Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #18
* * *
“Aku heran kali ini seleramu
lain dari biasanya.”
“Selera apa?”
“Selera terhadap cewek.”
“Lain bagaimana?”
“Biasanya kan kita suka
cewek yang sama.”
“Oh... Orang kan boleh
berubah, Steve...”
“Hm...”
Lea
membatalkan langkahnya keluar ke teras belakang. Dia memutuskan untuk
membiarkan pembicaraan itu terus berjalan lagi setelah sekian tahun lamanya
terhenti. Kemudian dia beranjak ke arah jendela kaca gelap jendela ruang makan.
Dari balik vitrase dia melihat Steve dan Rafael tengah duduk bersisian di sofa
teras belakang. Saling bicara satu sama lain. Tersenyum bersama.
Ada
yang terasa menghangat di pelupuk matanya. Pada satu titik ternyata Tuhan
mengabulkan permohonan yang dipanjatkannya pada setiap kesempatan yang dia
miliki. Permohonan untuk melihat kembalinya kehangatan di antara Steve dan
Rafael.
Yang
tengah dilihatnya mungkin baru awal. Tapi sudah cukup menerbitkan harapan baru
di hatinya. Membuatnya mengukir senyum di bibir di tengah keharuaan yang terasa
menyesakkan dadanya.
“Bu...”
Lea
menoleh sambil menghapus airmatanya. Watini tengah menatapnya.
“Ada
Bu Emi di depan. Antar uang arisannya Ibu.”
“Oh...
Ya...,” Lea mengangguk sambil beranjak pergi.
* * *
“Aku
heran kali ini seleramu lain dari biasanya,” Steve kemudian menghirup es
tehnya.
“Selera
apa?” Rafael menoleh cepat walau hanya sekilas.
“Selera
terhadap cewek.”
“Lain
bagaimana?” sejujurnya dada Rafael serasa tertohok.
“Biasanya
kan kita suka cewek yang sama.”
“Oh...
Orang kan boleh berubah, Steve...,” jawab Rafael setengah menggumam sambil
menjangkau gelas air putihnya.
“Hm...
Sorry to say, but... Aku sempat
mencurigaimu. Maksudku... Kamu dan Adita... sebetulnya nggak benar-benar
pacaran.”
Hampir
saja Rafael tersedak. Air yang sudah dikulumnya terpaksa ditelannya dengan
susah-payah.
“Aku
bukan player seperti kamu,” Rafael
menggenggam gelasnya sambil menatap lantai.
Beberapa
detik kemudian dia berdiri dan melangkah pergi. Steve tercenung menatap
punggung Rafael. Sebersit penyesalan muncul di hatinya. Dihelanya napas
panjang.
Terkadang
otak dan mulut memang tidak sinkron. Otaknya memberi perintah agar dia
mengambil kesempatan itu untuk berbaikan dengan Rafael. Hanya saja mulutnya
seolah membelot dengan mengucapkan hal-hal yang agaknya cukup sensitif buat
Rafael.
Bodoh! Bodoh! Bodoh! Steve
merutuk dalam hati sambil menggosok-gosok wajahnya dengan kedua belah telapak
tangan.
* * *
Seleraku masih tetap seperti
biasanya, Steve...
Rafael
pelan-pelan menutup pintu di belakang punggungnya. Beberapa detik kemudian dia
sudah merebahkan punggungnya di atas tempat tidur. Matanya menerawang
langit-langit kamar. Membebaskan pikirannya mengembara. Tapi semuanya terpaksa
berhenti ketika ponsel di sebelah bantalnya bergetar beberapa kali. Buru-buru
diraihnya benda itu.
“Ya,
Dit? Halo...”
“Sore, Mas... Mm... Aku cuma
mau tanya, Mas Rafa jadi mengajakku nonton festival jazz nggak?”
Seketika
Rafael menepuk keningnya mendengar suara ragu-ragu itu menggema dari seberang
sana.
“Aduh...
Maaf, Dit... Maaf banget...,” ucapnya penuh penyesalan. “Nggak jadi saja ya?
Aku lagi nggak enak badan.”
“Oh... Iya, nggak apa-apa.
Kebetulan aku juga rasanya capek banget. Ingin istirahat saja di rumah.”
“Warungnya
bagaimana?”
“Aku sudah serahkan sama
anak-anak. Semoga bereslah...”
“Yang
kemarin berlanjut, Dit?”
“Apanya?”
“PMS-mu.”
“Oh... Iya, makanya aku ingin
di rumah saja.”
“Maaf
ya, aku nggak bisa ke rumahmu.”
“Iya... Nggak apa-apa.
Memangnya Mas Rafa kenapa?”
“Maag-ku kambuh. Memang makanku nggak
teratur akhir-akhir ini. Banyak kerjaan.”
“Ya sudah, sama-sama bobok
manis saja di rumah, hehehe...”
“Hehehe...
Iya...”
“Oke, deh! Mas Rafa cepet
sembuh ya?”
“Kamu
juga ya?”
“Bye...”
Rafael
menatap ponselnya sebelum meletakkannya kembali. Kembali rasa sesak itu muncul
di dadanya. Tanpa dia tahu mengapa dan bagaimana harus melepaskannya.
* * *
Apakah
kecewa? Atau justru lega?
Adita
menggelengkan kepalanya dengan putus asa sambil meletakkan ponselnya. Ada
beragam rasa yang muncul bersamaan. Begitu saja saling bergumul dalam hatinya.
Ada beberapa yang terasa bertentangan. Menambah sesak dadanya.
Aku ini kenapa?
Adita
menatap cermin. Ada pantulan wajah dengan ekspresi yang tak dimengertinya
terpantul di sana. Dia mengerjapkan mata.
Sesungguhnya
ada rasa ingin bertemu Rafael. Sekaligus keengganan untuk bertatap muka. Ada
rasa rindu. Sekaligus muncul kesadaran bahwa dia sebenarnya bukanlah apa-apa
bagi Rafael. Dan masih banyak lagi rasa yang dia tak mampu menjabarkannya.
Benarkah aku mulai tertarik
padanya? Oh, no... Sesuatu yang nggak boleh terjadi!
Adita
terhenyak seketika saat menyadari bahwa kemungkinan itu muncul begitu saja.
Kemungkinan yang sungguh-sungguh ingin diingkarinya. Pelan dia membuka laci
meja riasnya. Tatapannya jatuh pada sebentuk amplop coklat yang dia hafal betul
apa isinya. Kontrak yang ditandatanginya bersama Rafael. Kontrak sebagai
penyedia dan pemakai jasa kekasih sewaan.
Pelan
dia menegakkan punggungnya. Ditatapnya sekali lagi wajahnya yang terpantul di
cermin.
Ayolah! Kau sudah mengalami
banyak hal yang jauh lebih berat daripada ini. Bertahan! Bertahan!
Ketika
dihelanya napas panjang, terasa kesesakan itu mulai terurai sedikit demi sedikit.
Harus profesional!
Dia
mengerjapkan mata.
* * *
Lea
menatap rinai hujan itu dengan hati terasa kosong. Ini sudah minggu keempat
Rafael tak pulang ke Jakarta. Alasannya sibuk, banyak pekerjaan, banyak
pengiriman barang, ada audit, ada kunjungan customer,
dan sederet alasan lain yang sebetulnya bukanlah hal yang aneh. Hanya saja
perasaannya berkata lain. Menangkap gelagat yang tak biasa. Gelagat yang hanya
bisa dirasakan, tak bisa dijabarkan.
Pada
saat itu pikirannya hanya tertuju pada satu nama. Adita. Entah kenapa. Tapi impuls itu tanpa berpanjang kata
membuatnya meraih kunci mobil dan beranjak ke garasi.
“Ibu
mau ke mana?”
Suara
Tunik menyetop sejenak langkah Lea.
“Aku
mau keluar sebentar, Nik.”
“Saya
panggilkan Pan Mun ya, Bu?”
Tapi
Lea menggeleng dan meneruskan langkahnya. “Aku sendirian saja, Nik...”
Tunik
tak bisa berbuat lain kecuali buru-buru membuka pintu garasi, berlari kecil di
bawah lindungan kanopi, kemudian membuka pintu pagar. Beberapa detik kemudian
mobil Lea sudah meluncur keluar. Entah kemana.
* * *
Angka-angka
yang tertera di layar laptop itu menjadi satu-satunya hal yang bisa menghibur
hatinya belakangan ini. Hasil penjualan yang stabil, cenderung meningkat.
Membuat pundi-pundinya terisi rupiah yang jumlahnya makin mendekati titik
impas.
Lalu semuanya akan
selesai...
Adita
bangkit dari duduknya. Pelan dia mendekati jendela ruangan kantornya di lantai
atas ruko. Ditatapnya titik-titik hujan yang membentuk tirai rapat di luar
sana.
Ketika
sebuah SUV perlahan merapat ke seberang, dia mengerjapkan mata. Steve.
Mengunjungi Anna. Kesetiaan yang sudah disaksikannya sendiri beberapa minggu
ini. Tanpa bisa dicegah, ada rasa nyeri yang terasa menggigit hatinya. Terutama
ketika mengingat seperti apa hubungannya dengan Rafael selama beberapa minggu belakangan
ini.
Tak
ada lagi dering telepon di siang hari. Atau pesan pendek di pagi hari. Atau getar-getar
ponsel di malam hari saat dia chatting
dengan Rafael. Semuanya mendingin begitu saja. Tanpa dia pernah berani menghubungi
Rafael terlebih dahulu sejak terakhir dia menelepon untuk urusan menonton festival
jazz yang gagal itu.
“Mbak...”
Adita
tersentak. Ia menoleh ke arah pintu.
“Ada
Ibu Lea ingin bertemu Mbak Dita.”
Dihelanya
napas panjang. “Tolong bawa ke teras belakang dulu ya? Tawarin makan sama minum.”
Mimi
mengangguk, kemudian menghilang dari pandangan Adita. Mata Adita mengerjap,
Apa lagi sekarang?
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #20
Good post mbak, nggak dijawab no problem yang penting donatnya kirim atambua he he
BalasHapusHahaha... Donatnya dibahaaasss...
HapusMakasih mampirnya, Pak Subur...
Tante lagi sibuk yaaaaaa? Yang penting udah baca dan bisa komentar tan, hahaaaiii.. :D
BalasHapus