Dua Puluh Tujuh
Pelan tapi pasti, kondisi Maxi membaik. Sabtu pagi, ia sudah dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat biasa. Olivia menarik napas lega karenanya. Donner yang selama Maxi dirawat di ICU selalu muncul menjenguk, kali ini datang menjelang siang bersama Pingkan dan orang tua gadis itu.
“Kalau tidak ada Maxi, entah bagaimana nasib Keke, Pak,” ucap Harvey, ayah Pingkan, pada Prima. Lirih. “Dia anak perempuan saya satu-satunya. Sayangnya, Omar...”
Jantung Prima langsung berdebar kencang. Bisa saja itu terjadi pada Maxi. Tapi ia mencoba untuk tersenyum. Ia mengalihkan tatapan ke arah ranjang. Bersyukur karena hingga detik ini Maxi masih ada. Masih bertahan. Walau masih harus terbaring lemah, tapi sudah bisa berbincang dengan Donner dan Pingkan.
“Max, makasih banyak,” mata Pingkan tampak mengaca.
Maxi tersenyum sedikit. “Kamu nggak apa-apa, Ke?”
Pingkan menggeleng. Sejujurnya ia masih agak trauma berada di keramaian, tapi sudah mulai pulih sedikit demi sedikit.
“Omar gimana, Don?” tatapan Maxi beralih pada Donner.
“Mm... Sudah...pulang,” Donner berlagak membenahi selimut Maxi hanya untuk menghindari tatapan sang sahabat. Hingga detik ini, Maxi memang belum diberitahu yang sebenarnya tentang nasib Omar.
“Memangnya Omar dirawat di mana?”
“Di Kramat Jati,” jawaban Donner pendek saja.
Ia tidak 100% berbohong kali ini. Omar sudah kehilangan nyawanya ketika dibawa ke klinik terdekat. Jenazahnya langsung dibawa ke RS POLRI Kramat Jati untuk divisum, dan kemudian dirawat sepantasnya hingga keluarganya dari Palembang datang keesokan harinya.
“Marina?”
“Marina cuma lecet sedikit. Sama shock karena ledakan molotov. Cewek-cewek Antropologi itu malah sudah nengokin kamu waktu masih blackout di ICU. Dosen-dosen juga. Temen-temen lain tunggu kamu stabil dan pindah ruangan dulu. Sebentar lagi juga pada nyerbu ke sini.”
Maxi mengerjapkan mata. Pinggang kirinya masih terasa ngilu dan perih. Bagian dalamnya masih kerap terasa nyeri. Tapi ia berusaha untuk mengabaikannya.
“Ke, kamu ngapain juga keluyuran sampai ke mesin?” senyum Maxi.
Walaupun matanya masih mengaca, tapi bibir Pingkan langsung maju sekian senti mendengar pertanyaan Maxi.
“Nih, gara-gara si dodol ini,” tangannya mendorong bahu Donner. “Bukannya nyamperin gue, malah gue disuruh nyamperin dia.”
“Lha, lu-nya sendiri juga mau,” Donner nyengir.
Maxi tetawa, tapi segera saja meringis kesakitan. Lukanya terasa makin berdenyut.
“Udah, deh, bercandanya,” sungut Pingkan sambil tangannya tanpa sadar mengelus lengan kanan Maxi. “Sorry, Max.”
“Iya, nggak apa-apa,” Maxi menggeleng lemah.
Tak lama kemudian Harvey dan Sonia mengajak putri dan keponakan mereka berpamitan. Sepeninggal rombongan kecil itu, Prima mendekati ranjang Maxi, kemudian duduk di sebelahnya.
“Jagoan Papa...,” senyum Prima. Tangan kanannya mengelus lengan Maxi. “Masih sakit?”
“Masih,” Maxi tersenyum sedikit.
“Ya, sudah, kamu istirahat dulu.”
“Pa...”
“Ya?”
“Papa belum jadi ngomong sama Mama?”
Prima menggeleng. Tersenyum. “Mungkin waktunya memang belum tepat kemarin itu.”
Wajah Maxi terlihat menyesal. “Maafin aku, Pa...”
“Ayolah, Max...,” tangan Prima terulur, mengelus kepala Maxi. “Yang terjadi padamu tak pernah kamu – dan kita semua – inginkan atau rencanakan. Di mata Papa, kamu sudah melakukan hal yang benar.”
Maxi mengerjapkan mata. Sejenak kemudian ia kembali menatap Prima.
“Pa, nanti malam biar Mbak Liv dan Mela kuminta menginap di sini untuk menemaniku. Papa bicaralah dengan Mama. Apa pun keputusan Papa, pasti kami terima.”
Prima tercenung menatap Maxi. Pada akhirnya ia mengangguk.
“Ya. Sekarang kamu istirahat dulu.”
Maxi tersenyum tipis sambil mulai memejamkan mata.
* * *
Seusai makan malam berdua dengan Prima di rumah yang lengang itu, Arlena membersihkan meja dan perangkat makan mereka tanpa suara. Prima berdiri setelah meminum obatnya.
“Kutunggu di ruang baca,” ujar Prima dengan suara berat sebelum beranjak dan mengangkat sebuah kursi makan.
Arlena mengangguk tanpa suara.
Pada akhirnya, hari pengadilanku tiba juga...
Ia berlama-lama mencuci piring dan gelas. Berusaha menyiapkan hati untuk menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi. Tapi pada akhirnya waktu itu bergulir juga menuju batas, ketika ia meletakkan piring terakhir di rak peniris. Sambil termenung-menung, ia mengeringkan kedua tangannya dengan sehelai sebet bersih. Kemudian ia beranjak dan mematikan lampu dapur.
Setelah memeriksa kembali semua pintu dan jendela yang ternyata sudah dikunci Prima, pelan ia melangkah ke ruang baca. Di depan pintu, disempatkannya menghela napas panjang beberapa kali sebelum masuk.
Prima sudah duduk menunggu di belakang meja kerja di ruang baca. Ia memberi isyarat agar Arlena duduk di kursi makan yang diletakkan di hadapannya, di seberang meja. Benar-benar seperti seorang tersangka menghadapi seorang penyidik. Raut wajah Prima terlihat tenang, datar, dan dingin. Dengan gerakan halus, Arlena duduk di kursi. Tertunduk. Tak berani menatap Prima.
“Ini,” Prima mengucap lirih. Disodorkannya sebuah amplop coklat panjang, “Bukalah.”
Dengan tangan sedikit gemetar, Arlena meraih amplop itu. Pelan-pelan ia membuka amplop itu dan menarik lembar-lembar kertas cukup tebal dari dalamnya. Lembar-lembar itu dikeluarkannya dengan posisi bagian belakang menghadap ke atas. Ketika ia membalik dan melihat apa yang tergambar di sana, seketika ia memejamkan mata. Tanpa melihat lembar-lembar berikutnya, ia memasukkan lagi kembar-lembar itu ke dalam amplop dengan tangan bergetar hebat, kemudian meletakkannya kembali ke atas meja.
“Ada empat lembar,” suara rendah dengan nada dingin itu menerpa telinganya. “Tidak mau melihat semuanya?”
Arlena menggeleng dengan air mata mulai menetes di pipi. Ia makin tak berani menatap Prima. Sama sekali.
“Pernahkah kamu memikirkan, seandainya itu fotoku yang beredar di luar sana, bisa dilihat sembarang orang, bagaimana perasaanmu? Bagaimana perasaan anak-anakmu? Pernahkah kamu berpikir tentang itu, Len?”
Ada amarah terpendam dalam suara Prima. Sama sekali tidak keras. Tidak menggelegar. Tapi seutuhnya Arlena dapat menangkap luka dan kepedihan yang sarat di dalamnya. Sesuatu yang justru membuatnya terisak makin tak terkendali.
“Aku bisa saja lari tanpa arah sepertimu ketika menghadapi tekanan, Len. Tapi mau jadi apa anak-anak kalau aku pun sama egoisnya seperti dirimu? Ya, aku salah besar. Terlalu memikirkan anak-anak hingga terlambat menyadari bahwa aku abai terhadapmu. Jadi hukuman apa yang patut untukku? Katakan, Len!”
Arlena makin menciut. Pelan-pelan suara Prima mulai lepas kendali.
“Pada awalnya aku memikirkan perpisahan,” suara Prima merendah kembali. Tatapannya tetap lurus menghunjam Arlena walaupun perempuan itu tak sedikit pun mengangkat wajah. “Tentu saja anak-anak akan ikut denganku. Karena mereka tahu apa yang sudah kamu perbuat. Tapi itu artinya aku akan membebani anak-anak, terutama Livi. Sangat tidak adil untuknya. Dan kamu tahu apa yang terjadi padanya? Dia kehilangan Miko karena kasusmu! Ya, Miko mungkin memang kurang cocok untuknya, tapi tetap saja tak adil baginya kehilangan Miko hanya karena kebodohanmu!”
Hening yang cukup panjang. Arlena masih terisak nyaris tanpa suara. Prima berusaha keras mengatur napasnya yang mulai sedikit tersengal.
“Sekarang semuanya terserah padamu, Len,” suara Prima terdengar seperti erangan. “Aku sudah lelah. Kalau kamu mau tetap di sini, di rumah ini, rumah kita, bersamaku, bersama anak-anak, silakan. Kalau kamu mau pergi dan menjemput kehidupanmu sendiri, aku tak akan menahanmu. Pun kalau kamu masih mau mengulang perbuatanmu itu, aku tak akan peduli. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, jangan pernah bebani anak-anak, terutama Livi. Jangan lagi. Mengerti?”
Arlena mengangguk berkali-kali.
“Jadi maumu sekarang bagaimana, Len?”
Arlena memberanikan diri mengangkat wajah. Menatap Prima yang menatapnya seperti menatap orang asing.
“Aku...,” ucapnya, nyaris tanpa suara, “... kalau boleh... akan tetap... di sini... Merawatmu... Mengurus anak-anak... Mengurus rumah... Aku...”
“Aku tak pernah melarangmu mengurus bisnismu,” gumam Prima. “Lakukan kalau kamu senang melakukannya. Tapi semua terserah padamu. Berhati-hatilah memilih karena semua pilihan ada konsekuensinya. Kalau kamu menanyakan padaku, apakah aku masih mencintaimu, jawabannya adalah ya. Selalu. Selamanya. Cinta itu memaafkan, Len. Tapi bukan berarti melupakan apa yang pernah terjadi.”
Air mata Arlena menetes makin deras.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu,” gema suara Prima terdengar seolah berasa dari tempat yang jauh. “Kamu sudah bertahun-tahun menemaniku, mendampingiku dari nol hingga jadi seperti sekarang, memberiku petualangan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, memberiku anak-anak yang begitu manis, menyenangkan dan membanggakan. Kamu merawatku dengan baik setelah aku pulang dari rumah sakit, dan masih banyak lagi. Sekali lagi, terima kasih banyak, Len. Maafkan aku karena tak pernah jadi pendamping yang layak untukmu.”
Prima berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan Arlena yang kini terisak hebat.
* * *
Setelah beberapa hari mengetahui kenyataan bahwa mereka adalah saudara sepupu, baru sekarang Olivia dan Navita punya kesempatan untuk berbincang berdua. Navita bersikeras menemani Olivia dan Carmela yang diminta Maxi untuk menginap menggantikan Arlena. Mumpung malam Minggu. Sebetulnya Olivia kasihan pada Minarti kalau harus ditinggal sendirian di rumah. Tapi perempuan itu berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak apa-apa.
Olivia memastikan Maxi sudah terlelap, barulah ketiganya duduk di sofa. Mengobrol dengan suara lirih sambil menikmati cemilan dan minuman ringan yang tadi dibelikan Gandhi. Tapi baru beberapa menit, Carmela sudah menguap untuk kesekian kalinya. Hingga kemudian pindah ke sofa bed dan tertidur lelap di sana.
“Jadi, kapan Mbak Vita nikah sama Mas Gandhi?” bisik Olivia dengan mata berbinar.
“Hm... Belum lamaran resmi, sih. Cuma dia memang sudah bilang sama Ibu. Ibu bilang, sebaiknya bicara dulu dengan papamu, sebagai wakil keluarga. Wakil mendiang Bapak. Nantilah, kalau Maxi sudah pulih. Kami nggak buru-buru, kok.”
Olivia manggut-manggut.
“Terus, si bapak itu gimana?” Navita menatap Olivia dengan sorot mata jahil.
Olivia berhenti mengunyah keripik kentangnya. “Bapak? Papa?”
“Itu, boss-mu itu...”
“Oh... Pak Luken?” wajah Olivia terlihat bodoh. “Baik-baik saja.”
“Ck! Kamu sudah lama pacaran sama dia?”
“Hah?” Olivia terkikik lirih. “Aku nggak pacaran sama dia, Mbak... Bahkan aku barusan didepak sama pacarku gara-gara Mama.”
Navita terbengong sejenak. Olivia kemudian bercerita tentang Miko. Tentang Arlena. Tentang Prima. Tentang kehidupan keluarganya. Navita kemudian menatapnya dengan berlinang air mata. Tak hanya itu, ia kemudian memeluk Olivia erat.
“Kamu kuat sekali, Liv,” bisiknya.
“Harus, Mbak,” ucap Olivia. Sedikit tersendat. “Demi Papa. Setelah semua yang Papa lakukan untuk kami.”
Navita melepaskan pelukannya. Menatap Olivia dalam-dalam.
“Berarti aku memang tidak salah dalam menilai Bapak. Maksudku, Pak Prima. Bapak memang orang yang sangat istimewa.”
“Dan kami sama sekali tidak keberatan berbagi Papa dengan Mbak.”
“Terima kasih, Liv... Terima kasih banyak...”
Keduanya berpelukan lagi.
* * *
Prima menutup pintu kamar di belakang punggungnya. Sejenak ia berdiri bersandar. Meraba dadanya yang terasa sesak walaupun pembicaraannya dengan Arlena sudah selesai. Dengan agak tehuyung ia berjalan ke arah ranjang dan merebahkan diri di sana. Ia berbaring sambil memejamkan mata dan mengatur napas. Berusaha merasakan kenyamanan dalam bentuk kasur empuk dan udara sejuk yang disemburkan perangkat pendingin udara. Perlahan napasnya mulai longgar.
Ia berharap keputusannya kali ini benar. Membiarkan Arlena memilih sendiri apa yang perempuan itu inginkan. Membiarkan Arlena menikmati hasil perbuatannya sendiri dengan kehilangan respek dari anak-anak. Membiarkan Arlena bertahan dengan segala konskuensi yang harus diterima. Tidak akan ada perpisahan kecuali Arlena menginginkannya.
Adilkah?
Prima mendegut ludah.
Atau justru licik?
Ia menatap langit-langit kamar.
Jahatnya dirimu, Prim!
Laki-laki itu menyeringai ketika nuraninya menegur.
Ya! Benar aku jahat padanya. Tapi setelah semua yang harus dilalui anak-anak, harus ada yang menebusnya!
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Kok kamis? Tp panjang juga hari ini, puas bacane. Suwun nggih mbak....
BalasHapusSami-sami... 😘😘😘
HapusTe O Pe deh....
BalasHapusNunggu kamis laagee 😞😞
Makasiiih, Mbaaak... 😘😘😘
Hapushiks... jadi nangis..
BalasHapusHehehe... *sodorin handuk* 😁😁😁
HapusMakasih mampirnya, Mbak... 😘😘😘
good post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak... 😊😊😊
Hapushadir selalu, Mbak Lis.
BalasHapuskadang ngerapel,kemarin nunggu oleh-oleh ceritanya dari ngeropah, wkwkwkk. ..
ternyata oh ternyata. ..
Salam hangat.
Hahaha... Makasih, Mbak... 😁😁😁
Hapus