Jumat, 02 Desember 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #8-2










* * *


Letta tak ada di seantero rumah mungilnya. Satu-satunya tempat yang belum dijelajahi Leander hanyalah kamar Letta. Ia menghampiri pintu yang tertutup itu. Dengan halus diketuknya pintu, sekaligus menggemakan nama Letta. Tak perlu waktu lama baginya untuk menemukan kembali seraut wajah Letta. Mata gadis itu bulat menatapnya.

“Hei,” sapa Leander lembut. Dilihatnya penampilan Letta sudah sangat rapi. “Kamu mau pergi, ya? Dengan Bu Sarita?”

Letta menatap manik mata Leander. Bening. Tak ditemukannya apa-apa di sana. Ia mengerjapkan mata.

“Wajahmu, kok, sedih begitu?” Leander mengerutkan kening sambil mengelus pipi Letta.

Gadis itu menggeleng. Mencoba untuk tersenyum.

“Entahlah,” Letta mengangkat bahu. “Mendadak saja aku ingat Papa dan Mama. But, I’m fine.”

Leander kembali mengelus pipi Letta sekali lagi.

“Tadinya aku mau mengajakmu ke Sentul,” gumam Leander. “Tapi kelihatannya kamu sudah punya acara sendiri.”

“Dia datang begitu saja, tanpa pemberitahuan,” sahut Letta, lirih. “Minta ditemani ke Sinar Kasih. Aku...,” Letta tertunduk. “Mas, maafkan aku... soal yang kemarin. Aku hanya merasa... harus membantu mereka.”

Leander merangkum kedua pipi Letta dengan kedua belah telapak tanggannya. Ditatapnya Letta. Lurus. Tepat di manik mata. Dalam.

“Let, dengar,” bisiknya. “Pada akhirnya aku bisa memahami keinginanmu kali ini. Tidak apa-apa. Lakukan yang menurut kamu benar.”

Letta hanya bisa balik menatap Leander dalam diam. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari mulut Leander sendiri.

“Kamu mau kutemani ke Sinar Kasih?” Leander mengelus kepala Letta dengan penuh cinta.

“Sebetulnya...,” Letta mengerjapkan matanya yang mendadak saja mengaca. “Aku sendiri nggak yakin bisa menemani Bu Sarita... Seandainya benar Kara itu adalah Kara-mu dulu... Aku memang pernah mengalami kehilangan itu. Ketika harapanku pupus. Hanya saja...”

“Aku akan menemani kalian,” angguk Lander.

“Nggak apa-apa?”

Leander menggeleng. Tersenyum. “Lagipula aku lebih kenal Bu Prapti. Mau berangkat sekarang?”

Letta mengangguk.

* * *

 “Seperti apa, dia?”

Suara halus Sarita memecah keheningan dalam kabin mobil itu. Letta yang duduk di jok belakang tak begitu jelas menangkap ucapan Sarita yang seperti gumaman itu. Tapi Leander seutuhnya memahami kalimat tanya itu.

“Secara fisik, dia cantik, Bu,” jawab Leander sopan. “Sangat menyenangkan. Rasanya hati ini jadi teduh saat menatapnya. Sepanjang saya mengenalnya, dia cukup nyambung saat kami ngobrol. Dia cerdas. Sayang keadaan ekonomi yang sangat terbatas tidak bisa mendukungnya untuk menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi begitu ia lulus SMA.”

Sarita mendesah lemah.

“Saya merasa nyaman bersamanya,” lanjut Leander. “Dia juga yang sudah mengubah saya. Saya dulu begajulan, Bu. Sayangnya... dia tak sempat menikmati perubahan itu.”

Hening sejenak, sebelum Leander balik bertanya, “Maaf, Bu, boleh saya bertanya?”

“Ya, Mas. Silakan.”

“Seandainya... benar Kara yang pernah saya kenal adalah Kara Ibu, apakah... Ibu sudah siap?”

Sarita sempat tercenung.

“Saya tidak tahu,” Sarita kemudian menggeleng pelan. “Saya tidak sempat berpikir panjang ketika tadi menemui Mbak Letta. Hanya mengikuti kata hati saya. Maaf, sudah merepotkan.”

“Tidak apa-apa, Bu,” Leander menanggapinya dengan sangat lembut. “Hari ini kami memang nggak ada rencana mau bertemu atau ke mana-mana bersama. Hanya saja tadi mendadak saya kepikiran untuk mengajak Letta ke Sentul, ke rumah orang tua saya.”

“Wah, jadi batal,” ucap Sarita, penuh penyesalan.

“Masih ada Minggu depan,” Leander melebarkan senyumnya. “Kalau Minggu depan malah bisa sekalian bareng adik saya.”

“Oh...,” Sarita manggut-manggut. “Saudara Mas Leander berapa? Di Jakarta semua?”

“Cuma satu, Bu. Adik. Perempuan. Dia seusia Letta. Rumah kami hanya berselang tiga rumah. Dia tinggal dengan suaminya.”

“Oh...,” Sarita kembali manggut-manggut.

* * *

Pintu gerbang panti asuhan Sinar Kasih selalu terbuka lebar pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur. Hari-hari di mana pihak panti membuka kesempatan bagi pihak luar untuk berkunjung. Baik untuk memberi bantuan secara langsung, mengadakan acara bersama anak-anak, ataupun mempertemukan calon pengadopsi dengan anak-anak yang ada di sana.

Handoyo pun melangkah ragu-ragu. Diam-diam ia menyesali kenekatannya untuk datang ke tempat itu seorang diri.

Seharusnya benar aku datang bersama Letta...

Seorang perempuan berusia 40-an yang rupanya salah seorang pengurus panti melihat kehadiran Handoyo yang tampak agak celingukan di tengah keramaian. Sepertinya bukan sosok yang harus dicurigai hendak membuat kekacauan. Maka disapanya Handoyo dengan ramah.

“Selamat pagi, Bapak. Maaf, dengan Bapak siapa? Ada yang bisa kami bantu?”

Handoyo sedikit terkejut dengan sapaan itu.

“Iya, Bu, selamat pagi,” dibalasnya sapaan itu. “Saya Handoyo,” dijabatnya tangan perempuan itu. “Saya ingin bertemu dengan kepala panti, bisa?”

“Keperluannya?”

“Mm... Saya ingin minta informasi tentang salah seorang penghuni panti ini."

“Oh... Bapak sudah ada janji?”

Handoyo tercenung sejenak sebelum menggeleng dengan wajah sedikit kehilangan asa. Tapi perempuan itu tersenyum, menenangkan.

“Tidak apa-apa, Pak, bila Bapak bersedia mengantre sejenak. Karena ada beberapa orang yang sudah ada janji dengan Bu Prapti. Bagaimana?”

“Baik, saya tunggu saja,” Handoyo buru-buru mengangguk.

Perempuan itu kemudian membawa Handoyo ke sebuah ruangan di dalam panti. Ada beberapa orang yang sudah duduk di sana. Perempuan itu kemudian berbicara dengan salah seorang perempuan lain yang duduk di depan meja di sudut. Sejenak kemudian ia kembali menemui Handoyo yang sudah duduk di salah satu kursi kosong.

“Kebetulan hanya ada satu tamu di ruangan Bu Prapti, Pak,” ucapnya. “Setelah itu Bapak bisa menemui Ibu.”

“Terus, tamu-tamu yang lain?” Handoyo menatap perempuan itu dengan sedikit bingung.

“Oh... Mereka hendak bertemu dengan pengurus yang lain sesuai dengan bagiannya masing-masing.”

“Oh...,” Handoyo manggut-manggut.

Perempuan itu kemudian berpamitan dan keluar dari ruangan itu.

* * *

Dengan mulus, Leander meluncurkan mobilnya masuk ke dalam halaman panti asuhan yang cukup luas itu. Ia kemudian parkir di bawah keteduhan sebuah pohon besar. Terkesan jauh lebih gelap karena saat ini mendung terlihat menggantung di langit.

Letta segera meloncat keluar begitu mobil Leander berhenti. Dibukanya pintu depan sebelah kiri lebar-lebar, agar Sarita bisa keluar dengan lebih leluasa. Sebelum mereka melangkah, dijangkaunya tangan Sarita. Digandengnya erat-erat.

“Mas Leander!”

Seorang perempuan berusia 50-an berseru ketika melihat kedatangan Leander. Leander segera menghampirinya, dan menjabat tangan perempuan itu erat-erat.

“Bu Sinda masih ingat saya,” senyum Leander.

“Tentu saja! Tumben ke sini?”

“Iya, Bu. Ada perlu dengan Bu Prapti.”

“Oh... Ibu ada. kok. Masuk saja. Tapi biasanya antre.”

“Nggak apa-apa, Bu. Ke dalam dulu, ya?”

Sinda mengangguk.

Leander kemudian menggiring Letta dan Sarita ke bagian dalam panti. Ketika mereka masuk ke sebuah ruangan, langkah Sarita terhenti. Matanya menatap ke satu arah, nyaris tanpa kedip. Leander dan Letta mengikuti arah tatapan Sarita. Seketika, keduanya mengerti.

* * *

Sabar... Sabar...

Berkali-kali Handoyo mengucapkan kata itu dalam hati. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu, tapi pintu ruang kantor itu belum ada tanda-tanda terbuka. Dihelanya napas panjang untuk mengurangi rasa sesak di dada.

Seandainya benar, bagaimana harus menyampaikan hal itu pada Sarita dan anak-anak?

Handoyo menggeleng samar.

Yang penting kejelasannya dulu.

Sekali lagi Handoyo menghela napas panjang. Tapi belum sepenuhnya napasnya terhembus sempurna, sebuah panggilan membuatnya hampir tersedak.

“Bapak!”

Sarita melangkah lebar menghampirinya. Wajah Handoyo sedikit pias.

Hal yang satu itu benar-benar di luar jangkauan pemikirannya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sarita akan nekat datang ke panti itu sendirian.

Tidak sendirian.

Handoyo buru-buru meralat pikirannya ketika melihat siapa yang berada di belakang Sarita. Ia mengerjap lemah ketika menangkap tatapan Letta yang seolah meminta maaf. Ia kemudian menggeleng samar dengan senyum tipis di bibir.

“Bapak ndak mengajakku,” desis Sarita.

“Ibu sendiri juga ada di sini, tanpa aku,” balas Handoyo, lirih.

“Bapak sudah ndak ada di rumah ketika aku selesai mandi,” Sarita menatap Handoyo dengan sorot mata marah. “Aku telepon berkali-kali, ponsel Bapak mati. Jadi aku terpaksa ke rumah Mbak Letta. Kebetulan Mas Leander ada juga.”

Handoyo terdiam. Merasa bersalah.

Seharusnya...

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatiannya. Sebelum ia menyadari apa yang harus ia lakukan berikutnya, seorang perempuan yang keluar dari dalam ruang pemimpin panti sudah menyerukan nama Leander. Leander sendiri segera menghampiri perempuan itu. Menjabat tangannya dengan hangat. Dan mereka berbincang sejenak.

“Mas Leander, apa kabar?” Prapti menepuk-nepuk lengan Leander dengan wajah riang. Merasa bahwa laki-laki muda itu tak melupakan tempat ini.

“Baik, Bu. Ibu bagaimana? Anak-anak?”

“Baik... Baik... Kami semua baik-baik saja. Terutama setelah panti diperluas. Terima kasih tak terhingga untuk orang tuamu, Mas.”

“Oh... Hehehe...,” Leander meringis singkat. Ia kemudian mengalihkan pembicaraan itu. “Bu Prapti, begini... Itu ada Bapak dan Ibu Handoyo. Bertahun-tahun yang lalu mereka kehilangan anak bungsu yang bernama Kara. Mereka ingin memastikan apakah itu Kara yang sama dengan...,” Leander menghela napas panjang.

Prapti mengangguk mengerti. Ditepuknya bahu Leander yang setinggi kepalanya.

“Ajak mereka masuk, Mas. Kita bicara di dalam.”

Leander pun menuruti ucapan Prapti.

* * *

Tanpa sadar Sarita mencari-cari tangan Handoyo. Ketika ditemukannya, tangan itu segera menggenggamnya. Terasa dingin dan lembap. Sama seperti tangannya.

Prapti sedang sibuk di depan sebuah lemari arsip di dalam ruangan kantor itu. Meskipun semua arsip yang ada sejak panti asuhan itu berdiri 30 tahun yang lalu tersimpan dengan rapi, tetap saja butuh waktu untuk mencari map yang berisi data lengkap seorang Kara.

Letta menatap tangan yang saling menggenggam itu dengan hati bergetar. Ia dan Leander duduk berdampingan di atas sofa panjang di seberang meja Prapti, dengan Sarita dan Handoyo duduk membelakangi mereka. Sepertinya Leander juga menangkap pemandangan yang sama. Pelan, ia meraba tangan Letta, kemudian menggenggamnya erat.

Dan mereka semua menahan napas ketika Prapti berbalik dan berjalan menuju ke kursi dan mejanya. Di tangannya ada sebuah map, yang walaupun tidak lusuh, tapi terlihat sudah cukup berumur. Prapti duduk dan membuka map itu. Diambilnya sehelai foto dari dalamnya. Didorongnya dengan lembut di atas meja, ke arah Handoyo dan Sarita.
                         
“Ini... foto terakhir Kara,” ucap Prapti lembut.

Handoyo meraih foto itu. Bersama dengan Sarita diamatinya foto itu.

Seorang gadis muda sedang duduk di depan sebuah counter makanan. Ia menoleh ke arah pemotretnya. Tersenyum lebar. Rambut agak ikal sebahunya tampak sempurna membingkai wajah teduh berkulit kuning langsat.

Sejenak kemudian Handoyo dan Sarita bertatapan. Sama-sama mengerutkan kening. Dan keduanya merasakan hal yang sama.

Prapti kemudian menyodorkan map itu pada Handoyo dan Sarita seraya berucap, “Semua data Kara yang ada di sini hanya perkiraan, Pak, Bu. Karena masa lalunya benar-benar gelap bagi kami.”

Di dalam map itu ada beberapa foto masa kecil Kara selama di panti asuhan. Air mata Sarita meleleh ketika melihat foto Kara kecil saat dirawat di rumah sakit. Wajah Handoyo juga menyiratkan kelegaan ketika melihat Kara kecil sudah mulai pulih.

Pipi gadis kecil itu mulai terlihat montok dengan senyum yang menggemaskan. Rambut kriwil membingkai keseluruhan wajahnya yang terlihat bersih dan manis.

Sarita menyeka air matanya sambil mendesah panjang. Ditatapnya Prapti dengan sorot mata yang susah diartikan. Ada kesedihan di sana, bercampur dengan kelegaan, berlumur harapan yang seolah hidup kembali. Handoyo pun mengangkat wajahnya dari arah berkas itu.

“Bagaimana, Pak, Bu?” tanya Prapti dengan nada halus.

Handoyo dan Sarita saling menatap sejenak sebelum kembali menatap Prapti sambil menggeleng.

“Bukan, Bu,” gumam Handoyo.

“Ya, bukan,” sahut Sarita, menegaskan pernyataan Handoyo. “Wajahnya lain. Lagipula, Kara kami rambutnya lurus. Tidak ikal keriting seperti Kara yang ini.”

* * *

Selanjutnya
                                                                                     
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

7 komentar:

  1. Pertamax... good post mbak. lanjut Senin ya ?... sabar menunggu.

    BalasHapus
  2. Apakah kara bu Sarita sudah dibuat masakan ? Hihi

    BalasHapus
  3. Oooo.... dhudhuk curly kara, tp straight kara gitu? Mbak, senin ama sabtu cm beda hurup ajah, besok bisa? Khan tetangga deket..... \(^o^)

    BalasHapus
  4. Sambil baca jantung ku sudah keceng banget berdetak ☺️

    Lega bukan karanya .

    BalasHapus
  5. Mungkinkah Kara-nya keluarga Handoyo itu Letta? Aih, just my opinion. :-) :-)

    BalasHapus