Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #15
* * *
Rafael
menjabat uluran tangan Mega dengan tenang. Berusaha tenang. Diulasnya senyum.
“Baik.
Kamu sendiri?”
Mega
mengangguk, “Baik juga.”
“Oh
ya, kenalkan,” Rafael melepaskan genggaman tangannya, kemudian menggamit lengan
Adita, “ini Adita.”
Adita
dan Mega berjabat tangan. Saling mengucapkan nama.
“Sama
siapa ke sini?” Rafael menatap Mega.
“Sendiri.”
“Oh...”
Adita
beringsut menyisih dari pertemuan tak terduga itu. Sedikit banyak dia tahu
siapa Mega. Rafael sudah pernah menyebutnya. Dan ketika dia melihat dengan mata
kepalanya sendiri bagaimana ekspresi Rafael, dia merasa tak lagi sanggup
melihatnya lebih lama.
Ada
luka yang mendadak tergambar begitu dalam di mata Rafael. Adita sungguh tahu
kenapa. Tanpa Rafael menyatakannya pun dia sudah memahami seberapa besar cinta yang
pernah dimiliki Rafael pada Mega.
Dan perempuan itu...
Adita
mendesah dalam hati.
“Mau
ke mana?”
Adita
tersentak. Dia berbalik dan mendapati Rafael tengah menatapnya.
“Ambil
es buah.”
Melihat
Rafael tak mencegahnya. Adita pun melanjutkan langkah. Begitu mencapai meja es
buah yang hanya berjarak dua meter dari tempat Rafael dan Mega berhadapan muka,
Adita mendengar suara lain yang menyeruak begitu saja.
“Whoaaa...
Reuni...”
Adita
memutari meja supaya bisa melihat apa yang terjadi di belakangnya. Sambil
mengulurkan tangan menjangkau segelas es buah, mata Adita menangkap sekilas apa
yang baru saja ditinggalkannya.
Steve
yang menggandeng Anna sudah ada di sana bersama Rafael dan Mega. Entah ada
pembicaraan apa, Adita tak terlalu bisa mengikuti. Beberapa detik kemudian Anna
melihatnya. Gadis itu segera melepaskan diri dari Steve dan menghampiri Adita.
“Siapa?”
bisiknya begitu berada di dekat Adita.
“Ambillah
es buah dulu,” Adita balas berbisik.
“Oh
iya...,” Anna menjangkau gelas es buah terdekat.
Keduanya
lalu menjauh, merapat ke arah dinding.
“Siapa?”
ulang Anna.
“Mantannya
Mas Rafa,” jawab Adita, pendek.
“Hah?”
Anna membulatkan matanya.
Adita
menatap Anna. Heran. “Memangnya Mas Steve nggak pernah cerita?”
Anna
menggeleng. “Apa yang harus diceritakan? Mbak Dita kan tahu bagaimana
sebenarnya hubunganku dengan Steve? Jadi, bagaimana ceritanya?”
Ada
tatapan menuntut dalam mata Anna. Membuat Adita bimbang, harus menceritakannya
atau tidak. Maka ia menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Mereka
kan dulu berantem hebat gara-gara perempuan itu,” bisik Adita kemudian. “Mega
namanya. Mas Steve nggak terima Mega lebih pilih Mas Rafa.”
“Terus?”
“Ya
akhirnya bubaran. Nggak nyaman juga kan, menjalin hubungan dalam kondisi
seperti itu...”
“Oh...”
Anna
menatap ketiga orang yang masih bercakap di seberang sana. Dari tempatnya
berdiri jelas terlihat bahwa Steve memonopoli pembicaraan itu. Terlihat tak
memberi kesempatan pada Rafael dan Mega untuk bertukar cerita.
“Kok
Mbak malah pergi?”
Adita
tercenung mendengar bisikan Anna itu. Sejenak kemudian ditatapnya Anna.
“Aku
nggak mau ganggu, Mbak,” senyumnya.
Anna
tercekat.
Ada berapa persen perempuan
di dunia ini yang membiarkan kekasihnya bernostalgia dengan mantannya?
Perlahan
Anna menggelengkan kepalanya. Pada saat itu tatapannya bertemu dengan tatapan
Rafael. Dan dia merasa seolah ada aliran listrik berlarian di sekujur tubuhnya.
* * *
Ada
banyak kata yang tak terungkapkan. Rafael hanya bisa sesekali menatap Mega.
Membiarkan Steve bercerita tentang ini dan itu. Mega pun terlihat hanya
menanggapi Steve sekenanya. Tapi seolah Steve tak merasa. Dia tetap asyik
berceloteh membahas masa lalu.
Perlahan
sisa rasa nyeri itu muncul walau Rafael berusaha untuk menindasnya. Apalagi dia
tahu status Mega sekarang yang sudah jadi seorang ibu dari seorang batita.
Terlihat bahagia juga dengan pernikahannya. Terlihat tak ada yang perlu
dikhawatirkan dengan hidup Mega.
Rafael
menarik napas panjang pelan-pelan. Berusaha untuk mengurangi rasa sesak di
dadanya. Dicarinya Adita dengan matanya. Ditemukannya gadis itu tengah bersama
Anna. Menikmati es buah di seberang sana.
Dia
sungguh berharap Adita melabuhkan tatapan sejenak padanya. Sehingga dia bisa
mengirimkan sinyal agar Adita datang mendekat dan menyelamatkannya keluar dari
‘reuni’ itu. Tapi Adita tak sedikit pun menengok ke arahnya.
Yang
dia peroleh kemudian justru tatapan Anna. Sejenak Rafael tenggelam di dalamnya.
Dengan berbagai tingkatan debar memenuhi dadanya.
“Aku
nggak bisa lama-lama di sini.”
Rafael
tersentak mendengar suara Mega. Dia mengalihkan tatapannya.
“Anakku
belum bisa kutinggal lama-lama walaupun ada papanya,” senyum Mega. “Aku pamit
dulu ya?”
Setelah
berjabat tangan, Mega kemudian melenggang pergi. Steve dan Rafael sama-sama
menatapnya.
“Hm...
Hot mama...,” bisiknya nakal.
“Habis
kamu kalau sampai Anna dengar ucapanmu,” ucap Rafael tandas sambil berlalu.
Membuat Steve terbungkam seketika.
* * *
Aku senang kamu sudah move
on.
Rafael
merebahkan diri di kasur dengan mata tetap menekuni layar ponsel.
Dan kelihatannya pilihanmu
selalu sama. Gadis baik-baik. Hanya saja rasanya aneh melihat betapa seleramu
dan Steve bisa tak sama lagi kali ini.
Dihelanya
napas panjang sambil menatap langit-langit kamar. Diletakkannya ponsel itu di
atas perutnya.
Seandainya kamu tahu
ceritanya, Me..., gumam Rafael dalam hati. Dipejamkannya mata.
Lalu bergantian tiga wajah itu muncul dalam benaknya. Mega, Anna, Adita.
“Kenapa
sih Mama selalu bandingkan aku dengan Rafa?!”
Rafael
tersentak kaget mendengar suara Steve dari balik pintu kamarnya. Cukup jelas
terdengar di malam yang hening begini.
“Mama
nggak bandingkan kamu dengan Rafa,” terdengar suara mamanya. “Mama hanya ingin
kamu memperlakukan Anna dengan lebih baik. Nggak menyamakan dia dengan semua
gadis nggak keruan yang pernah kamu pacari!”
Hening
sejenak.
“Dengar,
Steve, nggak ada salahnya mencontoh hal-hal baik yang dilakukan orang lain.
Termasuk bagaimana harus memperlakukan gadis baik-baik seperti Anna. Bagaimana
membuatnya nyaman bersamamu. Seperti Rafa memperlakukan Adita.”
“Oh...
Mama masih mengawasi kami seperti mengawasi anak TK?”
“Mama
nggak mengawasi kalian! Nggak perlu diawasi juga sudah jelas kelihatan
bagaimana nggak nyamannya Anna selama berada di pesta tadi. Lain betul dengan
Adita. Semuanya karena kamu terlalu pamer keberadaanmu dengan Anna pada semua
kerabat.”
“Itu
karena aku bangga padanya, Ma. Aku nggak mau menyembunyikan keberadaannya.
Begitu caraku memperlakukan kekasihku.”
“Walaupun
itu membuat kekasihmu sendiri nggak nyaman?” suara Lea terdengar meninggi.
“Kalau kamu mau disebut dewasa, kurangi sedikit sifat egoismu, Steve. Pahami
keinginan orang yang kamu kasihi. Bukan malah menuruti kemauan dirimu sendiri!”
Tak
ada lagi jawaban yang terdengar. Rafael menghela napas panjang. Rasanya menjengkelkan
sekali mendengar untuk kesekian kali namanya dikaitkan dengan kejadian-kejadian
yang dia sendiri merasa tak terlibat. Tapi dia juga tak bisa menyalahkan
mamanya. Apalagi dia memahami bahwa maksud mamanya menegur Steve adalah benar.
Entahlah... Rasanya makin ruwet
saja hidupku belakangan ini!
Rafael
memutuskan untuk memejamkan matanya. Mengistirahatkan seluruh benaknya yang mulai
terasa letih.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #17
Penasarannnnnnnnnnnnnn..... Selamat pagi bu.
BalasHapusMet pagi. Mbak MM... Selamat beraktivitas, makasih mampirnya...
HapusHari Senin berarti besok pagi kan?#macakdogol
BalasHapusYo wis.....kapanpun hari senin tiba.....tak enteni. Lanjuuutttt!!!
Maaf baru bales, MBak... Senin wis wingi lho... *macakdogolpindho*
HapusNuwus mampire yo...
nice post mbak
BalasHapusMakasih atensinya ya, Pak... Selamat pagi dan selamat berkarya...
HapusCihuuyy lanjut tan ;)
BalasHapusSiaaap, Mbak... Makasih mampirnya ya...
HapusWah, makin penasaran nunggu lanjutannya
BalasHapusMakasih banyak atas singgahnya, Bu...
Hapus