Rabu, 01 Oktober 2014

[Cerpen] Lovely's Patisserie








Sudah berbulan-bulan Mahadri melewati tempat itu setiap sore. Sejak tempat itu pertama kali dibuka, hal yang sama selalu dilihatnya. Tempat parkir yang penuh sesak dan antrian pengunjung yang cukup mengular. Sebetulnya, ia penasaran dengan apa yang ada di sana, tapi melihat kerumunan itu, ia selalu membatalkan niatnya. Ngeri!

Namun, pesan yang masuk ke ponselnya dari Maitra siang tadi seketika membuatnya garuk kepala.

Kamu selalu lewat sana, kan? Tolong, deh, belikan aku apa saja dari sana. Kalau enggak, kamu yang bertanggung jawab kalau bayiku nanti selalu ileran. Ingat, ya, HARUS dari Lovely's Patisserie.

Sekali lagi Mahadri garuk kepala.

Mungkin sudah ditakdirkan bahwa ia harus bertanggung jawab bila bayi Maitra nanti ileran. Meeting berkepanjangan hari ini membuatnya terlambat pulang. Ketika ia sampai di depan Lovely's Patisserie, tempat itu sudah sepi. Lampunya sudah digelapkan separuh, dan tampak beberapa pegawai sedang membersihkan tempat itu. Hanya saja, mengingat ancaman Maitra, ia melangkahkan kaki juga ke dalamnya.

“Maaf, Pak, kami sudah mau tutup.” Seorang pegawai mengucapkan kalimat itu dengan ramah.

“Jam segini sudah habis, ya, Mbak?” Mahadri menatap dengan putus asa. “Baru juga jam delapan.”

“Hm...." pegawai itu tampak ragu-ragu.

“Buat orang ngidam, Mbak...,” ucap Mahadri dengan nada memelas.

Pegawai itu meringis sekejap. “Sebentar, ya, Pak,” ucapnya sambil beralih ke ujung dan menghilang ke balik dinding.

Mahadri mengedarkan tatapan ke sekeliling tempat itu. Biarpun sudah setengah gelap, tapi masih bisa dilihatnya interior yang homey. Pun, masih tersisa aroma khas kue yang mengambang di udara. Harum, sedap, menggugah selera. Hanya dengan membaui saja sudah terbayang betapa lezatnya benda-benda yang mengeluarkan aroma itu.

Pantas saja orang-orang seperti keranjingan datang ke tempat ini, pikirnya.

“Selamat malam....”

Mahadri tersentak. Ia berbalik dan mendapati senyum manis terpampang begitu saja di depannya.

“Maaf, Pak,“ ucap perempuan mungil bersenyum manis itu. “Mungkin Bapak bisa datang lagi besok. Kami masih memiliki beberapa sisa kue, tapi sudah lewat waktu pajang. Jadi, menurut kami sudah nggak layak jual.”

“Tapi masih bisa dimakan, kan?” tanya Mahadri dengan nada polos.

“Oh, masih....” Gadis mungil itu kembali tersenyum. “Sampai besok pagi juga masih enak. Hanya saja....”

“Ya, sudah, Mbak. Saya ambil saja. Soalnya buat orang ngidam. Tahu sendiri, kan....”

“Kalau begitu Bapak pilih saja sendiri di belakang.”

Menatap kue-kue kecil yang bertengger dengan manis di meja pantry sungguh membuat Mahadri mendegut ludah. Benar, masih ada beberapa kue aneka rupa. Tidak sampai 20 potong. Semuanya terlihat menggiurkan. Tanpa sadar Mahadri mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut.

Ouwh... Uwenaknyaaa...

“Begini ini dianggap nggak layak jual?” Ia menoleh ke arah gadis mungil itu dengan mulut penuh.

Gadis itu tersenyum lebar, setengah geli. Dan, Mahadri segera menyadari kelakuannya. Wajahnya langsung menghangat.

“Maaf,” ucapnya malu. “Saya nggak tahan melihat semua ini.”

Tawa gadis mungil itu pecah seketika. Terdengar merdu di telinga.

“Nggak apa-apa, Pak. Silakan saja kalau mau ambil lagi. Sebentar, saya ambil kotaknya dulu.”

Sepeninggal gadis mungil itu Mahadri hanya bisa mengutuki kelakuannya sendiri. Ini gara-gara Maitra, batinnya sebal.

Sebentar kemudian gadis mungil itu sudah kembali dengan membawa kotak yang cukup besar. Mahadri hanya bisa melongo ketika gadis itu dengan sangat cekatan memasukkan sebuah dari setiap jenis kue yang tersisa ke dalam kotak. Ada 11 jenis. Dan, gadis itu menggenapinya jadi 12 buah, masuk ke dalam kotak.

Mahadri kemudian menerima kantong kertas berisi kotak kue itu dengan wajah bodoh. Ia mengambil dompet di saku belakang celananya.

“Jadi berapa semuanya, Mbak?”

Gadis itu menggeleng. “Gratis, Pak. Karena kue itu sudah nggak kami jual lagi.”

“Lho....”

“Nggak apa-apa,” senyum manis gadis itu melebar. “Salam buat istri Bapak yang lagi ngidam.”

“Tapi...”

Gadis itu masih mengembangkan senyum manisnya sambil  tetap menggelengkan kepala.

* * *

Lalu, ia sama seperti orang-orang lain yang kerajingan datang ke tempat itu. Ia selalu mampir ke Lovely's Patisserie tiap hari sepulang kerja. Bila masih ada tempat duduk yang tersisa, maka ia akan duduk dan menikmati beberapa kue mungil nan cantik dan lezat dengan ditemani secangkir kopi atau teh. Bila tempat itu penuh, ia harus puas dengan pulang menenteng kantong kertas berisi sekotak kue mungil aneka rupa.

Maitra tertawa geli melihat kebiasaan Mahadri pulang kerja dengan membawa kantong kertas Lovely's Patisserie. Kadang-kadang ia ikut menikmatinya kalau sedang ingin. Namun, lebih sering ia membiarkan Mahadri sendirian menikmati hasil perburuannya itu.

Kue-kue mungil yang dijual di Lovely's Patisserie mutlak terasa sangat lezat di lidah Mahadri. Apalagi bila ia menikmatinya di tempat. Sambil kadang-kadang melihat sekelebat sosok gadis mungil itu. Sosok yang entah kapan sudah membuat hatinya berdebar tiap kali mendekati Lovely's Patisserie.

Dan, sore itu Mahadri kembali membelokkan mobilnya ke parkiran di depan Lovely's Patisserie. Tempat itu lebih sepi daripada biasanya. Mungkin karena hujan merintik sejak pagi. Walaupun begitu, Mahadri hanya menemukan satu meja kosong dengan dua kursi di sudut. Meja-meja lainnya sudah penuh. Dengan langkah yakin Mahadri menuju ke meja itu. Setelah meletakkan tasnya, ia menuju ke rak kaca yang penuh dengan pemandangan menggugah selera. Sebentar kemudian ia sudah kembali ke meja dengan nampan berisi beberapa kue dan secangkir teh panas.

“Selamat sore, Bapak....”

Mahadri batal menggigit apple strudel-nya. Ia menoleh dan mendapati seulas senyum manis terpampang untuknya. Ia buru-buru mengangguk dan membalas sapaan itu.

“Bapak kemarin sore absen, ya, datang ke sini?” Gadis itu tertawa renyah sambil duduk di seberang Mahadri.

“Oh....” Mahadri ikut tertawa. “Saya pulang telat kemarin, ada meeting. Lewat sini sudah tutup.”

“Kami memang tutup agak sore kemarin. Ada yang borong 4000 pieces untuk pesta. Ngomong-ngomong istri Bapak sudah berapa bulan hamilnya?”

Mahadri hampir tersedak ketika menghirup tehnya. Istri?

“Istri yang mana?” Tanpa sadar ia balik bertanya.

“Lho....” Gadis itu menatapnya setengah tercengang. “Bukannya kapan hari Bapak ke sini mau beli kue buat istri Bapak yang lagi ngidam?”

“Oh....” Mahadri mengangguk maklum. “Itu buat kakak saya. Sekarang hamilnya lagi jalan 5 bulan.”

“Oh... Hahaha... Kirain....” gadis itu tertawa lebar.

“Hehehe... Oh, ya, saya Mahadri,” Mahadri mengulurkan tangannya.

“Lovely.” Gadis mungil itu menjabat tangan Mahadri dengan hangat.

“Oh... Jadi Mbak sendiri yang punya patisserie ini?” Mahadri menatap kagum.

“Hm... Ya." Lovely mengangguk. “Mengembangkan resep-resep warisan Oma. Membuka tempat ini dengan susah payah. Targetnya, saya harus mengembalikan uang yang saya pinjam dari Ayah untuk membuka tempat ini.”

“Pinjam dari Ayah?” Mahadri mengerutkan keningnya.

Lovely menghela napas panjang. “Ayah ingin saya ikut terjun ke usaha ekspor-impor miliknya. Tapi saya kurang berminat. Akhirnya Ayah mau memberikan pinjaman uang untuk membuka usaha yang saya inginkan. Perjanjiannya berat. Kalau dalam jangka waktu setahun saya tidak bisa mengembalikan uangnya, tempat ini harus tutup dan saya harus mau ditarik ke perusahaan Ayah. Tapi saya berhasil melunasinya bulan lalu, di bulan kedelapan.”

“Oh....”

Lovely menatap Mahadri dengan rona merah memenuhi wajahnya. “Hei! Kenapa saya bisa cerita ke Anda?”

“Nggak apa-apa.” Senyum Mahadri, sembari menggeleng ringan. “Saya pendengar yang baik kok.”

Lovely tertawa. Ditatapnya Mahadri yang menghabiskan kue-kue di depannya dengan sedikit rakus.

“Enak apa lapar?”

Mahadri tersadar. Ia mengangkat wajahnya, sedikit tersipu.

“Kue-kue ini benar-benar luar biasa!” ucapnya setengah membela diri. “Kenapa bisa begini enak?”

“Karena ada cinta dalam setiap kue yang kami buat.” Lovely mengedipkan sebelah matanya.

Mahadri menatap Lovely. Apakah cinta juga yang membuat kue ini terasa jauh lebih enak dari aslinya? Ia kemudian mengalihkan tatapan pada cangkir tehnya.

“Pacarmu pasti gembul karena jadi penikmat sejati kue-kue buatanmu,” gumam Mahadri.

“Hahaha... Aku jones. Jomlo ngenes.” Lovely menanggapinya dengan tawa meriah, alih-alih terlihat ngenes. Bahkan mulai ber-'aku'. “Diputus gara-gara aku terlalu sibuk mengurus tempat ini. Padahal aku hanya butuh waktu beberapa bulan saja sebelum sedikit-sedikit melepasnya ke para pegawaiku.”

“Laki-laki bodoh,” gerutu Mahadri tanpa bisa dicegah. “Eh, maaf.”

Lovely tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, sesekalilah ajak pacarmu ke sini, biar gembul bareng.”

“Lho... aku sama jones-nya sepertimu,” jawab Mahadri langsung sambil tertawa.

Beberapa detik kemudian yang ada hanya mendadak hening. Mereka hanya saling menatap. Sebelum kemudian tersenyum, dan senyum itu pecah menjadi tawa.

Aroma lezat kue-kue di dalam ruangan itu masih mengambang di udara. Menemani Mahadri dan Lovely yang tetap bertahan di sudut hingga malam menggelap dan hujan berhenti merintik. Hampir tak peduli bahwa patisserie harus dibersihkan dan ditutup untuk dibuka lagi esok hari.

Apakah ada aroma cinta yang bersemi? Sepertinya begitu.

* * * * *

6 komentar:

  1. Yah, udah habis. Rencananya mau nggelar kalo so, Sekalian maem onigiri Ora sidho..... Apik banget mbak, gak pernah Bosen, biar cuman pindahan...... Saliimmmm

    BalasHapus
  2. Sweet. Jadian nih kayaknya gara-gara kue, hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... kayaknya sih begitu, Pak. Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  3. telat 5 tahun nggak apa2 ya, good post

    BalasHapus