Episode
sebelumnya : Ruang Ketiga #11
* * *
Dua
Belas
Entah sudah berapa lama Swandito tertidur.
Yang jelas ia terjaga dengan perut terasa keroncongan. Ia menyipitkan mata ke
arah jam dinding. Sudah pukul dua siang.
Lama
juga aku tertidur...
Swandito memejamkan matanya beberapa kali.
Saat itulah samar-samar ia mendengar ada percakapan di luar kamarnya. Ia tak
bisa mendengarnya dengan jelas karena pintu kamar tertutup rapat.
“Jeng...,” panggilnya.
Hingga beberapa saat lamanya tak ada orang
yang datang. Dilihatnya di atas nakas masih ada beberapa keping biskuit dan
segelas teh yang masih penuh tapi sudah dingin. Diraihnya biskuit-biskuit itu
dan dimakannya pelan-pelan. Terakhir, diminumnya beberapa teguk teh yang terasa
manis itu.
Pelan disingkirkannya selimut dari atas
tubuh. Ketika ia bangun, dirasanya kepalanya tidak begitu pusing dan ia pun
merasa sudah tak selemas tadi. Dengan hati-hati ia menapakkan kakinya ke
lantai. Ketika merasa cukup kuat, ia pun berdiri. Sempat limbung sejenak, tapi
ia bisa juga melangkahkan kakinya dengan tangan bertumpu pada apa saja yang ada
di dekatnya.
Ia merasa lega ketika mencapai pegangan
pintu. Ketika ia membuka pintu, dua kepala langsung menoleh ke arahnya. Yang
seorang buru-buru berdiri dan melangkah mendekat untuk menyambutnya. Dahlia.
“Mas sudah bangun? Lapar ya?”
Swandito mengangguk.
“Atau perutnya sakit lagi?”
Swandito menggeleng.
“Rebahan lagi, Mas,” Dahlia mencoba
membimbing Swandito kembali ke ranjang. “Kan ngendikane Paklik, panjenengan harus istirahat total seharian ini.”
Swandito menatap rona cerah di wajah Dahlia.
Dengan ekor matanya, ia menangkap bahwa orang yang tadi bercakap-cakap dengan
Dahlia pun turut berdiri. Sejenak Swandito lupa bernapas.
Rengga. Laki-laki itu pun menghampirinya,
kemudian menjabat tangannya dengan hangat.
“Bagaimana keadaan panjenengan, Mas?” Rengga tak melepaskan tangan Swandito.
Sebaliknya, ia tetap menggenggam tangan itu, dan tangan yang sebelah lagi
melingkar di sekeliling bahu Swandito. Menopang Swandito melangkah tegak
menyeberangi kamar kembali, ke arah ranjang.
“Sudah mendingan kok, Mas,” jawab Swandito,
agak rikuh dengan perlakuan Rengga. “Terima kasih.”
“Aku sengaja ndak membangunkan panjenengan,” Dahlia menatap Swandito dengan senyum di wajahnya. “Panjenengan ndak bisa tidur semalaman, jadi pastinya mengantuk sekali.”
Swandito hanya mengangguk. Sejenak kemudian
Dahlia sudah menata beberapa bantal sehingga Swandito dapat duduk bersandar
dengan nyaman di atas ranjang.
“Mas,” Dahlia menoleh ke arah Rengga, “tolong
panjenengan temani Mas Swan sebentar
ya? Aku ambil makanan dulu buat Mas Swan.”
Rengga mengangguk. Seiring dengan perginya
Dahlia, Rengga menarik sebuah ottoman dari
depan meja rias, kemudian mendudukinya. Rengga menatap Swandito. Keprihatinan
tampak nyata di matanya.
“Panjenengan
terlalu capek kelihatannya, Mas,” tak ada nada sok tahu sedikit pun dalam suara
Rengga. “Ndherek belasungkawa atas
berpulangnya ibu panjenengan. Saya
baru tahu tadi dari Jeng Lia.”
“Nggih,
Mas,” Swandito mengangguk sedikit. “Matur
nuwun1). Sendirian
tadi ke sini?”
“Iya, Mas.”
“Panjenengan
makan dulu, Mas,” Dahlia muncul tak lama kemudian. Ada sebuah mangkuk di
tangannya. Diserahkannya mangkuk itu pada Swandito. Berisi kentang tumbuk,
telur rebus, dengan tambahan sedikit kuah kaldu. “Mas Rengga dan aku tadi sudah
makan duluan.”
“Wooo... Lha piye, kok aku jadi makan sendirian?” Swandito mencoba untuk
bersikap biasa.
“Ndak apa-apa,
Mas,” Rengga tersenyum lebar.
“Saya makan dulu ya?”
“Monggo,
selamat menikmati...”
Tatapan Swandito jatuh pada Dahlia. Dahlia
balas menatapnya, menggoda.
“Mau disuapi?” Dahlia mengangkat alisnya,
dengan sorot mata dipenuhi tawa. Membuat Swandito jengah. Tatapan Dahlia
kemudian beralih pada Rengga. “Tadi katanya panjenengan
mau ngendikan langsung sama Mas Swan?
Monggo lho...”
“Hm... Iya...,” Rengga kelihatan sedang
menata betul ucapannya. “Begini, Mas. Kalau seandainya Mas Swandito nanti kami
minta jadi saksi nikah, kira-kira bersedia ndak?”
Swandito berusaha untuk tidak ternganga. Tapi
gagal.
“Soalnya kami rencanakan acaranya akan
berlangsung di Jakarta. Masih beberapa bulan lagi. Masuk ke tahun depan. Saya
tahu panjenengan orangnya sibuk,
makanya saya minta waktunya dari jauh-jauh hari.”
Swandito terdiam. Terduduk kaku dengan tangan
masih memegangi mangkuk di pangkuannya. Sejenak kemudian ditatapnya Dahlia.
“Kalau sudah direncanakan seperti itu,
berarti proses kita harus dilakukan secepatnya,” Swandito setengah menggumam.
“Proses apa?” Dahlia mengerutkan kening.
“Perceraian kita,” suara Swandito menghilang.
“Panjenengan
serius mau menceraikan aku?” mata Dahlia mengerling, menggoda. “Alasannya?”
“Sebentar... sebentar...,” Rengga mengangkat
tangannya. “Aku kok jadi bingung?” Ditatapnya Dahlia, “Sliramu belum cerita apa-apa sama Mas Swandito?”
“Belum,” Dahlia menggeleng dengan wajah
polos.
Rengga menghela napas dengan wajah gemas. “Sliramu ini lho, kok tega-teganya jahil
sama suami sendiri?”
Dahlia tertawa. Diraihnya sebelah tangan
Swandito, kemudian dibawanya ke pipi. Ditatapnya laki-laki itu. Dalam.
“Mas...,” ucapnya lembut. “Ndak akan ada perceraian di antara kita.
Yang akan dinikahi Mas Rengga bukan aku, tapi bulik-nya Lili, adik suwargi
Mbak Rana. Namanya Denna.”
Swandito ternganga.
* * *
“Nesu2)...,” Dahlia
menyenggol lengan Swandito.
Swandito diam saja. Memejamkan mata. Dahlia
menggulingkan badannya, berbaring miring menghadap Swandito yang masih
telentang.
“Mas...”
Swandito tetap diam.
“Nesu
tenan ik3)...,” gumam
Dahlia. Ia kemudian kembali berbaring telentang. “Seharusnya yang marah itu
aku,” ucapnya kemudian. “Ndak ada
angin, ndak ada hujan, kok tahu-tahu
mau dicerai. Cuma gara-gara aku ketemu lagi sama mantan. Ketemunya ndak sengaja pula.”
Diam-diam Swandito mendengarkan semua keluhan
Dahlia.
“Ya aku akui, memang agak goyah karena
sejujurnya rasa cinta itu masih ada. Apalagi hampir semua orang seolah
mendorongku untuk meraih kembali cinta itu. Bahkan garwaku sendiri. Seolah aku sekarang ini hidup cuma untuk menebus
apa yang ndak bisa aku peroleh di
masa lalu. Seperti ndak ada hal lain
yang lebih penting saja.”
Pelan tangan Swandito bergerak. Mencari
tangan Dahlia. Kemudian menggenggamnya ketika ketemu. Dahlia tersentak
karenanya. Ia menolehkan kepalanya ke arah Swandito.
“Maafkan aku, Jeng,” ucap Swandito. Pelan ia
menolehkan kepalanya ke arah Dahlia, kemudian diikuti dengan badannya. “Aku
hanya ingin panjenengan bahagia.”
Dahlia menggulingkan badannya lagi. Kini
berhadapan dengan Swandito.
“Aku tahu panjenengan
mungkin ndak akan pernah bisa
mencintaiku,” bisik Dahlia. Tangan kanannya yang bebas mengelus pipi Swandito
yang terlihat sedikit lebih tirus daripada biasanya. “Tapi kemauan panjenengan untuk meninggalkan masa lalu
itu bagiku jauh melebihi cinta. Sebelum kita menikah, panjenengan mengatakan bahwa merasa nyaman berada di dekatku. Aku
pun merasakan hal yang sama. Hubungan kita istimewa. Kita sama-sama berangkat
dari ketidaksempurnaan. Karenanya kita lebih bisa saling menghargai dan selalu
berusaha untuk menjadi teman hidup yang baik satu sama lain.”
Dahlia memejamkan mata ketika tangan kiri
Swandito terulur. Membelai lembut kepalanya.
“Ketika aku memutuskan untuk mau menikah
dengan panjenengan,” lanjut Dahlia
sambil membuka mata, “aku sudah siap untuk menghadapi semua kemungkinan
terburuk. Tapi apa yang kudapatkan? Semuanya jauh melampaui mimpi yang pernah
kubangun tentang sebuah pernikahan. Semua yang kujalani bersama panjenengan itu selalu membuatku merasa
tenteram, ndak perlu mengkhawatirkan
apa-apa, bersyukur atas setiap hari yang berlalu bersama panjenengan. Itu sudah lebih dari cukup buatku. Lalu panjenengan sendiri bagaimana, Mas?”
Swandito menggenggam kedua tangan Dahlia.
“Aku...,” terlihat sekali Swandito kesulitan
untuk menemukan kata. “Aku sebenarnya sama sekali ndak ingin kehilangan panjenengan.
Aku ndak tahu caranya mencintai lawan
jenis, tapi buatku panjenengan ini
setengah nyawaku. Kalau disuruh menjelaskannya, aku ndak bisa. Yang pasti, aku merasa ndak ada artinya apa-apa tanpa panjenengan
di sampingku. Tapi... aku hanya ingin panjenengan
bahagia, Jeng...”
“Aku bahagia,” tukas Dahlia halus. “Rasa
syukur itu membuatku bahagia. Katakanlah kita memang ndak menjalani pernikahan yang menurut orang lain normal, tapi apa
yang sebenarnya kita butuhkan? Kita sama-sama butuh teman hidup yang tak pernah
saling menuntut. Dan kita sudah memilikinya. Bagiku semua ini sudah pas pada
tempatnya.”
Swandito masih menatap Dahlia. Lama. Dalam.
Dan di relung tersembunyi mata Dahlia, ia mendapati bahwa semua ucapan Dahlia
benar adanya.
“Jadi... Panjenengan
memang betul-betul ndak tergoda untuk
memulai hal yang baru dengan Rengga?” tanya Swandito, hati-hati.
“Hm... Pada awalnya, iya,” Dahlia
mengerjapkan mata. Berusaha untuk mengungkapkan kejujuran. “Karena begitu
banyak yang mendukungku untuk kembali dengan Mas Rengga. Bahkan panjenengan sendiri seolah memberiku
jalan selebar-lebarnya. Tapi kemudian aku bicara dengan Ibu.
“Aku bertanya pada Ibu banyak hal tentang
hubungan Ibu dengan Romo, karena aku
merasa bahwa Romo dan Ibu adalah pola
yang pas untuk kuikuti. Romo selalu
menjaga hati, selalu menghargai Ibu, keduanya juga berteman dengan baik, saling
mencintai, saling mengikatkan diri. Benar-benar menganggap satu sama lain
sebagai sigaraning nyawa.
“Dan ketika kurenungkan kembali, aku
menemukan pola yang sama pada pernikahan kita. Walau pasti ada yang berbeda,
tapi tetap saja hal-hal yang pokok itu sama dengan yang kita miliki. Haruskah
aku mempertaruhkan semuanya untuk suatu hal yang tidak pasti hanya dengan
bermodalkan cinta lama yang aku sendiri ndak
yakin kadarnya masih seberapa?
“Saat itulah aku memutuskan untuk melangkah
pada jalur yang sudah ditetapkan ini. Pernikahan istimewa kita. Dalam ruang
ketiga kehidupanku. Kehidupan kita. Di mana aku mendapatkan banyak kebahagiaan
di dalamnya, bersama panjenengan,
teman hidupku, sigaraning nyawaku...”
Lama Swandito tercenung. Merenungkan semua
ucapan Dahlia. Lalu ia teringat sesuatu.
“Panjenengan
benar-benar menggodaku soal Rengga ini,” desah Swandito kemudian.
“Sengaja,” Dahlia tersenyum lebar. “Supaya panjenengan besok-besok ndak lagi seenak udel panjenengan memutuskan sendiri sesuatu
tentang kita.”
Swandito tertawa ringan. Beberapa detik
kemudian mereka kembali bertatapan.
“Maafkan aku, Jeng,” ucap Swandito
sungguh-sungguh. “Tentunya aku sudah membuat hidup panjenengan jadi makin ndak tenang
akhir-akhir ini.”
“Ndak apa-apa...
Toh panjenengan sudah menebusnya
dengan sakit begini. Muara dari stress
panjenengan sendiri memikirkan hal yang sebetulnya ndak perlu dipikirkan.”
“Tapi enak sakit begini,” ucap Swandito
dengan nada jahil. “Selalu ditemani, diperhatikan, dirawat baik-baik.”
“Hm... Kalau tahu ada yang sengaja aleman begini mendingan aku luluran saja
di salon,” Dahlia mengerling sadis.
Swandito terbahak.
“Sudah, mandi dulu sana,” Dahlia menarik
tangan Swandito. “Keburu tambah sore. Nanti perutnya ndak enak lagi...”
“Terus, kapan panjenengan mau cerita soal kencan sama Rengga?”
“Yang mana?”
“Waktu aku kembali ke Jogja, sebelum besoknya
berangkat ke Singapura itu...”
“Haish... Sana mandi dulu! Nanti saja
dongengnya, menjelang tidur.”
Swandito tergelak sambil bangkit dari
ranjang.
* * *
“Aku...
ingin bicara... tentang kita...,” ucap Dahlia kemudian, terbata.
Rengga
duduk diam, berusaha menyimak baik-baik semua perkataan Dahlia.
“Aku
ingin bertanya pada panjenengan, Mas. Apakah panjenengan benar-benar ingin kita
melanjutkan semua yang sudah terputus di antara kita?”
Rengga
menatap Dahlia. Dan jawaban itu meluncur begitu saja dari sela bibirnya, “Aku
ndak tahu, Jeng...”
Keduanya
bertatapan. Rengga kemudian berusaha mengumpulkan kembali semua pemikiran yang
telah menyimpul di otaknya, kemudian mengutarakannya pelan-pelan.
“Sliramu
bahagia dalam perkawinan itu, Jeng?”
“Ya,
aku bahagia,” suara Dahlia terdengar tegas.
“Sliramu
masih mencintai aku?”
“Mungkin...,”
Dahlia berubah menjadi ragu-ragu. “Aku ndak tahu masih sebesar apa. Karena
jujur, aku sudah ndak pernah memikirkannya lagi.”
“Hm...,”
Rengga tertunduk sejenak, sebelum mengangkat lagi wajahnya. “Sebetulnya suwargi
Rana pernah berpesan padaku untuk mencari ibu yang baik buat Lili. Aku yakin
sliramu adalah seorang ibu yang baik buat Lili. Masalahnya, sliramu sudah
menikah. Dan aku melihat ndak ada yang salah dengan pernikahan itu. Di lain
pihak, ada Denna...”
“Denna?”
mata Dahlia menyipit sekilas dengan kening berkerut.
“Denna
itu satu-satunya bulik-nya Lili, adik suwargi Rana,” Rengga menyandarkan
punggungnya pelan-pelan. “Lili dekat dengan Denna. Aku tahu Denna sangat
menyayangi Lili. Dua hari yang lalu Denna kemari. Dia sengaja mengambil cuti
tahunan untuk menghabiskan waktu bersama Lili. Kelihatan sekali dia kangen
banget pada Lili. Dia menginap di rumah Bapak dan Ibu. Dan semalam, Bapak dan
Ibu memanggilku, untuk membicarakan kemungkinan aku menikahi Denna. Hanya saja,
aku belum punya jawabannya.”
Hening
sesaat. Hanya terdengar dua napas panjang yang terhela bersamaan.
“Mas...,”
gumam Dahlia beberapa detik kemudian. “Panjenengan percayakah pada pertanda-pertanda
yang saat ini sebetulnya sedang kita hadapi?”
“Maksudnya
bagaimana, Jeng?” Rengga mengerutkan kening.
“Maksudku...,
aku ndak tahu apakah aku tepat menerjemahkannya ataukah tidak. Tapi, coba
panjenengan pikir, kita bertemu lagi dalam keadaan seperti sekarang, ketika
salah satu dari kita masih punya pagar tinggi bernama pernikahan. Sementara
panjenengan, walaupun sudah bebas, tapi ternyata masih memiliki kemungkinan
jalan lain untuk panjenengan lalui. Masih ada seorang Denna, yang kemungkinan
besar jauh lebih baik daripada aku dalam merawat panjenengan dan Lili.
Bagaimana menurut panjenengan?”
Rengga
tercenung lama. Dicobanya untuk mencerna ucapan Dahlia baik-baik dalam otaknya.
Makin ia berpikir, seolah semua tirai makin terbuka dan segalanya jadi terang.
“Jeng...,”
ucapnya kemudian, lirih. “Kita masih bisa menikmati bahagia itu walaupun kita
tidak bersama kan?”
Dahlia
mengangguk.
“Kita
masih bisa meraih kebahagiaan itu kalau kita mau berjuang kan?”
Dahlia
kembali mengangguk.
“Berjuanglah
untuk terus-menerus meraih bahagia itu bersama garwamu, Jeng. Dan aku akan
berjuang untuk meraihnya bersama Lili dan Denna. Bagaimana?”
“Kita
masih punya kesempatan itu, Mas. Itu yang harus kita gunakan baik-baik. Bersama
keluarga kita masing-masing. Kita berhak atas itu, setelah semua hal buruk yang
pernah kita alami dalam kehidupan kita masing-masing.”
Rengga
mengangguk mantap.
“Aku
banyak mendengar soal kepahitan yang sliramu alami dalam pernikahan terdahulu.
Sedih sekali mendengarnya,” gumam Rengga kemudian.
“Semuanya
sudah berlalu. Gusti mboten nate sare, Mas. Terbukti sekarang semuanya sudah
berakhir.”
“Ya.
Aku pun begitu. Aku cukup merasa berarti sudah memberi banyak kebahagiaan buat
suwargi Rana. Dan masih ada seorang Dahlia kecil yang boleh kumiliki. Hidupku,
cahayaku, permata hatiku.”
“Jadi
kehidupan kita sekarang sudah pas pada tempatnya kan?” senyum Dahlia.
“Ya,”
Rengga mengangguk mantap. “Sangat pas. Walaupun kita tetap tak bisa bersatu.”
* * *
“Ayo, Jeng...” seperti biasa, Swandito
mengulurkan tangannya pada Dahlia sambil berdiri dari duduknya.
Sudah ada panggilan bagi para penumpang untuk
naik ke sebuah pesawat jurusan Jakarta. Dahlia menyambut uluran tangan itu,
lalu mereka bergandengan tangan, berjalan berdampingan menuju gerbang
keberangkatan. Haryo dan Kusrini telah melangkah terlebih dahulu di belakang
Eyang Murti yang tangan kanan dan kirinya digandeng Candra dan Bintang. Di
belakang Dahlia dan Swandito masih ada Srikandi dan Priyo. Sebuah rombongan
keluarga bahagia yang akan menghadiri acara ngundhuh
mantu.
Seperti biasa pula, sebelah tangan Priyo
merengkuh bahu Srikandi. Memberinya perlindungan yang selalu terasa hangat.
Srikandi menengadah sedikit, membisikkan sesuatu. Dan seperti biasanya pula,
Priyo membungkuk sedikit, mendengarkan baik-baik.
“Aku kok ndak
yakin Swandito itu benar-benar ndak bisa
mencintai Ndhuk,” lirih suara
Srikandi.
“Cinta itu bermacam-macam, Jeng,” Priyo
menanggapi dengan suara rendah. Tersenyum. “Swandito mencintai Dahlia dengan
caranya yang lain. Dan mungkin juga mereka saling mencintai bukan dengan cara
yang kita kenal.”
Srikandi mengangguk-angguk. Dalam banyak hal,
Priyo selalu benar. Tapi bagi Priyo, Srikandilah yang selalu benar.
* * *
Epilog
“Kau
mau ke mana?”
Denna
menghentikan gerakan tangannya, memasukkan semua bajunya ke dalam kopor.
Ditatapnya Rengga dengan mata kelam. Tapi dicobanya untuk tersenyum.
“Pulang,
ke Jakarta.”
Rengga
mengerutkan kening. “Bukannya cutimu masih lama?”
“Semuanya
sudah selesai di sini,” ucap Denna, terdengar sangat sedih. “Tolong jaga Lili,
Mas. Katakan padanya juga untuk mencintai dan merawat Lili baik-baik. Kalau tak
bisa dan Lili sampai terlantar, aku tak akan segan-segan membawa Lili menjauh
dari kehidupanmu.”
“Katakan
pada-NYA?” Rengga tersenyum, berlagak bodoh. “Siapa?”
“Siapa
lagi?” Denna menatap Rengga dengan gemas. “Calon istrimu itu! Mantan pacarmu
itu!”
Rengga
menyipitkan matanya. “Kau menguping pembicaraanku dengan Ibu?”
Denna
mengalihkan tatapannya. Ia membungkuk untuk menutup kopornya.
“Lain
kali kalau menguping jangan tanggung. Lakukan sampai selesai. Supaya ndak salah
paham,” ucapan Rengga terdengar lebih mirip gumaman.
Denna
menegakkan punggungnya. Ditatapnya Rengga dengan sengit. Tapi ia tak mampu
menanggapi lebih lanjut ucapan Rengga. Rengga mendekatinya. Tersenyum.
“Tolong
jangan pulang dulu,” ucap Rengga, halus. “Jangan pergi. Lili membutuhkanmu. Aku
membutuhkanmu untuk membantu merawat Lili...”
Kening
Denna berkerut karenanya. Rengga makin dekat. Dan kini mereka berdiri
berhadapan. Rengga memegang lembut kedua bahu Denna dengan tangannya yang
kukuh.
“...
dan menemukan kembali cintaku. Kau memang bukan Rana. Bukan Dahlia. Tapi bagiku
kau yang terbaik. Untuk menemaniku dan Lili. Selamanya.”
Denna
ternganga. Tak bisa bergerak. Pun ketika Rengga menenggelamkannya ke dalam
pelukan.
“Kau
yang diminta Lili untuk jadi ibunya. Bukan orang lain,” ucap Rengga, lembut.
“Kau pula yang hendak kuminta untuk menjadi pendamping hidupku berikutnya.
Bukan orang lain.”
“Lalu...
dia?” hanya itu yang bisa dibisikkan Denna.
“Hanya
sekeping pecahan masa lalu yang kebetulan terlihat kembali...”
“Oh...”
Pelan,
Denna membalas pelukan Rengga.
* * * * *
S.E.L.E.S.A.I
Catatan :
1. Matur
nuwun = terima kasih.
2. Nesu = marah ; ngambek.
3. Nesu
tenan ik = benar-benar ngambek
nih.
Akhirnya happy ending seperti harapan sy...keren bgt mba lizz smpe sy ikut kebawa bahagianya,ikut senyum2 bahagia...TOP BGT
BalasHapusMakasih mampirnya, Mbak Tri... Silakan mampir lagi ke cerpen stripping yang mulai tayang hari ini...
Hapus“Begini, Mas. Kalau seandainya Mas Rengga nanti kami minta jadi saksi nikah, kira-kira bersedia ndak?”
BalasHapuskayaknya bukan mas rengga deh...
mas swandito tuh...
selebihnya... TOP MARKOTOPPPPP...
batal dah nyuci pake rinso...
Iya Mbak Dani....aku juga mau komen soal typo itu. Kalau lainnya...seperti biasa penyelesaian konflik yang diluar dugaan. Great!
HapusAjari to nulis sing koyo ngene...please...#pasang muka melas
Makasih mampirnya, Jeng dan Mbak...
HapusUdah diedit dari jaman Jepang ya, makasih...
Bahagia di kehidupan masing-masing.
BalasHapusSeru ceritanya Mba Lis....
Makasih, Afris... Mampir ke cerpen stripping terbaru yuuuk...
Hapus(buatku) ending ndak penting sewaktu membaca cerita ini. Aku mencari isinya. Penuh .... itu yg kutemukan dng melihat suatu cara pandang & filosofi yg dalam.
BalasHapusIni salah 1 karya terbaikmu. Maju terus dik! Gusti mberkahi ....
Matur nuwun, Mbak...
HapusBerkah Dalem...
Bahagia itu unik, ukuran kebahagiaan kita nggak bisa diterapkan pada orang lain. Cerita yang manis dan menggugah. Makasih bu Lis utk ceritanya.
BalasHapusSama-sama, Bu... Makasih juga buat kesetiaannya mampir ke sini.
Hapusgood post mbak.
BalasHapusMakasih mampirnya ya, Pak Subur...
HapusMatur nuwun sampet saged nderek maos cerita ingkang sae puniko....
BalasHapusSami-sami, Mbak.. Matur nuwun rawuhipun...
HapusAq terpesona to the max sampek ga isa komen mba
BalasHapusJiaaah...
HapusAda stripping baru, Nit. Mampir yuk!
Makasih ya...
Bookmark wis lengkap kari mocone. Super recommended jarene nyonya :D
BalasHapusngakak baca komen ini. hahahaha.....
HapusHehehe... Makasih mampirnya ya...
HapusOh akuu sukaaaaa sekali akhir yang indaaaah bingit. Bagus banget bu cerbungnya (y) Maksih ya buu.. enak dinikmati.
BalasHapusOh... aku suka Mbak Indah juga suka cerbungku...
HapusMakasih ya, Mbak...
Telaaaat...suka endingnya..semua bahagia...
BalasHapusMakasih, Mbak Retno... Telat nggak disetrap kok, hihihi...
Hapus