Selasa, 10 Juli 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #18-2








Selanjutnya



* * *



Yang pertama muncul siang harinya adalah Seta dan Erika, disusul kemudian oleh Kresna yang datang menjelang pukul satu.

“Tumben?” Wilujeng menyambut Kresna di depan pintu penghubung dapur dengan garasi. “Biasanya sebelum pukul dua belas kamu sudah nongol.”

“Iya, Bu. Tadi ada mahasiswa yang konsultasi,” Kresna menyambut ciuman Wilujeng di keningnya dengan pelukan ringan. “Aku lihat motor Alma di garasi. Anaknya mana?”

“Kangen?” goda Wilujeng.

Kresna terkekeh. Tak urung ada semburat kemerahan pada wajahnya.

“Hai!” tahu-tahu yang ditanyakan muncul dari balik punggung Wilujeng. Kresna segera mengulurkan tangan, mengacak rambut kriwil Alma. Gadis itu segera mengelak sambil menggerutu.

“Ih! Susah tahu, nyisir rambut model gini.”

Baik Wilujeng maupun Kresna tergelak mendengarnya. Mereka beriringan menuju ke ruang makan, yang sudah siap penataannya oleh Seta dan Erika. Kresna meletakkan tasnya di atas sofa ruang tengah yang dilaluinya.

“Buruan!” seru Seta. “Sudah pada lapar, nih!”

Kresna terkekeh. Mereka kemudian duduk mengelilingi meja makan. Sejenak Kresna tercenung ketika melihat salah satu menu di atas meja. Tumis pakis. Ia kemudian menoleh pada Alma yang duduk di sebelah kirinya.

“Kamu yang masak?”

Alma nyengir sekilas sambil mengangguk. Dengan bernafsu, Kresna kemudian menyendok banyak-banyak tumis pakis itu dan memindahkannya ke atas piring di hadapannya.

“Brutal...,” Seta menggeleng-geleng.

Wilujeng tertawa lepas melihat tingkah laku Kresna. Sementara itu Seta menatap piring saji berisi sisa tumis pakis dengan sedikit skeptis. Erika memindahkan sedikit tumis pakis itu ke dalam piringnya. Ketika gadis itu mulai mencicipi, alisnya seketika terangkat.

“Al, beneran ini kamu yang masak?” ujarnya dengan nada tak percaya. “Enak banget ini!”

“Iya,” Alma mengangguk. “Tanya Ibu, tuh, kalau nggak percaya.”

“Benar...,” Wilujeng menegaskan. “Alma yang masak tadi. Dia pinter masak, lho....”

“Siapa dulu gurunya?” Kresna menaikturunkan alisnya dengan jenaka.

Wilujeng dan Alma tergelak ringan. Kalau Erika mengatakan bahwa suatu makanan itu enak, maka enak betullah rasanya. Maka, ia pun mulai memindahkan sedikit tumis pakis ke piringnya. Dan, ia tak bisa berhenti makan.

“Enak, kan?” Kresna menatap Seta dengan bangga.

Seta hanya bisa mengangguk-angguk sambil untuk kesekian kalinya memenuhi mulut dengan suapan makanan.

“Ajari aku kapan-kapan, ya, Al?” rayu Erika.

“Hehehe.... Ibu, tuh, jagonya masak,” sahut Alma.

“Ah, nggak juga,” elak Wilujeng. “Masaknya, sih, ala kadarnya. Bumbunya, tuh, yang nggak boleh salah. Harus banyak-banyak ditambahi cinta.”

“Wooo...,” Seta tergelak sedikit. “Pantesan Ayah nggak pernah mau pindah ke lain hati. Sudah telanjur kena pelet cintanya Ibu.”

Semua tertawa lebar. Acara makan siang itu berlangsung dengan sangat menyenangkan. Tanpa terasa, piring-piring saji mulai bersih. Pun sebakul nasi hangat. Diam-diam Alma tersenyum.

Selama dua minggu mengenal secara langsung Kresna sebagai seorang dosen, ia bisa melihat bahwa Kresna adalah seorang dosen muda yang cukup disegani. Tapi....

‘Hmm... Jadi Pak Dosen yang image-nya perfect di mata para mahasiswi itu ternyata kayak gini ya.... Baru tahu....’

Kresna terdiam sejenak ketika suara dalam nada meledek itu masuk ke dalam benaknya.

‘Maksudmu?’

‘Diam-diam rakus juga makannya.’

Kresna langsung menutupi mulutnya dengan berlagak menggosok-gosok ujung hidung. Ia nyaris tak bisa menahan tawa.

‘Haduuuh, kamu ini! Bisa dianggap gila kalau aku tiba-tiba ngakak sendiri!’

Alma dengan wajah lempeng-nya bersiul dalam hati. Membuat Kresna ingin sekali mengacak-acak rambut kriwil Alma. Untung saja percakapan ngaco dalam hening itu disudahi oleh Seta yang bertanya bagaimana caranya membuat rangkaian bunga untuk mahkota. Seketika Kresna terbengong.

“Lha, ditanyain malah bengong,” gerutu Seta, yang tampaknya serius.

“Mau gantiin gue bikin mahkota bunga buat Pinpin?” tanya Kresna.

“Bukaaan.... Nih, ada yang ingin dibuatin mahkota bunga juga,” Seta melirik ke arah Erika.

Seketika Kresna tergelak. Pun Wilujeng dan Alma. Sementara itu, Erika mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi malu.

“Habis ini gue ajarin lu, deh!” ujar Kresna kemudian.

Seta mengacungkan jempol dengan wajah girang.

* * *

Dengan susah payah, Seta pun berhasil membuat sebuah mahkota bunga. Cukup cantik. Lumayanlah untuk pemula. Erika tertawa-tawa ketika Seta meletakkan mahkota bunga itu dengan hati-hati di puncak kepalanya. Wilujeng tertawa melihat kesibukan anak kembarnya. Bukan masalah besar bila bunga-bunga di halaman belakang rumah mereka jadi gundul karena si kembar keranjingan membuat mahkota bunga. Yang penting, hati mereka semua jadi gembira.

Kresna membuat lagi dua buah mahkota bunga. Yang dibuatnya pada saat bersamaan dengan Seta sudah bertengger dengan cantik di puncak kepala Alma. Kali ini ia membuat satu berukuran kecil, dan satu lagi seukuran yang dibuatnya untuk Alma. Setelah selesai, dengan lembut Kresna meletakkan mahkota berukuran besar di puncak kepala Wilujeng.

“Oh...,” seketika mata Wilujeng bertambah binarnya. “Baru sekarang ada yang ingat untuk buat mahkota bunga juga untuk Ibu.”

Kresna hanya bisa terkekeh, merasa tersindir. Tengah mereka asyik tertawa-tawa di beranda belakang karena efek mahkota bunga, city car milik Wilujeng yang seharian tadi dipakai Mahesa meluncur masuk ke carport. Tanpa menunggu mobil itu berhenti sempurna, Pinasti sudah meloncat keluar dan berlari masuk ke dalam rumah.

“Ibu! Ibu! Ibuuu!” berisik sekali seruannya.

Dalam sekejap, gadis kecil itu sudah muncul di beranda belakang. Menubruk Wilujeng dan memeluknya erat.

“Wah! Masa baru berapa jam pergi sama Ayah, kangennya ke Ibu sudah kayak gini?” Wilujeng balas memeluk putri bungsunya.

“Ayah dapat mobil, Buuu!” seru Pinasti lagi. “Ayah dapat ikan besaaar! Jadi kita menang!”

“Hah?” Wilujeng segera melepaskan pelukannya, tapi Pinasti masih memeluknya erat.

Kresna dan Seta bertatapan sejenak sebelum bersamaan berlari ke arah garasi. Di sana, kedua pemuda kembar itu menemukan sang ayah tengah sibuk mengeluarkan peralatan memancing dari dalam bagasi.

“Yah! Benar dapat mobil?” serempak Kresna dan Seta berseru.

Mahesa tertawa lebar tanpa menjawab. Di belakang si kembar, muncul Wilujeng, Alma, dan Erika yang menggendong Pinasti.

“Benar, Yah, dapat mobil?” Wilujeng menegaskan.

Mahesa mengangguk dengan wajah riang. “Entah dibisikin apa ikan terbesarnya sama Pinpin. Tahu-tahu nyangkut saja di kailku. Selisih cuma dua ons dengan juara kedua.”

“Aku bisikin gini,” sela Pinasti, “ikan, ikan, makan umpan ayahku, dong! Biar bisa bawa pulang mobil keren.”

Semua tergelak.

“Terus?” Erika mencium pipi bulat Pinasti dengan gemas.

“Ya, ikannya yang paling gede nyangkut, deh!” jawab Pinasti dengan ekspresi sangat menggemaskan.

“Jadi betulan?” Wilujeng masih tidak percaya.

Mahesa merengkuh bahunya. “Betulan, Ibu sayang.... Tapi belum bisa langsung dibawa pulang. Banyak urusannya.”

Wilujeng hanya mampu memanjatkan syukur. Rejeki tak terduga selalu saja datang menghampiri mereka.

Siapa bilang berbagi rejeki dengan orang lain yang lebih membutuhkan itu bikin miskin?

Wilujeng tersenyum sambil balas memeluk Mahesa.

“Jangan lupa dermanya,” bisik Wilujeng di telinga Mahesa.

“Pasti, cintaku...,” Mahesa balas berbisik.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)