Lima Belas
Ketika anak-anak sudah duduk manis di ruang makan untuk menikmati makan siang, Ronan menyingkir ke kantor Wanda. Tapi dilihatnya ibunya tengah berbincang dengan Trianti. Ia ragu-ragu sejenak sebelum menyingkir lagi ke lokal bayi. Di sana, ia menjumpai beberapa orang pengasuh sedang menikmati makan siang.
“Makan, Mas Ronan,” ujar salah seorang di antara mereka.
“Iya, Mbak, silakan,” senyum Ronan.
Ia kemudian meneruskan langkah ke kamar bayi. Ada deretan selusin box bayi di sana. Sebagian memang kosong karena saat ini hanya ada enam orang bayi yang dirawat di sana. Minggu lalu masih tujuh orang. Tapi beberapa hari lalu ada seorang yang sudah dibawa pulang pengadopsinya.
Bayi-bayi yang terbaring di boksnya masing-masing tampak terlelap. Terlihat begitu tenang setelah kenyang menyusu. Tapi ketika ia sampai pada boks terakhir, dilihatnya penghuni boks itu tidak tidur.
“Lho... Kamu ngapain?” bisik Ronan sambil meraih bayi yang tengah menggigit-gigit gulingnya itu.
Digendongnya bayi itu. Sedikit merengek sambil memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut.
“Kamu masih lapar?” bisik Ronan lagi.
Dengan langkah panjang-panjang, laki-laki itu mendekati para pengasuh yang tengah berkumpul.
“Mbak, ini Reza nggak mau tidur. Gigit-gigit guling. Masih lapar apa, ya?” tanyanya kemudian.
“Oh... Mau tumbuh gigi itu, Mas,” jawab Vera. “Sebentar, saya ambilkan gigitannya.”
Perempuan itu beranjak ke arah kulkas di dekatnya dan mengambil sebuah theeter silikon empuk berbentuk rangkaian buah anggur yang terbungkus plastik. Sudah disterilkan sebelum dikemas dan dimasukkan ke dalam kulkas. Segera saja Reza menggigit-gigit benda dingin itu. Terlihat asyik dan nyaman, hingga ia tertidur dalam gendongan Ronan tak lama kemudian. Pelan-pelan Ronan mengembalikannya ke dalam boks.
Ketika hendak beranjak, dilihatnya bayi di sebelah boks Reza menggeliat dan membuka mata. Ronan menghampirinya. Bayi cantik itu mengembangkan senyum walaupun masih terlihat mengantuk. Ronan mengulurkan tangan, meraih, dan menggendongnya.
“Oh, Ela juga sudah bangun,” gumam Ronan. Mencium pipi bulat bayi itu dan membawanya keluar dari ruangan.
Seorang pengasuh sudah siap dengan beberapa buah biskuit di tangannya. Ela seketika terlihat bersemangat meraihnya. Pengasuh itu tertawa dan menowel pipi Ela dengan gemas. Sebuah biskuit berpindah ke tangan Ela, sementara lainnya berada dalam genggaman Ronan.
“Aku bawa keluar dulu, Mbak,” ujar Ronan. “Ke gazebo, ya.”
“Sebentar, Mas, saya ganti dulu diapers-nya.”
Setelah urusan itu selesai, Ronan membawa Ela ke gazebo di dekat kebun. Mendung terlihat menutupi langit. Mengurangi hawa panas yang jatuh ke bumi. Angin yang bertiup makin menyejukkan udara siang itu. Lantai keramik gazebo kecil terasa dingin. Setelah menyapu lantainya, Ronan melepaskan Ela. Membiarkan bayi montok itu merangkak kian kemari dengan lincah. Ela akan mendatangi Ronan kalau biskuit di tangannya habis.
Beberapa belas menit kemudian, Dennis datang dengan membawa sebotol sari jeruk, sebotol susu, dan sebungkus kecil tisu basah. Ela merangkak cepat mendatangi abangnya. Bayi itu kemudian meraih botol yang ada di tangan Dennis. Perjaka kecil itu mengulurkan botol berisi sari jeruk. Begitu saja Ela berbaring di lantai dan mulai mengedot. Ronan sampai harus meraih dan memindahkannya ke pangkuan. Dengan lembut dibersihkannya tangan dan sekitar mulut Ela yang belepotan sisa biskuit dengan tisu basah.
“Papa Ronan, sama Uti Wanda disuruh makan dulu, tuh,” celetuk Dennis.
“Kamu sudah makan?” tangan Ronan mengelus kepala Dennis.
“Sudah.”
“Ya, Papa Ronan nanti dulu, deh. Tunggu sampai Ela habiskan jus sama susunya.”
Keduanya kemudian asyik mengobrol. Terutama tentang sekolah dan teman-teman Dennis. Sesekali Ela menimpali dengan celoteh lucunya yang belum jelas. Tapi ketika celotehannya ditanggapi, tampak bahwa bayi kecil itu senang sekali. Membuat Ronan gemas melihatnya.
Sebelum orang tuanya meninggal, Dennis bersekolah di sebuah sekolah swasta, tidak di sekolah negeri seperti anak-anak panti itu. Setelah kejadian memilukan yang menimpa keluarga Dennis, pihak sekolah membebaskan anak itu dari semua kewajiban keuangan hingga lulus nanti. Bahkan pemilik angkutan antar-jemput pun tidak mau menerima pembayaran atas nama Dennis dari kantung pribadi para pemilik panti. Sedangkan sie sosial paroki setempat menanggung semua kebutuhan sekolah Dennis, termasuk seragam, sepatu, tas, buku-buku, dan peralatan sekolah. Bahkan berapa pun kebutuhan susu formula dan diapers Ela ditanggung pula. Bantuan baru akan diputus bila Dennis dan Ela sudah ada yang mengadopsi.
“Mm... Papa Ronan, aku dengar Tino mau punya papa-mama baru,” celetuk Dennis pada satu detik. Wajahnya terlihat sedikit muram.
“Kamu ingin seperti Tino?” sebelah tangan Ronan merengkuh bahu kecil Dennis.
“Nggak tahu,” perjaka kecil itu menggeleng. “Kalau papanya kayak Papa Ronan, sih, aku mau. Terus mamanya kayak Tante Sasya itu. Kan, Tante Sasya sayang sama Ela.”
Ronan tertegun mendengarnya.
* * *
“Mas Ranto, tolong aku dipesankan iced mint chocolate sama waffle with strawberry ice cream, ya,” ujarnya.
Ranto mengangguk dan meninggalkan Sasya. Gadis itu menatap sejenak dari balik partisi one way yang membatasi area servis dan kantor dengan ruang resto. Arland Sedayu duduk di depan meja untuk berdua di sudut kiri dekat jendela kaca. Terlihat tenang menikmati makanan dan minumannya. Sosoknya masih terlihat sama seperti terakhir Sasya melihatnya beberapa tahun lalu. Gagah dan tampan. Hanya saja sekarang tampak lebih matang.
Sayangnya...
Ia buru-buru menggeleng.
Dan rasa-rasanya aku tahu apa yang hendak dia bicarakan.
Dihelanya napas panjang sebelum memantapkan langkah menghampiri laki-laki itu. Wajahnya disetel setenang mungkin, untuk menutupi debar jantung yang nyaris tak terkendali.
“Selamat siang...,” sapanya kemudian, halus.
Laki-laki itu menoleh. Ketika melihat siapa yang menyapanya, ia mengulas senyum sambil buru-buru berdiri. Sasya mengulurkan tangan. Laki-laki itu menjabatnya dengan hangat.
“Siang, Sya,” ucapnya. “Apa kabar?”
“Baik,” angguk Sasya. “Maaf, nunggunya lama, ya? Mas Arland apa kabar?”
“Enggak...,” Arland menggeleng. “Nggak terasa, kok. Apalagi ditemani menu yang luar biasa seperti ini. Kabarku baik. Sangat baik.”
“Mas Arland kapan datang?”
“Semalam, dari Singapore. Aku lagi dampingi boss-ku kasih training di Singapore dua minggu ini. Weekend ini ada waktu kosong, jadi aku putuskan untuk pulang sebentar ke sini. Besok aku balik lagi ke Singapore.”
“Oh...,” Sasya manggut-manggut.
“Hebat kamu sekarang, sudah pegang resto sendiri,” Arland mengacungkan jempolnya.
“Ah,” Sasya mengibaskan sebelah tangannya, “belum resmi ini, Mas. Boss-nya masih Papa.”
“Tetap hebat lah...”
Sasya tersenyum. Tampak sedikit tersipu. Arland menatap Sasya dengan sorot mata ragu-ragu. Sejenak dihelanya napas panjang.
“Aku... sengaja ke sini untuk ketemu sama kamu,” ucapnya kemudian. Lirih. “Aku... nggak bermaksud untuk ikut campur soal kamu dan Mas Ronan. Tapi..."
“Ya, aku tahu,” gumam Sasya. Mengangguk. “Sebenarnya... aku juga butuh bicara dengan Mas Arland.”
“Oh... Oke!” senyum Arland. “Tanyakan saja semua yang kamu ingin tahu.”
Mendengar ketulusan dalam suara Arland, juga sikapnya yang cukup terbuka, Sasya berusaha memberanikan diri. Tapi ketika hendak buka suara, pesanannya datang diantarkan Ranto. Ia menunggu sejenak hingga urusan itu selesai. Akhirnya ia menatap Arland kembali.
“Apakah... hubungan kalian... sudah benar-benar berakhir?” Sasya mengerjapkan mata.
“Kalau yang kamu maksud itu hubungan istimewa... ya," Arland mengangguk tegas, "sudah berakhir. Sudah lama. Seingatku, malah agak jauh sebelum kamu masuk kuliah. Tapi kalau hubungan pertemanan, kami masih. Hanya saja kalau kamu nggak berkenan, aku bersedia mengakhiri hubungan pertemanan dengannya.”
“Jangan!” sahut Sasya cepat. “Nggak perlu,” geleng Sasya. “Nggak apa-apa.”
“Oh... Oke,” senyum Arland.
“Mm... Apa kalian pernah... mm... semacam... ML, gitu?”
“Aku pernah kelepasan mengajaknya,” Arland mengerjapkan mata. “Tapi dia menolak dengan tegas. Bahkan menceramahiku panjang lebar.”
Jadi benar dia bersih...
Sasya pelan-pelan menyedot minumannya.
“Mas Ronan orangnya setia, kok, Sya,” gumam Arland. “Dia bisa ngemong. Kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan secara baik-baik. Harus realistis, nggak ada masa depan di sini. Aku senang mendengarnya jatuh cinta lagi. Pada orang yang tepat. Pada dasarnya Mas Ronan itu sulit jatuh cinta. Perasaanku bilang, kali ini adalah cintanya yang terbesar.”
Sasya tercenung.
Apa lagi, sebenarnya?
Dihelanya napas panjang.
Apa lagi, sebenarnya?
Dihelanya napas panjang.
“Aku sudah menyakitinya...,” gumamnya kemudian. Tertunduk.
“Memangnya kamu bilang apa?”
“Jujur, aku kaget banget waktu dia bikin pengakuan," Sasya mendongak sedikit. "Aku langsung bilang, butuh waktu sendiri. Dia kelihatannya memahami. Tapi mungkin sikapku yang kayak gitu sudah menyakitinya.”
“Ah, enggak, kok, Sya,” nada suara Arland terdengar begitu menghibur. “Aku pikir sikapmu wajar, kok. Aku yakin dia nggak akan merasa tersakiti. Mm... Tapi kupikir, sebelum kamu memutuskan sesuatu, sebaiknya orang tuamu harus tahu lebih dulu. Supaya nggak ada benturan.”
“Oh...,” Sasya tersenyum. “Kalau soal itu, jangan khawatir. Mamaku sudah tahu lebih awal. Kayaknya Tante Wanda cerita sendiri ke Mama. Papa juga tahu, sepertinya dari Mama. Nggak ada masalah. Bahkan salah seorang abangku juga sudah memahaminya. Oh, ya, abangku itu tunangan Kak Brielle.”
“Oh?” mendadak ada binar di mata Arland. “Jadi kamu adik Mas Varuna?”
Sasya mengangguk. “Kenal?”
Arland menggeleng. “Ketemu langsung, sih, belum pernah. Hanya dari cerita-cerita Elle. Ah, laki-laki yang baik,” senyum Arland kembali mengembang. "Adik perempuannya juga. Aku yakin pilihan Mas Ronan kali ini benar-benar tepat.”
Sasya ikut tersenyum.
“Mm... Ngomong-ngomong, Mas Ronan yang suruh Mas Arland ke sini?”
“Oh, enggak...,” Arland menggeleng tegas. “Dia bahkan nggak tahu aku lagi ada di sini. Aku sudah wanti-wanti Mbak Inna agar nggak bilang pada Mas Ronan kalau aku di sini. Dan sebaiknya kamu juga begitu.”
“Mbak Inna?” Sasya mengerutkan kening.
“Satu-satunya kakak yang aku punya,” senyum Arland. “Dia sahabat Mas Ronan.”
“Bu Inna?” Sasya menegaskan.
Arland mengangguk. “Dosenmu juga ya?”
“Iya.”
Keduanya kemudian melanjutkan obrolan tentang banyak hal. Kegiatan Sasya sekarang, kehidupan Arland di Amerika Serikat, tentang Ronan. Panjang-lebar Arland menceritakan bagaimana kerasnya Ronan mengalihkan perhatian pada hal-hal lain. Pekerjaan misalnya. Maka tak heran bila Ronan sudah memiliki usaha sendiri yang berkembang baik sebelum usianya 25 tahun. Bukan hanya satu saja, melainkan tiga jenis bidang usaha sekaligus yang disatukannya di bawah satu bendera PT. Respati RonCo. Belum lagi keseriusannya untuk menjadi seorang dosen dengan tak putus menimba ilmu.
“Semuanya dia lakukan agar nggak terseret dan terjebak perilaku yang salah, Sya.”
Ya, aku bisa melihat itu... Sasya mengangguk.
Bahkan secara terbuka Arland mengungkapkan kehidupannya yang sekarang. Bagaimana ia kini hidup bersama dengan seorang laki-laki berusia 40-an. Suatu hal yang tak pernah dilakukan Ronan. Bahkan mungkin dipikirkannya pun tidak.
“Sudah terlalu kebablasan memang, Sya,” terlihat gurat sesal pada wajah Arland. “Aku sudah seperti kuda lepas kendali. Nggak bisa mengendalikan diri sendiri. Nggak kayak Mas Ronan.”
“Tapi kupikir kelonggaran norma setempat juga berpengaruh, Mas,” Sasya berusaha untuk memahami dan tidak menghakimi. “Amerika tentu beda dengan sini.”
“Banget, Sya,” Arland mengangguk. “Beda jauh. Tapi aku yakin seandainya Mas Ronan yang berhadapan dengan hal seperti itu, dia masih bisa pegang prinsip. Mas Ronan orangnya kuat. Sangat kuat.”
Semoga...
Sasya mengerjapkan mata.
Sasya mengerjapkan mata.
* * *
Seusai menurunkan Arland di depan rumah Inna tanpa mampir lebih dulu, Sasya meluncurkan mobil ke arah sebuah pasar swalayan besar. Diborongnya berbagai macam biskuit, coklat, yogurt dalam kemasan mini, dan susu cair dalam kemasan tetra-pack. Butuh hingga dua troli untuk menampung dos-dos yang dipakai untuk mengemas belanjaannya. Seorang pegawai pasar swalayan bahkan membantunya mendorong troli satunya hingga ke area parkir.
“Buat acara ulang tahun, Mbak?” pemuda itu iseng bertanya.
“Oh, enggak, Mas,” senyum Sasya. “Buat anak-anak panti asuhan.”
“Oh...”
Dengan cekatan Sasya melipat jok belakang city car Yuliani hingga bisa menampung semua dos itu. Sisa tiga dos. Terpaksa Sasya menempatkannya di depan. Satu di jok, dua di bawah. Setelah selesai, Sasya mulai meluncurkan mobil itu. Sebelumnya, ia sempat menyelipkan lipatan selembar uang lima puluh ribu rupiah ke dalam genggaman tangan pemuda yang sudah membantunya. Pemuda itu menolak, tapi Sasya memaksanya.
“Nggak baik menolak rejeki, lho, Mas,” pungkas Sasya, tersenyum lebar. “Buat beli siomay. Makasih banyak, ya.”
Pemuda itu pun mengucapkan terima kasihnya berkali-kali hingga Sasya masuk ke dalam mobil.
* * *
Baru setelah anak-anak tidur siang, Ronan beranjak ke dapur. Beberapa pengurus panti sudah mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak makan malam. Melihat Ronan datang, mereka segera menyodorkan makanan yang masih tersisa. Nasi, tumis kangkung, telur dadar, sambal goreng hati, dan orek tempe. Dengan santai Ronan mengambil sebuah piring plastik dari dalam lemari, dan mulai mengisi piring itu dengan makanan yang tersedia. Makanan sederhana bagi orang sekelas Ronan, tapi ia benar-benar menikmatinya.
Ia makan sambil mengobrol dengan para pengasuh. Mencoba menyaring hal-hal apa yang mungkin menjadi pemikiran para pengurus dan layak disampaikan kepada jajaran kepala panti. Tapi sejauh ini tidak ada. Para pengurus sekaligus pengasuh sudah cukup puas dengan apa yang mereka kerjakan dan terima. Gaji mereka, walaupun mepet, tetaplah layak. Anak-anak pun hidup cukup layak. Tak ada yang bermasalah. Kalau soal rewel-rewel atau bandel-bandel sedikit, itu sudah biasa. Namanya juga anak-anak.
“Anakmu lagi makan itu, Wan,” ujar Trianti yang baru saja iseng mengontrol kondisi panti. Perempuan itu tertawa. “Kok, ya, doyan makanannya anak-anak.”
“Jangan salah,” Wanda ikut tertawa. “Dari kecil sudah kubiasakan omnivora. Aku galak kalau soal makanan. Selalu kubilang, ‘adanya itu, nggak mau makan, ya, sudah, nggak usah makan sekalian.’ Nggak Ronan, nggak Gaby, sama saja.”
“Pantes... Apa-apa doyan," Trianti menggelengkan kepala dengan wajah takjub. "Eh, aku pulang dulu, ya?” Trianti meraih tasnya. “Aku mau kondangan nanti jam enam. Mau siap-siap ke salon dulu.”
“Dandan yang cakep, biar masih joss bahenolnya,” Wanda terkekeh.
“Jelaaasss...,” Trianti mengedip genit. “Biar si babeh tetep lengket sama guweh.”
Wanda pun seketika meledakkan tawanya. Trianti kemudian melambaikan tangan sambil berbalik. Tapi di sudut pertama selasar ia hampir bertabrakan dengan seseorang.
“Eh, maaf,” ucapnya seraya mundur selangkah. “Eh, Mbak Sasya.”
“Selamat siang, Tante,” ucap Sasya sopan. Senyumnya tak ketinggalan. “Maaf mengganggu. Saya mau drop cemilan buat anak-anak.”
“Oh?” Trianti terlihat antusias. “Tapi sama Tante Wanda saja, ya? Soalnya aku mau pulang duluan.”
“Oh, iya, Tante.”
“Ada di kantor, dia.”
Mereka berpisah. Saling meneruskan langkah. Wanda ditemuinya di kantor. Perempuan itu menyambutnya dengan hangat.
“Mobilnya boleh diputer ke sini saja, kan, Sya? Biar makanannya langsung masuk ke ruang bermain,” ujar Wanda begitu Sasya selesai menyatakan maksud kedatangannya.
“Oh, gitu,” angguk Sasya. “Oke, saya pindahkan dulu.”
“Eh, nggak usaaah...,” Wanda buru-buru mencegah. “Biar Ronan saja.”
Sasya terbengong sejenak. Ronan? Dia...
“Kamu sudah repot belanja,” lanjut Wanda. “Sudah repot mau angkut ke sini. Masa masih harus disuruh pindahin mobil segala? Ronan saja. Sini kuncinya. Lagi makan, dia.”
“Oh...,” Sasya mengangguk. “Oke, Tante.”
Wanda kemudian mengajaknya mengobrol, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Sementara itu, diam-diam Sasya sibuk meredakan debar jantungnya sendiri.
* * *
Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)
Yang paling bawah bikin kaget. Oh, pada akhirnya Mbak cantik dan Pak Dosen menikah, ya? Pasti saik.
BalasHapusDhuh.. tamat maning.... ora sabar iki diriku. Kemis ya, suwe men tho mbak....
BalasHapusgood post mbak
BalasHapusLo es kape entek ae crito iki.
BalasHapus