Jumat, 09 Desember 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #10-2









Sebelumnya  



* * *


Sekeluarnya dari kamar, sebelum kembali menemui Sarita dan Handoyo di ruang tamu, Letta duduk sejenak di depan meja makan. Diaturnya napas baik-baik.

Tentu saja semua yang baru saja terjadi sangat mengejutkannya. Sekaligus membuatnya kebingungan. Perasaannya mengatakan bahwa memang benar ia adalah anak Handoyo dan Sarita. Ditambah dengan bukti fisik dan berbagai kilasan peristiwa yang seolah pernah terekam oleh otaknya dan berputar kembali secara acak. Tapi dokumen yang ia miliki berkata lain.

Menurut Sarita, Kara lahir pada awal bulan Agustus. Menurut akta kelahiran yang saat ini ia pegang, ia terlahir pada minggu terakhir Desember, pada tahun yang sama dengan Kara. Sedangkan Kara baru hilang saat berumur menjelang tiga tahun. Dan seingatnya, ia memiliki foto-foto masa kecilnya sejak bayi. Tapi saat ini semuanya ada di rumah Adrian.

Apa akta ini palsu?

Letta menghela napas panjang sambil menatap lembar akta kelahiran di tangannya. Beberapa saat kemudian ia teringat bahwa Handoyo dan Sarita masih menunggunya di ruang tamu. Ia berdiri dan mulai melangkah.

* * *

“Maaf, Bapak dan Ibu menunggu lama.”

Suara lirih itu sedikit mengejutkan Sarita dan Handoyo. Dan kemudian, tanpa berkata apa-apa, Letta mengulurkan akta kelahiran miliknya. Tanpa suara pula Handoyo menerimanya. Letta duduk diam-diam di dekat mereka. Cukup lama Sarita dan Handoyo tercenung mengamati akta kelahiran Letta.

“Ada mata rantai yang hilang,” gumam Handoyo, akhirnya, sambil mengembalikan lembaran itu pada Letta.

“Perasaanmu sendiri... bagaimana?” suara Sarita terdengar ragu-ragu.

Letta menggeleng lemah. “Saya tidak tahu. Hanya saja... semua pelukan yang saya terima tadi... membuat saya... seolah berada di... rumah. Dan entah kenapa... banyak kepingan puzzle yang hilang, tercecer entah di mana, tiba-tiba saja terasa menyatu... secara lengkap.”

Lalu hening. Hingga ada derum mobil yang berhenti di depan rumah Letta. Letta mengangkat wajah. Dalam pandangan lurus melalui bingkai pintu, Letta melihat Adrian turun dari mobil, membuka pintu pagar, dan melangkah ke arah rumah. Pelan-pelan Letta berdiri untuk menyambut Adrian di teras.

“Kamu baik-baik saja?” sorot mata Adrian terlihat khawatir. “Kamu pucat begini! Kamu sakit? Sejak kapan?”

“Mas,” Letta menatap Adrian, “aku nggak apa-apa. Nggak sakit.”

“Terus? Eh, ada tamu?” bisik Adrian.

“Ya,” Letta menggangguk. “Bapak-ibu-ku.”

Adrian mengerutkan kening. “Maksudmu?”

“Aku diculik dari keluargaku saat berumur sekitar 3 tahun,” ucapan Letta menyerupai gumaman. Tatapannya terlihat sayu. “Dan selanjutnya, Mas Dri pasti paham.” Letta meraih tangan Adrian, “Ayo, masuk. Dan tolong, jelaskan hal ini. Karena satu-satunya kunci hanya Mas Drian.”

Adrian menurut ketika Letta menarik tangannya. Sarita dan Handoyo berdiri bersamaan begitu melihat kehadiran Adrian. Letta kemudian memperkenalkan abangnya itu pada Sarita dan Handoyo.

Begitu duduk, segera saja Adrian dihujani tiga tatapan yang membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Tiga tatapan itu tidak menghakiminya, tapi ada aroma menuntut. Adrian menghela napas panjang.

“Jadi, bagaimana ini, Mas Adrian?” suara sabar Handoyo serasa menghambat laju napas Adrian. “Secara fisik dan perasaan, Letta jelas Kara anak kami yang hilang, diculik ART kami bertahun-tahun yang lalu. Namanya Paini. Tapi dokumen ini...,” Handoyo mengangkat sedikit lembaran akta kelahiran Letta

Akhirnya, saat ini datang juga...

Adrian mendegut ludah.

Dan ternyata seperti itu rangkaian cerita sebelumnya...

Adrian menghela napas panjang. Terlihat berat.

Berbohong pun sepertinya sudah tidak ada gunanya.

Beda usianya dengan Letta sekitar sebelas tahun. Ia sudah cukup besar ketika peristiwa itu terjadi. Ketika Letta yang ini hadir dalam kehidupannya. Walaupun samar, ingatan itu masih melekat cukup kuat di benaknya. Ditatapnya Letta, Handoyo, dan Sarita sebelum mulai bersuara

* * *

“Bu, maaf, ada kakak saya di luar. Boleh saya ajak masuk?” Yun menatap Tika dengan ragu-ragu.

“Lho, ya, ajak masuk saja, Yun,” Tika menanggapi dengan serius, walaupun matanya masih tertuju pada majalah yang dibacanya.

“Maksud saya..., dia bermaksud untuk menginap malam ini. Besok pagi-pagi mau pulang ke Malang Selatan.”

“Oh... Ya, nggak apa-apa, to?” Tika kini menatap Yun. “Dia kakakmu yang di Jakarta itu?”

“Iya, Bu,” Yun mengangguk. “Dan... dia bawa anaknya.”

“Oh?” Tika mengangkat alisnya. “Sudah nikah dan punya anak, to, dia? Kok, kamu nggak pernah cerita?”

Yun meringis. “Masalahnya... Saya juga nggak tahu kabar dia menikahnya kapan, Bu.”

Tika melongo sejenak sebelum tersenyum lebar.

“Boleh, Bu?” Yun menegaskan sekali lagi.

“Iyaaa...”

Yun pun mengundurkan diri dari depan Tika sambil mengucapkan terima kasih.

Dan gadis kecil itu, anak kakak Yun, benar-benar mengguncangkan dunia Tika. Mata bulat beningnya dinaungi bulu mata lentik. Pipinya yang sedikit bulat tampak menggemaskan. Pun rambut lurusnya yang jatuh sempurna bermodel bob dengan poni pendek. Semua itu dilengkapi dengan kulit kuning langsat yang terlihat begitu bersih. Mirip betul dengan Letta.

“Anak cantik, namanya siapa?” Tika berlutut di depan gadis kecil itu ketika Yun memperkenalkan mereka.

“Lala,” ucap gadis kecil itu dengan manisnya.

Lalu Yun menggiring kakak dan keponakannya itu ke belakang. Tika menatap  kepergian ketiganya dengan mata mulai mengaca.

Lala, gadis kecil cantik itu, benar-benar seperti Letta yang menjelma kembali. Usianya pun kurang lebih sama dengan Letta.

Kemudian, tak hanya ia saja yang merasa hatinya tertambat, tapi Yoga dan Adrian juga.

* * *

“Bu, saya mau pulang sebentar ke Malang Selatan,” keesokan paginya,  Paini – kakak Yun itu – berpamitan pada Tika. “Boleh saya titip anak saya di sini, Bu?”

“Oh... Nggak apa-apa,” sahut Tika cepat.

Sesungguhnya, ia senang sekali karena itu artinya ia masih bisa sejenak lagi ‘bermain’ dengan Lala. Apalagi gadis kecil itu sama sekali bukan anak yang merepotkan. Lala sama sekali tak pernah rewel.

Minggu pertama, Yun masih berharap Paini kembali untuk mengambil kembali Lala. Walaupun majikannya kelihatan tidak keberatan dengan kehadiran Lala, bahkan terlihat kembali ceria dengan kehadiran gadis kecil itu, tapi Yun tetap merasa bahwa tempat Lala bukanlah di rumah ini.

Lagipula, masih banyak pertanyaan yang belum ia peroleh jawabannya. Termasuk pernikahan Paini, siapa ayah Lala, di mana laki-laki itu sekarang, dan masih banyak lagi.

Masuk minggu kedua, Yun mulai gelisah. Menjelang minggu ketiga, ia tak tahan lagi. Tika hanya menatapnya dengan sedih ketika ia memberanikan diri untuk berpamitan.

“Kamu akan membawa Lala?” tanya Tika lirih.

Yun tampak bimbang sejenak. Tampaknya agak repot juga bila ia harus membawa serta Lala. Jarak Surabaya – Malang Selatan cukup jauh. Tapi untuk meninggalkan Lala, jelas itu akan membuat repot Tika.

“Tinggalkan saja dia,” Tika seolah mengerti apa yang dipikirkan Yun. “Aku akan mengurusnya.”

“Tapi, Bu...”

“Yun, aku memang bukan ibu yang baik sampai aku terlambat menyadari bahwa anakku sakit parah,” genangan bening mulai membayang di mata Tika. “Tapi aku akan mengurus Lala baik-baik. Pastikan sama ibunya, dia masih mau atau tidak, mengurusi Lala. Kalau dia tidak mau, aku bersedia mengurusnya.”

Yun menatap Tika. Lama. Seolah menimbang banyak hal. Tapi tatapan penuh permohonan Tika membuat Yun akhirnya mengangguk. Ia berangkat ke Malang Selatan untuk menyusul Paini. Sendirian.

* * *

Sendirian pula Yun akhirnya kembali ke Surabaya lima hari kemudian. Matanya masih terlihat sembap. Dan Tika segera memperoleh jawabannya.

Bus yang ditumpangi Paini dari Surabaya ke Malang mengalami pecah ban di daerah Purwodadi. Kecepatan tinggi menyebabkan bus itu tak terkendali, menghantam beberapa kendaraan lain, sebelum terjun masuk ke saluran air yang menyerupai sungai kecil di sebelah kanan jalan, dalam kondisi terbalik dengan posisi roda di atas dan ringsek parah. Seluruh penumpangnya tewas. Tanpa terkecuali. Termasuk Paini, dengan tas kecil masih menempel di tubuhnya, di balik jaket yang dikenakannya. Sehingga polisi bisa menemukan identitasnya dengan cepat. Dan mengirimkan jenazahnya ke Gedangan, Malang Selatan.

Tak ada yang bisa mengabari Yun, karena selama hampir sepuluh tahun ini ia dan Paini sudah yatim piatu dan hidup mandiri, jauh dari Gedangan. Para tetangga dan kerabatnya hanya tahu bahwa ia bekerja sebagai ART di Surabaya. Tanpa secuil pun alamat yang jelas.

“Satu-satunya keluarga Lala cuma saya, Pak, Bu,” Yun menangis tersedu di depan Yoga dan Tika. “Dan jujur, saya sama sekali tak tahu harus bagaimana saya mengurusnya sementara saya harus kerja di sini.”

Tika dan Yoga bertatapan sejenak. Dari balik jendela kaca besar ruang tengah yang membuka ke arah teras dan taman samping, tampak Adrian tengah asyik bercanda dengan Lala. Bergulingan di rerumputan sambil tertawa-tawa.

Mereka baru saja kehilangan Letta, hampir empat bulan yang lalu, karena leukemia yang menyerang Letta. Semua usaha terbaik sudah mereka lakukan, tapi Tuhan berkehendak lain.

“Yun...,” ucap Yoga kemudian. “Kalau boleh, biar Lala kami asuh. Untuk menggantikan Letta. Kamu tetap bekerja di sini. Membantu kami merawat Lala, seperti ketika Letta masih ada. Bagaimana?”

* * *

“Bulik Yun menyetujuinya,” Adrian menatap Letta dengan mata mengaca. “Karena usiamu dan Letta sebaya. Sosok kalian juga mirip. Maka sejak sore itu kamu adalah Letta, anak bungsu Papa-Mama, adik kesayanganku,” sebutir air mata menggelincir di pipi Adrian.

Letta segera menubruk Adrian dan tenggelam dalam pelukan laki-laki itu.

“Aku tak bisa kehilanganmu lagi,” bisik Adrian dengan suara bergetar hebat.

“Mas Drian tak akan kehilangan aku,” Letta mengeratkan pelukannya. “Aku tetap adik Mas Dri, tapi mereka keluargaku.”

Sarita dan Handoyo kehilangan kata. Hanya bisa menatap Adrian dan Letta dengan berbagai perasaan berkecamuk jadi satu dalam dada.

Paini, ART mereka yang menculik Kara, memang berasal dari Malang Selatan. Ketika mereka mencoba untuk mencari Paini ke kampung halamannya, berdasarkan copy KTP Paini, ternyata mereka terlambat. Paini sudah empat hari lamanya berbaring di dalam makam. Dan mereka benar-benar kehilangan jejak Kara, karena satu-satunya saudara yang Paini miliki sudah tak terdeteksi lagi di mana posisi tepatnya.

Mata rantai yang hilang itu sudah mereka temukan kembali. Benar-benar meneguhkan status asli Letta sebaga Kara, atau Hastungkara Murdayanto, anak bungsu pasangan Sarita Pangastuti dengan Handoyo Murdayanto

Setelah berpelukan selama beberapa saat lamanya, Adrian mulai mengurainya. Letta masih terisak. Adrian merengkuh bahunya. Laki-laki itu menatap Handoyo dan Sarita.

“Saya minta maaf atas semua yang terjadi,” ucapnya dengan nada tulus. “Akta kelahiran itu asli, hanya saja... pemiliknya dulu dan kini memang berbeda.”

“Mas,” Handoyo menanggapi dengan suara halus, “semuanya bukan salah keluarga Mas Adrian. Kami justru berterimakasih sebesar-besarnya karena keluarga Mas sudah mengurus Kara dengan sangat baik. Menyayangi dan mengasihinya tanpa syarat.”

“Kalau boleh tahu, ART kalian sekarang ada di mana?” celetuk Sarita tiba-tiba.

“Bulik Yun?” Adrian menegakkan punggungnya. “Ketika Letta dan Bulik Yun hendak saya bawa pindah ke sini, Bulik Yun menolak ikut karena mau menikah dengan sopir tetangga sebelah rumah kami di Surabaya. Sekarang, saya tidak tahu posisi tepatnya di mana. Mungkin masih di sana, mungkin juga sudah pindah ke tempat lain.”

“Oh...,” Sarita manggut-manggut.

“Kalau Bapak dan Ibu menghendaki, saya bisa secepatnya menyediakan waktu untuk mengantar Bapak dan Ibu ke Surabaya,” ujar Adrian.

Handoyo buru-buru menggeleng. “Sepertinya ndak perlu, Mas. Yang penting Kara kami sudah ketemu,” Handoyo menatap Letta. “Dalam kondisi baik dan sehat. Sekali lagi terima kasih.”

“Sama-sama, Pak, Bu,” Adrian mengangguk. “Besok akan saya bawakan foto-foto masa kecil Letta bersama kami. Semuanya masih tersimpan di rumah saya.”

Handoyo dan Sarita sama-sama mengangguk. Adrian mengalihkan tatapannya pada Letta.

“Malam ini kamu menginap di rumahku, ya, Let?” ucapnya lembut. “Aku nggak bisa membiarkan kamu sendirian dalam kondisi seperti ini.”

Letta menatap Sarita dan Handoyo, seolah meminta pertimbangan. Kedua orang itu sama-sama mengangguk sambil tersenyum, masih dengan mata basah.

Mereka, terutama Letta, perlu waktu untuk mengambil napas dan berpikir sejenak tentang semua yang sudah terjadi. Handoyo dan Sarita seutuhnya memahami hal itu. Mereka sudah 24 tahun lamanya berada dalam penantian yang cukup menyakitkan. Menunggu sejenak lagi hingga ‘Kara’ mereka siap melanjutkan hidup dan bergabung dengan keluarga barunya yang sesungguhnya keluarga lama, bukan masalah yang terlalu berarti. Apalagi dengan mata hati, mereka bisa melihat bahwa Adrian sangat menyayangi Letta.

Latihan mengendalikan emosi selama bertahun-tahun membuat Sarita dan Handoyo masih memiliki pikiran jernih untuk tidak mengumbar kegembiraan itu secara berlebihan. Mereka harus tetap tenang. ‘Kara’ mereka tidak akan ke mana-mana lagi. Itu yang paling penting.

* * *

                                                                                     
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



10 komentar:

  1. Woo super sekali mbak liss..
    Hihi berhasil komen pertama :)

    BalasHapus
  2. Super mbk... Tinggal ngurusi lean sing jeh baper

    BalasHapus
  3. Ouch .....
    Aq terharuuuu .....

    BalasHapus
  4. Paini arek Malang Selatan? Wong Kepanjen be'e yo? :p

    BalasHapus
  5. Oalah, paini paini kok yo nganti nyulik anak'e wong tho???? Pik apik tenan iki..

    BalasHapus
  6. Oh, gitu toh sebab-akibatnya. Sip sip sip... :-)

    BalasHapus