* * *
Dua Belas
“Bu, Ibu lupa menjadwalkan pertemuan saya
dengan Pak Roan?”
Teguran halus Luken itu membuat Sandra
seketika mengangkat wajah. Ada keterkejutan yang sangat tergambar di sana. Pelan-pelan, raut wajah itu pun memucat.
“Aduh! Maafkan saya, Pak,” jawabnya dengan
nada panik. “Maafkan saya.”
Luken menghela napas panjang. Menggeleng
samar. Minggu kemarin ada dokumen banyak
kesalahan ketik. Ini lagi janji penting tidak dicatat.
“Saya kaget ini tadi, waktu Pak Roan hubungi
saya,” lanjut Luken, masih dengan nada halus. “Dia ingin memundurkan jadwal
pertemuan, jadi nanti agak siang. Seingat saya, belum ada pemberitahuan dari
Ibu kalau hari ini saya harus bertemu dengan Pak Roan. Untung dia menelepon
saya.” Luken menggeleng dan berdecak. “Berarti dokumennya juga belum siap?”
“Sekali lagi saya minta maaf, Pak,” Sandra
berdiri, sedikit tertunduk. “Tapi soal dokumen, hari Jumat lalu sudah disiapkan
Mbak Livi.”
“Oh... Ya, sudah, Bu. Tolong, disiapkan
sekarang. Biar bisa saya cek dulu.”
Sandra mengangguk dan segera meloncat ke depan
lemari arsip untuk menemukan dokumen yang diperlukan Luken. Laki-laki itu
meninggalkannya. Masuk kembali ke ruang kerjanya.
Fokus!
Fokus! Fokus! Sandra mengucapkan kata itu berkali-kali
dalam hati.
Beberapa saat kemudian ia menemukan bundel
dokumen yang dicarinya. Semuanya lengkap, sudah disatukan secara khusus dalam sebuah
map oleh Livi.
Ia beranjak dan menyerahkan map berisi berkas
itu kepada Luken, disertai sekian seri lagi permintaan maaf. Kalau biasanya
Luken percaya saja isi map, kali ini laki-laki itu meluangkan sedikit lagi
waktu untuk menelitinya. Sandra duduk menunggu di seberang meja. Beberapa menit
kemudian Luken menutup map dan mengangkat wajahnya.
“Bu, Ibu butuh berlibur?”
Entah kenapa Sandra merasa tertohok tepat di
ulu hati. Padahal Luken mengucapkan pertanyaan itu dengan cara sangat halus dan
suara sangat lembut. Ia pun menggeleng.
“Enggak, Pak. Belum perlu,” jawabnya lirih.
Tertunduk.
Didengarnya helaan napas Luken.
“Bu Sandra nggak biasanya, lho, kayak gini,”
gumam Luken. “Bahkan dilihat secara objektif, level Ibu masih tetap di atas Livi. Kelihatannya
memang cuma kesalahan-kesalahan sepele, tapi bisa fatal.” Luken menggeleng
samar.
Sandra tertunduk makin dalam.
“Apa perlu Livi saya tarik kembali lagi saja
ke sini?” Luken menatap Sandra. Lurus-lurus.
“Jangan, Pak,” Sandra buru-buru menyergah.
Mengangkat sedikit wajahnya. “Nanti Pak James marah. Saya janji, Pak, saya akan
melipatgandakan ketelitian saya. Sekali lagi saya mohon maaf, Pak. Nggak akan terulang
lagi.”
“Saya pegang janji Ibu.” Luken mengangguk
sedikit. Dan, ia pun menyudahi pertemuan empat mata itu.
Keluar dari ruang kerja Luken, Sandra
menghenyakkan diri di kursi. Menyesali keteledorannya. Diakui atau tidak, sejak
minggu lalu, sejak mendengar kabar James hendak pergi berlibur bersama Minarti,
pikirannya jadi sedikit kacau. Padahal...
Aku
ini kenapa, sih?
Sandra menggeleng.
Bukankah
sudah tak ada apa-apa lagi di antara aku dan Pak James?
Sandra mengerjapkan mata. Dihelanya napas
panjang. Berkali-kali. Sekadar mengusir rasa sesak yang bersemayam dalam dada.
Setelah terasa lebih lega, ia pun kembali kepada pekerjaannya.
Kali
ini nggak boleh ada kesalahan lagi!
Dengan berusaha berkonsentrasi penuh, Sandra
menatap layar laptopnya.
Tapi...
Gini hari, Pak James dan Bu Min lagi ngapain, ya, di Malang? Sudah hari keempat
sejak mereka berangkat.
Sandra terhenyak lagi.
Aaah!
Ngaco! Fokus! Fokus! Fokus!
* * *
James baru saja satu gigitan menikmati
sarapan berupa roti panggang dan telur rebus, ketika ponselnya berbunyi nyaring
dalam keheningan kamar. Diraihnya benda itu. Sejenak ia mengerutkan kening. Luken?
“Ya, Luk? Selamat pagi...”
“Selamat
pagi, Om. Maaf, aku mengganggu.”
“Ada apa?”
“Mm...
Apakah Livi memang harus ngantor di kedai?”
“Lho, kan, kita sudah sepakat soal itu.”
James mengerutkan kening.
“Maksudku,
di kedai, kan, sudah ada Angie. Dia bisalah mengawasi operasional kedai. Baru
kalau ada apa-apa, diselesaikan oleh Livi. Dan, seandainya Livi baru ngantor di
kedai setelah kerjaannya di sini selesai, gimana?”
“Kamu, kan, punya dua sekretaris, Luk,” ucap
James, sabar. “Lagipula aku sudah berpesan pada Livi agar tetap mengerjakan
pekerjaan darimu walaupun dia ngantor di kedai. Kerjaan di kedai nggak terlalu
banyak, kok. Tapi memang Livi harus stay di
sana. Waktu Livi cuti saat Pak Prima sakit tempo hari, sekretarismu yang satu
lagi juga bisa menangani pekerjaannya, kan? Sekarang apa masalahnya?”
Hening sejenak, sebelum Luken menceritakan
peristiwa yang baru saja dialaminya.
“Om,
aku pikir..., dia kepikiran Om dan Bu Min,” Luken mengakhiri
penuturannya.
James pun menghela napas panjang. Mendadak ia
teringat usikan Minarti soal Sandra saat keduanya makan di Malioboro tiga malam
lalu.
“Sudah
mulai memikirkan cara untuk kembali pada Bu Sandra?”
“Mau
dia disambar orang lain untuk kedua kalinya?”
James menggeleng samar.
“Begini saja, Luk,” putusnya kemudian, “coba
kamu bicarakan saja masalah ini dengan Livi. Pokoknya, aku mau kedai tetap
lancar operasionalnya. Dan, itu tanggung jawab Livi, dengan dibantu Angie. Soal
sehari-harinya dia ada di mana, di kantormu atau di kedai, sudahlah terserah
kalian. Aku juga tetap ingin Coffee Storage tak ada hambatan internal.”
“Baik,
Om. Nanti coba aku kondisikan dengan Livi. Ngomong-ngomong, Om lagi di mana
ini?”
“Bu Min dan aku masih di Madiun. Tanpa
sengaja, penginapan kami persis ada di seberang rumah lama Bu Min. Baru menjelang
siang ini nanti Bu Min mau bertemu keluarganya. Adik tirinya.”
“Semoga
clear semua masalah Bu Min, ya, Om.”
“Amin....”
Keduanya pun mengakhiri pembicaraan itu.
* * *
Minarti sudah selesai mandi sejak pukul enam
tadi. Tapi hingga hampir pukul sembilan, ia masih mendekam di kamar. Bahkan,
meminta sarapannya diantar saja ke kamar. Ia benar-benar butuh waktu sendiri.
Sebelum melintasi masa untuk kembali menyambung kembali benang merah ke masa
lalu.
James seutuhnya memaklumi. Keduanya sudah
membicarakan hal ini semalam. Bahwa ia perlu mempersiapkan diri untuk bertemu
dengan Daris. Apa pun hasilnya, ia harus siap. Bukankah ia sudah pernah
melewati hal yang jauh lebih buruk?
Ia menatap ke depan. Pada cermin yang
memantulkan wajahnya. Terlihat kuyu dan tak secerah biasanya. Dihelanya napas panjang.
Matanya mengerjap.
Sebenarnya
apa lagi yang harus kucari dan kudapatkan? Bukankah apa yang kumiliki sekarang
sudah lebih dari cukup?
Ia pun sudah tenang dengan hidupnya.
Menjalani apa yang masih bisa dijalani. Menikmati apa yang masih bisa
dinikmati. Tak khawatir lagi soal keuangan. Tinggal di tempat yang sangat
nyaman. Sebentar lagi akan memiliki cucu.
Apalagi,
coba?
Tapi ternyata benang merah itu masih cukup
penting. Setidaknya ia masih bisa meniti jembatan tipis untuk sejenak mengingat
masa lalu. Tak cuma kepahitannya, tapi juga rasa manis yang masih tercecap
sedikit.
Tiba-tiba saja, ia merindukan semua itu.
Sangat. Terutama pada kekasih hati yang jasadnya ia tinggalkan sendirian di
pemakaman. Tak pernah ia tengok lagi. Juga makam ayahnya dan ibunya.
Juga
makam Mama Erna...
Maka, ia pun beranjak.
* * *
Seusai James menelan kunyahan terakhir
sarapannya, pintu kamarnya diketuk dari luar. Ia segera beranjak dan menemukan
Minarti berdiri di depannya. Wajah perempuan itu terlihat ragu-ragu.
“Seandainya... Daris tak mau lagi mengenalku,
aku harus bagaimana, James?” bisik Minarti, dengan mata mengaca.
James segera menariknya masuk dan menutup
pintu. Dibimbingnya perempuan itu, duduk di sofa tunggal yang ada di dekat
jendela. Ia sendiri menarik sebuah ottoman dan duduk di atasnya.
“Min...,” ujarnya lembut, “kalau adikmu tak
ingin berbagi apa-apa denganmu, bahkan tak lagi mau mengenalmu, kamu masih
punya keluarga di Jakarta. Kamu punya banyak sahabat di sana. Itu artinya
memang di sanalah rumahmu. Bukan di sini lagi. Tapi yang lebih penting dari
itu, di sini ada makam ayahmu, ibumu, kekasihmu. Jenguklah barang sekejap. Aku
yakin selama ini mereka tahu kamu baik-baik saja. Kirimkan saja doa dan taburan
bunga, sebagai tanda bahwa kamu masih mengingat mereka.”
Pelan, Minarti menghapus butiran air mana
yang menggelinding di pipi. Ditatapnya James dari balik tirai air mata yang
masih menggenang. Ia mengangguk.
“Terima kasih, James,” bisiknya. “Terima
kasih banyak.”
James mengangguk dan mengulas senyum.
“Sekarang aku benar-benar siap untuk ke sana.”
James menepuk lembut bahunya. “Sudah sarapan?”
Minarti mengangguk.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi.