Sebelumnya
* * *
“Sudah mulai memikirkan cara untuk kembali pada Bu Sandra?”
Bisikan Minarti itu membuat James menoleh seketika.
Keduanya tengah menikmati gudeg lesehan di ruas jalan Malioboro. Duduk bersisian di sudut sebuah warung. Malam yang kian menuju akhir tidak pernah membuat kota itu tidur. Apalagi pada akhir pekan seperti ini. Justru makin menggeliat dan aktif.
Ditatapnya perempuan itu. Terlihat serius. Tak ada sedikit pun aura menggoda atau bercanda dalam mata Minarti. Melihat ekspresi Minarti, pelan James menggeleng.
“Hah... Gimana, sih?” Minarti menurunkan bahunya. Terlihat sedikit kesal.
“Aku niat mau liburan, bukan mikirin Sandra,” gerutu James kemudian.
Kali ini, cahaya canda berloncatan keluar dari kedua mata Minarti.
“Mau dia disambar orang lain untuk kedua kalinya?” ledeknya.
Tapi aura jenaka yang ditebarkan Minarti justru membuat James bergeming. Seketika Minarti menyadari, bahwa sepertinya suasananya sedang tidak pas saat ini.
“Maaf,” gumamnya, dengan suara sedikit segan. “Aku kebablasan.”
“Tenang saja...,” James justru tersenyum. “Aku sudah kebal hal begituan.”
Hening sejenak.
“Memangnya, sudah ada tanda-tanda ada yang bakal ngembat dia?” celetuk James kemudian, dengan suara rendah.
“Nggak tahu juga, sih,” Minarti mengedikkan bahu. “Memangnya Angie nggak pernah cerita soal ibunya?”
James menggeleng. Minarti mengerucutkan bibir. Tampaknya, untuk sementara ia harus berhenti sampai di sini. Berhenti sejenak untuk mencoba lagi besok-besok. Menunggu saat yang benar-benar tepat.
“Kita besok masih semalam lagi di sini,” James kembali menoleh sekilas ke arah Minarti. “Mau jalan ke mana?”
“Lha, aku, kan, cuma follower-mu, James,” Minarti tergelak ringan. “Sukur-sukur ada yang mengajakku piknik seperti ini.”
James tersenyum lebar. Tapi sedetik kemudian ia kembali terlihat serius.
“Apakah kamu memang selalu membiarkan hidupmu mengalir begitu saja, Min?” tanyanya halus. Nyaris tak terdengar. “Seperti sekarang?”
Minarti tercenung sejenak sebelum menjawab.
“Sudah lewat waktuku untuk menggantung harapan ataupun mimpi, James,” jawabnya, dengan tatapan setengah menerawang. “Aku sudah mengalami banyak kehilangan. Mungkin sudah terlalu banyak. Kalau seperti itu yang kamu alami, masih bagus kamu mau tetap melanjutkan hidup. Jadi, ya... Kubiarkan saja semuanya mengalir. Berusaha menikmatinya. Apa pun yang kualami.”
“Kenapa tidak kembali ke Madiun?”
Mata Minarti mengerjap. Sekilas tatapannya terlihat pahit.
“Karena di sanalah tertinggal semua kehilangan itu,” gumamnya, nyaris tak terdengar. “Yang rasanya begitu pahit, sampai aku tak ingin mencecapnya lagi.”
“Sebetulnya... ada apa, Min?” James menatap Minarti. “Kalau boleh aku tahu.”
Sejenak Minarti menghela napas panjang.
“Kamu tahu hubungan kekerabatan seperti apa yang ada di antara ayah Livi dan aku?” sekilas, ditolehnya James.
“Ya, kamu pernah bercerita sedikit. Ayah Navita adalah abang Pak Prima.”
“Betul,” Minarti mengangguk.
Hening sejenak sebelum Minarti melanjutkan penuturannya. Tampaknya, perempuan itu memang perlu sedikit jeda untuk mengumpulkan keberaniannya.
“Aku bukan perempuan nakal, James,” gumamnya kemudian. “Satu-satunya laki-laki yang pernah mengisi hatiku cuma Mas Drastya, ayah Navita. Kami sudah merencanakan pernikahan. Sudah ada lamaran resmi, sudah mulai memikirkan segala detail acara pernikahan yang kami inginkan... Betul-betul suasana yang membuat kami dilanda euforia. Hingga... kami kebablasan. Hanya satu kali melakukannya.
“Sekitar dua minggu sebelum acara pernikahan kami digelar, aku mendapati bahwa diriku hamil. Perlu waktu beberapa hari untuk menenangkan hati. Ketika kusampaikan hal itu kepada Mas Drastya, dia senangnya bukan kepalang. Bahkan langsung menyebutkan sebuah nama, yang kini menjadi nama Navita.
“Sayangnya....” Air mata menggenang di kedua mata Minarti. Membuatnya harus mengerjap beberapa kali supaya butiran bening itu tidak menggelincir ke pipinya. “Dia kecelakaan ketika pulang dari rumahku. Beberapa belas menit setelah ia memberi nama calon anaknya. Dia meninggal di tempat. Hanya sepuluh hari sebelum acara pernikahan kami. Aku... “
“Sudah...,” ujar James lembut. “Tak perlu dilanjutkan kalau itu hanya membuat hatimu sakit.”
Tapi Minarti menggeleng. Sudah kepalang tanggung.
“Lantas aku lari ke Jakarta. Membawa semua perhiasan peningset yang sudah diberikan keluarga Mas Drastya kepadaku. Juga seluruh tabunganku. Tapi Jakarta ganas, James,” Minarti tersenyum pahit. “Sedikit demi sedikit apa yang kupunya menguap. Ludes terpakai untuk bertahan hidup.
“Sampai akhirnya ada yang menolongku. Istri seorang diplomat. Aku ditampung di rumahnya, jadi ART. Sewaktu ia harus ikut suaminya bertugas lagi di luar negeri, otomatis aku berhenti. Dia membelikanku rumah kecil di salah satu sudut Jakarta. Memberiku modal untuk berdagang nasi uduk. Di situlah aku bertahan dan membesarkan Navita. Dan..., aku... sudah lupa bagaimana kehidupanku di Madiun,” Minarti mengedikkan bahunya.
James terdiam. Ia sudah tahu sedikit soal Minarti. Perempuan itu sendiri yang sekilas pernah bercerita kepadanya. Tapi betul-betul hanya sekilas. Belum pernah sedalam ini.
“Maafkan aku, Min,” ucapnya kemudian. Setulus-tulusnya. “Seharusnya aku tak mengorek sedemikian rupa masa lalu yang sangat menyakitkan itu. Maafkan aku....”
“Tak apa-apa, James.” Minarti mencoba untuk tersenyum. “Tahu, tidak? Rasanya lega sekali bisa membagikan kepahitan ini kepada seseorang. Toh, kehidupanku sekarang sudah membaik. Navita sudah naik kelas, kami betemu lagi dengan kerabat dekat ayah Navita, dan aku bisa lebih menikmati hidup. Apa lagi yang boleh kuminta?”
James tercenung sejenak. Benar-benar tak pernah mengira kehidupan seorang Minarti bisa sedemikian berliku.
“Mm... Ngomong-ngomong, sekolahmu sampai apa?” James berusaha mencairkan suasana.
“Aku sarjana pendidikan Bahasa Inggris.” Suara Minarti terdengar jauh lebih ringan saat memberikan jawaban itu. “Tapi tanpa ijazah yang semuanya tertinggal di Madiun, aku bisa apa di Jakarta?” Disambungnya dengan tawa kecil.
James mengerjapkan mata. Benar-benar seorang perempuan yang sudah berdamai dengan keadaan dan dirinya sendiri.
“Jadi, kita mampir ke Madiun sebelum ke Malang?” James tetap ingin mengusik Minarti tentang hal itu.
Seketika, Minarti tercenung.
* * *
Jadi... Sebetulnya dia belum pernah menikah?
Mata James nyalang menatap langit-langit kamar hotel.
Ah, kenapa juga aku mengurusi hal itu?
Ada penyesalan yang pelan-pelan datang dan menyelinap dalam dada.
Aku sudah membuat Minarti menguak kembali luka lama itu. Tentu sakit sekali baginya saat harus menuturkan lagi hal itu.
Dihelanya napas panjang. Satu hal yang ia harap betul. Semoga Minarti tak apa-apa dan bisa terus melanjutkan hidup. Ia sudah cukup merasa lega ketika pada akhirnya Minarti menanggapi tawarannya untuk singgah ke Madiun dengan sebuah anggukan. Gerakan yang terlihat ragu-ragu. Tapi dengan jelas James melihat ada segunung harapan tergambar dalam mata Minarti.
Pelan, ia mengatupkan mata. Berusaha mengumpulkan lagi kesegaran dan mengembalikan tenaga, agar esok hari perjalanannya dan Minarti berlangsung dengan lancar.
* * *
Hingga menjelang pagi, Minarti berbaring diam di ranjangnya dalam kamar hotel. Sendirian. James ada di kamar sebelah. Mungkin sudah lama terlelap.
Pulang ke Madiun...
Minarti menggulingkan tubuhnya.
Apakah Daris masih mengenaliku? Apakah Daris masih MAU mengenalku?
Minarti mendegut ludah.
Daris adalah adik tirinya. Anak bawaan dari perempuan yang dinikahi ayahnya saat ia berusia sepuluh tahun. Daris enam tahun lebih muda daripadanya. Ia tak punya adik, Daris tak punya kakak. Mereka adalah pasangan kakak-adik tiri yang klop. Saling menyayangi. Erna, ibu tirinya, juga baik walaupun agak keras mendidiknya. Tapi tak ada perlakuan yang berbeda terhadap ia dan Daris.
Ketika ia hampir lulus SMA, ayahnya mulai sakit-sakitan. Meninggal dunia saat ia kuliah semester tiga. Saat itulah Erna mulai mengambil alih pengendalian usaha otobus yang dibangun ayah Minarti. Hanya membantu mengelola sampai Minarti benar-benar siap.
“Mama tidak mau mengambil alih warisan papamu, Min,” begitu ucapan Erna. ”Mama lebih senang kalau kamu secepatnya menyiapkan diri untuk mengendalikan perusahaan ini.”
Sayangnya, minatnya tidak di sana. Ia lebih senang mengajar. Menjadi guru. Dan, ayahnya tahu betul keinginannya. Makanya ia dibiarkan untuk kuliah di IKIP Malang, jurusan pendidikan Bahasa Inggris.
Ia juga tidak menutup mata terhadap minat Daris. Dari kecil, Daris hobi mengoleksi aneka miniatur bus. Juga senang nimbrung dalam semua kegiatan Barto, ayah Minarti, dalam mengendalikan perusahaan otobus mereka. Dan, Minarti sama sekali tak keberatan bila suatu saat harus membagi dua sama rata hak atas waris perusahaan otobus itu dengan Daris, dan membiarkan Daris mengelola sepenuhnya warisan itu. Sayangnya, alur kehidupan membawanya terpaksa menjauh. Meninggalkan di belakang apa yang seharusnya ia miliki.
Ia bukannya tak pernah menyambung kembali kontak itu. Dilakukannya beberapa bulan setelah ia berada di Jakarta. Jujur, ia menceritakan kondisinya yang tengah berbadan dua kepada Erna. Alih-alih menyuruhnya pulang tanpa syarat, Erna justru kalap dan memberinya dua pilihan. Pulang dalam kondisi kandungan sudah digugurkan, atau tidak pulang selamanya bila ia bersikeras mempertahankan anak Drastya. Aib tiada tara bagi keluarga mereka yang cukup terpandang.
Tanpa pikir panjang, tentu saja ia menjatuhkan telunjuknya pada pilihan kedua. Ia merasa sudah cukup berdosa melakukan hubungan intim di luar nikah, walaupun dengan calon suaminya sendiri. Ia juga tahu bahwa seutuhnya Drastya juga menyambut hangat kehadiran calon bayi mereka, walaupun agak terlalu cepat. Ia masih sangat mencintai Drastya. Satu-satunya kenangan abadi dari Drastya adalah janin itu. Ia benar-benar tak mau memilih hal lain. Menggugurkan kandungan? Benar-benar tak ada frasa itu dalam kamus kehidupannya.
Meninggalnya Erna beberapa tahun lalu karena faktor usia diketahuinya dari berita koran. Pun nasib PO. Barto Utama yang pada akhirnya benar-benar jatuh ke tangan Daris. Dari kejauhan ia bisa membaca bahwa Daris memang orang yang tepat untuk membawa PO. Barto Utama kembali jaya. Dan, ia ikhlas. Seikhlas-ikhlasnya.
Lorong masa lalu yang dijelajahinya membuat Minarti menguap. Secepatnya menyeretnya ke alam lelap. Gelapnya dini hari sudah hampir terkuak sinar mentari. Tapi saat berpisah di depan pintu kamar yang berdampingan beberapa puluh menit lalu, James sudah mengingatkan.
“Kita ini lagi liburan, Min. Lupakan soal bangun pagi segala macam. Matikan alarm. Bangunlah sesukamu. Tapi jangan lupa hubungi aku kalau kamu sudah bangun.”
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.