Kamis, 16 Oktober 2014

[Cerpen] Per Sempre Noi








Seutuhnya Andru melihat betapa putus asa tatapan Kania. Ia ingin membawa Kania ke dalam dekapannya, tapi wajah murung Kania seolah tak mengijinkan itu. Dan ia hanya mampu menatap. Menunggu apa yang akan diucapkan Kania selanjutnya.

“Sudahlah, turuti papamu, Dru,” ucap Kania, patah. “Kamu pantas mendapat gadis lain yang lebih daripada aku.”

“Buatku kamu sudah yang terbaik, Nia,” ucap Andru lugas.

Kania menggeleng. “Gadis yang terbaik buatmu adalah gadis yang berasal dari keluarga baik-baik dengan garis keturunan yang jelas. And she’s not me.”

Andru menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Ditatapnya Kania dengan sedih. Kejujuran tidak selalu berbuah hal yang diharapkan, rupanya. Sejak awal Kania sudah berterus terang siapa dirinya, bagaimana keluarganya, dan ia merasa tak bermasalah dengan itu. Kania dirasanya nyaris sempurna, itu yang penting buatnya. Tapi ternyata ayahnya punya pendapat lain. Ia ingat setiap kata yang diucapkan ayahnya semalam. Membuat hatinya serasa diiris dan dikucuri cairan asam.

“Aku sudah berjanji pada almarhumah mamamu untuk selalu memberi yang terbaik buatmu, Dru. Tapi bukan gadismu itu.”

“Kenapa, Pa? Bukankah Papa sendiri yang selalu mengajariku untuk bergaul dengan siapapun?”

“Tapi bukan berarti sembarangan memilih calon istri, Dru!”

“Aku nggak sembarangan, Pa. Kania bukan gadis sembarangan.”

“Bukan gadis sembarangan tapi ibunya meninggal di rumah sakit jiwa dan tidak jelas siapa ayahnya?”

Andru menghela napas panjang. Berusaha mengurangi rasa sesak di dada. Kania masih tertunduk menekuni makan siangnya.

“Aku akan bicara lagi pada Papa,” gumam Andru.

Kania mengangkat wajah. “Sudahlah, Dru. Selama kamu masih memiliki ayah, hormati dia. Bersyukurlah masih ada yang berusaha menjagamu agar tak mengambil jalan kehidupan yang salah.”

Seketika Andru kehilangan kata.

* * *

Sejujurnya Arian merasa betul bahwa keputusannya untuk ‘menolak’ Kania adalah salah. Andru kelihatan makin tenggelam dalam pekerjaannya. Berangkat pagi buta, pulang menjelang tengah malam. Begitu setiap hari. Nyaris tak ada waktu untuk sekedar bertukar ucapan “selamat pagi...” seperti biasa, apalagi sarapan atau makan malam bersama. Jelas sekali Andru sedang berusaha menghindarinya.

Ia tahu anak kesayangannya itu bukan laki-laki sembarangan. Andru bukan type laki-laki yang mudah memilih pacar. Apalagi di usia yang sekarang mendekati tigapuluh, jelas Andru sangat serius mencari calon pendamping hidup. Bukan lagi sekadar pacar.

Dan tampaknya gadis bernama Kania itu benar-benar gadis yang istimewa. Buktinya, Andru sudah memilihnya. Dan jelas ia melihat luka dalam mata Andru ketika ia menyatakan tidak setuju pada pilihan Andru. Apakah ia salah?

Arian menghela napas panjang. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Andru. Setidaknya itu yang ia janjikan menjelang berpulangnya Renita dua belas tahun yang lalu, menjaga Andru hingga ke titik awal kehidupan baru Andru.

Mungkin ia memang perlu sedikit mengubah sudut pandang. Dan dengan sabar ia menunggu Andru pulang. Walau harus begadang hingga nyaris tengah malam.

* * *

Ini pertama kalinya mereka bertemu. Arian menatap gadis mungil berambut model bob itu nyaris tanpa kedip. Apakah Tuhan sedang bercanda? Ia setengah hati menyalami gadis itu.

“Senang bertemu dengan Bapak,” ucap Kania sopan.

Arian hanya mengangguk sedikit. Bukan, bukan karena ia membenci gadis itu, tapi ada dentuman-dentuman liar di dalam dada yang entah datang dari mana. Semua itu mengganggu kemampuannya berpikir jernih. Hingga begitu saja kalimat itu keluar dari mulutnya, membuat Andru terbelalak dan Kania kelihatan terperanjat.

“Jadi, apa yang membuatmu merasa layak jadi pendamping Andru?”

Kania sempat terdiam sejenak sebelum menjawab dengan lirih, tapi terdengar sangat lugas, “Dengan latar belakang keluarga saya yang seperti itu, sesungguhnya saya tidak pernah merasa layak untuk bersanding dengan siapa pun, terutama putra Bapak. Jadi, saya tidak bisa menjawabnya.”

“Latar belakang keluarga yang seperti apa?” Arian memiringkan sedikit kepalanya.

Kania menatap dengan tegar. “Saya kira Bapak sudah tahu.”

“Sedikit,” Arian menatap Andru sedetik sebelum kembali memusatkan tatapannya pada Kania. “Tapi aku ingin mendengarnya langsung darimu.”

“Papa...,” Andru mencoba untuk memprotes.

“Tidak apa-apa,” Kania menepuk lembut punggung tangan Andru, mencoba menenangkan. Ia kemudian kembali menatap Arian, tetap dengan ketegaran yang sama. “Bagian mana yang Bapak ingin tahu?”

“Semuanya.”


“Untuk apa?”

Arian tersentak mendengar ucapan Kania yang terasa menohok perasaannya.

“Saya bercerita atau tidak, sejarah kehidupan saya tidak akan pernah berubah, Pak,” lanjut Kania. ”Saya tetap anak haram yang tidak tahu siapa ayah saya kecuali sepotong namanya, dan ibu saya tetap saja berakhir hidupnya di rumah sakit jiwa. Dan Bapak, saya tahu keberatan untuk punya menantu dengan sejarah seperti saya.”

Arian terdiam sejenak. Tapi keingintahuannya mengalahkan logika tentang tindakan etis atau tidak etis, dan begitu saja ia bergerak melanggarnya.

“Kenapa ibumu bisa masuk ke rumah sakit jiwa?”

“Karena ayah saya memperkosanya,” tiba-tiba saja mata bening itu sudah mengaca. “Ibu saya terguncang ketika mendapati dirinya hamil padahal ibu saya masih memiliki banyak mimpi. Baru semester-semester awal di fakultas kedokteran. Dan semuanya berubah hanya karena terjebak pesta liar dan ibu saya dibuat teler. Saya lahir di sana, di dalam rumah sakit jiwa. Kakek-nenek saya merawat saya sejak hari pertama saya dilahirkan. Dan ibu saya bunuh diri pada hari ulang tahun pertama saya.”

Arian kelihatan terguncang setelah mendengar rangkaian kalimat yang diucapkan Kania dengan begitu tegar. Bahkan cenderung dingin.

* * *

Andru mengemudikan mobilnya sambil diam membisu. Dalam hati ia jengkel pada Arian yang sudah sedemikian rupa mencecar Kania tentang masa lalunya. Dan menatap lara yang tergambar nyata di dalam mata Kania, hatinya turut merasakan sakit yang luar biasa.

“Dru...”

“Papa menyakiti Kania,” ucap Andru getas.

“Maafkan Papa, tapi...”

“Papa menyakiti Kania,” ulang Andru, dingin.

Arian menghela napas panjang. Ia menatap ke luar jendela mobil dan seolah bayangan wajah gadis itu mengikutinya. Gadis mungil berpotongan rambut bob. Dengan jabat tangannya yang terasa hangat.

Karin... Di mana dia sekarang?

Mendadak jantung Arian berdebar tak beraturan. Sebuah rasa yang ia sendiri tak mampu menerjemahkan mendadak berebutan memenuhi hatinya. Memaksa jantungnya berdebar lebih kencang lagi.

“Berapa umur Kania sekarang?” tanya Arian dengan suara bergetar.

“Dua tujuh,” jawab Andru pendek, masih dingin.

Arian menghitung-hitung. Dan debar jantungnya terasa makin liar. Andru dengan kasar memencet klakson dan pintu pagar segera terbuka lebar. Mobil itu sampai berdecit ketika Andru menginjak pedal rem dalam-dalam tepat di depan pintu garasi.

“Siapa nama ibunya?” tanya Arian lagi tepat sebelum Andru membuka pintu mobil.

“Karina,” jawab Andru sambil melangkah meninggalkan Arian.

Sebuah tusukan yang terasa sangat menyakitkan menghunjam dada Arian. Ia masih sempat mengeluh pendek sebelum tubuhnya lunglai. Tak sempat lagi ia mendengar pembantunya berteriak kencang memanggil Andru dengan panik. Semuanya terdengar begitu hening dan terlihat gelap gulita.

* * *

Arian menoleh ketika merasa lengannya disenggol seseorang. Ia menoleh dan mendapati Oji tengah menatap ke suatu titik. Diikutinya arah mata Oji dan tatapannya berlabuh pada dua sosok gadis manis yang tengah menikmati softdrink.

“Kenal?” tanya Oji.

Arian menggeleng.

“Mau kenalan?” usik Oji lagi.

“Kamu mau yang mana?” Arian berdiri dari duduknya, diikuti Oji.

“Yang buntut kuda,” jawab Oji, nyengir.

“Ya sudah, aku yang lebih cantik saja, yang rambutnya nge-bob.”

Dan gadis itu bernama Karin. Dengan tatapan ceria yang membuat Arian jadi terseret ikut bergembira. Obrolan mereka nyambung. Hanya saja tidak sadar bahwa si tuan rumah yang iseng telah mencampurkan sesuatu ke dalam minuman mereka.

Tatapan Arian mengabur. Dan wajah Karin kelihatan makin berpendar di matanya. Selanjutnya ia sungguh tak mau mengingatnya. Segala kesalahan yang terjadi terhadap seorang Karin yang sudah lunglai tak berdaya. Dan ia merenggut semuanya di luar kontrol kesadarannya. Semuanya teringat sangat menyakitkan. Tapi entah kenapa mimpi itu datang lagi dan datang lagi. Seperti DVD rusak yang berputar terus.

Kegelapan perlahan menggulungnya dan melemparnya ke sebuah lorong gelap. Dan ia tenggelam di dalamnya. Hingga sebuah suara terdengar memanggilnya. Suara yang terdengar begitu hangat dan akrab.

Arian mengerjapkan mata.

* * *

“Pa...”

Arian kembali mengerjapkan mata.

“Papa sudah bangun?”

Seraut wajah itu terlihat mengabur di matanya. Sebuah genggaman terasa menghangatkan ujung jemari tangannya yang terasa dingin. Ia mengenalinya.

“Dru...,” bisiknya nyaris tak terdengar.

“Papa istirahat dulu ya,” Andru berbisik di telinga Arian.

“Ka...nia...,” Arian berbisik lagi dengan susah-payah.

Dan pembicaraan itu belum lagi berlanjut karena mata Arian terasa sangat berat dan segera terkatup kembali. Andru segera menyingkir ketika dokter datang untuk memeriksa kondisi Arian.

Ketika ia duduk bersandar dengan letih di kursi tunggu sambil menatap pintu ruang ICCU, sebuah gelas kertas terulur ke depannya. Ia menoleh dan mendapati Kania tengah mengulurkan segelas teh hangat padanya. Ia menerima teh itu. Kania duduk di sebelahnya sambil membuka sebungkus roti.

“Makan dulu, Dru,” Kania menyodorkan roti itu pada Andru.

Andru menerimanya sambil membisikkan ucapan terima kasih. Kania mengelus punggung Andru dengan lembut.

“Pulang saja kalau capek,” ucap Kania.

Andru menggeleng. “Aku nggak bisa meninggalkan Papa, Nia.”

“Ya, sudah, aku temani.”

“Nggak kerja?”

“Sesekali bolos nggak apa-apa,” senyum Kania. “By the way, sejak kapan Papa punya sakit jantung?”

Andru menggeleng. “Belum pernah.”

“Oh...”

“Ehm... Tadi Papa sempat nyebut namamu,” Andru mempermainkan gelas kertas yang sudah kosong di tangannya. “Maafin Papa, ya, Nia. Sepertinya Papa menyesal sudah menggencetmu kemarin.”

“Nggak apa-apa, Dru,” Kania kembali mengelus punggung Andru. “Wajar Papa sebagai orangtua ingin yang terbaik buat anaknya. Apalagi kamu satu-satunya anak Papa.”

Andru mengangguk. Saat itu pintu ruang ICCU terbuka dan dokter yang merawat Arian melangkah mendekati mereka. Ia duduk di sebelah Andru.

“Pak Arian masih harus tinggal beberapa hari lagi di ICCU, Mas Andru,” ucap dokter itu. “Kita harus pantau terus kondisinya. Sejauh ini sih sudah cukup stabil. Tapi kita nggak boleh lengah. Oh, ya, kalau bisa pertemukan Pak Arian dengan orang yang bernama Kania, Mas Andru. Pak Arian sadar lagi dan menyebut nama Kania.”

“Ini Kania,” Andru menunjuk Kania yang duduk di sebelahnya.

“Oh... Adik Mas Andru?”

“Bukan,” Andru menggeleng. “Calon istri saya.”

“Oh...,” dokter itu mengangguk maklum. “Masuk saja, Mbak Kania.”

“Boleh?”

“Boleh,” dokter itu mengangguk, “asal jangan diajak ngomong terlalu banyak dulu.”

* * *

Kania menatap sosok itu dengan sedih. Sebetulnya banyak harapan yang terkumpul ketika Andru mengajaknya menemui sang papa. Memiliki seorang ayah? Kelihatannya menyenangkan. Sosok Kakek yang sudah berpulang saat ia umur lima tahun makin mengaburkan bayangannya tentang sosok seorang ayah yang ia ingin miliki.

Dengan halus Kania menyentuh tangan Arian.

“Pak...,” bisiknya. “Bapak ingin bertemu saya?”

Pelan Arian membuka matanya. Dengan sedikit nanar ditatapnya senyum di wajah Kania. Dengan lemah digenggamnya jemari Kania. Sebutir airmata meluncur dari sudut mata Arian, membuat Kania terenyuh seketika. Dengan hangat digenggamnya telapak tangan Arian.

“Nak...,” bisik Arian. “Maafkan... Papa, Nak...”

“Tidak apa-apa, Pak,” Kania balas berbisik. “Saya bisa mengerti atas apa yang terjadi kemarin.”

“Bukan... itu...,” Arian terlihat menghela napas panjang. “Aku... papamu...”

Kania ternganga.

* * *

Pelan Kania menutup pintu ruang ICCU di belakangnya. Tatapannya tampak kosong mengarah pada Andru yang sedang duduk bersandar sambil memejamkan mata. Benarkah? Bagaimana papanya bisa yakin aku anaknya?

Pembicaraan yang sudah dimulai Arian belum bisa dilanjut karena Arian keburu mengatupkan matanya yang lagi-lagi terasa berat. Dan Kania keluar dari ruangan itu dengan hati teraduk. Pelan ia duduk di sebelah Andru.

Andru merasa ada yang bergerak di sebelahnya. Ia membuka mata dan mendapati Kania sudah duduk dengan wajah diliputi mendung. Ia menegakkan badan.

“Sudah?”

Kania hanya mengangguk tak kentara.

“Ngomongin apa memangnya?”

Kania menggeleng. Sedetik kemudian ia menoleh dan menatap Andru dengan sedih.

“Nama Papa siapa?”

Andru mengerutkan kening. “Arian.”

“Lengkapnya?”

“David Arian.”

Kania kembali menundukkan kepalanya. Tatapannya tampak menerawang seakan jauh menembus lantai yang diinjaknya. David Arian. David...

“Papamu ayahku,” gumam Kania, nyaris tak terdengar.

“Apa?”

Kania kembali mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Andru. “Ayahku, laki-laki yang memperkosa ibuku, namanya David. Dan dia baru saja mengakuinya. Dia papamu.”

Andru ternganga menatap Kania. “Bagaimana dia bisa yakin kamu anaknya?”

Kania mengerjapkan mata. “Karena nama ibuku Karina, Karin, sama dengan nama gadis yang diperkosa papamu. Dan aku, penampilanku, wajahku, sebelas dua belas dengan ibuku.”

Andru terhenyak.

* * *

Kania-nya jelas terguncang. Itu Andru tahu. Tapi hanya untuk sekedar memeluk Kania saja ia sekarang tak bisa. Gadis itu tak mau bertemu lagi dengannya. Mungkin lebih tepatnya belum mau. Dan Andru sungguh paham sebabnya. Amat sangat paham.

Ia hanya harus menunggu kesehatan papanya sedikit membaik untuk sekedar memperoleh penjelasan. Menunggu dengan sabar tanpa tahu harus berbuat apa selain berdiam diri.

“Dru, maafkan Papa,” suara Arian terdengar lemah menyapa telinganya.

Andru mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu dan Andru segera mendapati betapa beban kelihatan menggantung begitu berat dalam mata Arian.

“Kenapa, Pa?” gumam Andru, patah.

“Papa mabuk, Dru. Teler. Atau apalah namanya. Dan semua terjadi begitu saja. Papa tak tahu selanjutnya. Tak pernah tahu. Bahkan siapa dia sebenarnya pun Papa tidak tahu selain nama dan mengingat wajahnya.”

Andru menatap wajah papanya. Tampak begitu sarat dengan penyesalan yang tak terkira. Pelan ia menggengam jemari Arian.

“Kasih Kania waktu untuk menerima semuanya, Pa,” bisik Andru. “Kalaupun dia marah pada Papa, aku kira wajar. Kehidupannya selama ini nggak pernah mudah walaupun neneknya sangat berkecukupan dan dia memperoleh pendidikan terbaik. Stigma sebagai anak haram orang gila sudah terlanjur menempel pada kehidupannya.”

“Apa pun untuk menebusnya, Dru...”

“Iya, aku paham,” senyum Andru, terlihat begitu perih. “Yang penting Papa sehat dulu. Setelah itu baru kita pikirkan lagi semuanya.”

Arian memejamkan mata.

* * *

Entah sudah berapa kali Kania menangis dalam pelukan neneknya. Perempuan tua itu hanya bisa menampung semuanya dalam hati seluas samudera. Sesungguhnya ada perasaan lega bahwa Kania sudah ditemukan ayahnya. Usianya sendiri tak tahu kapan akan berakhir. Tak akan ringan rasanya jika belum tahu akan menitipkan Kania pada siapa walaupun Kania sudah mandiri.

“Kamu menangis atau tertawa, semuanya tetap sudah terjadi, Nia,” ujarnya lembut sambil memeluk Kania yang sesenggukan.

“Aku benci dia, Nek...,” ucapnya terbata-bata. “Aku sakit hati... Tapi aku juga merindukannya...”

“Kalau memang benar semuanya seperti yang kamu tahu, maka Nenek yakin dia bukanlah orang jahat. Ketidaksengajaan, Nia. Kalaupun dia tahu akibatnya, Nenek yakin dia tetap akan bertanggung jawab.”

Kania tetap tersedu dalam pelukan neneknya.

“Nenek ingin menemuinya.”

Seketika Kania menarik diri dari pelukan neneknya.

“Kamu bisa antar Nenek?”

Kania menatap neneknya tanpa kedip dengan mata masih penuh berair. Ia tak tahu harus menjawab apa.

* * *

Kania menatap neneknya sejenak. Perempuan itu mengangguk dan mengulas senyum yang seolah memberinya kekuatan. Pelan, tangan Kania terulur menjangkau handle pintu, kemudian memutarnya dengan halus.

Dua kepala serentak menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar itu. Arian seketika merasakan matanya mengembun, sedangkan Andru diam terpaku menatap Kania yang berdiri tegak di depan pintu.

“Boleh kami masuk?” tanya Kania, terdengar ragu-ragu.

Andru buru-buru menghampiri Kania, kemudian menyalami dan mencium punggung tangan nenek Kania yang berdiri di belakang Kania.

“Silakan, Nek, Nia...”

Kania menoleh ke arah neneknya. Sejenak kemudian ia menatap Andru.

“Aku mengantar Nenek. Nenek ingin ketemu...,” tatapan Kania menyapu wajah Arian sedetik, “papa...mu.”

Andru buru-buru mengangguk sambil memeluk bahu nenek Kania. Dibawanya perempuan itu mendekat ke arah tempat tidur Arian. Kania diam-diam menyelinap keluar.

“Nek,” ucap Andru lirih. “Ini papa saya.”

Nenek Kania mengulurkan tangan. Arian menyambut tangan keriput itu dan menciuminya sepenuh hati.

“Maafkan saya, Bu... Ampuni saya...,” ucapnya dengan airmata mengalir tanpa bisa dicegah.

* * *

Andru menemukan Kania tengah duduk diam di sudut dekat taman depan kamar perawatan Arian. Pelan ia mendekati gadis itu.

“Hai,” sapanya kemudian, ragu-ragu.

Kania menoleh. Tatapan mereka bertemu dan jutaan kerinduan seakan berlompatan keluar begitu saja.

“Hai,” jawab Kania. “Kamu kurusan. Apa kabar?”

Andru duduk di sebelah Kania. “Baik.”

“Aku tadi kecele di ICCU,” senyum Kania, tipis.

“Ya,” Andru balas tersenyum. “Papa dipindah ke sini empat hari yang lalu. Kamu juga kurusan.”

Kania tertunduk. Andru menatapnya sendu.

“Aku kangen kamu,” gumamnya.

Aku juga, balas Kania dalam hati.

“Boleh aku... memelukmu?” suara Andru terdengar ragu-ragu.

Kania tak menjawab. Tapi tangannya sudah terulur menjangkau bahu Andru. Sedetik kemudian mereka tenggelam dalam pelukan penuh kerinduan yang sudah tertunda hampir dua minggu lamanya.

* * *

“Aku percaya kamu laki-laki yang baik,” nenek Kania menatap lembut wajah Arian yang masih tampak pucat. “Setidaknya Andru bisa jadi cerminan kebaikanmu selama ini. Dia pemuda yang baik dan sopan. Kamu mendidiknya dengan sangat baik.”

“Seandainya saya tahu, Bu...,” jutaan penyesalan masih memenuhi wajah, mata, dan hati Andru.

“Kalau kamu tahu kamu pasti akan bertanggung jawab. Aku percaya itu, Nak,” senyum nenek Kania. “Tidak mudah buat Kania untuk memaafkanmu dan melupakan semuanya. Tapi aku tahu jauh di dasar hatinya ia sangat merindukan sosok ayahnya.”

“Apapun akan saya lakukan untuk menebus semuanya, Bu. Saya berjanji.”

Nenek Kania menghela napas panjang. Berusaha melepaskan beban yang masih menghimpit hatinya.

“David, berapa umur Andru ketika kamu melakukan itu pada Karin?” suara nenek Kania terdengar ragu-ragu. “Dan kenapa bisa melakukannya?”

“Beda umur Andru dan Kania tiga tahun, Bu,” jawab Arian dengan suara bergetar. “Tapi saya belum mengenalnya waktu itu. Saya menikah dengan mamanya Andru ketika Andru berumur enam tahun. Saya masih bebas ketika...”

“Ah... Jadi kamu bukan ayah kandungnya?” nenek Kania mengangkat alisnya.

Arian menggeleng. “Bukan. Tapi saya sangat menyayanginya. Selain Kania, anak saya cuma Andru.”

“Berarti...”

Arian menangkap binar dalam mata kelabu perempuan sepuh itu. Ia mengerti.

“Benar, Bu. Mereka masih bisa menikah asal Kania mau,” ia mengangguk.

“Ah...,” senyum merekah di bibir nenek Kania.

* * *

Sepenuh hati Andru mencium aroma wangi rambut Kania.

“Aku bisa berbagi Papa kalau kamu mau,” bisiknya lembut.

Kania tercenung sejenak. Entah siapa yang berbagi siapa, sebetulnya.

“Tolong, maafkan Papa, Nia,” ucap Andru terbata. “Seumur hidupnya, Papa sangat ingin punya anak perempuan. Aku tidak meragukan rasa sayangnya padaku, tapi kamu anaknya juga. Putri kandungnya. Sebelum tahu kamu ada, Papa sudah menginginkanmu, putrinya.”

Kania mengusap butiran bening yang menggelinding dari sudut matanya. Sejujurnya... Dihelanya napas panjang. Ia tersentak ketika pintu ruang perawatan Arian terbuka. Neneknya muncul dengan wajah cerah.

“Giliranmu,” ucapnya dengan nada tak terbantah.

Kania kemudian melangkah ragu menghampiri pintu ruang perawatan Arian. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya.

Aku harus bagaimana? Apa yang harus kukatakan?

Pintu itu dirasanya makin dekat. Terlalu dekat.

Ya, aku merindukannya. Aku kalah kan?

Dijangkaunya handle pintu.

Tapi lihat akibat perbuatannya pada almarhumah Ibu! Apakah ini sepadan?

Ia memutar handle pintu.

Tapi aku juga menginginkannya kan? Seorang ayah...

Pelan didorongnya pintu itu. Dan seluruh pertentangan dalam kepalanya buyar seketika ketika ia menatap laki-laki itu. David Arian. Ayahnya. Otaknya tak lagi bisa mencegah kakinya yang berkehendak lari mendekati laki-laki itu.

“Papa...,” bisiknya dengan airmata berderai.

Arian mengembangkan kedua lengan lebar-lebar. Membiarkan Kania tenggelam di dalamnya. Dan Kania kemudian menikmati betul pelukan hangat itu. Belaian lembut di kepalanya. Ucapan permintaan maaf yang berarti begitu dalam.

Arian menciumi gadis itu. Keningnya, pipinya, kepalanya, rambutnya. Memeluknya erat entah untuk keberapa kali.

“Kania,” bisik Arian, “Andru, Papa, Nenek. Kita. Selamanya...”

* * * * *

Catatan :
Per sempre noi = kita selamanya


Lagu latar : Mia Per Sempre – Josh Groban









2 komentar: