Sebelumnya
* * *
Tujuh Belas
Acara serah terima jabatan yang dilakukan di aula Royal Interinusa Cikarang pada suatu hari Jumat itu akhirnya selesai juga. Andries menjabat tangan Maxi erat-erat, diiringi tepuk tangan dari jajaran petinggi Royal Interinusa Cikarang dan perwakilan dari Royal Interinusa Karawang.
“Titip tanggung jawab, ya, Max,” ucapnya lirih.
Maxi mengangguk. Mendadak saja tenggorokannya tercekat oleh keharuan.
Selama masa persiapan pergantian pemimpin Royal Interinusa Cikarang dan Karawang, ia sudah mirip bayangan Andries. Ikut ke mana pun Andries pergi untuk memenuhi tanggung jawab sebagai pimpinan dua buah pabrik sekaligus. Berada di pabrik Cikarang secara penuh pada hari Rabu dan Jumat. Berada di pabrik Karawang secara penuh juga pada hari Selasa dan Kamis. Pada hari Senin, biasanya Andries membagi dua waktunya sama banyak. Pagi di Cikarang, dan meluncur ke Karawang pada jam makan siang agar bisa sampai di Karawang pada saat jam kerja kembali dimulai. Membuatnya harus menikmati katering makan siang dalam perjalanan.
Maxi belajar dengan cepat. Membuat Andries salut kepada calon adik iparnya itu.
“Aku yakin, seyakin-yakinnya, bahwa Royal Interinusa akan kamu bawa makin maju.”
Begitu ucap Andries pada suatu ketika. Pada saat yang sama, Maxi makin menyadari bahwa tanggung jawabnya besar sekali.
Sebesar ini pula tanggung jawab yang harus dipenuhi Bang Andries, sementara kondisi kesehatannya seperti itu, pikir Maxi. Sedih sekaligus prihatin.
Detik itu pula, ia membulatkan tekad untuk tidak akan mengecewakan keluarga Undap, terutama Andries dan Harvey, yang sudah meletakkan kepercayaan itu dengan penuh pada dirinya.
Ia sudah pula bicara dari hati ke hati dengan dua pimpinan tertinggi pabrik Royal Interinusa di bawah Andries. Sejauh ini penerimaan mereka cukup baik. Juga jajaran staf yang ada di bawahnya lagi. Ia memang ‘naik’ terlalu cepat. Tapi kondisi itu bisa dimaklumi karena status Maxi memang sudah hampir pasti akan menjadi anggota keluarga Harvey Undap. Dan, Royal Interinusa hingga saat ini masihlah menjadi milik dan berada di bawah kendali keluarga Harvey Undap seutuhnya.
* * *
“Kamu pindah ke sini saja, Max,” ucap Andries keesokan harinya, saat Maxi membantu Andries mengepak sisa barang-barang di apartemen. “Daripada kusewakan ke orang lain.”
“Tanggung, Bang.” Maxi menggeleng. “Nanti harus pindahan lagi kalau sudah dapat rumah.”
“Memangnya kamu sudah siap beneran jadi baby sitter si anak manja itu?” Andries sengaja mengeraskan suaranya agar didengar Pingkan yang berada tak jauh dari keduanya.
Maxi tergelak, sementara Pingkan menoleh sekilas sambil mengerucutkan bibir. Andries tersenyum lebar. Maxi memilih untuk tak menjawabnya. Yang penting, ia dan Pingkan sudah tahu betul jawabannya.
“Sudah dapat rumah?” Andries pindah duduk di sofa.
“Belum.” Maxi menoleh sekilas. Tangannya masih sibuk menyegel sebuah kardus besar berisi buku-buku Andries. “Belum ada yang sesuai dengan selera Tuan Putri.” Maxi menyambung ucapannya dengan tawa.
“Getok aja kepalanya kalau dia kebanyakan mau.” Andries terkekeh.
“Bully teruuusss...,” gerutu Pingkan.
Andries dan Maxi kembali tergelak.
Pekerjaan mereka selesai juga menjelang siang, nyaris bertepatan dengan kedatangan Nicholas dan keluarga kecilnya, bersama Donner dan Tisha. Pada akhir pekan sebelum-sebelumnya, Andries memang sudah sedikit demi sedikit mencicil mengepak barang-barangnya. Bahkan sebagian besar saat ini sudah berada di rumah Jakarta.
Tiga buah mobil cukup untuk mengangkut sisa barang Andries. Laki-laki itu menatap sejenak apartemennya yang sudah kosong, hanya menyisakan perabot standar yang tak perlu dibawa ke Jakarta. Pelan-pelan ia kemudian menutup pintu dan menguncinya. Bagaimanapun, sebagian waktunya selama beberapa tahun belakangan ini dilaluinya di tempat itu.
“Mampir makan dulu, ya,” celetuk Nicholas. “Aku lapar.”
Semua setuju. Berurutan mereka meninggalkan area parkir apartemen. Mobil Nicholas memimpin di depan, diikuti mobil Andries yang dikemudikan Donner. Terakhir adalah mobil Maxi yang berisi ia sendiri, Pingkan, dan Andries. Nicholas membelokkan mobilnya ke mal terdekat.
“Sesekali nggak makan menu katering, ya, Dries,” Pingkan nyengir.
Andries tertawa.
* * *
Sorenya, sesuai pesan ibunya, Maxi meminta izin kepada Harvey dan Sonia untuk sejenak membawa Pingkan ke rumahnya. Tentu saja izin itu didapatnya dengan mudah. Bahkan Sonia membekali Pingkan sekantung besar aneka makanan yang baru siangnya datang, dikirim dari Minahasa.
Hanya ada Arlena dan Prima di rumah saat Maxi dan Pingkan datang. Mela sudah pergi, keluar untuk menikmati malam Minggu bersama Luzar. Maxi meninggalkan sejenak Pingkan bersama kedua orang tuanya, sementara ia mandi.
Pingkan sudah tak lagi canggung berada di rumah itu. Arlena dan Prima sudah seperti orang tuanya sendiri. Sejenak kemudian ia sudah larut dalam obrolan yang menyenangkan bersama Arlena dan Prima.
“Sama Andries, Maxi disuruh tempatin apartemennya, Ma, tapi Maxi nggak mau,” lapor Pingkan dengan nada mengadu.
Arlena terkekeh mendengarnya. Begitu juga Prima.
“Tapi bener juga, sih,” Pingkan kemudian meralat aduannya sendiri. “Nanti kalau sudah dapat rumah, repot pindah-pindah lagi.”
“Memangnya sudah ada, Ke?” Arlena meringis. “Sudah dapat?”
Pingkan menggeleng.
Hingga detik ini, ia dan Maxi belum juga menemukan rumah yang tepat. Itu karena ia selalu membandingkan rumah yang mereka temukan sedang dijual dengan rumah pojok di seberang indekos Maxi. Apalagi beberapa waktu lalu saat mampir ke indekos Maxi dari apartemen Andries, ia melihat bahwa renovasi rumah pojok yang ia idamkan itu sudah selesai. Rumah itu sudah dicat ulang dari putih menjadi cokelat susu muda dengan kombinasi warna lain yang senada dan serasi. Taman di depannya juga sudah dibenahi menjadi lebih asri. Membuatnya makin ngiler. Tapi ia juga menyadari bahwa Maxi sabar sekali mengikuti kemauannya. Karenanya, sering timbul perasaan tak enak di dalam hatinya. Segan terhadap kesabaran Maxi.
“Cari rumah juga nggak bisa diburu-buru,” celetuk Prima. “Kayak cari jodoh, harus pas di hati. Biar nyaman tinggal di dalamnya. Dulu kita dapat rumah ini juga lama carinya, ya, Ma?” Prima menatap Arlena.
“Iya juga, sih....” Arlena mengangguk.
“Kalau pulang kerja masih agak terang, aku sering puterin cluster untuk cari rumah yang kira-kira cocok sama selera Keke,” sahut Maxi yang tiba-tiba muncul. Terlihat sudah segar kembali. “Tapi belum dapat. Di cluster-cluster lain juga. Entah di kompleks lain, aku belum sempat lihat-lihat.”
Prima kembali menatap Arlena. “Sudah, kasih saja kuncinya.”
Arlena mengangguk sambil beranjak. Sejenak kemudian ia sudah kembali dengan membawa sebuah map plastik yang cukup tebal. Sambil duduk kembali di samping Prima, Arlena menyodorkan map itu kepada Maxi dan Pingkan. Maxi menerimanya.
“Apa ini?” Maxi mengerutkan kening.
“Buka saja,” senyum Prima.
Dengan kening masih berkerut, Maxi membuka map itu. Ada sertifikat di dalamnya. Juga serenceng kunci. Dan, selembar foto berukuran besar. Maxi langsung mengenalinya. Rumah pojok di seberang indekosnya.
“Ini....” Maxi mengangkat wajahnya.
“Hadiah dari Papa buat kalian.” Senyum Arlena merekah.
“Dari Mama dan Papa,” ralat Prima segera. “Yang beli memang Papa, tapi yang merenovasinya Mama. Tukar guling sama rumah yang di Serpong.”
Seketika Maxi dan Pingkan saling menatap. Tak percaya dengan apa yang baru saja mereka terima. Pingkan sampai menimang foto yang disodorkan oleh Maxi kepadanya.
“Nanti kalian isi sendiri perabotannya, ya?” timpal Arlena. Masih dengan senyum tersungging di bibirnya. “Sementara ini sertifikatnya masih atas nama Papa. Nanti kalau kalian sudah menikah, bisa dibalik nama.”
“Ma, Pa, ini... beneran?” Pingkan berbisik.
“Masa main-main?” Prima tertawa.
Seketika tangan Pingkan meremas lengan Maxi. Makin lama makin kencang.
“Aduh! Sakit, Yang!” Maxi protes.
Pingkan meringis sambil melepaskan cengkeraman tangannya.
“Berarti nggak mimpi kita, Max,” bisiknya.
“Astaga....” Maxi menepuk keningnya.
Sementara itu, Pingkan sudah ‘terbang’ untuk memeluk Arlena. Mengucapkan terima kasih berkali-kali dengan airmata mulai terurai. Haru bercampur bahagia.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)