Jumat, 27 Januari 2017

[Cerbung] Affogato #6-2








Sebelumnya  



* * *


Topo melangkah masuk ke ruangan Prima dengan wajah datar. Ia sudah tahu nasibnya. Dan sesungguhnya ia tak terlalu peduli. Setahun lalu, ia mulai bekerja di sini karena keinginan bapak mertua dan istrinya. Padahal ia punya keinginan dan minat lain.

“Selamat siang, Pak Prima,” sapanya begitu disuruh masuk.

“Siang, Mas Topo, silakan duduk,” Prima mengangguk sedikit.

Topo pun duduk di depan Prima.

“Mas Topo, sebelumnya saya minta maaf karena harus memberikan surat ini pada Mas Topo,” ucap Prima halus sambil menggeser sebuah amplop kabinet dengan kop resmi perusahaan. “Terima kasih atas kerja Mas Topo di sini. Sebetulnya sayang sekali, karena kesempatan yang ada sudah Mas Topo lewatkan begitu saja. Tapi saya dengar, Mas Topo lebih senang menyopir daripada menjadi operator di sini? Benar?”

Topo mengangguk. “Ya, Pak. Saya dulu sopir taksi. Tapi sama Bapak Mertua disuruh masukkan lamaran ke sini. Dipaksa, lebih tepatnya. Saya akui hasilnya lebih banyak di sini, tapi...,” Topo mengedikkan bahu tanpa menyelesaikan kalimatnya.

“Hm... Ya, saya mengerti. Ada rencana mau nyopir lagi?”

“Ya,” Topo kembali mengangguk. “Saya diajak gantian sama teman pegang taksi online, Pak. Saya pegang mulai besok. Tapi hanya sementara. Selanjutnya saya belum tahu bagaimana.”

“Begini, Mas, putri Pak Krisno lagi butuh sopir pribadi. Kalau mau, Mas Topo akan saya rekomendasikan, bagaimana?”

Seketika wajah datar Topo berubah menjadi antusias. “Benar, Pak?”

“Iya,” senyum Prima. “Tapi Mas Topo harus berkerja sebaik-baiknya. Tolong, jangan bikin malu saya.”

“Kalau itu saya berani jamin, Pak. Mungkin saya bukan karyawan yang baik di sini, tapi insya Allah, saya sopir yang baik.”

“Oke, kalau begitu nanti saya bilang Pak Krisno dulu. Mas Topo silakan tinggalkan nomor kontak di sini,” Prima menyodorkan sehelai kertas sekaligus bolpoinnya.

Dengan cepat Topo memenuhi permintaan Prima. Setelah selesai, ia menjabat tangan Prima dengan penuh rasa terima kasih. Tapi sedetik kemudian ia menatap Prima dengan khawatir. Genggaman Prima terasa agak dingin dan sedikit lembap di tangannya. Dan baru detik itu ia menyadari, bahwa wajah Prima terlihat agak pucat.

“Pak, Bapak sakit?” celetuk Topo.

“Nggak apa-apa, Mas Topo,” Prima tersenyum sedikit. “Cuma masuk angin ini. Belakangan ini, kan, hawanya nggak enak. Nggak apa-apa, kok. Toh, sebentar lagi jam pulang.”

“Bapak bawa mobil sendiri?”

“Iya, Mas. Sekalian jemput anak saya di kantornya.”

“Di mana, Pak, kalau saya boleh tahu?”

“Di Tebet.”

“Wah, jauh juga, lho, Pak,” Topo mengerutkan keningnya.

“Nggak apa-apa, Mas. Nanti dari Tebet sampai ke rumah, biar anak saya yang menyetir.”

“Kalau Bapak mau, saya bisa sopiri sampai kantor anak Bapak.”

Prima berpikir sejenak. Sebetulnya ia sendiri tidak yakin sanggup menyetir mobil sampai ke kantor Olivia. Walaupun nyeri di ulu hatinya sudah tidak terlalu menusuk seperti seusai ia makan siang tadi, tapi tetap saja masih sangat terasa. Belum lagi rasa pening dan keringat dinginnya.

“Mas Topo pulangnya ke mana?” tanyanya kemudian.

“Mampang, Pak. Kan, nggak jauh dari Tebet. Saya bisa naik ojek. Tapi kalau Bapak mau sekalian saya antar sampai rumah, nggak apa-apa, Pak. Bener!”

“Betul Mas Topo mau nyopirin saya ini nanti?” Prima memastikan sekali lagi.

“Betul, Pak!” Topo mengangguk tegas. “Bapak tunggu saja di lobi, nanti saya samperin Bapak.”

“Oke, Mas Topo, terima kasih. Saya tunggu nanti. Sampai kantor anak saya saja.”

“Baik, Pak. Saya juga terima kasih sekali, Bapak mau rekomendasikan saya. Mari, Pak, saya permisi dulu.”

Prima mengangguk sambil tersenyum.

* * *

Carmela ngeloyor naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya begitu turun dari mobil. Wajahnya masam. Untuk melampiaskan kekesalannya, ia membanting pintu kamar kuat-kuat, sekaligus menguncinya dari dalam. Muntik sempat terjingkat kaget mendengar suara debuman dari atas itu. Sementara Arlena tetap melenggang santai seolah tidak terjadi apa-apa.

“Tik! Ambilkan air dingin!” serunya sambil duduk di sofa ruang tengah.

Dalam hitungan detik Muntik sudah datang menghampiri dengan segelas air es di atas nampan di tangannya. Selama bekerja di rumah itu, Muntik belum pernah menjumpai anak-anak berlaku kasar bahkan sampai membanting pintu segala. Maka ia memberanikan diri bertanya pada Arlena.

“Bu, maaf, itu Mbak Mela kenapa?”

“Oh... Biasa... Ngambek,” sahut Arlena, acuh tak acuh.

Melihat ekspresi Arlena, Muntik tak berani lagi memuaskan rasa ingin tahunya. Ia pun kembali ke belakang. Memeriksa kembali hasil pekerjaannya, sebelum memutuskan untuk pamit pulang. Entah kenapa, ia justru merasa kurang nyaman kalau Arlena ada di rumah.

Sepeninggal Muntik, Arlena masuk ke kamar, berlanjut ke kamar mandi. Setelah selesai membersihkan seluruh tubuhnya dari ujung rambut ke ujung kaki, kemudian berpakaian, Arlena masuk ke ruang baca dan berkubang di sana. Tanpa peduli tentang Carmela, wajah masam si bungsu itu, dan juga pintu kamar yang terbanting kuat-kuat.

* * *

Olivia tercenung menatap pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Pelan ia mendesah.

‘Mbak Livi, saya pulang lebih awal. Semua kerjaan sudah selesai. Tadi Mbak Mela pulangnya telat, sama Ibu. Nggak tahu Ibu mau pergi lagi apa enggak. Tapi Mbak Mela banting pintu kamar, Mbak. Kayaknya marah sama Ibu. Gitu aja, ya, Mbak.’

“Ada apa, Mbak Liv?”

Rupanya Sandra yang baru lima menit duduk lagi di kursinya mendengar desahan itu. Olivia menoleh ke arahnya. Menatapnya dengan sorot mata yang sukar diartikan. Dan gadis itu mendesah lagi.

“Ah... Nggak tahu ini, Bu,” Olivia menggeleng lemah. “Bibik bilang Mela ngambek sampai banting pintu segala. Padahal sebelumnya nggak pernah kayak gitu,” Olivia menghela napas panjang. “Mama ini pasti...”

“Kok, Mama?” Sandra mengerutkan kening.

“Iya, Bu,” Olivia mengerjapkan mata. “Tadi Mela sempat kirim pesan, lagi sama Mama, pulang sekolah dijemput Mama, diajak ke kafe sama Mama, dan yah...,” Olivia mengangkat bahu.

Sandra ikut tercenung mendengarnya. Tiba-tiba ia ingat kejadian beberapa hari lalu ketika tiba-tiba saja Arlena muncul di kantor itu pada suatu siang, dan mengatakan bahwa sudah ada janji dengan Olivia, padahal sama sekali tidak. Sedikit banyak, ia mencium aroma modus yang sama.

“Sabar, Mbak Liv,” hanya itu yang bisa diucapkan Sandra. Karena sesungguhnya, ia benar-benar tidak tahu harus menanggapi bagaimana. “Coba Mbak Livi telepon Mela.”

Olivia melirik arlojinya. Ia menghela napas panjang lagi. Jam kantor berakhir lima menit lagi. Ia kembali menatap Sandra.

“Tunggu bubaran, Bu,” ucapnya.

Sandra mengangguk. Kemudian ia kembali mengalihkan perhatian pada mejanya sendiri. Merapikan beberapa barang pribadinya untuk bersiap pulang. Tepat pukul empat sore, ia berdiri dari duduknya, kemudian menghampiri Olivia.

“Mbak Livi, mau ditemani sebentar?” tawarnya dengan nada lembut.

Olivia menengadah sambil menggeleng. Sandra menatapnya dengan sorot mata prihatin. Olivia mencoba untuk tersenyum.

“Ibu pulang saja. Aku nggak apa-apa, kok.”

“Benar?” Sandra memastikan sekali lagi.

Olivia mengangguk sambil melebarkan bibirnya. Sandra kemudian berpamitan pada Luken yang masih ada di dalam ruangannya, dan pulang.

Sepeninggal Sandra, Olivia menimang ponselnya sejenak sebelum memutuskan untuk menghubungi nomor ponsel Carmela. Cukup lama ia menunggu, tapi tak ada jawaban dari seberang sana. Sekali lagi ia mengulangi, dan kali ini ada respons setelah nada sambung keempat.

“Ya?”

Olivia memejamkan mata sejenak mendengar suara lirih dan serak itu.

“Mel, kamu kenapa?” tanya Olivia dengan nada rendah yang sangat lembut.

“Nggak apa-apa.”

“Nggak apa-apa, kok, sampai banting-banting pintu segala?”

“Siapa yang ngadu?”

“Bukan ngadu, cuma kasih tahu...,” ada nada membujuk yang kental dalam suara Olivia.

Terdengar dengusan dari seberang sana.

“Mama mau bikin artikel, ya?” Olivia tetap mempertahankan kelembutan suaranya.

“Mama itu sudah nggak waras.”

“Mel... Kok, ngomongnya gitu?”

“Pokoknya awas saja kalau sampai artikel itu keluar!”

“Iya, sudah... Eh. kamu sudah mandi?”

“Ini, mau berendem, biar kepalaku dingin.”

“Ya, sudah, jangan kelamaan berendemnya, nanti malah masuk angin. Kalau kamu nggak mau keluar kamar, nggak apa-apa. Tunggu sampai Papa sama Mbak pulang, ya?”

“Ya.”

Dan pembicaraan itu berakhir begitu saja. Membuat Olivia menggelengkan kepala sambil menghembuskan napas panjang.

“Ada apa, Liv?”

Olivia tersentak kaget. Ia menoleh ke arah pintu ruangan Luken dan mendapati laki-laki itu sudah berdiri bersandar pada kusen pintu. Menatapnya. Entah sudah berapa lama. Dan kini, laki-laki itu mendekat, kemudian duduk di kursi Sandra.

“Nggak apa-apa, kok, Pak,” jawab Olivia, akhirnya. “Cuma ada laporan dari Bibik. Katanya Mela ngambek. Kayaknya berantem sama Mama.”

“Soal apa?” Luken mengerutkan kening.

Olivia mengangkat bahu. “Biasalah... Mama... Masalah pencitraan.”

Luken manggut-manggut. Walaupun ingin, tapi ia menahan diri agar tidak ikut campur terlalu dalam. Maka ia pun berusaha untuk mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Sekadar menghabiskan waktu sebelum keduanya pulang ke rumah masing-masing. Sekaligus ‘membiasakan diri’ dengan penampilan baru Olivia, dengan puas-puas menatap gadis itu.

* * *

Dengan gerakan halus, Arlena membalurkan balsem beraroma mint segar itu secara rata di dada dan perut Prima. Berikutnya giliran punggung. Diurutnya lembut punggung itu.

“Mau dikerokin?” celetuk Arlena setelah selesai.

“Nggak usah. Makasih,” jawab Prima sambil mengenakan lagi kaos oblongnya.

Ia kemudian merebahkan badannya ke atas ranjang. Aroma mint itu sedikit demi sedikit mengurangi rasa mualnya. Ia memejamkan mata. Terdengar gemercik air di kamar mandi ketika Arlena mencuci tangannya yang terkena balsem. Beberapa saat kemudian perempuan itu muncul lagi. Mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, Prima membuka mata.

“Carmela kenapa?” tanyanya lirih.

Dalam perjalanan pulang tadi, Olivia secara ringkas sudah menceritakan apa yang terjadi pada Carmela sesuai yang diketahui Olivia melalui pesan-pesan yang diterimanya dari Carmela dan Muntik. Tapi ia masih ingin mendengarnya versi Arlena.

“Biasa... Sensi. Lagi PMS, ‘kali,” Arlena mengangkat bahu, acuh tak acuh.

“Seharusnya kita yang berusaha mengerti dia, bukan sebaliknya.”

Ucapan Prima yang diucapkan dengan sangat halus itu sesungguhnya terasa menusuk hati Arlena. Tapi ia tetap tak mau kalah.

“Ya, begitulah kalau anak terlalu dimanja. Ngelunjak.”

“Bukan dimanja dan bukan ngelunjak,” tukas Prima, masih dengan nada halus, “tapi dia butuh dihargai dan dihormati privasinya.”

Arlena mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sepertinya tak ada gunanya beradu argumentasi dengan Prima. Sejujurnya, ia sudah merasa kalah sebelum bertanding. Menyingkir adalah hal paling baik yang saat ini bisa dilakukannya. Dan ia pun memutuskan untuk keluar dari kamar tanpa bersuara. Di tangga, ia berpapasan dengan Olivia yang membawa secangkir besar air jahe hangat. Dan Maxi ada di belakang kakaknya itu.

“Papa nggak dibawa ke dokter saja, Ma?” tanya Olivia.

“Halah, papamu diurusin baik-baik malah ngajak ribut,” gerutu Arlena.

“Ya, memang Mama pantes diajak ribut,” sambar Maxi lugas. “Sukanya juga bikin ribut.”

“Kamu ini apa lagi?!” Arlena membelalakkan matanya dengan suara mulai naik dan keras. “Bisanya minta duit melulu!”

“Kalo soal duit Mama nggak rela dimintain, jangan khawatir yang tadi dua juta itu aku kembalikan!” suara Maxi lebih keras lagi.

“Max, sudah!” sentak Olivia. “Papa lagi sakit! Malah ribut!”

Maxi mendengus. Tak puas. Ia segera melewati Olivia, meneruskan niatnya naik ke lantai atas. Olivia pun berbalik untuk melanjutkan langkah. Sekilas dilihatnya Maxi mengetuk pintu kamar Carmela. Pintu itu terbuka dan ada tangan yang menarik Maxi masuk sebelum pintu tertutup kembali. Olivia menghela napas panjang.

Kenapa semuanya jadi ruwet pada saat yang bersamaan? Carmela ngambek, Mama bikin ulah, Maxi nggak bisa kontrol emosi, Papa kena maag... Hadeeeh...

Olivia kembali menghela napas panjang sambil mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar utama. Yang pertama tertangkap oleh matanya adalah tatapan Prima. Tercekat rasanya Olivia melihat sorot mata letih dan sedih ayahnya itu. Olivia meletakkan cangkir jahe hangat yang dibawanya di atas nakas, dan duduk di tepi ranjang. Digenggamnya tangan kanan Prima.

“Papa nggak usah dengerin keributan tadi,” Olivia berusaha tersenyum. “Nggak usah dimasukin ke hati. Yang penting Papa sekarang istirahat dulu. Papa mau minum?”

Prima mengangguk. Ia kemudian bangun pelan-pelan dan menerima cangkir yang disodorkan Olivia. Disesapnya air jahe itu. Segera saja kehangatan terasa mengaliri dadanya.

“Liv, tolong kamu sabar, ya, menghadapi Maxi dan Mela,” ucap Prima sambil mengembalikan cangkir di tangannya pada Olivia.

Olivia mengangguk sambil tersenyum. Prima memperbaiki posisi duduknya. Bersandar pada kepala ranjang.

“Papa minta maaf karena sudah gagal memberi kalian kenyamanan di rumah, dalam keluarga,” Prima melanjutkan dengan suara lirih.

“Pa...,” Olivia menggenggam tangan Prima. Terasa agak dingin dan lembap. “Papa nggak perlulah ngomong gitu. Nggak ada keluarga yang bisa 100% sempurna. Tapi buat Maxi, Mela, aku, Papa adalah papa yang paling sempurna. Semua yang kami terima dari Papa sudah lebih dari cukup. Ada ketimpangan, memang... Tapi sudah tertutup oleh sosok Papa. We couldn’t ask for more.”

Mata Prima tampak mengaca. Sehingga ia harus mengerjap beberapa kali supaya genangan bening itu tidak menjadi butiran yang bisa menggelinding keluar begitu saja.

“Mela masih ngambek? Sudah makan?” tanyanya dengan suara serak.

Olivia menggeleng. “Belum makan, dan cuma ngambek sama Mama.”

“Coba kamu panggil dia. Nanti kalau dia mau makan, kamu temani dia, ya?”

Olivia mengangguk sambil berdiri dan meninggalkan kamar. Sejenak kemudian ia kembali dengan merengkuh bahu Carmela. Didudukkannya si bungsu itu di tempatnya duduk tadi, di tepi ranjang.

“Pa, aku di kamar Maxi kalau perlu apa-apa.”

Prima mengangguk. Sepeninggal Olivia, ditatapnya Carmela.

“Kamu ini kenapa? PMS? Sampai bete segitunya...,” senyum Prima.

“Enggak...,” Carmela menggeleng dengan wajah cemberut. “Sebel aja sama Mama. Jadi orang, kok, munafik banget! Pencitraan melulu.”

Prima menghela napas panjang. Ia kemudian meraih tangan Carmela dan menggenggamnya.

“Ada andil Papa yang membuat Mama jadi seperti itu, Mel,” ucap Prima dengan wajah serius, cenderung ke muram. “Maafkan Papa, ya? Papa sedang berusaha memperbaikinya. Tolong, kamu bersabar.”

Carmela membebaskan tangannya dari genggaman Prima, dan langsung memeluk laki-laki itu dengan airmata yang mulai menetes di pipi. Prima membalasnya dengan hangat.

You’re everything to me, Pa, to us,” bisik Carmela.

Prima mengelus bagian belakang kepala Carmela dengan lembut. Sejenak kemudian ia membebaskan diri dari pelukan itu. Dirangkumnya kedua belah pipi Carmela dengan kedua telapak tangannya.

“Sekarang kamu makan. Lagi musim ujian, jangan sampai sakit. Jangan bikin repot Mbak Livi. Janji?”

Carmela mengangguk. Mencoba untuk tersenyum. Prima menghapus sisa airmata Carmela dengan kedua ibu jarinya, sebelum mencium kening Carmela.

“Minta Mbak Livi temani kamu makan. Sekalian panggil Mas Maxi ke sini. Oke? Jangan ngambek lagi.”

Carmela menggangguk lagi. Ia sempat mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan ayahnya sebelum keluar dari kamar. Prima menghela napas panjang. Terasa agak sesak. Tapi ditahannya rasa itu. Juga nyeri ulu hati dan peningnya. Tugasnya hari ini belum selesai.

Pelan ia merebahkan diri, bersamaan dengan munculnya Maxi. Pemuda itu langsung duduk di dekatnya.

“Papa panggil aku?”

Prima mengangguk. Menepuk tepi ranjang hingga Maxi bergeser lebih dekat lagi.

“Uang dua juta tadi, apa masalahnya?” tatapan Prima jatuh tepat di manik mata Maxi.

Pemuda itu tertunduk, kemudian berdehem sebelum menjawab lirih, “Aku tadi pagi minta uang sejuta sama Mama. Tapi ditransfer dua juta.”

“Buat apa?” tanya Prima sabar.

Maxi mengangkat wajahnya sekejap sebelum kembali tertunduk. “Aku bilang buat modif motor...”

“Padahal?”

Maxi menghela napas panjang. Ia kini menatap ayahnya.

“Buat ganti uang Mbak Livi, Pa,” gumamnya. “Kemarin itu dia bayarin jaketku. Mahal, Pa. Aku nggak mau, tapi Mbak Livi maksa. Makanya aku kepikiran malakin Mama buat ganti uang Mbak Livi.”

“Berapa?”

“Delapan ratus ribu. Dan sudah aku transfer ke Mbak Livi.”

“Max... Max...,” Prima menggeleng pelan sambil tersenyum. “Saldomu masih ada berapa?”

“Tiga jutaan.”

“Segera kamu transfer balik yang dua juta itu ke rekening Mama. Nanti yang transferan ke Mbak Livi, Papa ganti. Lagipula, kan, kemarin itu Papa sudah bilang, belanjaan kalian itu Papa yang bayar. Kecuali Mbak Livi, karena Mbak Livi sudah punya penghasilan sendiri. Cukup besar pula. Walaupun Papa juga nggak keberatan kalau harus bayarin juga belanjaan Mbak Livi. Karena Mbak Livi, kan, anak Papa juga.”

“Ya... Aku, kan, nggak enak, Pa,” Maxi kembali tertunduk. “Baru juga Papa belikan sepatu.”

“Papa, kan, cari uang buat kalian, Max,” Prima mengerjapkan mata. “Buat kebutuhan kalian. Toh, momen seperti kemarin nggak selalu terjadi setiap bulan.”

“Ya, besok pagi-pagi aku ke ATM,” angguk Maxi.

“Kamu sudah mulai minggu tenang?”

Maxi mengangguk. “Tadi ke kampus cuma ngumpulin makalah doang.”

“Oh... Jadi besok bisa antar Carmela ke sekolah, ya? Dia, kan, sudah mulai UAS. Biar Mbak Livi langsung ngantor bawa mobil Papa. Kayaknya Papa mau istirahat dulu, absen kerja.”

“Mm... Tadi Mbak Livi bilang, besok aku suruh ngedrop Carmela dan dia, terus bawa pulang mobilnya. Jaga-jaga, siapa tahu Papa butuh ke dokter.”

“Kan, ada mobil Mama, Max.”

“Yakin Mama nggak sibuk?”

Prima tercenung mendengar nada sindiran yang kental dalam suara Maxi. Ia jadi terdiam. Betul-betul tak tahu harus mengucapkan apa. Maxi kemudian berdiri.

“Pa, Papa pindah ke kamarku saja,” ucapnya tegas. “Daripada nggak diurusin sama Mama. Besok kalau belum mendingan, aku antar ke dokter.”

Prima tertegun menatap Maxi. Tak tahu haruskah tersenyum atau bersedih mendengar ucapan anak laki-laki satu-satunya itu.

* * *



Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



6 komentar: