Aku tercenung menatap
layar laptopku. Barisan kata-kata itu menari dan meliuk di mataku. Kulihat
tarian itu mengabur. Dan tetesan bening meluncur di pipiku.
Betapa
kalimat itu menyiratkan duka. Beban. Patah. Sungguh, aku bisa merasakannya.
Dik,
pada akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Mungkin sementara.
Mungkin juga selamanya. Aku gagal. Semuanya. Gagal memaafkannya. Gagal
memaafkan diriku sendiri. Gagal jadi istri yang baik. Gagal jadi ibu yang bisa
menjaga ayah anak-anakku.
Anak-anak kubawa, Dik.
Sekalian masuk SMP di sini. Mampirlah kalau suatu saat kau mudik.
Big
hug,
Karina
Aku
tersedu.
Kenapa
ada lagi bahtera rumah tangga yang harus pecah? Hanya karena orang ketiga.
Seorang perempuan yang tega berdansa di atas sayatan perih luka perempuan lain.
*
* *
Lalu apa salah Kak Karina?
Tidak
ada, Putri. Aku yang tergoda. Karina istri dan ibu yang sempurna. Aku yang
tergelincir.
Jadi
hentikan sekarang juga!
Tidak
sekarang, Putri. Aku akan berhenti. Nanti. Belum bisa sekarang.
Aku
hanya bisa menggeram. Laki-laki bodoh!
Dan
semuanya jadi terlalu terlambat. Istrinya tahu. Marah. Terluka. Terhina. Bahkan
sampai tak mampu memaafkan dirinya sendiri.
Lalu
aku bisa apa?
Dan
aku cuma bisa menuliskan baris-baris ini. Di laptopku. Pada jendela email.
Dulu
kita pernah tidak saling mengenal. Hingga waktu bermurah hati pada kita. Dan
pada akhirnya kita jadi kakak-adik. Kenapa
kau tak mau mendengarkan adikmu kali ini? Tak pernah ada kata nanti untuk
memutus tali perselingkuhanmu. Kau
melukainya. Terlalu dalam. Kaubalas kesetiaannya selama belasan tahun
mendampingimu dengan pengkhianatan yang sangat menyakitkan.
Apa maumu sebenarnya?
Berpesta pora di atas tangisan istri dan anak-anakmu? Menginjak-injak janji
nikah yang kau ucapkan sendiri?
Aku malu menjadi adikmu.
Sungguh. Kau bukan lagi kakak yang selama ini kukenal.
Ke mana dirimu yang
sesungguhnya pergi?
SEND.
Kumatikan
laptopku beberapa saat kemudian. Aku merebahkan diri. Dan kurasakan ada tangan
yang kekar memelukku. Terasa begitu hangat.
Aku
menatapnya. Suamiku. Terpejam tidur dengan wajah teduh dan damai. Lalu
kuucapkan doa dalam hati, semoga kau tak seperti dia…
* *
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar