Selasa, 15 April 2014

[Cermin] Serpihan Janji





Aku tercenung menatap layar laptopku. Barisan kata-kata itu menari dan meliuk di mataku. Kulihat tarian itu mengabur. Dan tetesan bening meluncur di pipiku.

Betapa kalimat itu menyiratkan duka. Beban. Patah. Sungguh, aku bisa merasakannya.

Dik, pada akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Mungkin sementara. Mungkin juga selamanya. Aku gagal. Semuanya. Gagal memaafkannya. Gagal memaafkan diriku sendiri. Gagal jadi istri yang baik. Gagal jadi ibu yang bisa menjaga ayah anak-anakku.
Anak-anak kubawa, Dik. Sekalian masuk SMP di sini. Mampirlah kalau suatu saat kau mudik.

Big hug,
Karina


Aku tersedu.

Kenapa ada lagi bahtera rumah tangga yang harus pecah? Hanya karena orang ketiga. Seorang perempuan yang tega berdansa di atas sayatan perih luka perempuan lain.

* * *

Lalu apa salah Kak Karina?

Tidak ada, Putri. Aku yang tergoda. Karina istri dan ibu yang sempurna. Aku yang tergelincir.

Jadi hentikan sekarang juga!

Tidak sekarang, Putri. Aku akan berhenti. Nanti. Belum bisa sekarang.

Aku hanya bisa menggeram. Laki-laki bodoh!

Dan semuanya jadi terlalu terlambat. Istrinya tahu. Marah. Terluka. Terhina. Bahkan sampai tak mampu memaafkan dirinya sendiri.

Lalu aku bisa apa?

Dan aku cuma bisa menuliskan baris-baris ini. Di laptopku. Pada jendela email.

Dulu kita pernah tidak saling mengenal. Hingga waktu bermurah hati pada kita. Dan pada akhirnya kita jadi kakak-adik. Kenapa kau tak mau mendengarkan adikmu kali ini? Tak pernah ada kata nanti untuk memutus tali perselingkuhanmu. Kau melukainya. Terlalu dalam. Kaubalas kesetiaannya selama belasan tahun mendampingimu dengan pengkhianatan yang sangat menyakitkan.
Apa maumu sebenarnya? Berpesta pora di atas tangisan istri dan anak-anakmu? Menginjak-injak janji nikah yang kau ucapkan sendiri?
Aku malu menjadi adikmu. Sungguh. Kau bukan lagi kakak yang selama ini kukenal.
Ke mana dirimu yang sesungguhnya pergi?

SEND.

Kumatikan laptopku beberapa saat kemudian. Aku merebahkan diri. Dan kurasakan ada tangan yang kekar memelukku. Terasa begitu hangat.

Aku menatapnya. Suamiku. Terpejam tidur dengan wajah teduh dan damai. Lalu kuucapkan doa dalam hati, semoga kau tak seperti dia…


* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar