Sam.
Aku mengenalnya pada
tahun pertama kuliahku. Bahkan aku pun bisa mengatakan dia gadis yang ayu.
Walaupun rambutnya tak pernah panjang. Walaupun tak pernah tampil feminin.
Walaupun dia lebih suka dipanggil Sam daripada Samantha, nama panjangnya yang
indah.
Dan aku mengenalnya
lebih dalam. Ketika aku butuh teman untuk menumpahkan isi hatiku. Tentang rasa
sakit. Tentang himpitan yang memasungku. Tentang sebuah keinginan yang tak akan
pernah terpenuhi.
"Kau membebani
pikiranmu sendiri, Mei," ucapnya selalu. "Lakukan saja apa yang bisa
kau lakukan. Tak perlu memikirkan segala sesuatu yang salah."
Segala sesuatu yang
salah.
Segala sesuatu yang
salah itu adalah diriku. Wujudku. Wajahku. Tubuhku.
* * *
Namaku Meidianto.
Tapi aku lebih suka dipanggil Mei daripada Anto. Nama Anto terlalu maskulin
bagiku. Sementara jiwa Hawaku terperangkap dalam raga seorang Adam. Semua itu
kebalikan dari Sam. Jiwa Adamnya terkungkung dalam raga seorang Hawa.
Lalu apakah dia
menyesal? Seperti aku?
Tidak. Tidak pernah.
Ayahnya adalah
seorang ayah yang bangga pada keistimewaan anaknya. Sedangkan ayahku? Ibuku?
Kakak-kakakku? Semuanya merasa malu karena aku 'tidak normal' sebagai
laki-laki.
Aku merasa sendirian.
Selalu merasa sendirian. Sampai akhirnya aku bertemu Sam.
Lalu apakah semua
cibiran itu hilang begitu saja?
Tidak. Tidak pernah.
Kedekatanku dengan
Sam membuat cibiran itu jadi makananku sehari-hari. Kata-kata menyakitkan itu
sudah jadi hal biasa yang bertebaran di sekitarku dan Sam.
Dua orang aneh. Dua
orang banci. Itulah sebutan mereka untuk Sam dan aku.
Lalu apakah kalau
kami benar banci, lantas kami bukan lagi manusia? Lantas kami tak berhak untuk
mengecap sedikit kehidupan normal?
"Kehidupan
normal itu seperti apa, Mei?" Sam tergelak menertawakan aku. "Ketika
kita.diberi kehidupan, harus kita sendiri yang mengolahnya. Betul ataukah salah
bentuk kita, inilah kita."
Aku hanya bisa
menelan ludah. Terasa pahit. Dan kepahitan itu akan terus kutelan mentah-mentah
kalau saja aku menjauhi Sam. Untungnya tidak.
* * *
Siapakah Sam?
Orang boleh
memandangnya sebelah mata. Tapi tahukah kau, Sam dilimpahi tatapan bening para
malaikat yang ada di sekitarnya. Di sebuah lingkungan kumuh. Tempat segala
bentuk kehidupan yang tak layak buat anak-anak tak pernah tersentuh oleh
tangan-tangan yang seharusnya memelihara mereka.
Dan aku terpaku
melihatnya.
Belasan 'banci'
tampak tekun membersihkan tubuh anak-anak itu. Memotong kukunya. Merapikan
rambutnya. Mengajari membaca. Mengajari berhitung. Berdoa. Bernyanyi. Semuanya.
Membuatku menangis.
Membuatku luruh bersimpuh dalam rasa malu yang mendalam. Rasa malu karena aku
terlalu memikirkan tubuhku. Terlalu malas untuk keluar dari tameng tempurungku
yang diserbu pendapat orang lain.
"Bergabunglah
dengan kami, Mei," bisik Sam lembut. "Benahi hati kita. Buka
cakrawala pikir kita. Masih banyak yang harus kita lakukan, yang lebih penting
daripada sekedar.memikirkan siapa kita. Kemarin, sekarang, esok, lusa, kita
tetap menyimpan kesalahan yang tak pernah kita kehendaki itu. Apakah bila fisik
kita berubah maka masalah akan selesai? Tidak, Mei. Akan selalu timbul masalah
baru. Lalu kita akan kehilangan waktu karena kita hanya sibuk dengan diri kita
sendiri."
Ada sesuatu yang
hangat mengalir masuk ke dalam hatiku. Tak ada yang salah dalam ucapan panjang
Sam. Dan semuanya makin terasa hangat ketika mereka menerimaku dengan tangan
terbuka. Membimbingku untuk menemukan jalanku sendiri.
Lalu aku merasa
bebas. Jiwaku lepas dari semua kungkungan tak berguna itu. Sam tertawa senang
ketika aku bisa berdiri tegak dengan segala keunikanku.
Ketika semua orang
sibuk mencari patron dan pahlawan buat dirinya sendiri, aku sudah menemukannya.
Tidak terlalu jauh dari jangkauan. Tertinggal dalam sebuah lorong waktu yang
jarang diperhitungkan. Hanya Sam. Samantha.
Mungkin buatmu dia
cuma seorang banci salah tubuh. Tapi bagiku dia pahlawan. Dengan perbuatan
kecil yang dilakukannya dengan cinta yang besar. Pada anak-anak tak beruntung
itu. Pada belasan manusia yang 'terpaksa' terlahir dengan kondisi 'salah
kostum'.
Jadi... Kau sudah
bertemu pahlawanmu? Jangan menerawang terlalu jauh. Lihat saja orang-orang di
sekitarmu. Bisa jadi salah seorang terdekatmu adalah pahlawanmu. Yang sudah
memenangkan tiap pertempuran melawan keterbatasan dirinya sendiri. Yang sudah
menyentuh lorong waktu yang tersembunyi dalam hidupmu. Dan membagikan cahaya
bening hatinya untuk orang-orang tak sempurna seperti kita. Seperti kau.
Seperti aku.
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar