Sebelumnya
* * *
“Sedang melamunkan apa, Jeng?”
Wilujeng tersentak mendengar teguran lembut itu. Mahesa mengambil tempat duduk di sebelahnya, di sofa teras belakang yang menghadap ke arah taman. Matahari mulai tinggi. Si kembar sudah berangkat ke kantor. Pelan, Mahesa melingkarkan lengan kirinya ke sekeliling bahu Wilujeng.
“Aku kepikiran nenek-nenek dan keponakannya yang menolongku itu, Mas,” desah Wilujeng.
“Mau menengoknya?”
Wilujeng seketika memutar kepala. Menatap Mahesa dengan mata bulat beningnya yang indah.
“Mas mau mengantarku?” ia balik bertanya dengan nada tak percaya.
“Aku sudah pernah bilang,” senyum Mahesa, “apa pun yang kamu minta, Jeng.”
“Oh, Mas...,” seketika Wilujeng memeluk Mahesa.
Laki-laki itu balas memeluk dengan hangat.
“Tapi jangan datang dengan tangan kosong,” bisik Mahesa.
“Ya, ya,” Wilujeng mengangguk-angguk. “Lantas, kapan kiranya kita bisa ke sana?”
“Besok juga bisa,” senyum Mahesa melebar melihat betapa berserinya wajah sang istri tercinta.
“Kalau begitu, aku harus belanja dulu!” Wilujeng buru-buru menegakkan punggung.
“Ayo, kuantar!”
Keduanya kemudian beranjak.
* * *
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wilujeng dan Mahesa sudah berangkat ke Maniksuri. Ngentas Timur, tempat tujuan mereka, terletak agak di luar kota Maniksuri. Tak lupa Wilujeng membawa pakaian yang pernah dipinjamkan istri Kapolsek Ngentas Timur padanya, ditambah dengan dua kardus besar berisi oleh-oleh. Satu untuk orang-orang di polsek, satu lagi untuk istri Kapolsek. Selain itu, masih banyak lagi bahan kebutuhan pokok untuk Sentini dan keponakannya, memenuhi bagasi SUV Mahesa. Laki-laki itu sendiri yang mengemudikan mobilnya.
Menjelang siang, mereka sudah memasuki halaman Polsek Ngentas Timur. Pada petugas yang berjaga, Wilujeng segera mengutarakan maksudnya. Kebetulan saat itu Tamtomo, Kapolsek Ngentas Timur sedang berada di tempat. Dengan hangat laki-laki itu menyambut kunjungan Wilujeng dan Mahesa. Ia turut bersenang hati karena Wilujeng sudah kembali dengan selamat ke rumah.
Dari polsek, Wilujeng dan Mahesa kemudian menuju ke gubuk Sentini. Wilujeng masih ingat betul arahnya. Pun ada papan penunjuk kecil di tepi jalan, menunjukkan arah Telaga Wening. Mahesa pun membelokkan mobilnya masuk ke jalan tanah di tengah jajaran pepohonan hutan.
“Masih jauh ini?” tanya Mahesa setelah beberapa saat lamanya mereka menyusuri jalan itu.
“Nanti ada pertigaan kecil. Kita belok ke kanan. Tak jauh dari situ rumahnya,” jawab Wilujeng dengan nada yakin.
Tapi, hingga mereka sampai di dekat Telaga Wening, pertigaan kecil itu tak pernah mereka temukan. Yang ada hanya sebuah pertigaan besar yang salah satu jalannya mengarah ke kiri. Dan, mereka sudah melewatinya jauh di belakang.
“Yakin itu tadi jalannya?” tanya Mahesa.
“Yakin!” Wilujeng mengangguk.
Dari balik kaca jendela mobil, Wilujeng dan Mahesa melihat ada beberapa orang yang sedang memancing di telaga. Mahesa menatap Wilujeng.
“Coba aku tanya dulu. Siapa tahu ada di antara mereka yang kenal dengan Nenek Centini.”
“Sentini,” Wilujeng membetulkan.
“Ah, ya, Sentini.”
Dari dalam mobil, Wilujeng melihat bahwa beberapa orang yang ditanyai Mahesa menggelengkan kepala, hingga Mahesa sampai pada orang terakhir. Laki-laki yang tampaknya sudah selesai memancing itu tampak terlibat perbincangan cukup serius dengan Mahesa.
Beberapa saat kemudian Mahesa kembali ke mobil. Sebelum mulai bicara dengan Wilujeng, ia sempat mengangguk dan melambaikan tangan pada laki-laki terakhir tadi, yang melintas di depan mobil bersama motornya. Mahesa buru-buru menghidupkan mesin mobil dan membuntuti laki-laki itu.
“Jadi...,” Mahesa mulai bersuara, “Nenek Sentini, atau Nyai Sentini itu adalah seseorang yang diceritakan sebagai legenda turun-temurun. ...”
Wilujeng ternganga seketika.
“... Hanya saja, belum pernah ada yang bertemu dengannya. Laki-laki itu tadi, Mas Dono namanya, memberi saran agar kita mengukutinya untuk menemui Lurah Ngentas Timur. Barangkali ada yang bisa kita dapatkan darinya.”
Wilujeng terhenyak.
Mereka sudah mendekati pertigaan besar. Dono berbelok ke kanan dengan motornya. Mobil Mahesa tetap mengikutinya. Tak jauh dari situ ada sebuah gapura yang menyambut kedatangan mereka di Desa Ngentas Timur. Kantor kelurahan berada tak jauh dari situ.
Dono masuk lebih dulu ke dalam. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan seorang laki-laki bertubuh ramping berusia menjelang enam puluhan. Kedua orang itu segera menghampiri Mahesa dan Wilujeng yang duduk di pendopo kelurahan. Setelah perkenalan dan basa-basi sejenak, Dono pun berpamitan. Meninggalkan Wilujeng dan Mahesa agar bisa bicara seleluasa mungkin dengan Pak Lurah.
Mahesa pun menceritakan kronologi hingga mereka sampai di tempat itu. Lurah bernama Suwari itu pun mendengarkannya sambil sesekali manggut-manggut. Setelah Mahesa menuntaskan penuturannya, Suwari menatap Wilujeng.
“Ibu beruntung sekali bisa kembali, walaupun harus kehilangan waktu belasan tahun lamanya,” ucap Suwari dengan nada halus.
Sekilas, Mahesa dan Wilujeng saling menatap.
“Hati saya mengatakan bahwa Nyai Sentini itu benar-benar ada walaupun saya sendiri belum pernah bertemu dengannya,” lanjut Suwari dengan nada rendah. “Selama ini namanya memang cuma legenda yang diceritakan leluhur kami secara turun-temurun. Tapi saya berpikir, sebuah legenda tentunya timbul atau ada karena ada sebabnya. Saya punya teman yang mungkin lebih paham soal ini. Namanya Saijan. Dia seorang pemilik toko obat herbal di Sembilangan, Saruji. Yang jelas, saya percaya sepenuhnya bahwa Ibu tidak mengada-ada. Ibu benar-benar ditolong Nyai Sentini, entah bagaimana caranya.”
Setelah berunding sejenak, Wilujeng dan Mahesa pun memutuskan untuk menutup pencarian mereka sampai di situ saja. Bahan-bahan pokok yang telanjur mereka bawa untuk Nyai Sentini, mereka tinggalkan untuk siapa saja yang membutuhkan di Ngentas Timur. Kalau Nyai Sentini sudah begitu baik dengan berkenan membantu mengembalikan Wilujeng, tentunya ia tak keberatan bila pemberian itu jatuh ke tangan orang lain yang mungkin lebih membutuhkan.
* * *
“... Jadi begitu ceritanya, Kres.”
Kresna ternganga. Ditatapnya Wilujeng tanpa kedip.
“Tadi siapa Ibu bilang?” Kresna menyipitkan matanya. “Yang punya toko obat herbal itu?”
“Hmm... Saijan, atau siapa begitu. Ibu lupa-lupa ingat.”
Kresna menepuk meja dengan ujung jemari tangan kanannya.
“Saijan!” ucapnya nyaris berseru. “Aku ingat betul orang yang menemukanku dulu namanya Saijan. Katanya, dia sedang ada di hutan karena mencari bahan obat. Sembilangan! Ya, Sembilangan. Dulu aku diantarnya ke Polsek Sembilangan. Kemudian aku dibawa ke Polsek Sumpiang oleh polisi Sembilangan, sebelum diantar pulang ke polsek sini.”
“Benarkah?” Wilujeng membelalakkan matanya.
“Benar, Bu!” Kresna menggenggam kedua tangan Wilujeng.
“Pantas saja...,” gumam Wilujeng. Tersedot sesuatu yang terasa menerawang didepan mata.
Lukisan-lukisan itu... Semua perasaan terhanyutku ketika melihatnya... Sepotong nama Pinasti...
“Kres...,” bisik Wilujeng. “Apakah mungkin... kita punya pengalaman yang sama?”
Kresna tercenung sejenak.
“Aku tak tahu, Bu...,” kemudian ia balas berbisik. “Mungkin saja. Tapi... aku sungguh-sungguh tak tahu.”
“Kita harus mencari tahu!” Wilujeng menatap Kresna dalam-dalam. “Dan, Ibu rasa, gadismu itu ada hubungannya dengan semua ini.”
Kresna terhenyak.
* * *
‘Al, Ibu ingin bertemu denganmu.’
Seketika Alma tersentak. Ia sedang asyik membaca sebuah novel baru yang dibelinya siang tadi ketika keluar bersama Gamaliel. Ia sedang ‘sendirian’ saat ini. Riska pulang ke Margiageng kemarin siang, begitu kuliah hari Jumat mereka selesai menjelang pukul sebelas. Besok ada acara pernikahan sepupunya. Senin lusa tanggal merah. Jadi, ada akhir pekan panjang saat ini. Ia sendiri memutuskan untuk tetap di Palaguna, walaupun rindu juga pada ayah, ibu, dan adik kecilnya. Baru dua minggu lalu ia pulang. Saat ini, ia sedang berusaha mengelola rasa rindunya agar tak mengganggu proses belajarnya di luar kota.
‘Al...’
‘Ya, Mas?’
‘Kamu dengar pesanku baru saja?’
‘Ya, ya. Aku dengar.’
‘Jadi?’
‘Euh...’
Sejujurnya ia senang. Itu artinya Kresna sudah bercerita tentang ia pada sang ibu. Tapi...
‘... Kok, rasanya aku belum siap, Mas.’
‘Hanya sekadar bertemu saja, kok. Ibuku baik. Dan, rasa-rasanya, Ibu akan sangat menyukaimu.’
Tanpa bisa dikendalikan, semburat rasa hangat terasa menjalari wajah Alma.
‘Mm... Baiklah...’
‘Besok aku jemput jam sembilan, ya?’
‘Jangan!’ cegahnya segera.
‘Lho, kok?’
‘Maksudku... Aku berangkat sendiri saja. Di indekosku banyak anak Palapa Sakti. Nanti ketahuan kalau kita ada hubungan dekat.’
‘Oh, ya, ya...’
‘Kasih tahu saja alamat Mas. Kirim lewat PesanKu. Nanti kucari jalurnya melalui AkuPeta-AkuPeta.’
‘Ng... Ngomong-ngomong, aku belum tahu nomor ponselmu.’
Alma hampir terbahak karenanya. Ia sudah memiliki nomor kontak pribadi Kresna, tapi belum pernah sekali pun menggunakan nomor itu untuk berkomunikasi. Segera saja ia meraih ponselnya, mengirimkan pesan melalui aplikasi PesanKu pada Kresna. Sejenak kemudian...
‘Hmm... Ini, ada cewek keriting kriwil kirim pesan ini siapa, yaaa?’
Alma tergelak seketika. Tapi masih ingat untuk menutupi mulutnya dengan bantal. Beberapa detik kemudian masuk pesan ke dalam ponselnya. Alamat lengkap Kresna.
‘Jadi, jam berapa besok Ibu mau bertemu denganku, Mas?’
‘Jam sepuluh? Okekah?’
‘Baik, Mas. Sampai ketemu besok.’
Jantung Alma berdebar kencang tanpa bisa dikendalikan begitu pembicaraan dalam hening itu berakhir.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
Mohon maaf yang sebesar-besarnya, dengan sangat terpaksa kolom komentar pada lanjutan cerbung ini saya tutup untuk sementara waktu, karena beberapa hari belakangan ini ada serbuan komentar spam yang cukup mengganggu.
Terima kasih.
Catatan :
Mohon maaf yang sebesar-besarnya, dengan sangat terpaksa kolom komentar pada lanjutan cerbung ini saya tutup untuk sementara waktu, karena beberapa hari belakangan ini ada serbuan komentar spam yang cukup mengganggu.
Terima kasih.