http://ubayamajuterus2010.blogspot.com/2010/10/design-kue-pengantin-unik-dan-kreatif.html |
Episode mengejar Carlo benar-benar sudah
tamat ketika pemenangnya ‘diumumkan’. Seketika Electra terpuruk dalam
dunianya yang terkesan berwarna kelabu. Ia berubah dari lincah seperti gasing
menjadi lebih ‘alim’ dan pendiam. Ia berubah dari ingin diperhatikan menjadi
menepi dan menyingkir pelan-pelan. Hampir semua orang tahu kenapa dan ia
memilih untuk pergi. Menghindar sejauh mungkin dari persiapan menuju ke suatu
titik. Pernikahan Carlo dengan Gloria, satu-satunya kakak yang ia miliki.
Jakarta yang meriah selama 24 jam sehari, 7
hari seminggu, menjadi tempatnya mengasingkan diri dengan aman. Pekerjaan yang
menjanjikan, kehidupan sosial yang menyenangkan, ia berusaha menikmatinya
sambil meleburkan segalanya tentang Carlo jadi butiran debu tertiup
angin.
Tapi entah kenapa angin itu seolah angin mati
yang tak pernah bergerak selama berbulan-bulan. Jadi Carlo tetaplah tinggal
jadi remah-remah yang terkadang mengumpul begitu saja di sudut hatinya.
Terkadang ditengoknya sejenak tanpa rasa apa-apa. Terkadang malah menimbulkan
perih yang menyiksa.
Lalu Loudry hadir dengan senyumnya yang
menenteramkan. Membuat Electra tak lagi segan membagi sedikit cerita tentang
timbunan remah-remah itu pada Loudry. Dan ketika Loudry dengan gagahnya
menawarkan diri untuk jadi temannya meretas mimpi, Electra hanya bisa
mengangguk karena tak punya pilihan lain. Apalagi tanggal pernikahan Carlo dan
Gloria makin dekat.
Tak ada yang memberinya target harus pulang
dengan membawa siapa. Tapi ketika menengok ke dalam lubuk hatinya sendiri,
Electra mengakui bahwa ia membutuhkan Loudry untuk membantunya tetap melangkah
dengan tegak, terutama di depan Carlo. Hebatnya, Loudry menyambut keinginannya
itu dengan senang hati.
“Sekalian berlibur,” Loudry mengerjapkan
kedua matanya yang ‘indah’.
Bahkan
mataku pun tak seindah itu, Electra menelan ludah.
Ditatapnya mata coklat gelap Loudry yang dinaungi bulu mata yang lentik. Beningnya..., ia mendesah dalam hati.
Dan ketika mata indah itu mengerjap, pikiran melantur Electra seketika meluntur.
* * *
“Kelihatannya Papa harus siap-siap menggelar
pesta pernikahan lagi dalam waktu dekat ya?” bisik laki-laki setengah baya itu
dengan jahilnya.
“Apa sih?” Electra menyenggolkan lengannya ke
lengan sang ayah.
Laki-laki itu terbahak dengan rona
kebahagiaan utuh memenuhi wajahnya. Beberapa saat kemudian ia menatap putri
bungsunya dengan lebih serius.
“Papa senang kamu tak lagi terpuruk gara-gara
Carlo,” ucapnya tanpa nada canda.
Electra melengos. Sepotong nama Carlo masih
sangggup menyakiti perasaannya walau terasa tak lagi seperih beberapa belas
bulan yang lalu.
“Dan Papa pikir dia adalah laki-laki yang
baik.”
Electra mengikuti arah pandang ayahnya. Di
sudut sana Loudry tengah diperkenalkan oleh ibunya pada kerabat yang lain.
Ketika tatapan mereka sejenak saling mengunci, Electra terpaksa mengulum senyum
karena Loudry sekejap mengedipkan sebelah mata.
“Tahun depan?” usik sang Ayah lagi.
Tapi Electra menggeleng. “Entahlah, Pa. Biar
berjalan dulu. Aku nggak mau diburu-buru.
Sang ayah pun mengangguk maklum dan melangkah
pergi.
Electra menatap ke arah gubuk es krim. Tepat
saat itu Gloria tengah menyuapkan sesendok es krim pada pengantinnya yang
tampan. Lalu dibalas Carlo dengan melakukan hal yang sama pada pengantin
cantiknya.
Perih... Electra buru-buru mengalihkan
tatapannya. Saat itu Loudry berjalan mendekat dengan sepiring puding berada di
tangannya. Ia melemparkan seulas senyum teduh.
“Enak banget pudingnya,” celetuk Loudry
sambil menyendok puding itu. “Mau?”
Electra tertegun sejenak ketika sendok berisi
puding yang dipegang Loudry sudah tersodor di depannya. Mau tak mau ia membuka
mulut.
“Enak kan?” mata Loudry si penyuka puding
berbinar indah.
Electra mengangguk sambil menelan sesendok
puding itu. “Bahkan batu pun kalau disiram vla dan dibilang sebagai puding pun
kamu bilang enak,” ledeknya.
Tawa Loudry menggema di telinga Electra.
Empuk. Sekilas Electra melihat papanya tersenyum lebar ke arahnya sambil
mengedipkan sebelah mata. Electra membalas dengan memutar kedua bola matanya.
* * *
Dan begitu saja harapan sang ayah tentang
‘tahun depan’ itu molor jadi dua tahun, tiga tahun, dan masuk tahun keempat.
Loudry tetap berada di sisinya dengan setia. Ia pun tetap berada di samping
Loudry dengan sama setianya. Tak ada perempuan lain, tak ada laki-laki lain.
Waktu pun berjalan, mengalir, dan terbang begitu saja tanpa terasa.
Electra pun hanya bergeming ketika Loudry tak
pernah sedikit pun bicara tentang masa depan. Hm... salah! Tepatnya, ia yang
tak memberi kesempatan pada Loudry untuk bicara tentang masa depan. Ketika
semua obrolan menjurus ‘ke situ’, dengan cantiknya ia berusaha untuk
mengalihkan arah pembicaraan. Ke hal-hal lain yang jauh lebih ringan.
Tapi guncangan akhirnya datang juga. Dimulai
dengan meninggalnya Gloria karena eklampsia pada kehamilan keduanya. Bayinya
selamat, tapi Gloria pergi dengan meninggalkan Carlo, Amelia yang baru berusia
dua tahun, dan Arian yang masih berwujud bayi merah. Electra sungguh berduka
tanpa syarat. Bagaimanapun Gloria adalah satu-satunya kakak yang ia miliki.
Ketika seratus hari baru berlalu, Carlo
meneleponnya dengan suara terdengar jauh, “Menikahlah denganku, El. Seluruh
keluarga sudah setuju.”
Electra hanya sanggup terdiam membisu dan
satu-satunya tempat untuk lari adalah Loudry. Sesungguhnya ia ingin berontak
dan berharap Loudry memfasilitasi pemberontakannya itu. Tapi seketika
harapannya luruh.
“Kukira kamu nggak punya alasan untuk
menolaknya, El,” ucap Loudry lirih. “Kamu masih mencintainya dan anak-anak itu
butuh seorang mama.”
Lama Electra menatap mata Loudry. Tapi mata
yang biasanya terlihat bening itu menggelap entah sejak kapan.
“Lalu bagaimana dengan kita?” tanya Electra
nyaris tanpa suara.
“Kita?” Loudry tersenyum hambar. “Tugasku
hanya menemanimu, El. Dan ketika cinta itu sudah kamu temukan kembali, maka
tugasku selesai.”
“Kamu nggak mencintaiku?” Electra mengerutkan
kening dengan mata basah.
“Yang kutahu, aku mau menemanimu selama ini
karena aku mencintaimu, El. Tapi apa artinya kalau kebahagiaan itu masih jauh
dari jangkauanmu? Dan sekarang kebahagiaanmu sudah di depan mata. Maka aku akan
menepi dengan senang hati.”
Jadi
kamu mencintaiku? Bisik Electra dalam hati. Sesuatu yang tak pernah kamu katakan tapi
aku merasakannya.
“Aku mengecewakanmu, Dry?” Electra tertunduk.
“Nggak pernah,” Loudry menggeleng pelan.
“Karena aku selalu menganggapmu sebagai satu paket yang utuh dan lengkap.”
Electra menghela napas panjang. Pelan ia
mengangkat wajah.
“Aku pulang besok,” ucapnya dengan tatapan
dipenuhi airmata.
Loudry mengangguk. “Besok kuantar ke
bandara.”
* * *
Bayi laki-laki itu menguap dalam gendongan
Electra. Terlihat begitu nyaman. Electra mengerjapkan matanya yang menghangat.
Perlahan mata Arian mengatup. Ketika Arian sudah terlelap, sang baby sitter mengambil alih tubuh mungil
itu.
Lalu mereka duduk berhadapan. Berempat. Papa,
Mama, Carlo, Electra. Dan pelan-pelan Electra merasakan sesak mulai menguasai
dadanya. Ia menghela napas panjang untuk mengurangi rasa itu.
“Jadi bagaimana, El?” suara Papa menggema
lembut.
Electra masih terpekur menatap lantai. Seharusnya jawabannya mudah, pikirannya
menggeliat tak tentu arah. Bukankah ini
yang kuharapkan? Bersama Carlo? Tapi...
“Sebenarnya siapa yang punya keinginan ini?”
Electra buka suara.
“Aku, El,” suara Carlo terdengar lugas.
“Nggak ada yang lebih baik untuk jadi mama anak-anak selain tantenya sendiri.”
Lama Electra terdiam sebelum buka suara lagi,
“Baiklah...”
Terdengar begitu berat dan sarat tekanan.
* * *
Loudry membuka pintu tak lama setelah bel
berbunyi. Baru saja ia hendak menyapa, sebuah pelukan erat sudah mendarat di
sekeliling lehernya. Kaget. Ia mematung sejenak. Tapi ketika pelukan itu tak
juga lepas, ia pun balas memeluk. Hangat, seperti biasanya.
“Aku mencintaimu...”
Loudry serasa hampir tersedak mendengarnya.
Dan ketika pelukan itu terurai, diatatapnya Electra dengan semua kecamuk rasa
yang ada. Electra balas menatapnya. Tertawa dan menangis sekaligus.
“Gimana...,” Loudry kehilangan kata-kata.
Electra menatapnya. Dalam. Mencoba mengais
sedikit sisa cinta yang mungkin masih dimiliki Loudry. Dan ia tercekat ketika
mendapat segunungan yang tak terbayangkan sebelumnya.
“Ya, aku pernah
mencintai Carlo,” ucap Electra kemudian. “Bahkan sampai tak punya malu
mengejarnya. Tapi semuanya pupus, Dry. Entah sejak kapan. Aku baru menyadarinya
kemarin.”
Loudry masih menatap Electra tak percaya.
Tapi ketika melihat pendar-pendar indah berlompatan dari mata Electra, seketika
ia mengerti. Lembut digenggamnya jemari tangan Electra.
“Aku akan mengurus cuti,” ucap Loudry lugas.
“Secepatnya. Aku akan melamarmu.”
Electra kembali menangis dan tertawa sekaligus.
Loudry memeluknya dengan hangat, seperti biasanya.
* * *
EPILOG
“Baiklah...,” suara Electra terdengar begitu
berat dan sarat tekanan. “Aku mengerti keinginan kalian.”
Semua menatapnya dengan harapan yang terlihat
berlebih. Electra kembali menghela napas panjang karenanya.
“Tapi aku juga punya kehidupan sendiri yang
sudah kubangun dengan susah-payah,” lanjutnya. “Aku tahu kedengarannya egois
sekali, tapi..,” ditatapnya Carlo. “Aku tahu bagaimana rasanya bertepuk sebelah
tangan. Tak masalah kalau kamu nggak mencintaiku. Tapi di luar sana ada seorang
laki-laki yang siap mengorbankan seluruh perasaannya hanya karena ingin
melihatku bahagia. Bahkan aku pun nggak setulus dia. Dan semalam,” Electra
mengalihkan tatapannya pada kedua orangtuanya, “aku baru menyadari bahwa aku
mencintainya. Dan aku nggak akan membiarkan kami saling bertepuk sebelah
tangan.”
Hening.
“Maaf, aku nggak bisa meneruskan rencana turun ranjang ini,” suara Electra
menggema lirih. “Karena Loudry dan aku saling mencintai.”
Hening lagi.
“Dan aku percaya masih ada seorang perempuan
di luar sana yang bisa mencintai anak-anakmu, Carlo,” ditatapnya Carlo,
“seperti kamu akan mencintainya juga. Tapi bukan aku orangnya.”
‘Kasus’ ditutup.
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar