Selasa, 30 September 2014

[Cerpen] Turun Ranjang





http://ubayamajuterus2010.blogspot.com/2010/10/design-kue-pengantin-unik-dan-kreatif.html



Episode mengejar Carlo benar-benar sudah tamat ketika pemenangnya ‘diumumkan’. Seketika Electra terpuruk dalam dunianya yang terkesan berwarna kelabu. Ia berubah dari lincah seperti gasing menjadi lebih ‘alim’ dan pendiam. Ia berubah dari ingin diperhatikan menjadi menepi dan menyingkir pelan-pelan. Hampir semua orang tahu kenapa dan ia memilih untuk pergi. Menghindar sejauh mungkin dari persiapan menuju ke suatu titik. Pernikahan Carlo dengan Gloria, satu-satunya kakak yang ia miliki.

Jakarta yang meriah selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, menjadi tempatnya mengasingkan diri dengan aman. Pekerjaan yang menjanjikan, kehidupan sosial yang menyenangkan, ia berusaha menikmatinya sambil meleburkan segalanya tentang Carlo jadi butiran debu tertiup angin.

Tapi entah kenapa angin itu seolah angin mati yang tak pernah bergerak selama berbulan-bulan. Jadi Carlo tetaplah tinggal jadi remah-remah yang terkadang mengumpul begitu saja di sudut hatinya. Terkadang ditengoknya sejenak tanpa rasa apa-apa. Terkadang malah menimbulkan perih yang menyiksa.

Lalu Loudry hadir dengan senyumnya yang menenteramkan. Membuat Electra tak lagi segan membagi sedikit cerita tentang timbunan remah-remah itu pada Loudry. Dan ketika Loudry dengan gagahnya menawarkan diri untuk jadi temannya meretas mimpi, Electra hanya bisa mengangguk karena tak punya pilihan lain. Apalagi tanggal pernikahan Carlo dan Gloria makin dekat.

Tak ada yang memberinya target harus pulang dengan membawa siapa. Tapi ketika menengok ke dalam lubuk hatinya sendiri, Electra mengakui bahwa ia membutuhkan Loudry untuk membantunya tetap melangkah dengan tegak, terutama di depan Carlo. Hebatnya, Loudry menyambut keinginannya itu dengan senang hati.

“Sekalian berlibur,” Loudry mengerjapkan kedua matanya yang ‘indah’.

Bahkan mataku pun tak seindah itu, Electra menelan ludah. Ditatapnya mata coklat gelap Loudry yang dinaungi bulu mata yang lentik. Beningnya..., ia mendesah dalam hati. Dan ketika mata indah itu mengerjap, pikiran melantur Electra seketika meluntur.

* * *

“Kelihatannya Papa harus siap-siap menggelar pesta pernikahan lagi dalam waktu dekat ya?” bisik laki-laki setengah baya itu dengan jahilnya.

“Apa sih?” Electra menyenggolkan lengannya ke lengan sang ayah.

Laki-laki itu terbahak dengan rona kebahagiaan utuh memenuhi wajahnya. Beberapa saat kemudian ia menatap putri bungsunya dengan lebih serius.

“Papa senang kamu tak lagi terpuruk gara-gara Carlo,” ucapnya tanpa nada canda.

Electra melengos. Sepotong nama Carlo masih sangggup menyakiti perasaannya walau terasa tak lagi seperih beberapa belas bulan yang lalu.

“Dan Papa pikir dia adalah laki-laki yang baik.”

Electra mengikuti arah pandang ayahnya. Di sudut sana Loudry tengah diperkenalkan oleh ibunya pada kerabat yang lain. Ketika tatapan mereka sejenak saling mengunci, Electra terpaksa mengulum senyum karena Loudry sekejap mengedipkan sebelah mata.

“Tahun depan?” usik sang Ayah lagi.

Tapi Electra menggeleng. “Entahlah, Pa. Biar berjalan dulu. Aku nggak mau diburu-buru.

Sang ayah pun mengangguk maklum dan melangkah pergi.

Electra menatap ke arah gubuk es krim. Tepat saat itu Gloria tengah menyuapkan sesendok es krim pada pengantinnya yang tampan. Lalu dibalas Carlo dengan melakukan hal yang sama pada pengantin cantiknya.

Perih... Electra buru-buru mengalihkan tatapannya. Saat itu Loudry berjalan mendekat dengan sepiring puding berada di tangannya. Ia melemparkan seulas senyum teduh.

“Enak banget pudingnya,” celetuk Loudry sambil menyendok puding itu. “Mau?”

Electra tertegun sejenak ketika sendok berisi puding yang dipegang Loudry sudah tersodor di depannya. Mau tak mau ia membuka mulut.

“Enak kan?” mata Loudry si penyuka puding berbinar indah.

Electra mengangguk sambil menelan sesendok puding itu. “Bahkan batu pun kalau disiram vla dan dibilang sebagai puding pun kamu bilang enak,” ledeknya.

Tawa Loudry menggema di telinga Electra. Empuk. Sekilas Electra melihat papanya tersenyum lebar ke arahnya sambil mengedipkan sebelah mata. Electra membalas dengan memutar kedua bola matanya.

* * *

Dan begitu saja harapan sang ayah tentang ‘tahun depan’ itu molor jadi dua tahun, tiga tahun, dan masuk tahun keempat. Loudry tetap berada di sisinya dengan setia. Ia pun tetap berada di samping Loudry dengan sama setianya. Tak ada perempuan lain, tak ada laki-laki lain. Waktu pun berjalan, mengalir, dan terbang begitu saja tanpa terasa.

Electra pun hanya bergeming ketika Loudry tak pernah sedikit pun bicara tentang masa depan. Hm... salah! Tepatnya, ia yang tak memberi kesempatan pada Loudry untuk bicara tentang masa depan. Ketika semua obrolan menjurus ‘ke situ’, dengan cantiknya ia berusaha untuk mengalihkan arah pembicaraan. Ke hal-hal lain yang jauh lebih ringan.

Tapi guncangan akhirnya datang juga. Dimulai dengan meninggalnya Gloria karena eklampsia pada kehamilan keduanya. Bayinya selamat, tapi Gloria pergi dengan meninggalkan Carlo, Amelia yang baru berusia dua tahun, dan Arian yang masih berwujud bayi merah. Electra sungguh berduka tanpa syarat. Bagaimanapun Gloria adalah satu-satunya kakak yang ia miliki.

Ketika seratus hari baru berlalu, Carlo meneleponnya dengan suara terdengar jauh, “Menikahlah denganku, El. Seluruh keluarga sudah setuju.”

Electra hanya sanggup terdiam membisu dan satu-satunya tempat untuk lari adalah Loudry. Sesungguhnya ia ingin berontak dan berharap Loudry memfasilitasi pemberontakannya itu. Tapi seketika harapannya luruh.

“Kukira kamu nggak punya alasan untuk menolaknya, El,” ucap Loudry lirih. “Kamu masih mencintainya dan anak-anak itu butuh seorang mama.”

Lama Electra menatap mata Loudry. Tapi mata yang biasanya terlihat bening itu menggelap entah sejak kapan.

“Lalu bagaimana dengan kita?” tanya Electra nyaris tanpa suara.

“Kita?” Loudry tersenyum hambar. “Tugasku hanya menemanimu, El. Dan ketika cinta itu sudah kamu temukan kembali, maka tugasku selesai.”

“Kamu nggak mencintaiku?” Electra mengerutkan kening dengan mata basah.

“Yang kutahu, aku mau menemanimu selama ini karena aku mencintaimu, El. Tapi apa artinya kalau kebahagiaan itu masih jauh dari jangkauanmu? Dan sekarang kebahagiaanmu sudah di depan mata. Maka aku akan menepi dengan senang hati.”

Jadi kamu mencintaiku? Bisik Electra dalam hati. Sesuatu yang tak pernah kamu katakan tapi aku merasakannya.

“Aku mengecewakanmu, Dry?” Electra tertunduk.

“Nggak pernah,” Loudry menggeleng pelan. “Karena aku selalu menganggapmu sebagai satu paket yang utuh dan lengkap.”

Electra menghela napas panjang. Pelan ia mengangkat wajah.

“Aku pulang besok,” ucapnya dengan tatapan dipenuhi airmata.

Loudry mengangguk. “Besok kuantar ke bandara.”

* * *

Bayi laki-laki itu menguap dalam gendongan Electra. Terlihat begitu nyaman. Electra mengerjapkan matanya yang menghangat. Perlahan mata Arian mengatup. Ketika Arian sudah terlelap, sang baby sitter mengambil alih tubuh mungil itu.

Lalu mereka duduk berhadapan. Berempat. Papa, Mama, Carlo, Electra. Dan pelan-pelan Electra merasakan sesak mulai menguasai dadanya. Ia menghela napas panjang untuk mengurangi rasa itu.

“Jadi bagaimana, El?” suara Papa menggema lembut.

Electra masih terpekur menatap lantai. Seharusnya jawabannya mudah, pikirannya menggeliat tak tentu arah. Bukankah ini yang kuharapkan? Bersama Carlo? Tapi...

“Sebenarnya siapa yang punya keinginan ini?” Electra buka suara.

“Aku, El,” suara Carlo terdengar lugas. “Nggak ada yang lebih baik untuk jadi mama anak-anak selain tantenya sendiri.”

Lama Electra terdiam sebelum buka suara lagi, “Baiklah...”

Terdengar begitu berat dan sarat tekanan.

* * *

Loudry membuka pintu tak lama setelah bel berbunyi. Baru saja ia hendak menyapa, sebuah pelukan erat sudah mendarat di sekeliling lehernya. Kaget. Ia mematung sejenak. Tapi ketika pelukan itu tak juga lepas, ia pun balas memeluk. Hangat, seperti biasanya.

“Aku mencintaimu...”

Loudry serasa hampir tersedak mendengarnya. Dan ketika pelukan itu terurai, diatatapnya Electra dengan semua kecamuk rasa yang ada. Electra balas menatapnya. Tertawa dan menangis sekaligus.

“Gimana...,” Loudry kehilangan kata-kata.

Electra menatapnya. Dalam. Mencoba mengais sedikit sisa cinta yang mungkin masih dimiliki Loudry. Dan ia tercekat ketika mendapat segunungan yang tak terbayangkan sebelumnya.

“Ya, aku pernah mencintai Carlo,” ucap Electra kemudian. “Bahkan sampai tak punya malu mengejarnya. Tapi semuanya pupus, Dry. Entah sejak kapan. Aku baru menyadarinya kemarin.”

Loudry masih menatap Electra tak percaya. Tapi ketika melihat pendar-pendar indah berlompatan dari mata Electra, seketika ia mengerti. Lembut digenggamnya jemari tangan Electra.

“Aku akan mengurus cuti,” ucap Loudry lugas. “Secepatnya. Aku akan melamarmu.”

Electra kembali menangis dan tertawa sekaligus. Loudry memeluknya dengan hangat, seperti biasanya.

* * *


EPILOG


“Baiklah...,” suara Electra terdengar begitu berat dan sarat tekanan. “Aku mengerti keinginan kalian.”

Semua menatapnya dengan harapan yang terlihat berlebih. Electra kembali menghela napas panjang karenanya.

“Tapi aku juga punya kehidupan sendiri yang sudah kubangun dengan susah-payah,” lanjutnya. “Aku tahu kedengarannya egois sekali, tapi..,” ditatapnya Carlo. “Aku tahu bagaimana rasanya bertepuk sebelah tangan. Tak masalah kalau kamu nggak mencintaiku. Tapi di luar sana ada seorang laki-laki yang siap mengorbankan seluruh perasaannya hanya karena ingin melihatku bahagia. Bahkan aku pun nggak setulus dia. Dan semalam,” Electra mengalihkan tatapannya pada kedua orangtuanya, “aku baru menyadari bahwa aku mencintainya. Dan aku nggak akan membiarkan kami saling bertepuk sebelah tangan.”

Hening.

“Maaf, aku nggak bisa meneruskan rencana turun ranjang ini,” suara Electra menggema lirih. “Karena Loudry dan aku saling mencintai.”

Hening lagi.

“Dan aku percaya masih ada seorang perempuan di luar sana yang bisa mencintai anak-anakmu, Carlo,” ditatapnya Carlo, “seperti kamu akan mencintainya juga. Tapi bukan aku orangnya.”

‘Kasus’ ditutup.

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar