Senin, 12 Desember 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #11-1








Sebelumnya  



* * *


Sebelas


Letta mengamati setiap foto dalam album keluarga yang selama ini disimpan Adrian. Wajah Letta Darmawan saat berumur dua tahun dan wajah kecilnya saat pertama berfoto dengan keluarga Darmawan memang tampak serupa. Ada sedikit perbedaan yang baru terlihat saat diperhatikan betul. Kalau hanya sekilas saja, pasti orang melihat bahwa keduanya adalah anak yang sama.

Dan seumur hidupnya menjadi seorang Letta Darmawan hingga usia remaja adalah masa-masa yang paling indah. Ia tumbuh besar dalam kasih sayang keluarga yang utuh, hingga  kecelakaan pesawat itu merenggut semua bintang dan matahari yang dimilikinya.

Tapi ia masih memiliki Adrian. Lebih tepatnya, mereka saling memiliki. Tanpa ia pernah menyadari bahwa darah yang mengalir dalam tubuhnya tidak sama dengan yang dimiliki Adrian. Adrian sendiri tampaknya juga tak pernah menganggap perbedaan itu ada.

“Sudah malam,” Adrian mengelus lembut bahu Letta.

Letta menoleh sekilas.

Malam ini ia memang menginap di rumah Adrian. Adrian membawanya pulang menjelang sore tadi. Setenang-tenangnya Letta menghadapi kenyataan yang terbuka hari ini, Adrian tetaplah mengkhawatirkan Letta bila harus sendirian. Letta belum mau kembali ke rumah keluarganya. Keluarga Handoyo Murdayanto.

“Aku butuh waktu.”

Ucapan Letta itu bisa mereka pahami sepenuhnya. Lebih dari dua puluh empat tahun kehidupannya ia lalui bersama orang tua baru dan abang tunggalnya. Walaupun ada kenangan kehidupan awal yang masih tertinggal dalam benaknya, tapi semua itu hanya bersitan-bersitan yang selama ini sepenuhnya tak ia mengerti.

“Kamu harus istirahat, Let,” ucap Adrian lagi.

Letta menghela napas panjang. Menutup album foto besar di pangkuannya. Ia kemudian menengadah. Menatap Adrian dengan mata mengaca.

“Aku ini Kara, atau Letta?” gumamnya dengan suara terdengar patah.

Adrian perlahan duduk di sebelah Letta. Direngkuhnya bahu Letta dengan mata ikut mengaca. Sejujurnya, ia pun tak bisa menjawab pertanyaan itu.

“Kamu sendiri...,” bisik Adrian, mengelus kepala Letta, “... merasa sebagai siapa?”

“Violetta Keisha Darmawan,” gumam Letta.

“Karena selama ini, kamu milik kami,” timpal Adrian lembut. “Tapi pada akhirnya, dirimu adalah milikmu sendiri, Let. Yang jelas, sampai kapan pun, kamu adalah satu-satunya adik kesayanganku.”

Letta menyandarkan kepalanya di bahu Adrian.

“Tapi bagaimanapun, mereka adalah orang tuamu," lanjut Adrian. "Mereka keluargamu. Mereka tidak pernah menelantarkanmu. Bahkan aku percaya mereka selalu menyebut namamu dalam setiap doa yang mereka panjatkan. Nama yang mereka berikan dengan banyak cinta dan harapan ada di dalamnya. Kenalilah mereka, Let. Pelan-pelan, tak perlu terburu-buru. Aku yakin mereka masih bisa menunggumu.”

Letta menghapus air mata yang membasahi pipinya. Adrian memeluknya. Terasa begitu hangat. Sama dengan pelukan yang siang tadi diterimanya dari Dika.

Jadi memang benar, aku ada ‘apa-apa’-nya dengan Mas Dika.

Letta mengerjapkan matanya yang masih berair.

Pantas saja...

* * *

Keesokan harinya, dengan sabar Letta menunggu di dalam mobilnya hingga pintu gerbang sanggar Pancarwengi terbuka menjelang pukul tujuh pagi. Ia buru-buru keluar dari dalam mobil begitu melihat Dika sibuk dengan gembok besar pintu gerbang itu.

“Mas...,” sapanya, ragu-ragu.

“Hei!” Dika buru-buru menyelesaikan ‘pekerjaan’-nya. Dibukanya pintu sanggar lebar-lebar. Begitu pula bentangan kedua lengannya.

Letta tenggelam sejenak dalam pelukan itu, hingga Dika melepasnya. Dengan tatapan menyelidik, Dika mengamati wajah Letta.

“Kamu menangis semalaman?” tangan Dika terulur, menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di kening Letta.

Letta mengangguk. Tersenyum malu-malu. Dika kemudian meminta kunci mobil Letta. Ia memanggil seorang tukang kebun yang tengah menyiangi rerumputan di bawah pohon mangga.

“Pak Ji, tolong, masukkan mobil itu, ya?”

Orang yang dipanggil Ji itu buru-buru datang menghampiri dan menerima kunci mobil Letta dari tangan Dika. Dika kemudian menggandeng Letta. Masuk ke dalam area rumah tinggal mereka.

“Sebenarnya, siang nanti Ibu bermaksud meneleponmu,” ucap Dika. “Kami ingin datang ke rumah abangmu. Kunjungan antar keluarga lah...”

“Oh...,” Letta mengangguk sedikit. “Siang nanti Mas Dri dan Mbak Tia ada undangan resepsi nikah, adik teman Mas Dri. Makanya aku mungkin nggak bisa lama. Aku harus menemani Vanda dan Rendy.”

“Kenapa nggak diajak main ke sini saja?” timpal Dika. “Vanda pasti senang main sama Kana.”

“Hm... Nggak kepikiran tadi,” gumam Letta. “Coba aku telepon Mas Dri sebentar.”

Tanpa menunggu jawaban Dika, Letta segera menyisihkan dirinya ke gazebo untuk menghubungi Adrian. Tak lama kemudian ia sudah kembali ke sisi Dika, yang menunggunya di tepi pendopo besar.

“Nanti sambil berangkat, Vanda dan Rendy sekalian diantar ke sini sama Mas Dri dan Mbak Tia,” senyum Letta.

Dika mengacungkan jempolnya.

* * *

Pelan-pelan tirai suasana asing itu mulai tersingkap. Seutuhnya Letta merasa nyaman berada di tengah keluarga kandungnya. Masih ada sedikit euphoria di sana-sini. Terutama dalam diri Wulan.

Dulu, ketika Kara lahir, yang bersorak kegirangan paling keras adalah Wulan. Ia sudah punya Dika sebagai adik laki-laki. Dan kehadiran Kara terasa melengkapi kebahagiaan dirinya sebagai seorang kakak.

Ia pula yang paling sedih ketika adik perempuan kesayangannya itu hilang. Sempat mogok sekolah beberapa lama hingga ‘diancam’ akan tinggal kelas kalau tak hadir juga di sekolah. Dan pelan-pelan mereka sekeluarga bergandengan tangan erat untuk menghadapi segala kesedihan dan perasaan kehilangan itu.

“Jadi, aku harus panggil Bu Letta, atau Tante Letta, atau Tante Kara?”

Celetukan polos Mala itu seketika membuat suasana di sekeliling meja makan menghening. Mala yang menyadari ‘kesalahan’ itu segera membekap mulutnya sendiri.

“Maaf..,” ucapnya kemudian. Terlihat penuh penyesalan.

Letta tersenyum, menatap Mala.

“Di sekolah, dan di segala urusan yang berhubungan dengan sekolah, aku adalah Bu Letta. Di luar itu, aku adalah tantemu,” jawab Letta, arif. “Tante kalian,” tatapannya menyapu wajah menggemaskan Kana.

“Aku sendiri lebih suka memanggilmu Letta,” Wulan menatap Letta dengan wajah bercahaya. “Kamu lebih lama menjadi Letta daripada Kara. Lagipula...,” Wulan menghela napas panjang, “... entah kenapa, aku masih terbawa suasana kelam itu kalau harus memanggilmu Kara.”

Letta mengulas senyum tipis. Sesungguhnya, setelah berpikir semalaman, ia merasa lebih nyaman menjadi seorang Letta daripada seorang Kara. Lagipula, jauh lebih banyak orang yang mengenalnya sebagai Letta. Keluarga Handoyo pun mengenalnya lebih dulu sebagai seorang Letta.

“Kalau boleh,” Letta mengedarkan tatapannya, “aku tetap ingin jadi Letta saja. Siapa pun namaku, aku tetap orang yang sama. Orang yang boleh memiliki dua keluarga yang hebat. Darahku tetap berasal dari lingkaran keluarga ini, walaupun aku tumbuh dan besar dalam keluarga lain.”

Handoyo yang duduk di sebelah kiri Letta mengulurkan tangannya. Mengelus kepala Letta dengan penuh rasa sayang.

“Selamat datang di rumah, Ndhuk Letta,” ucap Handoyo dengan suara bergetar. “Bungsu kesayanganku...”

* * *

Menjelang siangnya, ada kesibukan di pendopo. Baik di pendopo besar, maupun di kedua pendopo kecil. Ada beberapa latihan tari yang digelar untuk beberapa event.

“Jadi kita ini saudara?” Vanda tampak menatap Kana dengan mata bulat beningnya.

“Iya, Van!” sahut Kana dengan suara bersemangat. “Tante kita, kan, sama!”

“Whoaaa! Asyik banget, ya, Na?”

“He em!”

Letta yang tengah duduk lesehan menonton latihan tari di tepi pendopo besar bersama Mala, tersenyum mendengar obrolan kedua gadis kecil itu, yang duduk berselonjor tak jauh darinya. Wajah Kana dan Vanda tak dapat menyembunyikan kegembiraan ketika ‘menemukan’ bahwa mereka memiliki tante yang sama. Mekanismenya bagaimana, mereka tak memikirkan itu. Pokoknya sama. Titik. Sederhana saja.

Rendy sendiri menghilang entah ke mana bersama Dika. Laki-laki itu senang sekali bahwa ia kini mendapat tambahan ‘keponakan’ laki-laki. Bukan cuma dua orang keponakan perempuan ceriwis yang hobi sekali nginthil padanya. Rendy sendiri juga senang punya om baru. Bukan hanya Om Lean saja.

“Tante, Om Lean sudah tahu soal ini?”

Celetukan lirih Mala membuat Letta tercenung sejenak.

Semua hal mengejutkan yang melingkari harinya kemarin benar-benar membuatnya nyaris lupa bahwa masih ada seorang Leander yang ia miliki. Letta menggembungkan kedua pipinya sebelum menggumam, “Belum.”

Sementara itu, Wulan menghampiri keduanya setelah selesai memberikan petunjuk pada sekelompok penari. Ia duduk di sebelah Letta.

“La, kamu mulai latihan Karonsih sama Om Dika, ya?” celetuk Wulan sambil meraih sebotol air putih di dekat Letta.

“Om itu, lho, Ma, kalau diajak latihan ngeles melulu,” gerutu Mala dengan bibir mengerucut, dengan nada mengadu.

“Ya, sudah, cari dia,” Wulan mengibaskan tangannya. “Kalau perlu seret ke sini. Bilang, Mama yang kasih perintah.”

Mala beranjak sambil terkekeh. Letta tersenyum lebar. Sepeninggal Mala, Wulan menyenggolkan lengannya ke lengan Letta.

“Jadi ceritanya, kamu sudah punya tunangan, ya?” tanya Wulan dengan nada menggoda.

Letta nyengir. Sejenak kemudian ia menyodorkan ponselnya pada Wulan. Di layarnya, terpampang foto wajah Leander.

“Wow! Gantengnyaaa...,” Wulan mengacungkan jempol. “Langsung nyungsep saja Mas Dian.”

Letta tergelak mendengar ucapan Wulan. Sikap spontan Wulan membuatnya merasa makin nyaman. Wulan hampir sama seperti Martia. Agak sedikit bawel, tapi sangat ramah dan menyenangkan. Pada detik yang sama, tatapan Letta jatuh pada sesuatu yang berlangsung di bawah naungan atap pendopo kecil di dekat gazebo.

“Aku selalu senang melihat Bapak dan Ibu menari,” gumam Wulan.

Ia kemudian mengajak Letta pindah ke pendopo kecil. Sekilas ia melihat bahwa Rendy ada bersama Rahardian di gazebo. Tampak sibuk mengamati layar laptop sambil mengobrol.

“Wooo... Ngumpet beneran, si Dika,” gerutu Wulan.

Letta terkikik geli. Tapi tak lama kemudian Mala sudah muncul dengan menyeret Dika. Wulan langsung mendelik menatapnya. Dika mengangkat tangannya, tanda menyerah.

Melihat kehadiran Mala dan Dika, Sarita dan Handoyo menghentikan latihan mereka. Dan beberapa saat kemudian, Mala tampak tekun berlatih, mengikuti gerakan sang nenek. Di sampingnya ada Dika sebagai pasangan menari, dengan gerakan yang sama dengan Handoyo.

Letta hanya bisa menatap setiap gerakan, yang berpadu apik dengan alunan gendhing itu, dengan hati teraduk. Entah kenapa ada perasaan bahwa ia masih berada di luar ‘kawanan’.

Baru semalam, Letta! Baru semalam!

Letta mengedikkan bahunya samar ketika hatinya berseru-seru.

Bahwa sudah ada perasaan lain yang bicara soal kenyamanan, seharusnya ia bersyukur untuk itu. Masih ada hari esok dan lusa. Dan juga ada sebuah ‘rumah’ di mana ia bisa ‘pulang’ sewaktu-waktu.

* * *

Jawaban ART Leander Kamis sore itu membuat semangat Letta luruh.

“Mas Lean sudah dari Sabtu kemarin nggak pulang, Mbak. Bilangnya ke Serpong.”

Maka Letta terpaksa berpamitan dengan wajah putus asa. Ketika ia berpindah ke rumah Serena, perempuan itu hanya menatapnya dengan mulut setengah ternganga.

“Beberapa hari ini memang aku nggak ketemu dengannya,” ucap Serena kemudian. “Dan biasanya juga begitu. Maksudku, ya... namanya hidup sudah sendiri-sendiri. Memangnya ada apa, Mbak?”

Letta menggeleng.

“Justru itu yang ingin aku tanyakan padanya,” gumam Letta dengan wajah gelap. “Sabtu pagi kemarin, tahu-tahu dia menjemputku di rumah, mengantarku ke sekolah, padahal sebelumnya dia sudah bilang kalau sibuk. Dan aku memakluminya. Sepenuhnya. Dan dia janji mau menjemputku siangnya. Tapi aku tunggu-tunggu, dia nggak muncul. Dihubungi nggak bisa. Sampai sekarang aku nggak tahu kabarnya. Cuma, tadi Bik Ras bilang, Mas Lean di Serpong.”

“Hm... Coba nanti aku hubungi dia, Mbak,” nada suara Serena terdengar menjanjikan.

“Ya, sudah, Ren. Aku pamit dulu. Salam buat Ludy, ya?”

Serena mengangguk. Letta melangkah gontai menuju ke mobilnya.

Ia benar-benar tidak tahu kenapa Leander seperti hilang ditelan bumi. Ia sama sekali tidak bisa menghubungi Leander. Bengkel dan tokonya pun ditinggalkan begitu saja hanya diurus oleh para montir dan karyawan.

Sesungguhnya, ia mengkhawatirkan Leander. Tunangannya itu kalau sudah sibuk, seringkali sampai lupa makan dan istirahat. Apalagi beberapa waktu lalu penyakit maag Leander sempat kambuh.

Kenapa, sih, dia?

Letta mendengus jengkel sambil mulai melajukan mobilnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

6 komentar: