Episode
sebelumnya : Ruang Ketiga #7
* * *
Delapan
Hening.
Dahlia pelan-pelan membuka matanya. Bagian
ranjang di sebelahnya sudah kosong. Dahlia tersentak. Ia segera bangun dan
mendapati bahwa dua buah kopor besar dan dua buah travel bag yang sudah disiapkan sendiri oleh Swandito semalam, begitu mereka pulang dari peringatan 40 hari mendiang Wulansari Rumekso, sudah lenyap dari sudut
kamar.
Ia termangu sesaat. Masih tak percaya bahwa
ia sekarang sendirian. Benar-benar sendirian. Bahkan tak pernah ada Mbok
Saminten dan Pak Karsiman di hari Minggu seperti ini. Diam-diam ia keluar dari
kamar dan melongok ke garasi. Hanya ada city
car miliknya di sana. Tak ada lagi SUV Swandito.
“Dia ndak
pamitan padaku,” gumam Dahlia, setengah linglung.
Perlahan ia menjatuhkan badannya di atas sofa
panjang. Tatapannya berlabuh pada jam dinding di atas televisi. Sudah hampir
pukul sembilan. Ketika ia hendak berbaring di sofa itu, telinganya mendengar
notifikasi BBM disertai bunyi PING!
Dengan malas ia melangkah ke kamar untuk
mengambil ponselnya. Ia baru membuka akun BBM-nya setelah duduk kembali di
sofa. Dikedipkannya mata beberapa kali. Swandito.
‘Aku
sudah sampai Jogja, Jeng. Maaf aku ndak pamitan. Aku ndak mau mengganggu tidur
panjenengan. Jangan lupa makan. Jaga kesehatan. Sampai bertemu lagi.’
Dahlia menyusut airmatanya.
Obat tidur sialan!
Obat tidur sialan!
Tiba-tiba saja ia
menyesal kenapa semalam ingin istirahat secepatnya dengan cara menelan sebutir
obat tidur. Direbahkannya tubuhnya di atas sofa. Selanjutnya ia memejamkan
mata. Ia tak ingin berbuat sesuatu yang lain.
* * *
Entah sudah berapa lama Dahlia terlelap. Ia
mengerjapkan mata ketika mendengar suara ketukan di pintu. Dan kini suara
ketukan itu sudah menyerupai gedoran.
Dahlia sepenuhnya terjaga. Hal pertama yang
ada di benaknya adalah Swandito.
Dia
kembali?
Tanpa berpikir panjang ia berlari ke arah
pintu. Wajahnya menyimpan harapan.
Dia
kembali!
“Mas Swan!” ucapnya bersamaan dengan pintu
yang ia buka.
Tapi seketika wajahnya menjadi layu.
Bukan
Mas Swan...
Tanpa terkendali, ia mulai terisak. Dan
sejenak kemudian tersedu dalam pelukan orang yang menggedor pintu rumahnya.
* * *
Pintu terbuka.
“Mas Swan!”
Priyo terperangah. Dahlia menatapnya dengan
mata berbinar. Tapi sekejap kemudian binar itu meluruh, diganti oleh tetesan
airmata yang menderas. Tanpa banyak kata, Priyo meraih dan mendekap putrinya.
Dibiarkannya Dahlia menangis sampai puas.
Sedikit banyak ia memahami apa yang belakangan ini terjadi. Antara Dahlia dan
Swandito. Sesungguhnya, ia merasa sangat bersalah karena telah mengijinkan
Seruni mengundang Rengga tempo hari.
Ditunggunya dengan sabar hingga sedu-sedan
Dahlia berangsur reda menjadi isakan-isakan kecil. Setelah dirasanya Dahlia
lebih tenang, Priyo melepaskan pelukannya. Ia mengambil segelas air dingin dari
dalam kulkas, kemudian kembali dan menyodorkan gelas itu pada Dahlia.
“Ini,” ucapnya lembut, “minum dulu, Ndhuk...”
Dahlia menerima gelas itu sambil terbata-bata
mengucapkan terima kasih. Priyo duduk di sebelahnya. Membelai-belai rambut
Dahlia dengan begitu lembutnya. Setelah isi gelas itu berkurang separuh, dan
Dahlia terlihat jauh lebih tenang, Priyo mulai bertanya. Perlahan-lahan.
Sehalus mungkin.
“Sekarang ceritakan pada Romo, ada apa sebetulnya, Ndhuk?”
Perlu jeda beberapa detik sebelum Dahlia
mengungkapkan semuanya. Tentang kemunculan kembali Rengga. Tentang kehendak
Swandito. Tentang hatinya. Semuanya. Priyo mendengarkannya dengan sabar. Tanpa
ingin memotong sedikit pun.
Setelah Dahlia kembali terdiam. Hening dalam
wajah lelahnya, barulah Priyo berusaha menanggapi.
“Pertama,” Priyo merengkuh bahu Dahlia, “Romo, mewakili juga kanjeng Eyang dan Ibu, minta maaf yang sebesar-besarnya karena
sudah membuat hidupmu jadi seperti ini.”
“Tapi, Romo...”
"Sst...,” Priyo mengetatkan rengkuhannya ketika
Dahlia hendak membantah, “dengarkan Romo
dulu, Ndhuk...”
Dahlia kembali terdiam. Mendengarkan
baik-baik.
“Bagaimanapun, semua yang terjadi saat ini
padamu berawal dari sebuah kesalahan. Kesalahan kami dalam memilihkan jodoh
yang ternyata sangat tidak tepat buatmu. Dan kesalahan itu hampir berulang
terhadap adikmu. Walaupun semuanya berhasil menyadarkan eyangmu terhadap
kesalahannya, tapi waktu tak bisa diputar ulang. Sejujurnya Romo jauh lebih hancur daripada yang kau
kira. Melihatmu babak-belur, hampir mati, kehilangan masa depan, ayah mana yang
masih bisa tersenyum? Apalagi ayah yang satu ini sepenuhnya turut terlibat
dalam kemalangan yang menimpa putrinya. Yang membuat Romo bangkit lagi adalah ketegaranmu, dan kekuatanmu menghadapi
hari esok.”
Dahlia mendesah.
“Kedua,” lanjut Priyo. “Romo berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan Seruni. Hal
yang seharusnya Romo lakukan, tapi
nyatanya tidak. Yang membuat Romo sungguh
menyesal, kenapa harus ndhuk
Dahlia-ku yang paling cantik ini yang jadi tumbalnya lagi?”
Dahlia menengadah. Matanya menangkap telaga
bening yang hampir tumpah dari mata ayahnya. Pelan ia melingkarkan tangannya di
sekeliling tubuh besar Priyo. Disandarkannya kepala pada dada Priyo. Laki-laki
itu balas memeluknya.
“Sedikit pun, saya ndak pernah menyalahkan Romo,
atau Eyang, atau Ibu,” bisik Dahlia. “Pernah kecewa, marah pada diri sendiri
karena saya ndak mampu mengelak. Tapi
pada akhirnya saya bisa berdamai dengan kepahitan itu. Gusti mboten nate sare1),
Romo... Saya percaya betul hal itu. Pada akhirnya Gusti mendengar semua doa saya, sehingga saya bebas dari semua hal
yang menyakiti saya.”
Dahlia mengela napas sejenak. Priyo mengecup
puncak kepala Dahlia.
“Dan Mas Swan...,” Dahlia melanjutkan,
setengah mendesah. “Sejak awal saya tahu dia ndak sempurna. Tapi dia bukan iblis seperti suwargi Mas Dipta. Dan saya benar-benar ndak bisa membiarkan Seruni terjebak dalam pernikahan dengan orang
yang salah, yang belum bisa dibayangkannya. Saya sudah pernah menjalani
pernikahan yang seperti neraka. Ndak
jadi masalah bagi saya, seperti apapun kondisi Mas Swan. Nyatanya, dia sangat
menghargai saya, menerima saya apa adanya sebagai teman hidup. Kami bersahabat
dengan sangat baik. Membina hubungan yang menyenangkan. Mungkin sama sekali
lain dengan pernikahan normal seperti yang dijalani orang-orang pada umumnya.
Saya hanya berusaha menikmatinya, Romo...
Sesuatu yang saya pilih sendiri untuk saya jalani. Saya bukan tumbal. Tapi Mas
Swan...”
Airmata Dahlia mendadak luruh lagi.
“Swandito ke mana?” bisik Priyo.
“Menyingkir... ke Jogja...,” jawab Dahlia
terbata. “Memberi saya... kesempatan... untuk menjalin... komunikasi lagi...
dengan... Mas Rengga...”
“Oh...”
“Saya pikir dia berubah pikiran..., lalu
kembali... Saya kira... dia yang... pulang. Ternyata...”
“Ternyata orang yang sama sekali ndak kau harapkan yang tiba-tiba saja methungul2) di depanmu?” Priyo mencoba bercanda.
Dahlia tertawa di tengah derai airmatanya.
Priyo tersenyum menatap Dahlia. Disingkirkannya dengan lembut helaian rambut
yang jatuh di kening Dahlia.
“Sekarang bagaimana?”
Dahlia menggeleng. “Saya belum tahu, Romo. Belum bisa berpikir.”
“Coba pertimbangkan keinginan Swandito,”
tutur Priyo. “Coba tengok hatimu sendiri.”
Dahlia mengangguk-angguk. Walaupun hatinya
masih ragu.
“Sekarang mandilah, Ndhuk. Dandan yang cantik, siang ini kita kencan yang seru!”
“Kok Romo
tahu saya belum mandi?” Dahlia berdiri dengan wajah tersipu.
“Percuma jadi ayahmu selama tiga puluh satu tahun
lebih kalau ndak bisa membedakanmu
sudah mandi atau belum,” Priyo terkekeh.
Dahlia meringis sekilas. “Ngomong-ngomong, Romo kok ndak sama Ibu?”
“Lha ibumu sibuk sendiri packing barang-barang Seruni. Romo
ndak diurusi. Ya sudah, Romo ke
sini saja.”
Dahlia mengulum senyum mendengar ada nada
merajuk dalam suara ayahnya, sebelum mengundurkan diri ke dalam kamarnya.
* * *
Meninggalkan Jakarta dan kembali ke Solo
ternyata banyak sekali membawa perubahan. Terutama perubahan pada hatinya. Jadi
sering terjungkir-balik tak keruan belakangan ini. Apalagi setelah benar-benar
bertemu kembali dengan Dahlia.
Pelan Rengga menggelengkan kepala. Kabar
kematian Pradipta, tentu saja ia sudah mendengarnya sejak lama. Tapi ia tak
pernah berani memikirkan kemungkinan ‘terbaik’ yang tersisa untuknya setelah
kematian Pradipta. Masih ada Rana di sisinya saat itu. Dan ia hanya punya
sedikit waktu untuk membahagiakan Rana. Hanya mencapai waktu enam tahun. Dan
sudah berakhir setahun yang lalu.
Ada harapan yang tiba-tiba saja bersemi
kembali walau ia masih berduka dengan kematian Rana. Dan ia memutuskan untuk
mencoba menelusuri jejak harapan itu. Kembali ke Solo. Berharap bertemu kembali
dengan Dahlia. Sayangnya status Dahlia sudah kembali bersuami.
Menyesal?
Rengga menggeleng samar. Setidaknya ia tak
lagi terlalu kerepotan mengurus Lili sendirian. Di sini, statusnya sebagai
pewaris usaha keluarga memberinya waktu longgar untuk mengurus Lili. Di samping
itu masih ada ibu dan ayahnya, yang dengan senang hati membantu mengawasi Lili
bila ia harus berada di luar rumah untuk urusan bisnis.
“Ini tempatnya, Ayah?” Lili melongokkan
kepalanya, melihat lebih jelas dari balik kaca jendela mobil yang masih
tertutup.
“Hm... Sepertinya iya,” gumam Rengga sambil
membelokkan mobilnya, masuk ke area parkir.
“Uwiii... Kelihatannya asyik!”
Rengga tersenyum lebar mendengar ada nada
antusias dalam seruan putrinya. Sejenak kemudian, mereka sudah bergadengan
tangan masuk ke dalam rumah makan berkonsep kampung wisata kuliner itu.
Oh,
no!
Napas Rengga hampir terhenti. Tapi terlambat!
Lili rupanya sudah melihat juga siapa yang ia lihat.
“Lili!” seru Rengga kaget.
Segera dikejarnya Lili yang lepas dari
tangannya dan berlari ke satu arah sambil berseru-seru, “Tante Dahlia! Tante
Dahlia!”
* * *
“Romo tahu
saja ada tempat nongkrong asyik seperti ini,” celetuk Dahlia sebelum menyuapkan
sesendok nasi pecel ke dalam mulutnya.
“Ya tahulah...,” gumam Priyo sambil menikmati
thengkleng kesukaannya. “Wong sering kencan di sini sama ibumu.”
“Kok ndak
pernah ketemu to?” Dahlia
mengerutkan kening. “Saya juga sering ke sini lho, sama Mas Swan.”
“Ndak
jodho3) itu namanya,”
jawab Priyo seenaknya. Membuat Dahlia tergelak.
“Terus, kalau sering ketemu ndak sengaja, itu namanya jodoh?”
“Bisa jadi...”
“Ini ngomong apa to, Romo?” Dahlia masih tergelak.
“Ha yo
embuh4)...,” Priyo
tersenyum lebar, seolah tanpa dosa, sambil sedikit menjauhkan piringnya yang
telah kosong dari depannya.
Tapi tawa Dahlia lenyap ketika telinganya
menangkap seseorang menyebut namanya dengan suara yang nyaring. Ia menoleh dan
mendapati Dahlia kecil tengah berlari ke arahnya.
“Lili...?” gumamnya.
“Sopo5)?” tanya Priyo.
Tapi pertanyaan itu tak perlu dijawab oleh
siapa pun. Karena Priyo masih cukup mengenali siapa sosok tinggi besar yang
melangkah lebar di belakang gadis kecil berpipi bulat itu.
* * *
Rengga tampak berdiri serba salah ketika
melihat Lili mencium punggung tangan Dahlia yang diraihnya tanpa permisi.
“Tante...,” ucap Lili, sopan.
“Halo, Lili!” senyum Dahlia.
Ada rona senang sekaligus salah tingkah di wajah
Dahlia. Dielusnya kepala Lili dengan sayang.
“Lili, salim sama Kakung6) ya,”
ucap Dahlia halus.
“Weee... tangan Kakung masih kotor, Ndhuk... Sebentar
ya? Kakung cuci tangan dulu,” Priyo
segera bangkit dan pergi untuk mencuci tangannya. Tapi sebelum melangkah ia
sempat menoleh ke arah Rengga sembari berucap, “Monggo, duduk dulu, Mas...”
Rengga tak punya pilihan lain kecuali
mengangguk dan duduk di kursi seberang kursi Priyo. Lili sendiri tampak
menggayut manja pada Dahlia.
“Lili sudah makan belum?” tanya Dahlia sabar.
Saat itu tangan Rengga terulur padanya. Mau
tak mau Dahlia menyambutnya. Keduanya sama-sama agak gemetar. Dengan telapak
tangan terasa dingin.
“Apa kabar, Jeng?” tanya Rengga, nyaris hanya
menyerupai gumaman.
“Baik,” jawab Dahlia sambil buru-buru
melepaskan tangannya dari genggaman Rengga.
Ia kemudian kembali menatap Lili dan
mengulangi pertanyaannya, ”Lili sudah makan?”
Lili menggeleng. “Baru datang, Tante,”
jawabnya manis.
“Oh...”
“Lili jangan ganggu Tante sama Kakung ya? Yuk, kita pesan makanan
dulu,” bujuk Rengga dengan nada sabar.
“Lili belum salim Kakung,” Lili menatap ayahnya dengan sorot mata memohon.
Tepat saat itu Priyo kembali dengan senyum
lebarnya.
“Pak...,” Rengga buru-buru berdiri sambil
membungkuk sedikit dan menjabat tangan Priyo.
“Mas Rengga...,” tangan kiri Priyo menepuk
lembut bahu Rengga. “Bagaimana kabarnya, Mas?”
“Baik, Pak. Bapak?”
“Baik juga...”
Priyo kemudian membungkuk di depan Lili.
“Nah, sekarang tangan Kakung sudah wangi,” ucapnya dengan wajah cerah. “Sudah ndak bau kambing lagi, hehehe...”
Lili pun tergelak sambil menyambut uluran
tangan Priyo, kemudian mencium punggung tangan seperti biasa. Sopan sekali. Dan
Priyo merasa sangat terkesan dengan sikap baik yang ditunjukkan Lili.
“Siapa namanya, ndhuk cantik?”
“Dahlia...”
Priyo tampak sedikit terperanjat. Tapi ia
menutupinya dengan senyum.
“... tapi biasanya dipanggil Lili.”
“Oh, Lili... Sudah kelas berapa?”
“Besok mau sekolah SD, Kung...”
“Wah, anak pintar!” Priyo mengacungkan
jempolnya. “Sudah makan belum?”
“Belum,” Lili menggelengkan kepalanya.
“Ayo, pilih makanan sama Kakung yuk!” ucap Priyo seraya meraih tangan Lili.
“Romo...”
“Pak...”
Dahlia dan Rengga mencoba memprotes
bersamaan. Tapi Priyo menggeleng sambil tersenyum. Ditatapnya Rengga.
“Sudahlah, ndak apa-apa, Mas. Cucu-cucuku sudah beranjak mau ABG. Sudah ndak lucu lagi seperti ini. Monggo, slirane7) pilih makanan dulu, duduknya di sini saja.”
Nada suara Priyo seakan tak ingin dibantah.
Membuat Dahlia dan Rengga menyerah. Hanya menatap Priyo yang menjauh dengan
menggandeng tangan Lili.
* * *
“Hanya dengan Romo?” tanya Rengga sekembalinya dari memesan makanan.
Dengan ekor matanya ia melihat bahwa Priyo
dan Lili tengah duduk sambil bercakap-cakap. Terkesan begitu asyik.
“Ya,” Dahlia mengangguk sambil menyesap wedang uwuh-nya, mengurangi rasa gugup.
“Dik Seruni bagaimana kabarnya?”
“Baik. Baru beberapa hari lalu kembali dari
bulan madu.”
Hening sejenak.
“Forgive
me, Jeng... And I’m so sorry about everything,” ucap
Rengga kemudian, lirih.
“Seharusnya aku yang minta maaf,” sahut
Dahlia cepat. Terlalu cepat. Seolah takut kehabisan napas.
“Ndak...”
“Ya,” sahut Dahlia lugas. “Karena aku ndak berani berjuang.”
Rengga menatap Dahlia. Dalam. Segera saja
didapatinya banyak sekali sisa goresan luka dalam mata Dahlia.
“Kalau boleh tahu, kenapa ibu Lili
meninggal?”
Rengga menghela napas panjang sebelum
menjawab, dengan mimik duka menghiasi wajahnya. “Rana lemah jantung sejak kecil.
Impiannya sederhana. Menikah, punya suami, punya anak, punya keluarga. Dan
ketika aku tak punya harapan lagi karena panjenengan
sudah menikah dengan suwargi Pradipta,
aku menyetujui permintaan Mbak Mila untuk menjodohkan aku dengan Rana, adik
sahabatnya. Kami menikah tujuh tahun yang lalu. Lili lahir setahun kemudian
dengan perjuangan habis-habisan dari Rana. Dia bertahan, tapi kondisinya terus
menurun saat hamil lagi. Aku kecolongan. Dia melepas alat KB-nya tanpa
sepengetahuanku. Hanya enam bulan dia bertahan. Lalu dia pergi, membawa serta
adik Lili. Begitulah...”
“Dahlia...,” desah Dahlia dengan airmata
mengembang. “Kenapa namanya Dahlia?”
“Rana yang memberinya nama,” berkali-kali
Rengga mengerjapkan matanya yang juga berair. “Dengan harapan supaya aku selalu
mencintai Lili seperti aku selalu mencintai panjenengan.”
Dahlia kehilangan kata.
Kalau
sudah begini, harus bagaimana?
Tatapannya menerawang jauh.
Dan
ketika cinta itu masih ada, masih tersimpan rapi, lantas bagaimana?
Ia tertunduk kemudian, dan menggumam,
“Dia perempuan yang baik. Sangat baik.”
“Ya,” Rengga mengangguk.
“Dan aku bahagia bisa memberinya kehidupan yang dia impikan hingga detik
terakhir hidupnya.”
Dahlia menelan ludah. Terasa
pahit.
Sungguh-sungguh
berbanding terbalik dengan nerakaku bersama Pradipta...
* * *
Bersambung
ke episode berikutnya : Ruang Ketiga #9
Catatan
:
1. Gusti mboten nate sare = Tuhan tidak pernah tidur.
2. Methungul = muncul (secara tak terduga).
3. Jodho = jodoh.
4. Ha yo embuh = wah, tidak tahulah.
5.
Sopo = siapa.
6.
Kakung (kependekan dari eyang kakung) = kakek.
7.
Slirane = anda.
Dan ketika cinta itu masih ada, masih tersimpan rapi, lantas bagaimana?...
BalasHapusdipun lajenganken kemawon Mbak Lia...Mas Swan rak sampun paring lampu ijo ta?# eh kok ndikte sing nulis...nunggu bae karo penasaran...
Hehehe... Makasih mampirnya, Mbak...
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMaksudnya ini apa ya, Mbak Siska? Kalo yang Anda maksud komen tanggal 16 Nov 2015 (dan Anda ingin menunjukkan bahwa komen itu telah saya hapus dengan sengaja) kenapa nongolnya baru tanggal 7 April 2016?
HapusCinta yang saling menemukan, indah sekali
BalasHapusMakasih sudah singgah, Bu...
HapusWegah aku, ngene iki...
BalasHapusWegaaaaaaahhhhhhhh....
Hahaha... kabuuur... Nuwus mampire yo, Jeng...
HapusMelo aku
BalasHapusJiaaah... melok mellow...
HapusSuwun mampire, Mbak...
ck, bikin galau part ini.
BalasHapusWakakak... pukpuk Mbak Imas... Makasih mampirnya ya...
Hapuswah, kayaknya jodoh nih :)
BalasHapusIya kali yaaa... Hehehe...
HapusMakasih mampirnya, Fris...
benar-benar menguras air mata...mana gak disediain tissu pulaa...
BalasHapusBawa anduk sendiri, Mbak, hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...