Karya
kolaborasi dengan Nandar Dinata
Pulang.
Satu kata yang selalu
dihindari Tatia. Walau rindu kian membuncah pada setiap jejak manis kehangatan
sebuah rumah. Rindu pada aroma manis nastar buatan Ibu. Pada elusan lembut
jemari Ayah di rambutnya. Pada aroma tanah basah di bawah jendela kamarnya.
Semuanya.
Kecuali satu.
Tatia melengos.
Sebetulnya semua hal pahit itu sudah berlalu hampir delapan tahun yang lalu.
Tapi dalam benak Tatia, entah kenapa segalanya seperti baru terjadi kemarin
sore. Dirasanya luka itu masih juga menganga. Mengucurkan darah yang setiap
kali masih terasa begitu perih.
Karena Puri. Karena
Dante.
Huh!
Tatia mendengus. Bajingan itu!
Bisa-bisanya menghamili Puri pada saat statusnya masih tunangan Tatia. Bahkan
ketika rencana pernikahan itu sudah hampir matang. Dan pernikahan itu memang
benar-benar terlaksana. Jauh lebih cepat daripada rencana semula. Dengan Puri
sebagai mempelai wanitanya.
Bukan ia. Bukan Tatia.
Tunangan Dante.
Luka itu tak pernah
sembuh walau Puri dan Dante sudah menangis dan bersimpuh di depannya, mohon
ampun dan restu saat acara langkahan. Acara yang dikutuknya seumur hidup. Yang
terpaksa dilakukannya demi menghormati Bapak.
Lantas apa katanya
tadi? Tatia mencibir. Pulanglah, Mbak, aku butuh bicara denganmu. Siapa juga
yang butuh? Kenapa harus aku yang repot? Tatia mencibir sekali lagi sambil
melemparkan ponselnya ke atas meja.
* * *
Tatia mengerutkan
kening menerima tatapan Radite. Laki-laki itu tampak begitu serius.
"Ada apa,
Pak?" tanya Tatia tanpa basa-basi.
"Aku memutuskan
untuk membatalkan keberangkatan kita ke Jepang," ucap Radite lugas.
"Hernowo akan menggantikan aku, dan Lusia akan menggantikan kamu. Toni,
Tegar, dan Marla akan tetap betangkat."
"Lho, nggak bisa
gitu dong, Pak!" protes Tatia.
"Nggak bisa gitu
gimana?" suara Radite mulai meninggi. "Aku berhak memutuskan siapa
yang berangkat dan siapa yang tidak!"
"Iya, saya tahu,
Pak," Tatia mencoba bersabar menghadapi bossnya. "Tapi nggak bisa
dong, Lusia ambil alih begitu saja draft yang sudah saya kerjakan
berminggu-minggu ini dengan seluruh waktu dan tenaga saya. Giliran presentasi
ke Jepang saja Bapak potong begitu saja langkah saya. Saya mau tahu ada apa
sebenarnya."
Radite
menggeleng-gelengkan kepalanya. Kelihatannya tak habis pikir menghadapi sikap
Tatia.
"Adikmu sakit
keras dan kamu nggak bisa berangkat ke Jepang begitu saja," suara Radite
melunak.
Tatia menatap Radite.
Garang.
"Nggak bisa gitu
dong, Pak!" bantah Tatia berani. "Saya bekerja pada Bapak secara
profesional dan alasan keberangkatan saya ke Jepang adalah profesional juga.
Nggak ada kaitannya dengan urusan keluarga."
"Selalu ada
urusannya," jawab Radite lugas. "Karena bapakmu menitipkanmu padaku.
Dan aku sudah berjanji padanya untuk mengantarmu pulang."
Tatia terdiam
seketika.
* * *
Di balik segala
ketegaran kepala baja dan tangan besi Tatia, sesungguhnya perasaannya adalah
segala bentuk kerapuhan. Radite tahu itu. Sejak lama. Dan ketika ia memutuskan
untuk menjaga agar kerapuhan itu tidak menjadi kehancuran, ia berharap
keputusannya tidaklah salah.
Tapi alangkah
sulitnya meraih sekeping hati Tatia. Tembok yang dibangun perempuan itu terlalu
tinggi. Bukan angkuh. Hanya selubung perasaan tak ingin terluka lagi. Seutuhnya
Radite memahami itu. Dihelanya napas panjang.
"Sampai kapan
kamu akan mendiamkan aku?" tanyanya lirih.
Tatia menatap keluar
jendela pesawat. Ia tak tahu harus menjawab apa. Maka ia memutuskan untuk tetap
diam. Ditahannya segala gejolak hatinya sendirian. Tak mau membagikan sedikit
pun membginya pada Radite.
"Puri sudah
pergi, Tia," ucap Radite halus. "Keinginannya untuk bertemu denganmu
tidak kesampaian."
"Lalu semua
salahku?" Tatia tak lagi tahan diam membisu. "Dia terkena kanker, dia
mati, lalu semuanya salahku?"
Radite menggelengkan
kepala. "Tak ada yang menyalahkanmu. Tapi kurasa hukumanmu padanya sudah
lebih dari cukup."
"Aku nggak
pernah menghukumnya, Mas...," ucapnya penuh tekanan. Tak ada lagi hubungan
atasan-bawahan. "Setelah dia menghancurkan aku, aku berhak menata lagi
hidupku sendiri. Tanpa diganggu lagi dengan alasan apa pun. Aku toh sudah
memaafkannya. Kalau dia masih merasa bersalah dan terhukum, itu urusannya.
Bukan lagi urusanku."
Radite tak bisa
sepenuhnya menyalahkan Tatia yang sudah kehilangan empati. Setidaknya perempuan
itu pernah secara jujur mengakui perasaan hambarnya terhadap Puri, adiknya
sendiri, dan Dante, adik ipar sekaligus mantan tunangannya.
"Dan kamu
bersedia memenuhi permintaan terakhirnya?" tanya Radite hati-hati.
Tatia menggeleng
tegas. "Kalau dia kira aku bahagia dengan menjadi istri Dante, dia salah.
Aku bahagia dengan hidupku sekarang. Tak perlu Dante."
"Yakin?" Radite
tersenyum.
"Tapi aku tetap
butuh alasan yang kuat untuk menolak keinginan keluargaku itu," gumam
Tatia tanpa semangat. "Aku masih mencari alasan itu. Bisa membantuku
mencarikan alasan?"
"Jadilah calon
istriku," ucap Radite tanpa berpikir lagi.
Tatia terhenyak.
Merasa terbanting oleh perasaannya sendiri. Sebuah perasaan tersembunyi yang
selama ini ia berusaha untuk mengingkarinya. Lama ia tercenung.
"Ini bukan
sandiwara, Tia," ucap Radite. "Menikahlah denganku."
Tatia menoleh ke
samping kanannya. Ditatapnya Radite baik-baik.
"Aku membencimu,
Mas," gumamnya. "Karena sudah berhasil mengalahkan aku dengan
cintamu."
Radite tersenyum.
"Ini masalah rasa, Tia, bukan masalah menang atau kalah."
Tatia terdiam. Pada
akhirnya ia memang harus tersungkur di bawah uluran telapak cinta. Ia membenci
keadaan itu. Tapi benar kata Radite, ini masalah rasa. Dan rasanya, ia memang
sudah lama mencintai Radite, seperti laki-laki itu mencintainya.
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar