kembali. Memeriksa beberapa email yang baru masuk.
James juga tenggelam dalam selancar maya melalui tabletnya. Tepat pukul empat
sore, keduanya bersiap untuk pulang.
* * *
Allen Byrne...
Untuk
kesekian kalinya Olivia mengeja nama itu dalam hati, sekaligus menyimpan
baik-baik sosok itu di dalam lipatan-lipatan benaknya. Sebetulnya, ia tak
terlalu mengingat bagaimana gambaran detail seorang Allen Byrne. Ia hanya mampu
menerjemahkannya menjadi ‘seorang laki-laki berambut coklat yang sangat menarik,
menyenangkan, dan bermata abu-abu kehijauan yang sangat indah’.
Perasaan apa ini?
Olivia
menelan ludah. Memikirkan itu membuatnya mendadak saja merasa haus. Pelan-pelan
ia beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar tanpa suara. Segelas air dingin tampaknya
bisa mendamaikan kerongkongan dan hatinya. Ia kemudian turun ke dapur.
Ketika
melewati ruang baca, terdengar suara lembut musik klasik yang mengalun dari
dalam. Pintunya terbuka sedikit. Tapi tidak membuat Olivia berhasil mengintip
siapa yang berada di dalam.
Setelah
berpikir sejenak, Olivia memutuskan untuk mengurusi dulu rasa hausnya, baru
akan mencari tahu. Bila ditilik dari musiknya...
Sepertinya itu Papa,
pikirnya sambil menuangkan sebotol air dingin yang diambilnya dari kulkas ke
dalam sebuah gelas.
Setelah
puas meneguk isi gelas itu, Olivia memutuskan untuk mengusik siapa pun yang berada
di dalam ruang baca. Sudah hampir tengah malam. Kalaupun itu Prima, sudah
seharusnya laki-laki itu beristirahat karena besok masih hari kerja. Dengan
halus, diketuknya pintu tiga kali.
“Ya?”
Benar! Papa.
Pelan-pelan
Olivia mendorong pintu. Dilihatnya Prima masih duduk di belakang meja kerja.
Sedang menekuni layar laptop.
“Pa,
sudah jam segini,” tegur Olivia halus. “Kok, belum tidur?”
“Iya,”
Prima menoleh sekilas. “Banyak dokumen yang harus Papa pelajari. Kamu juga
belum tidur?”
Olivia
menarik sebuah ottoman dan
meletakkannya di seberang meja, tepat di hadapan Prima. Ia duduk di sana.
Menangkupkan kedua telapak tangannya di atas meja, dan menumpukan dagunya di
atas punggung tangan. Ditatapnya Prima.
“Pa...
Aku nggak mau, lho, Papa sakit lagi.”
Kali
ini, Prima benar-benar melepaskan perhatiannya dari layar laptop. Ia balas
menatap putrinya. Tersenyum.
“Ya,”
angguk Prima.
Laki-laki
itu kemudian mematikan laptop. Olivia masih menatapnya. Prima merasa terusik
karena sorot mata itu.
“Ada
apa?” tanyanya dengan nada lembut sambil menutup laptop yang sudah mati
sempurna. “Kenapa selarut ini kamu juga belum tidur?”
“Mm...,”
tatapan Olivia tampak bimbang. “Aku tadi... bertemu seseorang,” ia mengerjapkan
mata. “Dia... menarik. Sangat menarik. Aku... belum pernah merasa seperti ini
sebelumnya.”
“Seperti
apa orangnya?” Prima menanggapinya dengan sangat sabar.
“Namanya
Allen Byrne. Dia...”
Olivia
menuturkan semuanya. Tak tertinggal satu huruf pun. Prima mendengarkan tanpa
menyela. Ketika Olivia mengakhiri ceritanya, dengan jelas Prima
melihat pendar-pendar indah memenuhi tatapan Olivia. Seketika ia paham.
“Kalian
saling bertukar kontak?” tanyanya kemudian.
Seketika
pendar dalam mata Olivia padam. Seolah disadarkan akan sesuatu. Ia kemudian
menggeleng.
“Nggak
sempat,” bisiknya.
Prima
beranjak dan berjalan memutari meja. Olivia memutar arah duduknya. Prima
menarik sebuah ottoman ke dekat Olivia,
kemudian duduk. Tepat berhadapan dengan Olivia. Dengan halus dijangkaunya kedua
telapak tangan gadis itu, dan digenggamnya hangat.
“Liv,
dengar Papa,” ucapnya lembut. “Kamu berhak untuk berteman dengan siapa pun.
Berhak untuk punya perasaan positif apa pun, terhadap siapa pun. Seperti yang saat
ini sedang kamu rasakan. Tapi satu pesan Papa, Nak. Jangan lebih dulu membiarkan
hatimu melambung terlalu tinggi ketika semuanya belum jelas. Supaya nanti kalau
hasilnya tidak sesuai harapan, kamu tidak terlalu sakit karena harus terbanting
dari ketinggian. Boleh memelihara harapan. Sangat boleh. Bahkan harus. Hanya
saja jangan sampai kehilangan sikap realistis. Mengerti maksud Papa?”
Perlu
waktu beberapa detik sebelum gadis itu mengangguk. Prima menarik napas lega.
Dilepaskannya genggaman tangannya. Sebagai gantinya ia mengelus kepala Olivia
dengan penuh kasih sayang.
“Papa
selalu berharap dan meminta yang terbaik untukmu,” bisiknya. “Untuk semua
anak-anak Papa. Seandainya kamu butuh tempat bersandar, ada Papa di sini. Siap
memelukmu.”
Olivia
mengangguk dengan mata mengaca, tapi bibirnya mengukir senyum.
“Terima
kasih, Pa,” bisiknya.
“Sekarang
kembali ke kamar, tidur, bermimpilah yang indah,” Prima berdiri dan menarik
tangan Olivia.
Olivia
mendongak sejenak sebelum berdiri.
“Papa
juga tidur, istirahat,” timpalnya.
“Iya.
Ayo!” Prima merengkuh bahu putri sulungnya.
Setelah
mematikan CD player, ceiling fan, dan
lampu, keduanya keluar. Sambil berbarengan naik ke lantai atas, Prima
menyeletuk. Terdengar sambil lalu.
“Siapa
tadi namanya?”
“Allen
Byrne,” bisik Olivia.
“Burne? Birn?”
“Byrne.
Be-ye-er-en-e.”
“Oh...,”
sahut Prima sambil menguap.
* * *
Dalam
keheningan lewat tengah malam, sambil duduk bersandar di kepala ranjang, laki-laki
itu masih menatap layar ponselnya. Terlihat ragu-ragu sejenak sebelum
memantapkan hati untuk mengetikkan sederet huruf di kotak pencarian google.
alan byrne royal calgary
canada linkedin
Enter.
Allen Byrne │ LinkedIn
https://www.linkedin.com/.../
...
Indonesia – Engineering Technologist at Royal Calgary Petrogas Corp. – Royal
Calgary Petrogas Corp.
View Allen
Byrne’s professional profile on LinkedIn
...
Nama
yang muncul paling atas segera menarik perhatiannya. Ternyata Allen, bukan Alan.
Membuat Prima memutuskan untuk melihat profil itu melalui akunnya di LinkedIn.
Dan selanjutnya ia makin memahami apa yang dirasakan putrinya. Ditatapnya foto
profil Allen Byrne. Sesuai dengan yang digambarkan Olivia. Terutama tatapan
matanya yang terlihat begitu teduh dan ramah.
Papa hanya berharap yang
terbaik, Nak...
Prima
mengembalikan layar ponselnya ke posisi Home
dan meletakkannya ke nakas. Kemudian membaringkan tubuh penatnya di sebelah
Arlena, dan memejamkan mata.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
Aq langsung bayangno Allen koyok Bradley Cooper mb Lis tapie versi mata abu"-ijo.
BalasHapusGood post mbak
BalasHapus