Enam Belas
Senja sudah gelap sempurna menaungi taman kecil itu. Sasya seolah dilanda deja vu. Terperangkap sejenak dalam situasi yang sama seperti hari Sabtu sore minggu lalu. Bedanya, saat itu Sasya tidak tahu apa yang akan ia hadapi, sedangkan hari ini kartu truf ada di tangannya.
Sasya menerima es puter roti dari tangan Ronan sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Ada dua rasa es puter di dalam lipatan roti tawar itu. Tape ketan hitam, dan santan-nangka. Sungguh-sungguh paduan kelezatan yang manis sempurna. Bahkan mampu mengendurkan perasaan tegang yang masih menyelimuti hati Sasya.
Sekilas ia melirik laki-laki yang duduk di sebelah kirinya. Tengah menikmati es puter yang sama. Sasya tak tahu apa yang ada di benak laki-laki itu. Tapi rasa-rasanya, ia sudah siap bicara sekarang.
“Mas...,” gumamnya.
“Ya?” Ronan menoleh.
“Mm... Aku minta maaf atas sikapku Sabtu lalu, dan selama seminggu ini.”
Hening sejenak.
Hening sejenak.
“Aku nggak akan memaafkanmu...”
Sasya menoleh cepat.
“... karena kamu sama sekali nggak bersalah,” Ronan menggeleng, balas menatap gadis itu. Tersenyum.
Sasya mengangkat kedua sudut bibirnya sedikit. Kembali mengalihkan tatapannya ke depan.
“Aku... hanya perlu waktu untuk memahami semuanya,” sambungnya kemudian. “Secara menyeluruh. Termasuk memahami hati dan keinginanku sendiri."
Sasya menghela napas sejenak. Sedangkan Ronan diam. Menunggu dengan sabar hingga Sasya mengungkapkan semua yang ada di hatinya.
"Jelas fase denial itu ada," lanjut Sasya. Lirih. "Aku nggak mau mengingkarinya. Tapi ketika aku berkali-kali bertanya ‘why?’ pada diriku sendiri, jawabannya selalu berbalik, ‘why not?’. Aku nggak tahu apa yang sudah dibicarakan Tante Wanda dengan Mama. Yang jelas, Mama memahami dan bisa memberiku pengertian. Itu membuatku sadar bahwa sesuatu hal yang terjadi itu bukan suatu kebetulan. Semua ada tujuannya. Juga pertemuan kita, perkenalan kita, kedekatan kita.”
Sasya menghela napas sejenak. Sedangkan Ronan diam. Menunggu dengan sabar hingga Sasya mengungkapkan semua yang ada di hatinya.
"Jelas fase denial itu ada," lanjut Sasya. Lirih. "Aku nggak mau mengingkarinya. Tapi ketika aku berkali-kali bertanya ‘why?’ pada diriku sendiri, jawabannya selalu berbalik, ‘why not?’. Aku nggak tahu apa yang sudah dibicarakan Tante Wanda dengan Mama. Yang jelas, Mama memahami dan bisa memberiku pengertian. Itu membuatku sadar bahwa sesuatu hal yang terjadi itu bukan suatu kebetulan. Semua ada tujuannya. Juga pertemuan kita, perkenalan kita, kedekatan kita.”
Sasya berhenti sejenak. Merasa sayang melihat es puter yang mulai mencair dan menetes sedikit ke lantai paving stone di bawah kakinya. Maka ia memutuskan untuk menghabiskan dulu esnya, baru kemudian melanjutkan bicara.
“Aku... memahami kondisi Mas Ronan. Sepenuhnya. Nggak mudah. Dan pasti nggak mudah juga bagi Mas Ronan untuk menghadapinya. Tapi aku memperoleh pemahaman itu secara benar. Jadi aku memutuskan... why not? Kalau dalam perjalanannya nanti memang kita nggak berjodoh, aku harap bukan karena orientasi yang Mas Ronan miliki. Hanya soal... yah, nggak jodoh saja. Tapi... kita nggak akan tahu kalau nggak mencoba, kan? Jadi... yah...,” Sasya mengangkat bahu. “Saat ini aku nggak mau memikirkan soal itu.”
Hening sejenak sebelum Ronan berucap lirih, “Soal apa?”
“Soal... nggak jodoh,” Sasya tertunduk.
Ronan tertegun. Berusaha menyimpulkan apa yang diinginkan Sasya.
Ronan tertegun. Berusaha menyimpulkan apa yang diinginkan Sasya.
“Jadi... maukah kamu jadi kekasihku, Sya?" ucapnya kemudian. "Calon pendampingku? Belahan jiwaku? Ibu anak-anakku kelak?”
“Nope,” Sasya menggeleng.
Ronan menoleh cepat. Maksudnya?
“Aku tidak mau.”
What the...
“Tidak mau menolak.”
Ronan tercenung sejenak sebelum memahami seutuhnya jawaban Sasya. Kemudian ia tersenyum. Lega. Digenggamnya sebelah tangan Sasya. Erat dan hangat.
* * *
Tujuh Belas
“Aku sudah nggak bisa kayak gini lagi,” gerutu Ronan sambil meluncurkan mobilnya menjauhi sebuah rumah di daerah elit.
Mereka sudah satu setengah tahun menjalin hubungan yang istimewa dan menghangatkan hati. Sasya makin mengenal Ronan. Tak jauh dari yang selama ini dilihat dan dikenalnya. Sementara Ronan masih harus membiasakan diri menemukan berbagai keajaiban Sasya. Tapi ia senang menjalaninya. Sasya membuat hidupnya jadi jauh lebih berwarna. Sedangkan Sasya, ia merasa bahwa Ronan bisa membantunya meredam semua kejahilan dan perilaku absurdnya. Saling melengkapi, itu yang mereka rasakan dan lakukan.
Mereka sudah satu setengah tahun menjalin hubungan yang istimewa dan menghangatkan hati. Sasya makin mengenal Ronan. Tak jauh dari yang selama ini dilihat dan dikenalnya. Sementara Ronan masih harus membiasakan diri menemukan berbagai keajaiban Sasya. Tapi ia senang menjalaninya. Sasya membuat hidupnya jadi jauh lebih berwarna. Sedangkan Sasya, ia merasa bahwa Ronan bisa membantunya meredam semua kejahilan dan perilaku absurdnya. Saling melengkapi, itu yang mereka rasakan dan lakukan.
“Kayak gini gimana?” sahut Sasya dari arah jok belakang. Terdengar begitu santai.
“Deg-degan selama kamu ikut orang lain jadi ART infal.” (Silakan klik.)
Sasya terkikik, sementara Wanda mengulum senyum.
“Beliaunya baik, kok,” kilah Sasya. “Cuma anaknya saja yang kayak Mak Lampir.”
Ronan menggelengkan kepala dengan wajah gemas. Tentu saja ia tahu seperti apa Diana, yang disebut Sasya sebagai Mak Lampir itu.
“Pokoknya aku nggak mau tahu, ya! Selesaikan thesis-mu secepatnya, atau...”
“What?” suara Sasya penuh nada meledek.
“Atau aku pacari si Diana.”
Sasya terbahak. Dicoleknya bahu Wanda. “Mau pacaran sama Mak Lampir, dia, Ma.”
Wanda pun ikut tergelak. “Mama ini yang ogah punya menantu kayak dia. Bangeeet!”
Ronan pun mati kutu dikeroyok dua perempuan tercintanya.
* * *
Beberapa bulan kemudian...
“Waow...,” Dennis menatap sekelilingnya dengan sorot mata tak percaya.
“Waow...,” Dennis menatap sekelilingnya dengan sorot mata tak percaya.
Ruang berukuran 3x5 meter, dengan paduan warna biru, kuning cerah, dan putih itu berisi sebuah ranjang rendah selebar 120 cm yang diapit dua buah nakas, dan dua buah lemari baju berukuran sedang. Lantainya dialasi parket kayu berwarna coklat kekuningan yang terasa hangat di telapak kaki. Pada sudut dekat jendela berterali besi tempa, yang membentuk sulur-sulur artistik, yang mengarah ke taman belakang, ada area berkarpet yang dilengkapi dua buah bantal besar. Tepat pada bagian tengah langit-langit ruangan tergantung sebuah kipas angin besar. Meskipun demikian, kamar itu masih dilengkapi juga dengan sebuah pendingin ruangan.
“Ini kamarmu sekarang,” Sasya mengelus kepala perjaka kecil itu. “Nanti kita tata barang-barangmu di sini, ya? Biar nanti Yanda yang bawa naik ke sini. Di sebelah, kamar Ela. Di sebelahnya lagi, kamar Yanda sama Ibun. Di seberang, ada ruang belajar dan ruang bermain, jadi satu sama ruang kerja Yanda dan Ibun, dan ruang baca.”
Dennis tak mampu berkata apa-apa. Jelas sekali bahwa ia kini memiliki ruangan sendiri untuk tidur. Pun Ela. Tak harus berbagi satu ruangan besar dengan beberapa temannya seperti di panti asuhan.
“Makasih, Bun..., “ hanya itu yang ia mampu bisikkan.
Sasya memeluknya dengan rasa haru yang terasa menyekat leher.
“Tengok kamar Ela, yuk!” ucap Sasya kemudian, dengan suara bergetar.
Ketika mereka melongok ke kamar sebelah, Ronan tengah duduk di atas sebuah bantal besar di atas karpet. Membelakangi pintu, menghadap ke jendela berterali yang juga mengarah ke taman belakang. Terlihat sendirian. Isi dan susunan dalam kamar itu sama persis dengan kamar sebelah. Hanya saja letaknya inversi. Menyesuaikan dengan posisi pintu dan jendela yang berada tepat di seberang pintu. Warnanya pun beda. Paduan warna putih, oranye pastel, dan kuning.
“Lho, Nda, Ela mana?” Sasya mengerutkan kening.
Ronan menoleh. Sebuah kepala kecil kemudian menyembul dari arah depan tubuh Ronan. Sasya seketika tertawa melihatnya. Rupanya sedari tadi Ronan duduk bersila sambil memangku Ela.
“Oh... Ternyata Ela ngumpet di situ, yaaa?”
Ela terkekeh. Sasya dan Dennis menghampiri Ronan dan Ela. Ronan menggeser sedikit posisi duduknya hingga Dennis duduk di sebelahnya, dan Sasya di sebelah Dennis. Kempatnya masih menghadap ke arah jendela. Sasya mengulurkan tangan ke arah Ela, dan gadis kecil itu kemudian pindah duduk ke pangkuannya. Dipeluknya Ela dengan sayang. Ronan merengkuh bahu Dennis.
“Nah, ini adalah rumah kita sekarang,” ujar Ronan, mengelus kepala Dennis yang kini sudah berusia sembilan tahun. Sedangkan Ela sudah menjelma jadi gadis kecil imut cantik berusia menjelang tiga tahun.
“Dennis senang?” senyum Sasya.
“Banget!” perjaka kecil itu menjawab mantap. “Apalagi masih bisa sama-sama Ela.”
“Ela senang?” bisik Sasya.
Gadis kecil itu menjawabnya dengan sebuah pelukan di leher Sasya. “Ela sayang Ibun, sayang Yanda,” ucapnya dengan suara yang terdengar menggemaskan..
Sasya mencium pipi bulat Ela. “Ibun juga sayang Ela dan Abang Dennis.”
Ronan kemudian menunjuk ke arah bawah, ke arah dua daun pintu di dinding seberang. “Nah, itu pintu yang kiri, yang warnanya coklat, bukanya ke rumah Oma sama Opa. Kalau yang di kanan, yang warnanya hijau, itu ke rumah Uti, Kakung, dan Kak Gaby.”
Sasya tersenyum dikulum. Gaby menolak mentah-mentah ketika kedua keponakan barunya itu hendak dibiasakan memanggilnya ‘tante’.
“Ogah!” seru Gaby. “Dari kemarin juga Dennis sama Ela biasa panggil aku kakak. Lagian tua banget aku dipanggil tante? Pokoknya tetep kakak!”
Secara hukum, Dennis dan Ela memang belum resmi diadopsi oleh Sasya dan Ronan. Legalitasnya sedang diurus. Tapi pihak panti dan Dinas Sosial mengijinkan Sasya dan Ronan mulai mengasuh Dennis dan Ela, walaupun pernikahan keduanya belum genap berjalan dua bulan. Mereka tidak menutup mata terhadap ikatan emosional keempatnya yang sudah terjalin cukup lama, sejak Ela masih bayi berusia sekian bulan.
Kedua anak itu pun sudah mulai dibiasakan untuk mengubah panggilan dari ‘papa’ dan ‘tante’ menjadi ‘yanda’ dan ‘ibun’ begitu Ronan dan Sasya resmi menjadi sepasang kekasih. Kedua anak itu pula yang membuat ikatan emosional antara Sasya dan Ronan makin kuat sehingga keduanya sepakat untuk memantapkan hubungan dan lebih saling memahami. Fokus mereka adalah pernikahan, dan mengadopsi kedua abang-adik itu secara resmi.
“Oh, iya!” seru Sasya tiba-tiba. “Ibun, kan, punya puding di kulkas. Namanya flan. Makan, yuk!”
“Asyik!” Ronan mengangkat kedua tangannya dengan wajah gembira. Laki-laki itu kemudian menoleh ke arah Dennis. “Kamu pasti mau-mau lagi setelah rasain flan buatan Ibun.”
“Masa?” perjaka kecil itu tergelak.
“Ayo, kita buktikan!” Ronan berdiri sambil menarik tangan Dennis.
Beriringan mereka berempat turun ke lantai bawah dan menuju ke sebuah ruangan luas yang membuka ke arah taman belakang. Tempat dapur dan ruang makan terangkai jadi satu. Ada dinding dan pintu geser kaca yang membatasi ruang itu dengan teras belakang. Ronan membuka pintu geser itu. Segera saja ada embusan angin sehingga ruangan itu jadi terasa lebih segar.
Ronan mengangkat Ela dan mendudukkan gadis kecil itu di pangkuannya. Dennis duduk di seberang Ronan. Mereka mengelilingi meja makan mungil yang merupakan ujung island berbentuk huruf L itu. Ada meja yang lebih besar sebenarnya, tapi rasanya lebih intim bila menikmati makanan bersama di sekeliling meja yang lebih kecil.
Segera saja caramel flan dingin dengan tambahan irisan stoberi dan jeruk mandarin terhidang di meja, di depan mereka masing-masing. Wajah Dennis terlihat ragu-ragu ketika menyendok flan dan memasukkannya ke dalam mulut. Tapi ekspresi itu berubah beberapa detik kemudian. Ia mulai menyendok dengan penuh semangat dan memasukkannya ke dalam mulut. Lagi, lagi, dan lagi.
“Masih ada flan-nya, Bun?” celetuk Ronan.
“Masih, tapi baru boleh makan flan lagi setelah makan siang,” tegas Sasya.
“Enak?” Ronan mencium puncak kepala Ela.
“He eh,” gadis kecil yang sudah terampil makan sendiri itu mengangguk.
“Mau lagi?” goda Ronan.
“He eh,” Ela mengangguk lagi.
“Tapi nanti habis makan, ya?” timpal Sasya.
“He eh.”
Kepatuhan itu membuat Ronan gemas. Dihujaninya Ela dengan ciuman bertubi-tubi di pipi. Membuat gadis mungil itu terkekeh kegelian. Sasya dan Dennis sama-sama tergelak melihatnya.
“Mm... Anak Yanda yang paling cantik!” Ronan mencium lagi pipi Ela.
Ada yang terasa meleleh di hati Sasya. Seingatnya, kasih sayang seperti itulah yang pernah dan selalu ia terima dari ayahnya. Kasih sayang yang terasa begitu hangat sekaligus menyejukkan hati.
Tatapan Ronan tiba-tiba saja menyergapnya. Masih menimbulkan debar liar yang sulit dikendalikan di dalam dada. Tapi laki-laki itu tersenyum. Dengan jelas Sasya menangkap pesan yang melompat keluar dari kedalaman mata Ronan.
Tatapan Ronan tiba-tiba saja menyergapnya. Masih menimbulkan debar liar yang sulit dikendalikan di dalam dada. Tapi laki-laki itu tersenyum. Dengan jelas Sasya menangkap pesan yang melompat keluar dari kedalaman mata Ronan.
Aku mencintaimu. Selalu. Kemarin, kini, besok, selamanya. Terima kasih sudah menerima diriku apa adanya...
* * *
Epilog
Gadis kecil cantik berpipi bulat berambut kriwil yang kini sudah berusia enam tahun itu duduk manis menghadap ke arah island. Ia selalu senang memperhatikan ibunya membuat flan. Sejak ia mengenal puding bernama flan itu, rasanya ia selalu ingin menikmatinya lagi, lagi, dan lagi. Sama persis seperti ayah dan abangnya.
Ketika ibunya mematikan kompor sambil tetap mengaduk isi panci, Ela meloncat turun dari kursi. Tanpa disuruh, ia menyiapkan satu panci lagi dan sebuah saringan kawat halus.
“Owh... Anak pintar,” mata Sasya berkelip melihatnya. “Sudah cantik, pintar pula! Anak siapa, siiih?”
“Anak Ibun sama Yanda,” jawabnya manis.
Seketika Sasya menghadiahinya sebuah kecupan hangat di kening. Saat itu Ronan muncul di dapur. Sasya menoleh sekilas.
“Dennis mana, Nda?” tanyanya.
“Lagi mandi,” jawab Ronan.
Laki-laki itu kemudian duduk di sebelah Ela.
“Eh, tahu nggak, Nda, siapa yang siapin panci sama saringan ini?” Sasya menatap Ronan dengan mata dipenuhi binar.
“Hm...,” Ronan pura-pura berpikir keras. “Siapa, yaaa? Kayaknya ada malaikat kecil yang turun dari langit, terus bantuin Ibun.”
Terdengar suara cekikikan dari arah sebelah Ronan.
“Malaikat itu cantiiik sekali,” Ronan pura-pura tidak peduli terhadap suara cekikikan lucu itu. “Rambutnya kriwil, dan sukaaa sekali flan. Sampai flan Yanda pun dihabiskannya!”
Tawa cekikikan itu berubah jadi gelak tawa lepas yang menggelitik telinga. Dan Ronan tidak tahan lagi untuk tidak memberi gadis kecil itu ciuman bertubi-tubi di pipi. Sasya tergelak menatapnya.
Sambil menunggu adonan flan jadi lebih dingin, Sasya dengan cekatan menyiapkan makan malam mereka. Beberapa kotak makanan yang dibawanya dari EuropeSky dipanaskannya di dalam microwave. Ronan menyiapkan piring dan peralatan makan, dibantu Ela. Setelah selesai, Sasya menatap Ela.
“Cantik, tolong, panggil Abang, ya?” ujarnya. “Makasiiih...”
Gadis kecil itu mengangguk patuh dan setengah berlari mencari sang abang yang masih ada di lantai atas. Begitu Ela menghilang dari pandangan, Ronan mendekati Sasya yang mengaduk lagi isi pancinya. Dipeluknya perempuan itu dari belakang.
“Sudah berporsi-porsi flan pernah masuk ke perutku,” bisik Ronan di telinga Sasya. “Tapi belum ada yang rasanya sama dengan flan buatanmu yang pertama kali kurasakan dulu.”
“Memangnya kenapa flan yang itu?” Sasya menoleh cepat.
“Bikin ketagihan, rasanya lain.”
Ronan buru-buru melepaskan pelukannya ketika mendengar suara percakapan kedua anak mereka yang kian dekat.
“Masa, sih?” Sasya mengerutkan kening sambil menyaring adonan flan.
“Yang kuingat, itu adalah flan paling enak yang pernah kurasakan,” Ronan menatap Sasya dari seberang island.
Dennis dan Ela muncul. Bergaya bak gandengan gerbong dan lokomotif kereta, dengan Ela berada di depan. Tangan Dennis menyetir kedua bahu adiknya. ABG berusia dua belas tahun itu kemudian membuka pintu kulkas, mengambil sebotol besar air dingin, dan menuangkan isinya ke dalam empat gelas kosong di atas meja makan. Tugas yang dikerjakannya dengan senang hati.
“Bikin yang seperti itu lagi, dong...,” ujar Ronan.
Sasya kembali mengerutkan kening. Diingat-ingatnya peristiwa itu. Flan yang sebetulnya kurang gurih karena...
“Ah! Aku ingat sekarang!” Sasya menjentikkan jari tengah dan jempolnya.
Dengan langkah lebar perempuan itu menuju ke arah kulkas, membukanya, mengambil sesuatu, kemudian menutupnya lagi. Diraihnya sebuah mangkuk keramik kecil dan parutan halus.
“Ini yang kutambahkan waktu itu,” Sasya nyengir sambil memarut bahan itu. Sepotong keju cheddar. “Gara-gara kurang gurih saat aku cicipin.”
Ronan terbengong melihatnya. Sesederhana itu?
Dengan cepat Sasya menyelesaikan proses membuat caramel flan termasuk menambahkan keju cheddar parut ke dalamnya, mengaduk rata, dan menuangkan ke cetakan. Setelah memasukkan loyang yang sudah berisi air hangat dan mangkuk-mangkuk aluminium berisi adonan flan ke dalam oven, ia menggiring orang-orang tercintanya ke meja makan. Mereka pun duduk mengelilingi meja bundar itu.
“Aku yang pimpin doa, ya?” Ela mengacungkan telunjuk mungilnya.
Semua menyetujui dengan senang hati. Sebuah doa sederhana tapi berasal dari dalam hati yang murni. Ada yang serasa mendesak keluar dari dalam pejam mata Sasya ketika ada gema lirih kalimat gadis kecilnya.
“Terima kasih, Tuhan... Ela dan Abang sudah dikasih Yanda yang baiiik dan Ibun yang bisa bikin flan paling enaaak sedunia, dan sayaaang banget sama Ela dan Abang...”
* * *
Mata Ronan terbuka ketika ponselnya bergetar. Sambil mengerjapkan mata, diraihnya ponsel itu dan mematikan alarmnya. Pukul satu dini hari. Pelan ia menoleh, mendapati Sasya masih tertidur pulas di sebelahnya. Dengan hati-hati ia menyingkapkan selimut dan turun dari ranjang. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Ia menyelinap keluar dari kamar dengan sedikit berjingkat.
Dalam hitungan beberapa belas detik ia sudah berada di sana. Satu-satunya tujuannya saat ini. Hal yang menyebabkan ia merasa harus menyetel alarm ponselnya pada pukul satu dini hari. Pelan-pelan ia membuka pintu benda di hadapannya. Sejenak kemudian matanya berbinar. Ada belasan mangkuk aluminium tertata rapi di dalam kulkas besar itu. Tangannya terjulur, mengambil salah satu di antaranya, dan sekotak buah siap santap.
Tanpa suara, ditutupnya kembali pintu kulkas, lalu menyalakan lampu. Diambilnya sebuah baskom kecil dan diisinya dengan air panas dan dingin.
Perlu kesabaran lebih untuk sebuah kenikmatan.
Ronan meringis jahil sambil merendam mangkuk itu di dalam baskom yang sudah berisi air hangat. Sambil menunggu, ia mengambil sebuah piring dan sendok kecil.
Lima menit kemudian ia sudah berhasil membalik flan itu di atas piring kecil. Menggunung mulus sempurna. Membuat air liurnya hampir menetes. Ditambahkannya beberapa sendok campuran aneka macam buah beri ke dalam piring. Ia masih ingat untuk mengembalikan kotak buah itu ke dalam kulkas sebelum duduk di depan ujung island.
Dan ia mulai menyendok. Suapan pertama...
Ini dia!
Ia menemukan hal yang sudah lama didambakannya. Caramel flan persis seperti yang dulu itu. Suapan kedua...
Benar-benar otentik!
Suapan ketiga...
Astaga... Jangan-jangan begini rasanya berada di Surga...
Pikirannya mulai melantur. Suapan keempat...
“Ehem!”
Gema deheman itu membuat Ronan hampir saja jatuh terjengkang. Ia menoleh cepat. Mendapati Sasya berdiri tak jauh darinya, mengamati kelakuannya dengan tangan terlipat di dada sambil menggelengkan kepala. Ronan meringis malu. Sasya mendekat dengan wajah terlihat geli. Ia duduk di sebelah Ronan.
“Nggak sabar tunggu besok?” ditatapnya Ronan seperti seorang ibu menatap anak balitanya yang tertangkap basah mengambil segenggam permen dari dalam stoples tanpa izin.
Ronan kembali meringis. “Habisnya, aku penasaran, Bun...”
Sasya terkikik geli. Dielusnya lengan Ronan.
“Nda... Nda...,” Sasya menggelengkan kepala. “Kalau lihat Yanda kayak gini, rasa-rasanya aku kayak punya tiga anak.”
“Hehehe...,” Ronan terkekeh sambil terus menyantap flan-nya sampai habis.
“Enak?”
“Ini yang kumaksud,” Ronan menoleh. Menatap Sasya tepat pada manik mata. “Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku menemukan kembali caramel flan ini.”
“Sama seperti yang itu?” senyum Sasya.
Ronan mengangguk. “Persis.”
Sasya menghela napas lega.
“Seterusnya, bikin caramel flan-nya seperti ini saja, Bun,” gumam Ronan.
“Anak-anak belum tentu suka,” kilah Sasya.
“Pasti suka! Percaya, deh, sama aku.”
“Kalau ternyata nggak suka?”
“Hukum aku,” tatapan Ronan terlihat menggoda. “Cium aku sepuluh kali.”
“Hahaha...,” Sasya tergelak.
“Kalau anak-anak ternyata suka, Ibun yang harus kuhukum,” Ronan tersenyum jahil.
“Dih!” Sasya mencebik.
“Kucium Ibun seratus kali setiap hari sampai selamanya.”
Sasya tergelak lagi.
Siapa bilang cuma ia yang absurd dan ajaib? Ronan ternyata juga seperti itu! Malah terkadang lebih parah.
* * * * *
S.E.L.E.S.A.I
Catatan
:
1. Terima
kasih sebesar-besarnya saya ucapkan kepada semua teman yang sudah bersedia membantu
penulisan cerbung ini :
- Josephine
Kartika Sari
- Mas
Joko P.
- Mbak
Indriati See
- Kristal
Pancarwengi
- Mas Danny M.
- Heiz R.
- Mas Danny M.
- Heiz R.
- Thong
Leeann
- Bunda
Enggar
2. Prolong
cerbung baru berjudul “Infinity” akan tayang pada hari Kamis, 22 Juni 2017. Selanjutnya
akan menyapa para Pembaca setiap hari Senin dan Kamis.
3. Terima
kasih banyak kepada para pembaca dan pengunjung blog ini.
Joss gandhos, Mbak Lis... tambah bagus karya2nya.Kutunggu selaku tulisan Mbak Lis yg lain..
BalasHapusSelalu nunggu yg selanjutnya
BalasHapusAq sukak aq sukak
BalasHapusaq sukaaaaaak endinge !!!!!
good post mbak
BalasHapusTerharu. Dan keluarga yang ada di prolog itu memang keluarga Pak Dosen, ya? Kerreeennn..!!!
BalasHapusSenengnya baca2 fiksie mbak Lizz itu rata2 happy ending,mresep dihati,menghibur. Infinitynya ditunggu banget mbak Lizz.
BalasHapusNa ini asik.. Nanti sore bs buka celengan cerbung. Pas tamat.
BalasHapusMewek krn terharu.... ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusLanjut cerbung baru...
Wanyik jenengku disebut rwek wkkkkkkk
BalasHapusYou're welcome nya. Seneng isok terlibat masio mek sa'crit.
Mben ta'ngisruh meneh yoh jok dike'i sungu wkkkkkkkk
Sampai lupa mandi, ngejar selesai baca hi hi hi
BalasHapus