Episode
sebelumnya : Ruang Ketiga #10
* * *
Sebelas
Udara cerah Jogja sore hari menyambut
Swandito ketika turun dari pesawat yang ditumpanginya dari Denpasar, menyambung
perjalanannya dari Perth. Tapi semua itu sungguh berbanding terbalik dengan
suasana hatinya. Deretan huruf dalam BBM yang kemarin dikirimkan Dahlia seolah
terus bermain di depan matanya.
‘Aku
senang panjenengan pulang besok. Sehingga semuanya tentang kita yang begitu
melelahkan akhir-akhir ini bisa secepatnya berakhir.’
Swandito menghela napas panjang sambil
menunggu taksinya. Semuanya yang sudah diawali pasti akan berakhir juga.
Demikian pula perjalanan bisnisnya yang melelahkan. Ditambah dengan kemungkinan
terburuk yang akan dihadapinya ketika sampai di rumah.
Rumah?
Yang akan diwarnai sebuah perpisahan?
Swandito menelan ludah dengan susah payah. Tampaknya
ia memang harus segera pulang ke rumah. Bertemu kembali dengan Dahlia. Menerima
penentuan nasibnya kemudian. Nasib yang sudah ia sodorkan pada Dahlia untuk
dieksekusi.
Turun dari taksi, dengan letih Swandito
menyeret kopornya masuk ke dalam rumah dan meninggalkannya di dekat pintu. Kemudian,
sambil sejenak berbaring di atas ranjang, ia menelepon orang kepercayaannya.
“Iya, Mayang, aku sudah pulang,” ucapnya
begitu terdengar sahutan dari seberang sana. “Aku langsung mau ke Solo sekarang
juga. Tolong handle semuanya dulu
sampai aku pulang dari Jakarta ya? Terima kasih.”
Pelan Swandito bangun. Dicarinya kunci mobil
di dalam sebuah laci. Sejenak kemudian ia sudah memasukkan kopornya tadi ke
dalam SUV-nya, mengunci pintu rumah, dan mulai meluncurkan mobilnya.
* * *
Dengan halus Karsiman membelokkan mobil yang
dikemudikannya.
“Nanti kalau Pak Siman mau pulang, pulang
saja langsung, Pak. Ndak apa-apa ndak usah pamitan lagi,” celetuk Dahlia.
“Nggih,
Bu...”
Dahlia turun dari mobil sebelum mencapai
pintu garasi yang tertutup rapat. Dibiarkannya Karsiman mengurusi city car itu. Dengan lelah ia menyeret
langkahnya masuk ke dalam rumah yang pintunya tadi terkunci. Arloji di tangan
kirinya sudah menunjukkan pukul delapan. Tentu saja Mbok Saminten sudah pulang
sejak sebelum pukul lima tadi.
Sambil menghembuskan napas keras-keras ia
membuka pintu kamar. Gelap. Dijangkaunya saklar lampu.
“Jeng...”
“Gusti Allah!”
Dahlia memekik seketika.
Panggilan itu menggema bersamaan dengan
menyalanya lampu. Membuat Dahlia sangat kaget. Seiring dengan pekikan Dahlia,
Swandito bangkit dari posisi berbaringnya dengan wajah kaget juga.
Dahlia masih berdiri terpaku dengan tangan di
dada. Ditatapnya Swandito dengan mata lebar. Swandito turun dari ranjang.
Sedetik terhuyung sebelum kembali terduduk.
“Mas!” Dahlia memburunya. “Sakit?”
“Ndak...
Cuma terlalu lelah,” Swandito berusaha untuk tersenyum. “Sama kaget karena
tiba-tiba lampu menyala. Pening sedikit.”
“Tadi sampai sini jam berapa?” Dahlia duduk
di tepi ranjang, memperbaiki selimut Swandito yang sudah kembali berbaring.
“Belum lama kok. Dari bandara aku pulang
sebentar ambil mobil, terus langsung ke sini.”
“Sudah makan?”
Swandito menggeleng.
“Pantesan lemas,” gumam Dahlia. “Sudah kurang
istirahat, belum makan pula. Sebentar aku mandi dulu, setelah itu kubelikan
nasi goreng di pojokan.”
“Tolong nanti belikan yang kambing ya, Jeng.
Pedas.”
Dahlia mengangguk. Tanpa suara.
* * *
Hampir pukul sembilan ketika Dahlia kembali
masuk ke dalam rumah dengan menenteng kantong berisi dua bungkus nasi goreng.
Ia langsung ke dapur, mengambil piring dan sendok, kemudian memindahkan nasi
goreng itu ke atas piring tanpa membuka bungkusnya. Didengarnya langkah kaki di
belakangnya.
“Jeng, sudah pulang?”
“Iya, Mas. Sudah...”
“Ada nasi gorengnya?”
Dahlia mengangguk sambil berbalik. Disodorkannya
piring berisi bungkusan nasi goreng dengan karet merah pada Swandito. Nasi
goreng kambing pedas. Untuknya sendiri seperti biasa, magelangan pedas.
Mereka menikmati nasi goreng itu dalam diam,
sambil menonton televisi. Sebetulnya Dahlia ingin sekali mengucapkan banyak
hal. Tentang semua yang dirasakannya. Tentang keputusan yang sudah ia ambil. Tapi
entah kenapa ia tak mampu mengolah perbendaharaan katanya. Apalagi sudah
dilihatnya wajah lelah Swandito. Perbendaharaan katanya makin hilang saja.
Matanya jelas melihat sosok Swandito saat ini
lebih kurus daripada ketika mereka terakhir bertemu sepuluh hari yang lalu,
saat Swandito pulang untuk mengambil paspor dan beberapa pakaiannya. Tapi ia
ingin tetap menyimpan semuanya hingga esok hari. Ketika Swandito sudah cukup
beristirahat.
“Semua baik-baik saja di sini, Jeng?” suara
Swandito tiba-tiba memecah keheningan.
“Ya,” jawab Dahlia, pendek.
“Romo, Ibu,
dan Eyang sehat semua?”
“Iya, sehat.”
“Panjenengan?”
Dahlia menghentikan kunyahannya. Ditatapnya
Swandito sebelum menjawab, “Ya, aku baik-baik saja.”
Swandito mengangguk. Tersenyum.
“Perjalanan panjenengan juga lancar?”
“Ya.”
“Capek?”
Swandito kembali tersenyum. “Lumayan.”
“Aku kira baru besok pagi panjenengan pulang ke sini.”
“Ndak, Jeng...
Ndak tahu, aku ingin saja pulang ke
sini secepatnya.”
Tak lama kemudian acara makan malam darurat itu
pun selesai. Dahlia membawa piring dan bungkus bekas nasi goreng ke dapur,
sementara Swandito keluar untuk menggembok pintu pagar dan mengunci pintu
depan. Keduanya lalu bertemu di dalam kamar. Bergantian memakai kamar mandi
untuk menyikat gigi, kemudian berbaring dengan nyaman di atas ranjang.
Kerinduan itu ada. Penuh. Pekat. Tapi
keduanya seolah sepakat untuk menahannya dalam hening. Dan hal yang paling
memungkinkan agar semuanya segera berlalu adalah memejamkan mata. Itu yang
dilakukan Dahlia dan Swandito. Hampir berbarengan.
* * *
Dahlia terjaga tiba-tiba. Ada desah halus
yang mampir ke telinganya. Juga terasa ada gerakan tiba-tiba. Ketika ia
berbalik untuk menghadap ke arah Swandito yang berbaring di belakang
punggungnya, laki-laki itu tidak ada. Yang ada selanjutnya hanya bunyi gemercik
air di kamar mandi. Dahlia melihat ke arah jam digital di atas meja dengan mata
setengah terkatup. Hampir pukul dua dini hari.
Swandito keluar dari kamar mandi tak lama
kemudian. Langsung keluar pula dari kamar. Tak tahu bahwa Dahlia telah terjaga.
Dahlia mengikuti gerakan Swandito dengan matanya dalam keremangan kamar.
Beberapa menit kemudian telinganya menangkap ada suara denting sendok beradu
dengan gelas. Segera saja ia memutuskan untuk bangun dan keluar dari kamar.
Dahlia melangkah tanpa suara ke dapur. Kemudian
dilihatnya Swandito sedang duduk diam sambil sesekali meneguk segelas minuman
berwarna pekat di depannya.
“Mas...,” panggil Dahlia lirih sambil terus
mendekat, supaya Swandito tidak terlalu kaget.
Tak urung rasa terkejut meronai wajah
Swandito. Ditatapnya Dahlia dengan rasa bersalah.
“Jadi ikut terbangun, Jeng?”
Dahlia duduk di sebelah Swandito. “Apa itu?”
“Teh sepet1).”
“Memangnya gulanya habis?” Dahlia mengerutkan
kening sambil beranjak untuk memeriksa stoples gula di dalam lemari dinding.
“Masih ada, tapi ndak usah, Jeng,” suara Swandito menahan langkah Dahlia. “Aku
diare. Makanya bikin teh sepet.”
“Lho!” Dahlia berbalik cepat, menaikkan
alisnya. “Sejak kapan? Sudah berapa kali? Kok panjenengan ndak bangunkan aku
to?”
“Ini tadi setelah tidur. Sudah tiga kali.
Sssh...,” Swandito mendesis sambil memegang perutnya, kemudian nyaris berlari
ke kamar mandi belakang.
Sepuluh menit kemudian ia kembali. Dahlia
memegang gelas lain yang lebih besar. Penuh berisi teh sepet. Ditatapnya Swandito.
“Sare2), Mas,” ucapnya dengan
mimik khawatir. “Kalau sampai pagi nanti ndak
membaik, aku teleponkan Paklik Ganang.”
Swandito mengangguk sambil meneruskan
langkahnya ke kamar. Dahlia mengikuti dari belakang dengan membawa gelas berisi
teh sepet.
* * *
Hingga pagi hari datang, Swandito masih juga
beberapa kali lagi bolak-balik ke kamar mandi walaupun sudah habis beberapa
gelas teh sepet dan perut serta
punggungnya sudah rata diolesi balsem oleh Dahlia. Wajahnya terlihat makin pucat
dan tubuhnya makin lemas. Bahkan ketika terakhir kalinya lagi-lagi ke kamar
mandi, Dahlia harus membantu karena langkahnya sudah benar-benar goyah. Selama
menunggu Swandito keluar dari kamar mandi, Dahlia mengangkat ponselnya.
Sebelum pukul tujuh pagi, yang diteleponnya
sudah datang. Seorang laki-laki tinggi besar serupa Priyo Harjono bernama
Ganang Waluyo, adik bungsu Priyo.
“Makan apa saja masmu ini?” Ganang sekilas
menatap Dahlia sambil mengeluarkan stetoskop dan tensimeter dari dalam tasnya.
“Kemarin baru pulang dari Australia, Paklik,” jawab Dahlia. “Semalam makan
nasi goreng kambing pedas.”
“Hm... Siang makan ndak, Mas?” tatapan sabar Ganang jatuh pada Swandito.
“mBoten,
Paklik...,” jawab Swandito, hampir tak terdengar.
Dahlia langsung mendelik mendengarnya.
Gerutunya kemudian, “Begitu kok ya ndak
bilang to, Mas?”
Swandito memilih untuk menghindari tatapan
Dahlia.
“Selama beberapa hari sebelumnya makan secara
teratur apa ndak?” Ganang mulai
memeriksa Swandito.
“Ndak terlalu,
Paklik. Selama beberapa hari sebelum
berangkat ke luar, saya ada di Jogja. Makan seingatnya saja.”
Dahlia mendesah mendengar kejujuran Swandito.
“Mikir apa?” senyum Ganang.
Swandito bertatapan dengan Dahlia. Tak
menjawab. Tapi Ganang kelihatannya memahami.
“Terlalu capek, kurang istirahat, stress, makan ndak teratur, perut kosong langsung dihantam makanan pedas, ya
sudah... makin jadi...,” Ganang menatap Dahlia. “Sementara makan alusan dulu, Ndhuk,
masnya. Oatmeal juga ndak apa-apa. Kentang tumbuk, biskuit,
roti panggang, pisang, apel, telur rebus. Minumnya yang banyak, boleh teh sepet, oralit. Sehari ini jangan makan
sayur dulu ya? Nanti aku resepkan obat untuk mengurangi mulesnya.”
Dahlia mengangguk. Tatapan Ganang beralih
pada Swandito.
“Istirahat, Mas,” ucapnya sambil tersenyum.
“Jangan banyak pikiran.”
“Iya, Paklik,
terima kasih banyak.”
Swandito dan Dahlia masih bertatapan ketika
Ganang mengemasi alat-alatnya. Ketika Ganang melangkah keluar, Dahlia segera
membuntuti Ganang.
“Ndak parah
to, Paklik?” tanya Dahlia begitu
Ganang duduk dan menulis sesuatu di buku resepnya.
Ganang mengangkat wajahnya. Ditatapnya Dahlia
baik-baik.
“Parah sih ndak,” jawab Ganang, tenang. “Tapi masalahnya sebaiknya cepat
diselesaikan. Ada beban pikiran, sedikit banyak juga berpengaruh, Ndhuk.”
Dahlia menjatuhkan badannya di atas sofa di
dekat Ganang.
“Sejak suwargi
ibunya gerah3) sampai seda
kan piyambakipun4) kurang istirahat, Paklik. Setelah itu lanjut persiapan nikahnya Seruni. Terus kami ada
masalah. Dia cooling down di Jogja.
Kemudian harus berangkat ke Singapura dan Australia. Yang pasti dia capek
sekali.”
“Yo wis...
Yang penting, kalau ada masalah, masalahnya diselesaikan dulu,” Ganang
menyodorkan kertas resep yang baru selesai ditulisnya pada Dahlia. “Biar beban
pikirannya berkurang. Tapi sehari ini masmu biar bed rest dulu. Dijaga makanan dan minumnya, jangan sampai kurang
cairan. Makannya sedikit-sedikit saja. Pasti ndak nafsu, disiasati dengan sering diberi.”
“Iya, Paklik.
Terima kasih banyak. Maaf mengganggu Paklik.”
“Heleh... Kayak sama orang lain saja,” Ganang
menepuk bahu Dahlia. “Aku pamit dulu.”
“Ndherekaken,
Paklik...”
* * *
Setelah Ganang pergi, Dahlia segera memanggil
Karsiman untuk menebus obat ke apotek. Setelah itu ia segera menyiapkan makanan
untuk Swandito. Tak berapa lama semuanya siap dalam sebuah nampan. Semangkuk
kecil oatmeal yang sudah berbentuk
bubur, sesisir pisang ambon, sebuah apel, segelas teh sepet, dan segelas besar air putih hangat.
Swandito sudah selesai mandi ketika Dahlia
kembali ke kamar. Swandito berbaring dengan posisi meringkuk. Dahlia meletakkan
nampannya di atas nakas. Dirabanya kening Swandito. Suhunya terasa normal.
Malah cenderung agak dingin. Terpengaruh oleh keringat yang tiap kali keluar
saat Swandito harus menahan rasa mulas.
“Sudah mandi, Mas? Masih mules?”
Swandito mengangguk. “Hilang-timbul. Selama
mandi sempat dua kali terasa mules banget, tapi sudah ndak keluar apa-apa.”
“Sabar ya? Obatnya lagi dibeli sama Pak
Siman. Makan dulu, yuk!”
Walaupun Swandito sama sekali tidak bernafsu
untuk makan, tapi diusahakannya untuk menikmati apa yang disodorkan oleh
Dahlia. Porsi yang disediakan oleh Dahlia memang hanya sedikit. Agar Swandito
tidak menjadi mual karenanya.
Karsiman datang begitu Swandito menyelesaikan
acara makannya. Segera diketuknya pintu kamar. Dahlia pun segera meminumkan
obat itu pada Swandito. Setelah semuanya selesai, Dahlia segera menyelimuti
Swandito baik-baik.
“Sekarang panjenengan
istirahat. Tidur. Aku siapkan makanan lagi. Ngendikane Paklik, makannya sedikit-sedikit tapi harus sering. Biar
ndak tambah lemas.”
“Ya,” sahut Swandito lemah sambil mengatupkan
kelopak matanya.
* * *
Rasa mulas itu masih juga datang dan pergi
walau sudah tak sesakit sebelumnya. Membuat Swandito belum bisa tidur nyenyak.
Berkali-kali ia terjaga.
Dahlia selalu melihat keadaannya tiap
beberapa menit sekali. Bila Dahlia melihatnya tertidur, Dahlia akan
membiarkannya saja, dan akan kembali beberapa menit kemudian. Bila dilihatnya
Swandito terjaga, ia selalu memaksa Swandito untuk minum teh sepet atau oralit, atau makan satu-dua
potong biskuit, atau sesendok-dua sendok makanan. Swandito memenuhi paksaan itu
karena tak ingin kondisinya bertambah parah.
“Pusing, Mas?” Dahlia memotong-motong apel
yang dikupasnya sambil duduk di tepi ranjang.
“Sedikit, Jeng,” Swandito mengangguk. “Karena
ngantuk. Tidur juga ndak bisa
nyenyak.”
“Mau dibalsem lagi perutnya?” Dahlia
menyodorkan potongan apel itu.
“Boleh... Terima kasih, Jeng.”
Dahlia mengambil botol balsem dari dalam laci
nakas. Sejenak kemudian ia sudah membalur rata perut Swandito dengan balsem.
“Masih mules?” Dahlia sekilas menatap
Swandito.
“Masih... Tapi sudah ndak terlalu.”
“Semoga besok sudah membaik ya?” senyum
Dahlia. “Jangan ngantor dulu kalau belum pulih betul.”
“Aku sudah serahkan semua urusan kantor pada
Mayang kok, sampai acara di Jakarta selesai.”
“Oh... Ya bagus, jadi bisa istirahat lebih
lama di rumah.”
Hening sejenak. Dahlia menyibukkan diri
dengan menumpuk beberapa gelas dan piring kosong yang tak perlu lagi ada di
situ.
“Jeng...,” Swandito menatap ragu.
“Dalem,
Mas?” Dahlia menghentikan kesibukannya.
“Bagaimana... tentang... kita?”
Dahlia tertegun sejenak. Ia kembali duduk di
tepi ranjang. Beberapa saat kemudian ditatapnya Swandito.
“Menurut panjenengan
sendiri? Bagaimana?”
Swandito terdiam. Melihat ketenangan yang ditunjukkan
Dahlia, serasa dunia Swandito makin ciut. Dan melihat Swandito terdiam
sedemikian rupa, Dahlia tersenyum.
“Aku sudah mengundang Mas Rengga siang ini.
Rencana semula sih, makan siang bersama. Supaya panjenengan juga lebih mengenal Mas Rengga. Semuanya kita
selesaikan baik-baik, dan semoga ndak ada
lagi ganjalan di antara kita.”
Swandito memejamkan mata. Berusaha menahan
guncangan yang mendadak muncul di hati dan dunia di sekelilingnya.
“Tapi karena kondisi panjenengan masih seperti ini, sepertinya harus ditunda dulu.
Mungkin besok atau...”
“Ndak apa-apa,
Jeng,” Swandito membuka kembali matanya. “Sekarang saja. Supaya semuanya cepat
selesai.”
Dahlia menatap Swandito. Lama. Akhirnya ia
mengangguk.
“Baiklah, aku sendiko dhawuh5)
panjenengan saja.”
Dahlia pun berbalik dan keluar. Swandito
menatap punggung Dahlia dengan hati teraduk.
Sebetulnya
siapa yang jadi penjahatnya di sini? Kau atau aku, Jeng? Kau yang memang ingin
meraih cinta dan kebahagiaanmu? Atau aku yang sudah memberimu kesempatan
seluas-luasnya walaupun harus mengorbankan pernikahan kita?
Dipejamkannya lagi matanya dengan letih.
* * *
Bersambung
ke episode terakhir : Ruang Ketiga #12
Catatan :
1. Sepet = (rasa) sepat.
2. Sare = tidur.
3. Gerah = sakit.
4. Piyambakipun = dia.
5. Sendiko dhawuh = sebuah
pernyataan untuk setuju dan mengikuti saja keinginan orang yang lebih tua atau
lebih dihormati
Wah...penasaran nih , ingin cepat hari kamis
BalasHapusHahaha... Marilah kita menyibukkan diri biar cepet Kamis.
HapusMakasih singgahnya, Bu...
Pagi Mbak...tumben kok nggak dipasangi 'read more'? Pas tadi buka blog langsung tampil utuh di beranda...
BalasHapusGapapa ngga mengurangi keasikan membaca. Jempol sak negoro buat Mbak lizz...!
Sudah diedit, Mbak...
HapusMakasih mampirnya, ya...
good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
HapusHati q ikut teraduk :(
BalasHapusMaunya happy ending mba plis
Hihihi... Suwun yo, Nit...
Hapustrenyuh tenen aku mbak...
BalasHapusMakasih mampirnya, Mbak Bekti...
HapusPenjahat nya bkn swan ato dahlia tp....tara.... sing nulis krn bikinnya spt itu hahaha
BalasHapusMakasih mampirnya, Mbak...
HapusTenang Swandito, Rengga sudah sama Denna kok :)
BalasHapusHahaha... Makasih mampirnya, Fris...
HapusKasihan Swandito, maksudnya dia baij demi kebahagiaan Dahlia tp ternyata hatinya pun pilu. GWS Swan :-)
BalasHapusMakasih mampirnya, Mbak Indah...
HapusWahduh ketinggalan beberapa episode, menyimak dulu tan :D
BalasHapusTak'setrap lho... Hehehe...
HapusMakasih mampirnya, Mbak Put...