Entah
kenapa aku selalu merasa terganggu kalau Guntur mendekat. Gayanya selalu
ekspresif. Terkadang membuatku muak. Tidak adakah style yang lebih elegan untuk
menarik perhatian lawan jenis? Entahlah.
Diam-diam aku malah lebih sering memperhatikan Megantoro,
adik Guntur. Megantoro tidak terlalu peduli pada banyak perempuan di
sekitarnya. Hm... aku tidak tahu apakah dia punya kecenderungan penyuka lawan
jenis. Tapi kurasa tidak. Kami pernah bertukar tatapan mata sejenak, dan dia
kelihatan tersipu. Membuat hatiku seketika berdesir.
Megantoro
tidak segagah Guntur. Itu harus kuakui. Tapi ada sesuatu dalam sikapnya yang
diam. Bukan angkuh. Entah apa. Aku tidak berhasil mendefinisikannya. Hanya saja
menurut analisis Leni, adikku, sepertinya Megantoro tidak pernah suka dengan
sikap Guntur pada kaum perempuan. Terlalu tebar pesona sana-sini.
Hm... Bisa jadi Leni benar. Hanya saja para perempuan
di sekelilingku selalu heboh sendiri dengan kehadiran Guntur. Tampaknya mereka
memang lebih menyukai ekspresi Guntur itu, yang selalu terlihat berlebihan di
mataku. Jangan tanya upaya mereka untuk menarik perhatian Guntur. Aish...
Membuatku jadi risih sendiri.
Dan... Ah! Dia mendekat lagi. Menghadiahiku sebuah
lirikan genit yang membuat perutku mual. Huh! Memang sebaiknya aku menyingkir
jauh-jauh. Maka aku pun menghindar. Dia kecewa? Bukan urusanku.
* * *
Sejak dulu aku selalu suka hangatnya cahaya mentari.
Bau rerumputan dibasahi embun dini hari selalu membangkitkan semangatku. Tapi
sayang hari ini mentari kuning bersembunyi entah di mana. Membuat pagi sangat
muram. Dan hatiku makin muram ketika mendengar teman-temanku semua ribut.
Guntur berkelahi dengan Megantoro!
Hah?!
Leni segera menarikku ke tempat sepi. Aku menatapnya
dengan bingung.
"Ssst... Kamu tahu kenapa mereka berkelahi?"
Leni menatapku tajam.
Aku hanya bisa menggeleng. Karena aku benar-benar tak
tahu sebabnya.
"Guntur melabrak Megantoro karena mendengar
bisik-bisik bahwa Megantoro menyukaimu."
Aku melongo. Megantoro... menyukaiku? Entah dari mana
datangnya rasa hangat itu. Tapi kurasa wajahku memerah. Benarkah Megantoro
menyukaiku? Bisa jadi. Bukankah aku cukup cantik, hingga laki-laki sekelas
Guntur pun menguntitku terus?
Mengingat kelakuan Guntur mendadak amarahku bangkit.
Dia harus diberi pelajaran! Segera aku berlari meninggalkan Leni. Amarahku
makin menjadi melihat Guntur masih juga mengintimidasi Megantoro dengan
sikapnya yang sok dan angkuh.
"Guntur!!!"
Dia terlihat terkejut mendengar suaraku. Begitu tahu
aku yang memanggilnya, wajahnya berubah jadi sumringah. Tapi aku tak peduli.
Ganti aku yang melabraknya sebelum ia buka suara.
"Kamu memang laki-laki tak berguna!"
teriakku kalap. "Kamu pikir aku silau dengan ketampananmu?! Kamu pikir aku
buta terhadap anak-anak yang kamu tinggalkan diurus sendirian oleh
istri-istrimu?! Takdir?! Ya memang takdir! Tapi aku kuak dengan kelakuanmu! Aku
muak padamu!"
Guntur terlalu kaget untuk menanggapi kemarahanku. Ia
hanya menatapku dalam diam +dengan mata bulat genitnya yang menyebalkan.
Aku mendekati Megantoro yang juga diam. Ia menggeleng
ketika melihatku mendekatinya. Tapi aku tak peduli.
"Aku tahu kamu mencintaiku," ucapku berani.
"Walau mungkin ini menyalahi kebiasaan, tapi kamu harus tahu bahwa aku
jauh lebih menyukaimu daripada Guntur."
"Kenapa?" hanya itu yang diucapkan
Megantoro.
"Aku tak tahu," aku menggeleng jujur.
"Ini rasaku, Toro."
"Kamu terlalu cantik untukku, Chika," desah
Megantoro.
"Dan kamu adalah laki-laki paling ganteng yang
pernah kukenal," jawabku tanpa tujuan merayunya. "Ini masalah hati,
Toro. Ketika kita tidak bisa lagi mengingkari ketertarikan satu sama lain,
walau tanpa alasan sekalipun."
Megantoro menatapku dengan matanya yang... Duh,
Gusti... Indahnya mata itu... Pelan ia mendekatiku.
"Kamu mau jadi istriku, Chika?" ucapnya
sederhana, dengan nada penuh keyakinan.
Aku menyurukkan kepalaku di dadanya tanpa menjawab.
Hangatnya... Ah, tanpa aku menjawabnya pun dia pasti tahu keinginanku.
Kurasa mentari pun ingin mengintip kebahagiaanku. Ia
menyorotkan sinar hangatnya melalui sela-sela awan. Megantoro mengajakku menyingkir
ke tepi kebun. Aku menyambutnya dengan suka cita tak terperi.
Kulihat sekilas Guntur terkulai tanpa semangat ketika
melihatku mengikuti langkah Megantoro. Tapi apa peduliku? Dia bisa memperoleh
perempuan mana pun yang mendambakannya.
"Kamu ingin punya berapa anak, Chika?" suara
Megantoro terdengar begitu lembut di telingaku.
"Berapa pun kamu kuat memberiku, Toro..."
"Akan kubantu kamu menjaga dan merawat mereka
nanti. Anak-anak kita," janjinya tanpa nada gombal.
Kutatap Megantoro. Di mataku dia tetap laki-laki
paling gagah yang pernah kukenal. Lihatlah dadanya yang membusung. Lehernya
yang kukuh dan jenjang. Matanya yang bulat bening. Bulu hitamnya yang mulus
keunguan. Kepak sayapnya yang mantap. Dengarkan juga suaranya yang merdu
melagukan cintanya untukku.
"Kukuruyuuuuuk....!"
Ah, aku juga benar-benar mencintainya!
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar