Selasa, 06 Desember 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #9-2








Sebelumnya 



* * *




Leander berpikir sejenak sebelum ikut berdiri dan menyalami kedua orang itu. Ia tak berbasa-basi ketika menawari Arinka dan Dika untuk duduk bersama. Tapi tetap saja ada perasaan menyesal karena Arinka menyambut tawaran itu dengan begitu antusias. Leander kemudian pindah duduk di sebelah Letta. Membiarkan Arinka menggantikan tempatnya tadi, dan ia sendiri duduk tepat berhadapan dengan Dika.

“Kamu dari mana, mau ke mana?” Arinka menatap Letta.

“Dari Sentul, mau pulang. Mas Lean lapar, jadi mampir sini dulu,” Letta melirik Leander sekilas, tersenyum. “Kamu?”

“Dari Ciganjur, nengokin bakal proyek,” jawab Arinka.

“Oh, yang...”

Pembicaraan itu terputus sejenak ketika pramusaji kembali dengan membawa pesanan awal Letta dan Leander.

“Jadinya, pesan makanan apa?” Leander menengok ke arah Letta.

Mereka kemudian sibuk membuka buku menu dan memesan ini-itu. Setelah urusan itu selesai Letta melanjutkan ucapannya.

“Proyek rumah bandar lansia itu, ya?”

“Iya,” jawab Arinka dengan tak segan mencuil sebuah pangsit goreng berukuran besar itu.

“Eh, Mas,” Letta menengok ke arah Leander. “Itu yang kemarin ada rumah bandar sebelah kiri jalan, sebelum kompleks Mamam-Papap, itu punya Arinka, tuh!”

“Oh, ya?” Leander menanggapi dengan nada antusias. Ditatapnya Arinka. “Dulu waktu ortuku beli rumah di daerah sana, masih tahap membangun, sepertinya.”

“Iya, Mas,” angguk Arinka. “Belum begitu lama juga, kok. Nah, sekarang aku mau coba buka lagi di daerah Ciganjur. Mas Dika ini arsiteknya.”

“Salah satu anggota tim,” sergah Dika dengan nada kalem.

Whatever...,” Arinka membuka kedua telapak tangannya sambil tersenyum lebar. Dialihkannya lagi tatapan ke arah Letta. “Jadi, ini tadi kalian dari rumah ortunya Mas Lean?”

“Iya,” angguk Letta. “Nginep sejak Jumat sore. Ramai-ramai kumpul semua.”

Kedua gadis itu kemudian sibuk mengobrol dengan suara lirih. Leander dan Dika saling menatap, sama-sama tersenyum.

“Dimakan, Mas,” Leander menggeser sedikit piring besar berisi pangsit goreng.

“Iya, terima kasih,” Dika mengambil sebuah piring saji kecil, sebuah pangsit, dan menyendok sedikit saus.

Leander pun melakukan hal yang sama.

“Mas Leander punya bengkel otomotif, ya, saya dengar?” Dika kembali menatap Leander.

“Iya, kecil-kecilan,” Leander berusaha merendah.

“Kecil-kecilan apa, lho?” tiba-tiba saja Arinka menyahut. “Mas Lean mau buka cabang di Serpong itu, Mas.”

“Wooo...,” Leander menyambungnya dengan tawa ringan. “Punya temanku itu. Aku cuma bantu pengelolaan awalnya saja.”

“Oh, ya, aku mau mengucapkan terima kasih untuk bantuan kalian hari Minggu lalu,” tiba-tiba saja Dika membelokkan pembicaraan, bergantian menatap Letta dan Leander. “Terima kasih banyak,” suara Dika terdengar sangat tulus

“Maaf, nggak bisa bantu lebih,” ucap Leander pelan.

“Bapak dan Ibu, bagaimana?” Letta menatap Dika.

“Baik-baik saja,” senyum Dika. “Masih tetap menyimpan harapan. Hanya saja, sekarang mencoba untuk lebih realistis. Cuma bisa mendoakan yang terbaik.”

Ketiga orang lainnya manggut-manggut. Sedikit banyak, Arinka sudah tahu apa yang terjadi pada keluarga Dika. Selanjutnya mereka mengobrol sambil menikmati makanan yang sudah dihidangkan oleh pramusaji.

Sesekali Leander menatap Dika. Berusaha menilai sedikit demi sedikit. Dan yang didapatnya adalah Dika yang bersikap seperti seorang teman lama. Tidak berlebihan. Walau memang tetap saja terasa ada percikan-percikan istimewa dalam interaksinya dengan Letta.

Tapi tak bisa dipungkiri juga, bahwa ada sesuatu yang ‘lain’ antara Dika dengan Arinka. Bukan sekadar hubungan profesional biasa. Dan tampaknya Letta sendiri santai saja menghadapi hal itu.

Apa sebaiknya aku melepaskan saja semua kecemburuan itu?

Leander meraih botol air mineralnya dan meneguk isi botol itu. Mengurangi keresahannya sendiri.  Hingga detik itu, ia belum menemukan jawabannya.

* * *

Letta sedang mengunci pintu rumahnya ketika mobil Leander berhenti di depan pintu pagar pagi itu. Ia menoleh ketika mendengar klakson berbunyi ringan. Sempat dikerutkannya kening sebelum menghampiri pintu pagar.

“Lho, katanya nggak bisa antar jemput lagi hari ini?” celetuk Letta.

Resah itu masih juga menghantui Leander. Bagaimanapun kerasnya ia berusaha untuk mengenyahkan rasa itu, ia tetap gagal. Tiap kali ia mencoba untuk mengurainya, ujungnya masih saja tersimpul pada nama Letta, dengan pangkalnya ada pada pertemuan hari Minggu itu. Saat ia, Letta, Arinka, dan Dika makan bersama pada satu meja.

Kesibukannya mempersiapkan pembukaan bengkel baru di Serpong tak juga bisa mengurangi keresahan itu. Apalagi selama lima hari kemarin, ia sama sekali tidak punya waktu untuk mengantar jemput Letta. Ia tahu bahwa Letta sama sekali tak mempermasalahkannya. Letta perempuan yang mandiri, masih sama seperti ketika ia pertama kali mengenal gadis itu. Dan kerinduan yang sudah menumpuk di hati membuatnya segera menyisihkan waktu untuk menjumpai Letta.

“Hm... Aku berubah pikiran,” Leander meringis. “Nanti seusai kamu latihan drama, aku ingin mengajakmu ke Serpong. Mau?”

“Oh... Oke!” Letta tersenyum sambil membuka pintu pagar, sekaligus menggemboknya begitu sudah berada di luar.

Leander membukakan pintu mobil untuk Letta, memastikan gadis itu sudah duduk dengan nyaman, sebelum menutup pintu kiri depan mobil. Beberapa saat kemudian, mobil itu sudah meluncur menuju ke sekolah.

“Jadi, bengkel di Serpong kapan bukanya?” tanya Letta.

“Senin besok. Sudah siap semuanya. Jadi buat apa menunggu lebih lama lagi?”

“Hm...,” Letta manggut-manggut.

“Tapi minggu-minggu awal, aku lebih banyak di sana, Let. Jadi aku tetap nggak bisa mengantar jemputmu.”

“Oh... It’s OK,” jawab Letta ringan.

“Kamu hati-hati bawa mobil, ya?”

“Yup!” Letta mengangguk mantap.

Dan obrolan itu berlanjut hingga mereka sampai di depan sekolah.

“Nanti aku jemput kamu sekitar setengah satu, ya?” ucap Leander sebelum berlalu.

Letta mengangguk sambil melambaikan tangan.

* * *

Setelah Mala berpamitan untuk mengganti seragamnya dengan baju biasa, Letta duduk diam di gazebo. Di pendopo besar ada dua pasangan yang tengah menari dengan indahnya, Kana yang duduk di lantai sambil menonton, dan seorang laki-laki yang duduk sambil merengkuh bahu Kana. Salah satu pasangan adalah Handoyo dan Sarita, sedangkan pasangan yang lain adalah...

Astaga...

Tanpa sadar, Letta menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Yang perempuan, ia tak mengenalnya. Tapi yang laki-laki adalah...

Mas Dika? Astaga... Jadi dia juga bisa menari?

Tapi gerakan halus yang terlihat begitu intim dan membawa atmosfer romantis itu sama sekali tak mengurangi aura jantan yang dipancarkan oleh Handoyo dan Dika. Aura yang sungguh-sungguh menimbulkan getaran hebat dalam hati Letta, tanpa ia bisa mengendalikannya.

Hingga Mala kembali, tatapan Letta sama sekali tak bisa lepas dari pemandangan indah di pendopo besar. Mala tampaknya mengerti keterpesonaan. Letta. Jadi gadis remaja itu pun diam-diam saja duduk di sebelah Letta.

Tepuk tangan yang dipecahkan Letta ketika tarian itu berakhir membuat semua yang ada di pendopo besar menoleh. Membuat Letta tersadar seketika. Ia sudah mengganggu jalannya latihan itu. Tapi demi melihat ada banyak senyum yang terulas, ia pun merasa lega seketika. Hanya saja ketika mereka menghampirinya, rasa gugup itu kembali lagi.

“Itu Papa dan Mama, Bu,” celetuk Mala.

Seketika Letta memahami, bahwa pasangan Dika menari adalah ibu Mala dan Kana, sedangkan yang tadi duduk merengkuh Kana adalah sang ayah. Letta berdiri sambil mengangguk sopan ketika rombongan kecil itu sampai di gazebo.

“Bu Letta, ini Mama, ini Papa,” dengan sopan Mala memperkenalkan kedua orang tuanya pada Letta.

“Wulan.”

“Letta.”

“Rahardian.”

“Letta.”

Letta bergantian menyalami keduanya. Ia menyalami pula Handoyo, Sarita, Dika, dan Kana.

“Kiriman kuenya belum datang, Mbak Letta,” ucap Sarita dengan senyum terulas di bibirnya. “Biasanya jam sembilan sudah datang.”

“Oh...,” Letta manggut-manggut. “Coba nanti saya hubungi catering-nya.”

Tapi sebelum Letta menyelesaikan kalimatnya, sebuah mobil meluncur masuk mendekati pendopo kecil di dekat area parkir.

“Maaf, permisi,” ucap Letta sebelum menghampiri mobil itu.

Dilihatnya Ludy keluar dari mobil, diikuti Serena beberapa detik kemudian.

“Astaga...,” Letta mempercepat langkahnya. “Jadi selama ini kalian antar sendiri?”

Serena nyengir sambil cipika-cipiki dengan Letta.

“Enggaklah, Mbak,” sahut Ludy sambil membuka bagasi. “Biasanya pakai mobil box. Pernah, sih, sekali antar ke sini. Maaf, telat, Mbak. Ini tadi tunggu mobil box nggak muncul-muncul. Ending-nya dapat telepon kalau lagi pecah ban. Jadi, ya, sudah. Diangkut sendiri saja.”

Bersamaan dengan itu, teman-teman Mala berombongan datang. Tanpa ada yang memerintah, beberapa murid laki-laki turun tangan membantu Ludy, menurunkan dan mengangkat dos-dos besar berisi makanan dan minuman ke pendopo terdekat, tempat mereka biasa berlatih.

“Mari, duduk dulu!” Sarita menghampiri mereka.

“Terima kasih, Bu,” sahut Ludy sambil menutup pintu bagasi.

“Bu, ini calon adik ipar saya,” Letta memperkenalkan Serena dan Ludy pada Sarita. “Ini Serena, adik Mas Lean. Dan ini Ludy, suaminya.”

“Oh...”

Dengan hangat, Sarita menyambut jabat tangan keduanya. Sekali lagi ia mempersilakan keduanya duduk dulu. Tapi Serena buru-buru menolak dengan alasan hendak segera pergi berbelanja kebutuhan bayi.

“Sudah besar hamilnya,” gumam Sarita, sepeninggal Serena dan Ludy.

“Iya, Bu, tinggal tunggu hari saja,” jawab Letta.

Ia kemudian memutuskan untuk tidak kembali ke gazebo. Langsung saja menuju ke pendopo kecil. Sarita mengangguk. Masih dengan senyumnya.

“Kapan-kapan kita mengobrol lagi, Mbak Letta.”

Letta menanggapinya dengan senyum.

* * *

“Keluargamu penari semua, ya?” celetuk Letta ketika mereka istirahat berlatih sambil menikmati makanan.

Keluarga Handoyo masih berlatih menari, tapi pindah ke pendopo kecil dekat gazebo, sehingga mereka tidak saling mengganggu. Dari tempatnya duduk lesehan. Letta masih bisa melihat mereka dengan jelas.

“Iya,” Mala mengangguk sambil menggigit lemper ayam. “Ceritanya, sih, dulu Papa murid sanggar sini juga. Karena sering ketemu Mama, ya, jadi, deh...”

“Oh...,” Letta manggut-manggut. “Terus, itu tadi tarinya bagus banget. Belum pernah lihat.”

Gatotkaca Gandrung, Bu. Ada job dari seorang menteri dua minggu lagi. Buat resepsi nikah anaknya. Seharusnya Mama berpasangan dengan Papa. Tapi Papa nggak bisa. Tangan kirinya lagi terkilir. Makanya, mau nggak mau, Om Dika yang menggantikan. Masih kaku. Om lama nggak menari.”

Seperti itu tadi masih kaku? Oh, my...

Letta menggelengkan kepalanya. Samar.

“Kok, bukan Eyang?” Letta bertanya lagi. Usil.

“Hehehe...,” Mala terkekeh. “Kurang bening, ‘kali, Bu...”

Letta tergelak ringan mendengarnya.

“Lagian memang Eyang sengaja,” sambung Mala. “Kalau nggak gitu, Om Dika jadi malas.”

Letta tergelak lagi.

“Kalau disuruh latihan, ngeles melulu,” Mala masih menyambung ceritanya. “Alasannya sibuk. Banyak kerjaan lah, diuber deadline lah, apalah... Kedengarannya ribet banget.”

“Kalau papamu, memang penuh aktif di sanggar?”

“Iya,” angguk Mala. “Pekerjaannya bisa ditinggal-tinggal, sih. Bisa diurus Om, adiknya Papa. Mereka join  bikin perusahaan ekspor-impor. Jadi kalau Papa ikut misi kebudayaan ke luar, ya, enteng saja.”

“Oh...”

Latihan hari itu berlangsung lebih singkat daripada biasanya. Semua pemeran sudah hafal dialog dan porsinya. Daniel kelihatannya sudah cukup puas dengan hasil latihan.

Menjelang pukul 11.00, mereka sudah bubar. Letta sempat tercenung. Jemputan Leander masih lama.

“Pak Leander jemput jam berapa, Bu?” usik Mala.

“Masih lama,” desah Letta. “Nanti setengah satu. Ibu susul ke bengkelnya saja, deh!”

Letta merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Hendak memesan ojek online.

“Kenapa nggak tunggu saja, Bu?” senyum Mala. “Sekalian lihat latihan.”

Letta berpikir sejenak.

* * *

Dengan langkah lebar, Leander meninggalkan rumah itu untuk menghampiri mobilnya. Wajahnya memerah dengan kilat kemarahan memenuhi matanya. Beberapa detik kemudian ia sudah meninggalkan sanggar itu dengan rasa marah meluap-luap dalam hatinya.

Aku sudah memberimu kesempatan!

Leander menekan pedal gas makin dalam ketika sudah berada di jalan.

Aku mengharapkan kamu tahu diri, tapi ternyata tidak bisa!

Leander menggelengkan kepala dengan gusar. Ia kecewa pada Letta. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Ia juga ingin mengenyahkan bayangan yang sempat direkamnya dengan mata kepala sendiri. Bayangan yang tertangkap sempurna ketika ia melongok melalui pintu rumah Handoyo. Kejadian yang memaksanya untuk menelan lagi ucapan “permisi” yang sudah ada di ujung lidahnya.

Letta berpelukan erat dengan Dika. Bibir Dika melekat sempurna di kening Letta. Dan ada keheningan sempurna di sekitar mereka.

Membuat Leander terhenyak. Dan memutuskan untuk mundur sebelum Letta melihatnya.

Bagaimana aku harus memaafkanmu, Let?

Leander menggeram. Kakinya menekan pedal gas makin dalam.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

9 komentar: