Selesai!
Olivia menatap layar laptopnya dengan wajah puas setelah klik Save dokumen yang dikerjakannya. Pelan ia meregangkan punggung. Terdengar bunyi gemertak ringan. Ia menoleh ke arah meja Sandra. Kosong. Rupanya belum keluar dari ruangan Luken.
Pekerjaan segera membelenggu Olivia sejak hari pertama ia masuk kerja lagi awal minggu ini. Kesibukan kantor makin meningkat karena ada kontrak-kontrak ekspor baru dari beberapa importir kopi di Eropa.
Ia menengok ke arah jam dinding besar di seberangnya. Sudah pukul setengah tiga menjelang sore. Untuk mengisi waktu hingga saatnya pulang nanti, ia memutuskan untuk merapikan lemari dokumen di sudut. Ketika hendak beranjak, Luken dan Sandra keluar dari ruangan Luken. Keduanya kemudian melangkah ke arah meja Sandra.
“Sudah selesai, Liv?” tanya Luken dengan tangan meraih stoples berisi kacang bawang di meja Sandra.
“Sudah, Pak,” Olivia menoleh. “Sudah saya email juga ke Bapak.”
“Oke, nanti aku cek,” angguk Luken.
“Mbak Liv mau es teh juga?” Sandra menatap Olivia sambil mengangkat gagang telepon.
“Boleh, Bu. Terima kasih.”
Tak berapa lama, tiga gelas besar es teh yang dipesan Sandra dari pantry datang. Ketiganya kemudian menghabiskan waktu menunggu jam kantor berakhir dengan mengobrolkan berbagai hal ringan. Tengah asyik tertawa-tawa, ponsel Olivia berbunyi pelan. Setelah meminta maaf pada Luken dan Sandra, Olivia menjawab panggilan itu.
“Ya, Pa?”
“Liv, kamu sibuk banget? Lembur?”
“Enggak, sih, kerjaanku hari ini sudah selesai. Kenapa, Pa?”
“Pulang kerja bisa jemput Mela di rumah Budhe Mimin?”
“Bisa... Tapi bukannya Maxi yang mau jemput Mela?”
“Maxi lagi nggak bisa, Liv. Mm... Atau Papa suruh Mela ke tempatmu saja?”
Olivia mengerutkan kening. Suara ayahnya terdengar tidak seperti biasanya.
Jangan-jangan...
“Pa, Papa sakit lagi? Kok, suaranya lirih amat?”
Tanpa sadar, Olivia menambah volume suaranya. Membuat Luken dan Sandra menghentikan obrolan dan sama-sama menoleh ke arahnya.
“Enggak... Begini saja, deh, kamu nanti pulang kerja jemput Mela. Setelah itu... kamu sama Mela ke Carolus. Papa tunggu di sini.”
“Carolus siapa?” kerut di kening Olivia makin dalam.
“Carolus Salemba, Liv. Maxi baru saja selesai dioperasi.”
Ponsel itu hampir meluncur dari tangan Olivia.
“Rumah Sakit Carolus??? Maxi kenapa??? Operasi apa???”
“Nanti saja kita bicara. Ponsel Papa low batt. Sudah dulu, ya, Liv.”
Dan pembicaraan itu putus begitu saja. Wajah Olivia tampak linglung.
Maxi kenapa? Bukannya tadi pagi baik-baik saja? Operasi apa?
Pun ketika Luken mendekat dan menyentuh bahunya. Ia menengadah. Menatap Luken dengan sorot mata kosong.
“Liv, ada apa? Kudengar Maxi... Carolus... Maxi kenapa?”
Olivia menggeleng.
“Papa saya bilang Maxi baru saja selesai dioperasi,” gumam Olivia.
“Sudah, kamu ringkas barang-barangmu,” Luken memutuskan dengan cepat. “Aku antar kamu ke Salemba.”
“Tapi, Pak...”
“Tidak ada tapi,” Luken menggeleng tegas. Ia kemudian menengok ke arah Sandra. “Bu, tolong stand by di sini sampai jam pulang, ya?”
Sandra buru-buru mengangguk.
* * *
Olivia terduduk lesu di sebelah Prima di dalam ruang tunggu ICU pasca-bedah. Masih tak habis pikir. Bagaimana Maxi bisa terlibat tawuran antar fakultas? Pelan, ia menggelengkan kepala. Ingin ia mempertanyakan itu, tapi kelihatannya situasi belum memungkinkan. Prima meraih tangannya. Menggenggamnya erat. Olivia bisa merasakan ada getar dalam genggaman itu.
“Papa sama Mela pulang saja,” bisiknya. “Biar aku di sini tungguin Maxi.”
Prima menggeleng. “Kamu saja yang pulang, biar Papa di sini.”
“Pa...,” tukas Olivia lembut. “Papa masih dalam masa pemulihan. Masih perlu banyak istirahat. Pulang, ya? Biar aku tetap di sini.”
Arlena yang duduk di sisi lain Prima mencondongkan tubuhnya ke arah keduanya. Diabaikan atau tidak, ia merasa pendapatnya kali ini lebih baik.
“Menurut Mama...,” ucapnya dengan nada ragu-ragu, “lebih baik Livi pulang sama Papa dan Mela. Biar Mama yang jaga Maxi. Kalian semua butuh istirahat. Tadi Mama sudah telepon Muntik. Mama suruh menginap malam ini untuk mengurusi kalian. Kasihan Muntik sendirian di rumah.”
Olivia dan Prima saling menatap. Arlena sudah mengulurkan kunci mobilnya pada Olivia.
“Tolong, Liv, bawa Papa dan Mela pulang,” ada nada permohonan yang sangat dalam suara Arlena.
Baru setelah Prima mengangguk, Olivia menerima kunci itu. Ia kemudian berdiri dan menuju ke sudut lain. Tempat Luken, Carmela, Donner, Minarti, Navita, dan Gandhi duduk menunggu.
Tadi ketika Olivia menjemput Carmela, gadis itu memang mengatakan pada Minarti apa yang terjadi sebatas apa yang diketahuinya. Minarti segera minta diperbolehkan ikut ke rumah sakit. Perempuan itu pun menelepon putrinya, sehingga Navita dan Gandhi meluncur pula ke Salemba sepulang kerja.
“Ayo, kita pulang saja,” ucap Olivia lirih pada kelompok kecil itu.
“Yang menunggu di sini siapa, Liv?” Luken mendongak sedikit.
“Mama, Pak,” jawabnya.
“Biar Tante kutemani, Mbak,” ujar Donner.
“Nggak apa-apa, Don?” Olivia memastikan.
“Ya,” anggukan Donner terlihat mantap. “Mbak pulang saja.”
Tapi sebelum ikut arus rombongan untuk turun dari lantai 3 dan menuju ke tempat parkir, Olivia mendekati Arlena. Ia membungkuk sedikit.
“Donner akan menemani Mama di sini. Nanti aku kirim makanan dan balmut dengan Great-jek, ya, Ma,” ucapnya lirih. “Biar Donner yang ambil di bawah. Nanti aku hubungi Donner kalau Great-jek sudah berangkat, biar Donner tunggu di luar.”
Arlena hanya mengangguk dan menatap penuh rasa terima kasih.
* * *
“Nggak apa-apa, Mbak, Bibik tidur di sini?” Muntik menatap Olivia dengan ragu-ragu.
Selesai Muntik mengurusi makan malam, membersihkan dapur, dan mengunci semua pintu dan jendela, Olivia menyuruh perempuan itu beristirahat di kamarnya. Mereka memang tidak punya kamar untuk ART. Karenanya memilih ART yang tidak menginap.
“Nggak apa-apa, Bik,” senyum Olivia. “Bibik istirahat yang enak, ya? Besok, kan, masih harus kerja lagi.”
Muntik mengangguk. Olivia kemudian menutup pintu kamarnya dari luar. Ia turun dan menyelinap masuk ke kamar Prima. Laki-laki itu masih duduk bersandar di kepala ranjang. Terlihat melamun. Sementara Carmela sudah tertidur di sebelahnya.
“Pa...,” Olivia menyentuh bahu Prima.
Prima mengerjapkan mata dan mengalihkan tatapan kosongnya pada Olivia.
“Papa nggak apa-apa?” Olivia mengelus lengan kiri Prima.
Laki-laki itu menggeleng dengan wajah sedih. Ia memalingkan wajahnya dan menyelimuti baik-baik Carmela yang meringkuk menghadapnya.
“Bagaimana ceritanya, Pa?”
Prima menghela napas panjang. Menatap Olivia.
“Ada tawuran di gedung F,” ucap Donner begitu Maxi keluar dari ruangan dosen pembimbingnya sekitar pukul sepuluh Rabu pagi itu.
“Hah?” Maxi kelihatan terbengong sejenak.
“Ada anak geodesi nyerbu ke sini. Buntut kejadian kemarin sore.”
Maxi memang sudah mendengar berita tentang peristiwa kejadian kemarin sore. Ada tiga orang mahasiswa teknik geodesi yang dipukuli segerombolan mahasiswa teknik mesin karena siang harinya ketiga orang itu menggoda – bahkan menjurus ke arah melecehkan – dua orang mahasiswi teknik mesin angkatan muda, yang melewati gedung teknik geodesi untuk menuju ke perpustakaan.
“Kita nggak perlu ikut-ikutan,” tegas Donner. “Sudah tua. Sudah mau out juga. Corsa, sih, corsa, tapi nggak segininya juga.”
Maxi mengangguk. Ia kemudian duduk diam-diam di sebelah Donner yang sedang menunggu giliran konsultasi dengan dosen pembimbingnya. Saat itu ponsel Donner berbunyi. Donner segera menanggapinya, apalagi setelah tahu itu dari Pingkan, adik sepupunya.
“Ya, Ke?” Donner menyapa Pingkan yang biasa dipanggilnya Keke itu, setelah membuka speaker.
“Don, gue kejebak tawuran!”
“Hah???” Donner seketika berdiri. “Lu bisa kesangkut gimana ceritanya???”
“Gue mau nyamperin lo. Kan, lo sendiri yang suruh gue nyamperin lo. Tahu-tahu ada ribut-ribut. Gue langsung ditarik, disuruh berlindung di ruangan sini.”
“Lu di mana?”
“Gak tau, Don!” suara Pingkan mulai bercampur tangis.
“Lu sama siapa saja?”
“Ada tiga cewek sama gue.”
“Tanyain, ada anak mesin nggak? Terus, lu tanya, lu di ruangan apa gedung mana. Buruan!”
Tak lama kemudian Donner mendapatkan jawabannya, “Gue ada di ruang 4 gedung F. Buruan, Don! Ngeri tauk!”
Terdengar samar-samar suara ledakan dan jeritan beberapa gadis. Hubungan terputus. Donner dan Maxi saling menatap. Jelas tergambar kepanikan di wajah Donner. Juga kebimbangan. Ia harus menghadap dosen pembimbingnya, sementara Pingkan harus diselamatkan.
“Lu tetap ngadep Pak Darto, gue yang urus Pingkan. Titip barang-barang gue di sini,” Maxi memutuskan tanpa pikir panjang.
Tanpa menunggu jawaban Donner, Maxi bergegas pergi. Ketika Donner sudah selesai konsultasi dengan dosen pembimbingnya, dan berniat untuk menyusul Maxi, barulah ia mendapat kabar itu. Bahwa Maxi dan Omar kena tusuk oknum mahasiswa teknik geodesi ketika tengah menyelamatkan Pingkan dan beberapa gadis lain dari ruang 4 gedung F yang sudah dilempar dua bom molotov. Omar terkena tusukan di dada, sedangkan Maxi di pinggang. Gadis-gadis yang tak sengaja tersandera selamat, tapi mengalami trauma. Belakangan, Donner mendengar bahwa nyawa Omar tidak bisa diselamatkan karena tusukan belati itu mengenai jantungnya.
Semua itu diceritakan Donner pada Prima dan Arlena saat bertemu tadi. Karena itu Donner tak mau meninggalkan Maxi. Bagaimanapun, Maxi adalah sahabatnya. Dan Maxi ikut menjadi korban karena menyelamatkan Pingkan dan tiga gadis apes lainnya. Pingkan dari Sastra Jepang, dua orang gadis lainnya dari Antropologi, dan seorang lagi dari Teknik Mesin.
Maxi sendiri mengalami luka tusuk dan robek yang cukup dalam di pinggang kiri. Kehilangan cukup banyak darah, ada sebagian kecil usus terkena ujung belati, sempat mengalami gagal napas, tapi tidak ada organ dalam lain yang terluka. Masih jauh lebih ‘beruntung’ bila dibandingkan dengan Omar. Dan kabar terakhir yang mereka dengar sore tadi, penusuk Maxi dan Omar bukanlah mahasiswa geodesi, tapi pemuda begajulan dari luar yang ikut menyerbu karena ajakan salah seorang oknum mahasiswa geodesi.
Olivia menghela napas panjang. Ia mengangkat wajahnya ketika mendengar gumaman Prima yang menyerupai erangan lemah.
“Kenapa juga harus Maxi?”
Olivia benar-benar tak tahu jawabannya. Ia mengulurkan tangan, mengelus lembut bahu Prima.
“Yang penting Maxi selamat, Pa,” bisiknya. “Sekarang Papa istirahat, aku juga. Besok setelah antar Mela, kita kembali ke rumah sakit.”
Prima tak punya pilihan lain. Ia berbaring di sebelah Carmela. Memiringkan tubuhnya, dan memeluk Carmela. Olivia membenahi letak selimut yang menutup ayah dan adiknya. Sesudahnya, ia membaringkan tubuh di atas sofa bed di sudut kamar.
Masih tersisa wangi maskulin Maxi di bantal. Olivia menghirupnya dalam-dalam.
Kamu harus bertahan, Max! Harus bertahan!
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
1. Hingga akhir bab ini, Affogato sudah ditulis sebanyak 478 halaman A4, sekitar 102.000 kata, dan ceritanya belum selesai. Melampaui 25 bab yang sudah saya patok sebelumnya. Telanjur basah, nyebur sekalian. Lanjut sampai tamat. Semoga para Pembaca tidak bosan.
2. Mohon maaf karena episode hari ini tidak tayang dini hari seperti biasanya. Awal minggu lalu hanya sempat menjadwal tayang hingga episode kemarin karena saya keburu ada acara bersama Mak Eka Murti. Reportase acara itu akan saya tayangkan di sini paling lambat besok (Rabu) dalam bentuk artikel berjudul “[Bukan Fiksi] ngAdventure to ngEropah”. Terima kasih.
Good job...
BalasHapusLanjut mbak lizz
😍😍😍
😍😍😍 😘😘😘
HapusLanjut terus mbak,.. kita ga akan pernah bosan menikmati hidangan mbak lizz
BalasHapusMakasih support-nya, Mbak Nur... 😘😘😘
HapusWaduh, kalau nggak ditayangkan di blog tapi meluncur jadi buku belum tentu saya bisa baca. Makasih, Bu Lis udah digratiskan.
BalasHapusSama-sama... 😊😊😊
HapusKeren bingiiitt bude lizz
BalasHapusLanjuut budeee
Siaaap! Makasiiih... 😊😊😊
Hapushanya bisa bilang wow..itu saja mba
BalasHapuswiw........
Hapus*nguuuk* 😁😁😁
HapusGood post mbak ditunggu lanjutannya
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... 😊😊😊
Hapusttes.....tees...... tessss.....
BalasHapusAhihihiii... 😁😁😁
Hapushureeeeiiiii......... menungulssss
BalasHapusYiiippiiie!!! Babeh... 😍😍😍
Hapus