Sudah berbulan-bulan Mahadri melewati tempat
itu setiap sore. Sejak tempat itu pertama kali dibuka, hal yang sama selalu
dilihatnya. Tempat parkir yang penuh sesak dan antrian pengunjung yang cukup
mengular. Sebetulnya, ia penasaran dengan apa yang ada di sana, tapi melihat
kerumunan itu, ia selalu membatalkan niatnya. Ngeri!
Namun, pesan yang masuk ke ponselnya dari
Maitra siang tadi seketika membuatnya garuk kepala.
Kamu selalu lewat sana, kan? Tolong, deh, belikan aku apa saja dari sana. Kalau enggak, kamu yang bertanggung jawab kalau bayiku nanti selalu ileran. Ingat, ya,
HARUS dari Lovely's Patisserie.
Sekali lagi Mahadri garuk kepala.
Mungkin sudah ditakdirkan bahwa ia harus
bertanggung jawab bila bayi Maitra nanti ileran.
Meeting berkepanjangan hari ini membuatnya terlambat pulang. Ketika ia sampai di depan Lovely's Patisserie, tempat
itu sudah sepi. Lampunya sudah digelapkan separuh, dan tampak beberapa pegawai
sedang membersihkan tempat itu. Hanya saja, mengingat ancaman Maitra, ia melangkahkan
kaki juga ke dalamnya.
“Maaf, Pak, kami sudah mau tutup.” Seorang
pegawai mengucapkan kalimat itu dengan ramah.
“Jam segini sudah habis, ya, Mbak?” Mahadri
menatap dengan putus asa. “Baru juga jam delapan.”
“Hm...." pegawai itu tampak ragu-ragu.
“Buat orang ngidam, Mbak...,” ucap Mahadri
dengan nada memelas.
Pegawai itu meringis sekejap. “Sebentar, ya,
Pak,” ucapnya sambil beralih ke ujung dan menghilang ke balik dinding.
Mahadri mengedarkan tatapan ke sekeliling
tempat itu. Biarpun sudah setengah gelap, tapi masih bisa dilihatnya interior
yang homey. Pun, masih tersisa aroma
khas kue yang mengambang di udara. Harum, sedap, menggugah selera. Hanya dengan membaui saja sudah terbayang
betapa lezatnya benda-benda yang mengeluarkan aroma itu.
Pantas saja orang-orang seperti keranjingan datang ke tempat ini, pikirnya.
Pantas saja orang-orang seperti keranjingan datang ke tempat ini, pikirnya.
“Selamat malam....”
Mahadri tersentak. Ia berbalik dan mendapati
senyum manis terpampang begitu saja di depannya.
“Maaf, Pak,“ ucap perempuan mungil bersenyum
manis itu. “Mungkin Bapak bisa datang lagi besok. Kami masih memiliki beberapa
sisa kue, tapi sudah lewat waktu pajang. Jadi, menurut kami sudah nggak layak
jual.”
“Tapi masih bisa dimakan, kan?” tanya Mahadri
dengan nada polos.
“Oh, masih....” Gadis mungil itu kembali
tersenyum. “Sampai besok pagi juga masih enak. Hanya saja....”
“Ya, sudah, Mbak. Saya ambil saja. Soalnya
buat orang ngidam. Tahu sendiri, kan....”
“Kalau begitu Bapak pilih saja sendiri di
belakang.”
Menatap kue-kue kecil yang bertengger dengan
manis di meja pantry sungguh
membuat Mahadri mendegut ludah. Benar, masih ada beberapa kue aneka rupa. Tidak
sampai 20 potong. Semuanya terlihat menggiurkan. Tanpa sadar Mahadri mengambil
satu dan memasukkannya ke dalam mulut.
Ouwh... Uwenaknyaaa...
Ouwh... Uwenaknyaaa...
“Begini ini dianggap nggak layak jual?” Ia
menoleh ke arah gadis mungil itu dengan mulut penuh.
Gadis itu tersenyum lebar, setengah geli. Dan, Mahadri segera menyadari kelakuannya. Wajahnya langsung menghangat.
“Maaf,” ucapnya malu. “Saya nggak tahan
melihat semua ini.”
Tawa gadis mungil itu pecah seketika.
Terdengar merdu di telinga.
“Nggak apa-apa, Pak. Silakan saja kalau mau
ambil lagi. Sebentar, saya ambil kotaknya dulu.”
Sepeninggal gadis mungil itu Mahadri hanya
bisa mengutuki kelakuannya sendiri. Ini gara-gara
Maitra, batinnya sebal.
Sebentar kemudian gadis mungil itu sudah kembali dengan membawa kotak yang cukup besar. Mahadri hanya bisa melongo ketika gadis itu dengan sangat cekatan memasukkan sebuah dari setiap jenis kue yang tersisa ke dalam kotak. Ada 11 jenis. Dan, gadis itu menggenapinya jadi 12 buah, masuk ke dalam kotak.
Sebentar kemudian gadis mungil itu sudah kembali dengan membawa kotak yang cukup besar. Mahadri hanya bisa melongo ketika gadis itu dengan sangat cekatan memasukkan sebuah dari setiap jenis kue yang tersisa ke dalam kotak. Ada 11 jenis. Dan, gadis itu menggenapinya jadi 12 buah, masuk ke dalam kotak.
Mahadri kemudian menerima kantong kertas
berisi kotak kue itu dengan wajah bodoh. Ia mengambil dompet di saku belakang
celananya.
“Jadi berapa semuanya, Mbak?”
“Jadi berapa semuanya, Mbak?”
Gadis itu menggeleng. “Gratis, Pak.
Karena kue itu sudah nggak kami jual lagi.”
“Lho....”
“Nggak apa-apa,” senyum manis gadis itu
melebar. “Salam buat istri Bapak yang lagi ngidam.”
“Tapi...”
Gadis itu masih mengembangkan senyum manisnya
sambil tetap menggelengkan kepala.
* * *
Lalu, ia sama seperti orang-orang lain yang
kerajingan datang ke tempat itu. Ia selalu mampir ke Lovely's Patisserie tiap
hari sepulang kerja. Bila masih ada tempat duduk yang tersisa, maka ia akan
duduk dan menikmati beberapa kue mungil nan cantik dan lezat dengan ditemani secangkir
kopi atau teh. Bila tempat itu penuh, ia harus puas dengan pulang
menenteng kantong kertas berisi sekotak kue mungil aneka rupa.
Maitra tertawa geli melihat kebiasaan Mahadri
pulang kerja dengan membawa kantong kertas Lovely's Patisserie. Kadang-kadang ia
ikut menikmatinya kalau sedang ingin. Namun, lebih sering ia membiarkan Mahadri
sendirian menikmati hasil perburuannya itu.
Kue-kue mungil yang dijual di Lovely's Patisserie mutlak terasa sangat lezat di lidah Mahadri. Apalagi bila ia
menikmatinya di tempat. Sambil kadang-kadang melihat sekelebat sosok gadis
mungil itu. Sosok yang entah kapan sudah membuat hatinya berdebar tiap kali
mendekati Lovely's Patisserie.
Dan, sore itu Mahadri kembali membelokkan
mobilnya ke parkiran di depan Lovely's Patisserie. Tempat itu lebih
sepi daripada biasanya. Mungkin karena hujan merintik sejak pagi. Walaupun
begitu, Mahadri hanya menemukan satu meja kosong dengan dua kursi di sudut.
Meja-meja lainnya sudah penuh. Dengan langkah yakin Mahadri menuju ke meja itu.
Setelah meletakkan tasnya, ia menuju ke rak kaca yang penuh dengan pemandangan
menggugah selera. Sebentar kemudian ia sudah kembali ke meja dengan nampan
berisi beberapa kue dan secangkir teh panas.
“Selamat sore, Bapak....”
Mahadri batal menggigit apple strudel-nya. Ia menoleh dan mendapati seulas senyum manis
terpampang untuknya. Ia buru-buru mengangguk dan membalas sapaan itu.
“Bapak kemarin sore absen, ya, datang ke
sini?” Gadis itu tertawa renyah sambil duduk di seberang Mahadri.
“Oh....” Mahadri ikut tertawa. “Saya pulang
telat kemarin, ada meeting. Lewat
sini sudah tutup.”
“Kami memang tutup agak sore kemarin. Ada
yang borong 4000 pieces untuk pesta.
Ngomong-ngomong istri Bapak sudah berapa bulan hamilnya?”
Mahadri hampir tersedak ketika menghirup
tehnya. Istri?
“Istri yang mana?” Tanpa sadar ia balik
bertanya.
“Lho....” Gadis itu menatapnya setengah
tercengang. “Bukannya kapan hari Bapak ke sini mau beli kue buat istri Bapak
yang lagi ngidam?”
“Oh....” Mahadri mengangguk maklum. “Itu buat kakak saya. Sekarang hamilnya lagi jalan 5 bulan.”
“Oh... Hahaha... Kirain....” gadis itu
tertawa lebar.
“Hehehe... Oh, ya, saya Mahadri,” Mahadri
mengulurkan tangannya.
“Lovely.” Gadis mungil itu menjabat tangan
Mahadri dengan hangat.
“Oh... Jadi Mbak sendiri yang punya patisserie ini?” Mahadri menatap kagum.
“Hm... Ya." Lovely mengangguk. “Mengembangkan
resep-resep warisan Oma. Membuka tempat ini dengan susah payah. Targetnya, saya
harus mengembalikan uang yang saya pinjam dari Ayah untuk membuka tempat ini.”
“Pinjam dari Ayah?” Mahadri mengerutkan
keningnya.
Lovely menghela napas panjang. “Ayah ingin
saya ikut terjun ke usaha ekspor-impor miliknya. Tapi saya kurang berminat.
Akhirnya Ayah mau memberikan pinjaman uang untuk membuka usaha yang saya
inginkan. Perjanjiannya berat. Kalau dalam jangka waktu setahun saya tidak bisa
mengembalikan uangnya, tempat ini harus tutup dan saya harus mau ditarik ke
perusahaan Ayah. Tapi saya berhasil melunasinya bulan lalu, di bulan kedelapan.”
“Oh....”
Lovely menatap Mahadri dengan rona merah
memenuhi wajahnya. “Hei! Kenapa saya bisa cerita ke Anda?”
“Nggak apa-apa.” Senyum Mahadri, sembari menggeleng ringan. “Saya
pendengar yang baik kok.”
Lovely tertawa. Ditatapnya Mahadri yang
menghabiskan kue-kue di depannya dengan sedikit rakus.
“Enak apa lapar?”
Mahadri tersadar. Ia mengangkat wajahnya,
sedikit tersipu.
“Kue-kue ini benar-benar luar biasa!” ucapnya
setengah membela diri. “Kenapa bisa begini enak?”
“Karena ada cinta dalam setiap kue yang kami
buat.” Lovely mengedipkan sebelah matanya.
Mahadri menatap Lovely. Apakah cinta juga yang membuat kue ini terasa jauh lebih enak dari
aslinya? Ia kemudian mengalihkan tatapan pada cangkir tehnya.
“Pacarmu pasti gembul karena jadi penikmat
sejati kue-kue buatanmu,” gumam Mahadri.
“Hahaha... Aku jones. Jomlo ngenes.”
Lovely menanggapinya dengan tawa meriah, alih-alih terlihat ngenes. Bahkan mulai ber-'aku'. “Diputus gara-gara aku terlalu sibuk mengurus tempat ini. Padahal aku hanya
butuh waktu beberapa bulan saja sebelum sedikit-sedikit melepasnya ke para
pegawaiku.”
“Laki-laki bodoh,” gerutu Mahadri tanpa bisa
dicegah. “Eh, maaf.”
Lovely tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong,
sesekalilah ajak pacarmu ke sini, biar gembul bareng.”
“Lho... aku sama jones-nya sepertimu,” jawab Mahadri langsung sambil tertawa.
Beberapa detik kemudian yang ada hanya
mendadak hening. Mereka hanya saling menatap. Sebelum kemudian tersenyum, dan
senyum itu pecah menjadi tawa.
Aroma lezat kue-kue di dalam ruangan itu
masih mengambang di udara. Menemani Mahadri dan Lovely yang tetap bertahan di
sudut hingga malam menggelap dan hujan berhenti merintik. Hampir tak peduli
bahwa patisserie harus dibersihkan
dan ditutup untuk dibuka lagi esok hari.
Apakah ada aroma cinta yang bersemi?
Sepertinya begitu.
* * * * *
Yah, udah habis. Rencananya mau nggelar kalo so, Sekalian maem onigiri Ora sidho..... Apik banget mbak, gak pernah Bosen, biar cuman pindahan...... Saliimmmm
BalasHapusHihihi... makasiiih mampirnya ya...
HapusSweet. Jadian nih kayaknya gara-gara kue, hehe..
BalasHapusHehehe... kayaknya sih begitu, Pak. Makasih mampirnya ya...
Hapustelat 5 tahun nggak apa2 ya, good post
BalasHapusBaguuus Bu
BalasHapus