Jumat, 14 Februari 2014

[Cermin] Di Bawah Telapak Cinta





Karya kolaborasi dengan Nandar Dinata

Pulang.

Satu kata yang selalu dihindari Tatia. Walau rindu kian membuncah pada setiap jejak manis kehangatan sebuah rumah. Rindu pada aroma manis nastar buatan Ibu. Pada elusan lembut jemari Ayah di rambutnya. Pada aroma tanah basah di bawah jendela kamarnya. Semuanya.

Kecuali satu.

Puri.


Tatia melengos. Sebetulnya semua hal pahit itu sudah berlalu hampir delapan tahun yang lalu. Tapi dalam benak Tatia, entah kenapa segalanya seperti baru terjadi kemarin sore. Dirasanya luka itu masih juga menganga. Mengucurkan darah yang setiap kali masih terasa begitu perih.

Karena Puri. Karena Dante.

Huh! Tatia mendengus. Bajingan itu! Bisa-bisanya menghamili Puri pada saat statusnya masih tunangan Tatia. Bahkan ketika rencana pernikahan itu sudah hampir matang. Dan pernikahan itu memang benar-benar terlaksana. Jauh lebih cepat daripada rencana semula. Dengan Puri sebagai mempelai wanitanya.

Bukan ia. Bukan Tatia. Tunangan Dante.

Luka itu tak pernah sembuh walau Puri dan Dante sudah menangis dan bersimpuh di depannya, mohon ampun dan restu saat acara langkahan. Acara yang dikutuknya seumur hidup. Yang terpaksa dilakukannya demi menghormati Bapak.

Lantas apa katanya tadi? Tatia mencibir. Pulanglah, Mbak, aku butuh bicara denganmu. Siapa juga yang butuh? Kenapa harus aku yang repot? Tatia mencibir sekali lagi sambil melemparkan ponselnya ke atas meja.

* * *

Tatia mengerutkan kening menerima tatapan Radite. Laki-laki itu tampak begitu serius.

"Ada apa, Pak?" tanya Tatia tanpa basa-basi.

"Aku memutuskan untuk membatalkan keberangkatan kita ke Jepang," ucap Radite lugas. "Hernowo akan menggantikan aku, dan Lusia akan menggantikan kamu. Toni, Tegar, dan Marla akan tetap betangkat."

"Lho, nggak bisa gitu dong, Pak!" protes Tatia.

"Nggak bisa gitu gimana?" suara Radite mulai meninggi. "Aku berhak memutuskan siapa yang berangkat dan siapa yang tidak!"

"Iya, saya tahu, Pak," Tatia mencoba bersabar menghadapi bossnya. "Tapi nggak bisa dong, Lusia ambil alih begitu saja draft yang sudah saya kerjakan berminggu-minggu ini dengan seluruh waktu dan tenaga saya. Giliran presentasi ke Jepang saja Bapak potong begitu saja langkah saya. Saya mau tahu ada apa sebenarnya."

Radite menggeleng-gelengkan kepalanya. Kelihatannya tak habis pikir menghadapi sikap Tatia.

"Adikmu sakit keras dan kamu nggak bisa berangkat ke Jepang begitu saja," suara Radite melunak.

Tatia menatap Radite. Garang.

"Nggak bisa gitu dong, Pak!" bantah Tatia berani. "Saya bekerja pada Bapak secara profesional dan alasan keberangkatan saya ke Jepang adalah profesional juga. Nggak ada kaitannya dengan urusan keluarga."

"Selalu ada urusannya," jawab Radite lugas. "Karena bapakmu menitipkanmu padaku. Dan aku sudah berjanji padanya untuk mengantarmu pulang."

Tatia terdiam seketika.

* * *

Di balik segala ketegaran kepala baja dan tangan besi Tatia, sesungguhnya perasaannya adalah segala bentuk kerapuhan. Radite tahu itu. Sejak lama. Dan ketika ia memutuskan untuk menjaga agar kerapuhan itu tidak menjadi kehancuran, ia berharap keputusannya tidaklah salah.

Tapi alangkah sulitnya meraih sekeping hati Tatia. Tembok yang dibangun perempuan itu terlalu tinggi. Bukan angkuh. Hanya selubung perasaan tak ingin terluka lagi. Seutuhnya Radite memahami itu. Dihelanya napas panjang.

"Sampai kapan kamu akan mendiamkan aku?" tanyanya lirih.

Tatia menatap keluar jendela pesawat. Ia tak tahu harus menjawab apa. Maka ia memutuskan untuk tetap diam. Ditahannya segala gejolak hatinya sendirian. Tak mau membagikan sedikit pun membginya pada Radite.

"Puri sudah pergi, Tia," ucap Radite halus. "Keinginannya untuk bertemu denganmu tidak kesampaian."

"Lalu semua salahku?" Tatia tak lagi tahan diam membisu. "Dia terkena kanker, dia mati, lalu semuanya salahku?"

Radite menggelengkan kepala. "Tak ada yang menyalahkanmu. Tapi kurasa hukumanmu padanya sudah lebih dari cukup."

"Aku nggak pernah menghukumnya, Mas...," ucapnya penuh tekanan. Tak ada lagi hubungan atasan-bawahan. "Setelah dia menghancurkan aku, aku berhak menata lagi hidupku sendiri. Tanpa diganggu lagi dengan alasan apa pun. Aku toh sudah memaafkannya. Kalau dia masih merasa bersalah dan terhukum, itu urusannya. Bukan lagi urusanku."

Radite tak bisa sepenuhnya menyalahkan Tatia yang sudah kehilangan empati. Setidaknya perempuan itu pernah secara jujur mengakui perasaan hambarnya terhadap Puri, adiknya sendiri, dan Dante, adik ipar sekaligus mantan tunangannya.

"Dan kamu bersedia memenuhi permintaan terakhirnya?" tanya Radite hati-hati.

Tatia menggeleng tegas. "Kalau dia kira aku bahagia dengan menjadi istri Dante, dia salah. Aku bahagia dengan hidupku sekarang. Tak perlu Dante."

"Yakin?" Radite tersenyum.

"Tapi aku tetap butuh alasan yang kuat untuk menolak keinginan keluargaku itu," gumam Tatia tanpa semangat. "Aku masih mencari alasan itu. Bisa membantuku mencarikan alasan?"

"Jadilah calon istriku," ucap Radite tanpa berpikir lagi.

Tatia terhenyak. Merasa terbanting oleh perasaannya sendiri. Sebuah perasaan tersembunyi yang selama ini ia berusaha untuk mengingkarinya. Lama ia tercenung.

"Ini bukan sandiwara, Tia," ucap Radite. "Menikahlah denganku."

Tatia menoleh ke samping kanannya. Ditatapnya Radite baik-baik.

"Aku membencimu, Mas," gumamnya. "Karena sudah berhasil mengalahkan aku dengan cintamu."

Radite tersenyum. "Ini masalah rasa, Tia, bukan masalah menang atau kalah."

Tatia terdiam. Pada akhirnya ia memang harus tersungkur di bawah uluran telapak cinta. Ia membenci keadaan itu. Tapi benar kata Radite, ini masalah rasa. Dan rasanya, ia memang sudah lama mencintai Radite, seperti laki-laki itu mencintainya.


* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar