Jumat, 03 Oktober 2014

[Cerpen] Memoar Rujak Latah





http://the.karimuddin.com/2012/05/kantin-rujak-cingur-pak-hadi


Tanpa sadar aku mengulum senyum ketika pesawat yang kutumpangi mendarat di Bandara Abdul Rachman Saleh Malang. Setelah hampir 17 tahun lamanya aku meninggalkan kota ini, akhirnya aku kembali walau hanya untuk beberapa hari.

Angin yang menyambutku di luar pesawat masih menyisakan sedikit rasa dingin walau sudah tak seperti belasan tahun yang lalu. Tapi tetap saja masih jauh lebih sejuk daripada sumpeknya kota Jakarta. Kuhirup udara dalam-dalam, membiarkan seluruh paru-paruku dipenuhi kesejukan yang entah kapan lagi bisa kurasakan di waktu yang akan datang.

“Kelihatannya kamu menikmati banget perjalanan kita ke sini, Bel,” celetuk Mas Abadi.

Aku terkekeh. “Hehehe... Terhanyut kenangan masa kecil sampai remaja.”

“Jangan-jangan pacarmu ketinggalan di sini ya, Bel?” sambar Mas Hendrik.

Mas Abadi seketika terbahak. “Pantas betah ngejomblo,” sahutnya telak, diikuti gelak tawa Mas Hendrik.

“Ih! Apa sih?” gerutuku.

Ketika melangkah keluar bandara, mataku tertumbuk pada sebuah karton putih yang terbentang tanpa malu-malu dengan tulisan berhuruf kapital : SELAMAT DATANG DOKTER BELVA, DOKTER HENDRIK, DOKTER ABADI! Dan rupanya Mas Hendrik juga melihat hal yang sama denganku. Dengan tawa tertahan dia kemudian menghampiri pemegang karton itu, seorang laki-laki tinggi besar berperawakan tegap. Mas Abadi dan aku mengikuti langkah Mas Hendrik.

“Halo,” sapa Mas Hendrik. “Kami rombongan kecil dari Jakarta. Senang bisa sampai di sini.”

“Ah! Selamat datang, Dokter. Pesawat delay rupanya ya?” ucap laki-laki itu, terdengar sangat lega. “Saya Rama, yang bertugas mengurus akomodasi Anda bertiga selama di sini.”

Dia  pun menyalami kami satu persatu. Kemudian dia menggiring kami ke sebuah MPV dan memastikan kami duduk dengan nyaman, baru kemudian dia mulai melajukan mobil itu. Dia menyetir sendiri. Dan aku duduk manis di sebelahnya.

Aku menatap keluar jendela, setengah melamun. Ketika mobil melewati sebuah tempat, aku tercengang. Wendit. Tempat itu sudah jauh berubah. Terlihat sudah tertata dengan baik dan tampaknya sudah menjadi tempat tujuan wisata yang ramai.

“Masih banyak monyetnya?” gumamku tanpa sadar.

“Ya?”

Aku tersentak dan menoleh. Rupanya Rama mendengar gumamanku.

“Wendit. Masih banyak monyetnya?” ulangku.

“Oh...,” Rama tersenyum lebar. “Masih ada. Kok tahu?”

“Belva kan ratunya, Mas,” terdengar celetukan Mas Abadi dari belakang, diikuti dengan ledakan tawa dari mulut Mas Hendrik.

Kurang asem! Entah sampai kapan aku bisa lepas dari bully-an kedua seniorku yang ember itu.

Rupanya gumamanku soal Wendit membuka kebekuan yang sempat tercipta di antara kami berempat. Rama bukan orang yang terlalu banyak bicara rupanya. Tapi kemudian dia tak segan lagi menanggapi joke-joke yang dilontarkan Mas Abadi dan Mas Hendrik. Dan kami terus melaju hingga masuk ke tempat parkir Hotel Pajajaran Park, tempat menginap yang disediakan bagi kami.

Sebelum masuk ke kamar aku sempat bertanya pada Rama, ”Mas, gampang kan cari taksi di sini?”

“Lho, nggak usah pakai taksi, Mbak,” jawab Rama. “Saya siap antar ke mana saja. Kalau Mas Abadi dan Mas Hendrik mau keluar, nanti saya carikan mobil lain.”

“Mau ngeluyur ke mana, Hen?” kulihat Mas Abadi menoleh ke arah Mas Hendrik. “Mumpung seminarnya masih besok.”

Mas Hendrik menggeleng. “Di sebelah ada resto enak kayaknya ya?”

Rama mengangguk. “Gang Djangkrik.”

“Aku mau ke situ saja,” ujar Mas Hendrik. “Dingin-dingin gini bikin laper. Abis itu aku mau chatting sama bini. Setor sapaan,” Mas Hendrik nyengir.

“Ya sudah, aku ikut kamu saja,” ucap Mas Abadi antusias.

Aku hanya tertawa saja melihat kedua bapak dokter berperut menuju melar itu mulai sibuk mencari ganjal perut.

* * *

Sebenarnya aku merasa lebih nyaman saja naik taksi untuk memenuhi keinginanku mengintip ke suatu tempat. Hm... Apakah tempat itu masih ada? Aku menelan ludah. Terbayang di mataku sepiring makanan berpenampilan dan berbau khas yang sudah belasan tahun kurindukan.

Rujak cingur.

Ketika aku harus pindah ke Surabaya ikut Bapak yang pindah tugas, aku tidak terlalu merasa kehilangan makanan itu. Toh di Surabaya juga gudangnya rujak cingur. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai merasakan kerinduan itu.

Bagiku, tak ada satu pun rujak cingur di Surabaya yang kelezatannya menyamai rujak cingur buatan Lik Jumi, langgananku. Aku tak pernah bisa mendefinisikan secara jelas di mana letak perbedaan rasanya. Aku hanya bisa bilang ‘ah, masih kurang enak’, ah, masih kurang pas’. Dan kesempurnaan itu masih tetap milik rujak buatan Lik Jumi. Bahkan ketika aku mulai berdinas di Jakarta, rujak cingur yang katanya paling enak di bilangan Cipete pun masih kurang cocok di lidahku. Mungkin memang lidahku error abadi. Terlanjur tersihir rujak racikan Lik Jumi.

Tapi bagiku Lik Jumi memang istimewa. Badannya yang kecil mungil seakan menyimpan tenaga sekuat gajah untuk mengulek bumbu rujak dari butiran kacang goreng utuh menjadi bumbu rujak yang begitu menyatu dengan bahan lainnya dalam waktu sekejap.

Bejibun langganan pun dia layani dengan cepat. Keistimewaan yang lain, dia hafal betul urutan siapa yang datang duluan. Ketika ada yang datang belakangan tapi minta didahulukan, maka dengan tegas dia akan menolak, “Sakno sing antri dhisikan, rek!1” Bahkan bila orang itu pelanggan setianya sekalipun.

Dan keistimewaan yang lain adalah... Lik Jumi orangnya latah! Ketika pertama kali aku antri di warungnya, aku risih sendiri mendengar hamburan ‘kata-kata berbunga’ keluar dari mulutnya ketika dia kaget atau dikageti. “Kon**le ceblok!2” atau “Kon**le ucul!3 Masih mending bila yang keluar adalah “Lontonge mrusut!4

Waduh... Aku yang saat itu masih polos imut-imut hanya bisa mengelus dada. Tapi jangan dikira Lik Jumi menikmati ‘perbuatannya’ itu. Setelah dia menghamburkan ‘kata-kata mutiara’ itu, dia akan mengeluh dengan wajah letih, “Ojok ngunu opo’o, rek! Nggarai gak konsen ae nguleg rujak! Mbokpikir aku gak kesel tah, latah koyok ngene?5

Sungguh suatu memoar manis tentang Lik Jumi dan rujaknya.

* * *

Aku tersentak ketika ponselku berbunyi. Segera kuraih dan kudekatkan ke telinga. Dan suara Mas Abadi segera menyambutku begitu kuucapkan, “Hallo...”

“Bel, kamu ketiduran apa gimana? Kasihan yang nunggu ini! Katanya mau jalan-jalan?”

Waduh! Aku kelamaan melamun rupanya!

“Iya, iya, Mas!” sahutku cepat. “Ini aku lagi jalan keluar.”

Buru-buru aku merapikan bajuku, dan segera keluar. Ups! Rama masih menungguku dengan sabar di lobby, sementara Mas Hendrik dan Mas Abadi kupikir sudah menghilang ke sebelah.

“Maaf ya, Mas, aku lama,” sesalku.

Rama berdiri dan tersenyum lebar.

Gak popo, Mbak6,” jawabnya dengan logat Malangan, dan seterusnya dia bicara dengan bahasa Jawa Malangan. “Aku baru ngerti dari Mas Abadi kalau sampeyan7 kelahiran sini.”

“Iya, hehehe...,” aku terkekeh.

“Ayolah, sampeyan mau ke mana saja ayo kuantar,” Rama berjalan ke arah mobil sambil aku mengekor di belakangnya.

“Hm... Aku ingin ke Celaket gang dua, Mas,” ucapku.

Laopo?8” Rama menatapku. “Cari rujak ya? Yu Nah sudah tutup, Mbak. Meninggal. Ada anaknya buka di Jalan Kalpataru.”

“Bukan Yu Nah, Mas,” tukasku. “Ada satu lagi yang jual rujak enak di situ. Lik Jumi.”

“Lik Jumi latah itu?” Rama menatapku dengan aneh.

“Iyaaa...,” sahutku antusias. “Sampeyan ngerti gitu lho?”

“Ya iya, Mbak,” Rama mengusap wajahnya. “Aku kan anak daerah situ. Tapi sekarang Lik Jumi sudah nggak jualan rutin lagi. Cuma kalau ada pesanan saja.”

“Ah...,” aku mendesah kecewa. Tampaknya usahaku untuk memanjakan lidahku dengan rujak buatan Lik Jumi gagal total.

“Tapi kelihatannya tiap hari ya ada pesanan, Mbak,” celetuk Rama beberapa saat kemudian. “Kalau beruntung sampeyan masih bisa kebagian satu porsi.”

Yo wis, ayo cabut mrono!9” aku mendadak seperti disuntik energi sekian tenaga kuda.

Rama mulai melajukan MPV itu membelah jalanan kota Malang. Aku menikmatinya dengan sepenuh hati. Membebaskan lamunanku meliar pada setiap kenangan yang tumbuh selama aku bermukim di sini. Dan tampaknya Rama mengerti keinginanku. Dia membiarkan saja aku tenggelam dalam alamku sendiri.

* * *

“Kok bisa ngerti rujak Lik Jumi dari mana, Mbak?” celetuk Rama ketika dia membelokkan mobilnya masuk ke gang yang lumayan lebar itu.

“Aku dulu tinggal di gang satu, Mas,” jelasku. “Aku suka males kalau disuruh Ibu antri di Yu Nah. Sekalinya aku beli di Lik Jumi, ibuku ternyata suka juga dan bilang enak. Sejak itu aku jadi langganan Lik Jumi.”

“Nggak terganggu sama latahnya?” Rama menoleh sekilas padaku.

“Enggaklah,” jawabku. “Dia kan out of control pas latah begitu. Aku suka sebel juga kalau ada yang godain Lik Jumi. Kasihan kan! Capek juga lho kelihatannya jadi orang latah.”

Rama menghentikan sejenak mobilnya di depan sebuah rumah berhalaman luas. Dia turun membuka pintu pagar, kemudian masuk lagi ke belakang kemudi, dan meluncurkan mobil itu sampai ke depan garasi.

Aku mengerutkan kening. Seingatku dulu Lik Jumi memang berjualan di depan, tepatnya di luar pagar depan, rumah itu. Tapi sekarang kulihat depan rumah itu sudah bersih. Tak ada lagi warung kecil tempat Lik Jumi berjualan.

“Ayo, Mbak,” Rama mengajakku turun dari mobil.

Aku ragu-ragu mengikuti langkah Rama kemudian. Dia tampak tanpa beban melangkah masuk melalui pintu garasi yang terbuka sedikit.

“Bu...!” serunya.

“Ya...?” terdengar sebuah sahutan.

Seorang perempuan setengah baya bertubuh mungil muncul dari dalam rumah. Dia tersenyum, bergantian menatapku dan Rama. Dan aku masih sangat mengenalnya. Lik Jumi.

“Ini lho, katanya dulu langganan Ibu,” ucap Rama.

Sik! Sik10 Lik Jumi mengangkat tangannya. “Ini Ning Eva ya? Yang kalau beli rujak nggak mau pakai cingur?”

Aku terperangah. Lik Jumi masih mengingatku? Ya, ampun...

“Iyaaa...,” aku tertawa gembira. “Lik masih ingat aku?”

“Ya ingatlah, Ning,” Lik Jumi memelukku. “Calon mantu masak nggak ingat?”

Wajahku memerah dadu sambil balas memeluk Lik Jumi. Duh, bagaimana dia bisa tahu kalau salah satu alasanku menjadi pelanggannya adalah karena aku naksir anak tunggal Lik Jumi yang jadi kakak kelasku di sekolah dulu?

“Lho! Sampeyan Eva?” Rama ternganga menatapku.

Aku balas menatapnya, tak mengerti.

“Aku Abi, Va,” ucap Rama lagi. “Ya ampun... Kenapa aku nggak ngenalin sampeyan  sih?”

Abi? Abi, dia bilang? Abi tinggi cungkring berkacamata cukup tebal bagaimana bisa berubah jadi laki-laki tinggi tegap, gagah, dan tampan seperti ini? Ehm... Soal tampan sih, sebetulnya dari dulu dia juga sudah tampan. Makanya aku naksir dia kan? Tapi sudahlah, semuanya cuma tinggal jadi adegan bertepuk sebelah tangan. Karena Abi yang pendiam itu bahkan melirikku pun kelihatannya tidak pernah.

“Euh... Mas Abi?” ucapku ragu.

“Iya, aku Abi!” Rama - eh Abi, eh... aduh! Aku bingung gimana harus menyebutnya! – menatapku serius. “Ya ampun, Eva... Ini sampeyan? Benar-benar Eva?”

Sungguh, aku tak tahu harus menjawab apa. Aku memang banyak berubah, itu pasti, aku percaya. Apalagi sudah belasan tahun berlalu. Wajar kalau laki-laki bernama Abi ini tidak mengenaliku lagi. Tapi Lik Jumi? Aku menoleh, menatap Lik Jumi, meminta penjelasan. Perempuan mungil itu mengangguk. Kelihatannya dia memahami arti tatapanku.

“Perasaan nggak bisa diingkari, Ning,” ucapnya sederhana. “Dan perasaan Lik bilang kalau sampeyan ini Ning Eva. Nggak tahu, Ning. Lik nggak bisa menjelaskan.”

Aku masih termangu. Terpana. Tercengang. Banyak pertanyaan. Dan sekali lagi Lik Jumi memahami apa yang kurasakan. Dengan lembut dia kemudian mendorongku ke ruang tamu. Rama atau Abi atau siapalah dia mengikuti dari belakang.

“Ning, duduk di sini,” ucap Lik Jumi. “Ngobrol dululah sama Abi. Lik bikinin rujak dulu. Kebetulan ada pesanan. Jangan khawatir, sampeyan pasti kebagian. Takgawekno sing pualing uwenak wis...11

Dan perempuan mungil itu meninggalkanku berdua dengan anaknya. Laki-laki itu kemudian mengajakku ke teras. Dan di sama aku melihat plang praktek dokter yang tak sempat kubaca sebelumnya.

Aku kembali ternganga.

* * *

Sungguh aku ingin bertanya, tapi tak tahu harus dari mana dan bagaimana memulainya. Maka aku hanya bisa memandangi plang itu dengan jantung berdebar kencang.

dr. Abirama Prasetya, Sp.OG
Praktek setiap hari kerja pukul 18.00 – 20.00
Sabtu – Minggu – hari raya libur

Jadi? Jadi...

Sampeyan ingin tahu bagaimana anak pasangan tukang becak dan bakul12 rujak bisa jadi seorang dokter?”

Suara itu seketika melepaskan aku dari keheningan. Dia menatapku. Aku balik menatapnya.

“Nggak ada sesuatu yang nggak mungkin di dunia ini,” jawabku lirih.

“Betul, tepat sekali,” senyumnya. “Aku selalu berdoa pada tiap kesempatan yang kupunya. Memohon agar Dia sedikit saja memberikan penerangan buatku setelah hari-hariku gelap karena sampeyan pergi.”

Hah? Aku kembali tersentak. “Maksud sampeyan?”

“Banyak yang nggak terungkapkan, Va,” dia menghela napas panjang. “Setelah dengan berat hati aku meninggalkan sampeyan karena lulus duluan dari SMP, aku masih berharap sampeyan masuk ke SMA yang sama denganku. Tapi nyatanya sampeyan harus pindah ke Surabaya begitu lulus SMP.”

Sungguh aku menangkap ada nada kepedihan dalam suaranya. Pelan mataku mulai mengaca.

“Kenapa nggak ngomong saja dari awal?” tanyaku dengan suara serak.

“Aku sadar diri siapa sampeyan, siapa aku,” desahnya. “Sampeyan anak guru. Terdidik dengan baik. Lha aku? Ibuku saja latah ke mana-mana. Semua ‘barang’ dikeluarin tanpa bisa dicegah. Aku malu.”

Ya ampun... Aku hanya bisa mengucap itu dalam hati.

“Jadi sampeyan malu punya ibu yang ‘cuma seperti itu’, Mas?” aku menggerakkan jemariku, membuat isyarat tanda kutip.

Dia menghela napas panjang dan menggeleng. “Aku nggak pernah malu bapakku tukang becak dan ibuku bakul rujak. Semuanya halal kok. Ya cuma latahnya Ibu itu lho...,” dia tersenyum tipis. “Sampeyan nggak risih apa, kalau beli rujak selalu dengar kata-kata antik begitu?”

Aku tertawa geli. “Hehehe... Awalnya sih kaget, risih, tapi lama-lama aku paham kok. Seperti yang kubilang tadi, out of control. Ya mungkin kalau rujaknya nggak enak aku ogah balik lagi.”

Dia terseret tawaku. Entah kenapa aku lega karenanya. Atau apakah aku lebih ke arah suka melihatnya tertawa? Ah, sepertinya begitu...

“Terus?” aku menatapnya sekilas.

“Hm... Kedengarannya khayal tapi ini beneran terjadi,” kilasan senyumnya masih bisa kulihat dengan jelas. “Aku dapat hadiah undian 2 milyar dari bungkus kopi. Hadiah utama. Awalnya aku mengira itu tipuan, tapi benar-benar menang. Sayangnya, Bapak langsung jantungan begitu tahu itu hadiah beneran. Dan Bapak nggak bisa diselamatkan.”

Astaga... Tanpa sadar aku menutup mulutku dengan sebelah tangan.

“Tapi hidup berjalan terus, Va,” Abi melanjutkan ceritanya. “Dengan uang itu kami jadi memiliki deposito, bisa beli rumah ini, dan aku bisa melanjutkan pendidikanku ke fakultas kedokteran. Belakangan aku malah dapat beasiswa untuk lanjut ke spesialisasi. Ibu masih jualan rujak sampai aku co-ass walaupun kami sudah punya segalanya. Selain itu Ibu menjalani terapi biar nggak latah lagi. Berhasil. Setelah itu aku meminta Ibu untuk istirahat. Tapi masih saja hampir tiap hari ada orang yang pesan rujak. Jadi ya... Ibu masih juga nguleg rujak sampai sekarang.”

Aku benar-benar tak tahu harus berkomentar apa. Tapi kedatangan Lik Jumi berhasil menyelamatkan aku dari gagu permanen. Dia membawa dua piring berisi rujak, lalu menyodorkan satu-satu pada kami.

“Ini yang sedang, nggak pakai cingur, ekstra menjes kacang13,” senyumnya manis. “Yang ini pedes, nggak pakai menjes kacang, ekstra cingur. Sudah, ayo makan dulu. Aku taknguleg pesenan orang dulu ya?” Lik Jumi kembali meninggalkan kami.

Dengan sepenuh hati aku menikmati rujak tanpa cingur bikinan Lik Jumi. Duh... Setelah 17 tahun, ini adalah rujak paling yummy yang pernah kunikmati. Aku hampir lupa siapa yang duduk di sebelahku, hingga aku hampir saja terlompat ketika dia berdehem.

Sampeyan kalau nggak salah ambil pediatri ya?” tanyanya menyambung deheman.

“Oh, iya, baru residen kok,” aku nyengir.

“Kayaknya cocok ya?” dia tertawa kecil. “Obsgin sama pediatri.”

“Hehehe... Bisa-bisa aku digibeng14 pacar sampeyan, Mas,” aku meleletkan lidah.

“Pacar yang mana?” dia terbahak. “Nggak ada itu...”

“Ah, mosok? Dokter spesialis, gagah, ganteng, jomblo, mosok nggak ada yang naksir?”

“Ya kalau yang naksir sih ada,” jawabnya sambil menyuapkan rujak ke mulutnya. “Banyak. Tapi yang naksir aku dari jaman aku belum jadi apa-apa kan cuma...”

Dia menghentikan kalimatnya sampai di situ. Aku menelan kunyahan rujakku dengan susah-payah.

“Atau aku sudah telat?” lanjutnya, nyaris tak terdengar.

“Maksud sampeyan?” gumamku. “Dari mana sampeyan tahu aku...,” aku menggantung ucapanku.

“Perasaanku yang bilang,” dia tertunduk, menatap piring rujak di tangannya. “Makin kuingkari aku makin tersiksa. Makanya aku kuatkan hati masuk kedokteran. Di samping memang pingin jadi dokter, aku juga pingin sibuk sehingga bisa melupakan sampeyan. Tapi nyatanya kita sekarang ketemu lagi. Sayangnya, kayaknya aku telat ya? Perempuan hebat seperti sampeyan...”

Aku menghela napas panjang. “Sampeyan itu lho, Mas,” tegurku halus. “Belum apa-apa kok sudah merasa kalah duluan. Merasa nggak mampu, merasa telat. Padahal kalau lihat perjuangan sampeyan sampai bisa seperti sekarang, beneran aku salut. Sampeyan tetap rendah hati, nggak gengsian. Itu modal lho, Mas.”

“Modal buat menggaet perempuan?” dia menatapku sekilas, tersenyum kecut. “Nggak gampang jatuh cinta lagi sama perempuan lain.”

Duh, laki-laki iniii... aku jadi gemas sendiri. Aku sebenarnya paling pantang berbuat agresif. Tapi kalau kali ini aku tetap pasif beybeh, mungkin aku tetap akan menjomblo selamanya. Apalagi... Duh, Gusti... Laki-laki ini benar-benar kualitas prima...

“Lha kok, perempuan lain?” ucapku dengan sejuta nekad. “Wong aku saja mau kok ngapain sampeyan jauh-jauh cari perempuan lain?”

Dan seketika setelah aku mengucapkan kalimat itu, wajahku terasa membara. Panas. Malu. Banget. Tapi kepalang tanggunglah!

“Aku suka sampeyan bukan karena sampeyan sudah jadi dokter,” lanjutku, “sudah mapan, sudah punya segalanya. Nggak. Tapi karena pada dasarnya sampeyan itu orang yang baik. Bisa menghargai orang lain, menghargai orang tua. Dan benar kata ibu sampeyan, rasa itu nggak bisa diingkari. Itu, Mas.”

Ealah... Jadi sampeyan ini beneran tresno15 sama aku to?” dia meringis, menyebalkan.

Ya ampun... Kenapa harus pakai diperjelas lagi sih?

Wis, nek16 sampeyan serius, kapan sampeyan mau ngelamar aku, ya lamaren17. Bapak-ibuku masih di Surabaya. Nggak jauh dari sini. Berani nggak?” tantangku.

“Lho, siapa takut? Wong seumur hidup aku sudah tresno sama sampeyan kok,” ucapnya lugas.

Whoaaa... lha kok jadi nggak ada romantis-romantisnya ini gimana? Aku masih tertegun-tegun. Aku jauh-jauh datang ke sini mau ikut seminar, mau numpang sejenak merasakan kembali lezatnya rujak latah Lik Jumi, malah kehilangan Lik Jumi yang latah.

Tapi aku justru mendapatkan calon mertua yang tidak latah lagi, yang bisa membuat rujak paling enak sedunia, sekaligus mendapat calon suami idaman selewat usia tigapuluhku. Kata siapa Tuhan tidak punya rasa humor?

Dan kalau Mas Abadi dan Mas Hendrik mendengar berita ini, pasti habislah aku di-bully mereka. Tapi rasa-rasanya bully-an mereka tidak akan ada artinya apa-apa buatku. Hadiah yang kudapatkan jauh lebih besar dari sekadar bully-an tak mutu dari kedua seniorku itu.

* * * * *

Cerita ini pernah dibuat side story-nya. Silakan klik DI SINI


Catatan :

1. Sakno sing antri dhisikan, rek! = Kasihan yang antri duluan!
2. Kon**le ceblok! = ... tiiit... (sensor) -nya jatuh!
3. Kon**le ucul! = ... tiiit... (sensor lagi) -nya lepas!
4. Lontonge mrusut! = Lontongnya (dipegang) meleset (mau jatuh)!
5. Ojok ngunu opo’o, rek! Nggarai gak konsen ae nguleg rujak! Mbokpikir aku gak kesel tah, latah koyok ngene? = Jangan gitulah! Bikin nggak konsen mengulek rujak! Kamu pikir aku nggak capek ya, latah seperti ini?
6. Gak popo, Mbak  = Nggak apa-apa, Mbak
7. Sampeyan = Anda (lebih halus daripada ‘kamu’)
8. Laopo? = Ngapain?
9. Yo wis, ayo cabut mrono! = Ya sudah, ayo cabut ke sana!
10. Sik! Sik! = Sebentar! Sebentar!
11. Takgawekno sing pualing uwenak wis... = saya buatkan yang paling enaklah...
12. Bakul = penjual
13. Menjes kacang = sejenis tempe, terbuat dari bungkil kacang yang difermentasi menggunakan kapang/jamur tempe
14. Digibeng = digampar
15. Tresno = cinta
16. Nek = kalau (kata lain yang juga biasa digunakan adalah lek)
17. Lamaren = lamarlah

4 komentar:

  1. Kakaknya emang obsgyn itu jodohnya pediatri ya.....?
    Jadi Nadia itu cocoknya sama....

    Mbak......aku suka cerpen ini karena ada yang ceblok, ucul dan mrusut itu lho.....
    Inget pwmbantunya bulikku yang latah pooolll....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbaaak... Komen'e njenengan tak'cek lha kok nyasar ng spam to???

      Nadia ancene jodone mbek... Hihihi...

      Suwun mampire yo...

      Hapus
  2. Wah, dadi Kangen rujak celaket gang loro iki. Ojo ngiming2i tah mbak, aku ndek jepang iki..... Tiwas clbk, apik mbak.... Tenan, suer, tapi sik kurang akeh ki..... Suwun mbak, cerpen'e sampeyan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... lha aku sendiri juga kangen rujake kok... Kalo kurang banyak, baca cerita yang lain aja... *kuabuooor... selak dibalang onigiri*

      Hapus