Sebelumnya
* * *
Malam sudah menjelang larut. Di luar sana, hujan bagai tercurah dari langit. Pingkan berbaring di ranjangnya. Mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Berlian pada cincin yang tersisip pada jari manisnya tampak begitu gemerlap membiaskan aneka warna cahaya lampu.
Bukan! Ini bukan mimpi!
Pingkan mencubit lengan kirinya sendiri. Terasa sakit.
Maxi ... Maximilian Magenta ....
Sejujurnya, ia masih juga merasa takut bahwa semua kebahagiaan ini hanyalah mimpi semu yang akan segera berakhir begitu ia membuka mata kembali. Tapi sepertinya tidak. Kehidupannya senyata hujan yang tertumpah dari langit di luar sana.
Hujan ....
Tiba-tiba saja ia merasa rindu pada hujan. Rindu pada sapaan sejuk titik-titik hujan yang mengelus sekujur kulitnya. Dan, irama rinai hujan di luar sana seolah memanggilnya.
Tanpa bisa dikendalikan lagi, impuls itu membawa Pingkan bangkit dari ranjang dan keluar dari kamar. Ketika melintasi ruang tengah, didapatinya kedua orang tuanya masih duduk berdampingan di sofa, menikmati tayangan televisi. Dengan jelas dilihatnya tangan kiri sang ayah melingkar di sekeliling bahu ibunya. Pun, kepala ibunya menyandar dengan nyaman pada bahu kukuh ayahnya. Pingkan menggeleng samar.
“Mesra amat,” gumamnya.
Seketika dua kepala menoleh ke arahnya. Pingkan Tersenyum lebar. Ia kemudian meninggalkan keduanya. Menghampiri pintu geser kaca yang memisahkan ruang tengah dengan teras samping.
“Mau ke mana, Ke?”
Sejenak, suara Harvey membuat Pingkan menghentikan langkahnya. Gadis itu menoleh. Masih tetap tersenyum lebar.
“Mau hujan-hujanan,” jawabnya dengan nada santai.
“Malam-malam begini?” Sonia mengerutkan kening.
Pingkan tak menjawab. Ia meneruskan langkahnya sembari kembali menutup pintu. Di teras, ia berdiri tegak. Menatap jutaan butir hujan yang berkilatan memantulkan cahaya lampu taman. Lalu, seolah hujan itu memanggilnya.
Dengan sedikit ragu, ia melangkah menjauhi teras. Masuk ke taman. Dilepaskannya sandal yang mengalasi kakinya. Dibiarkannya rerumputan basah menggelitik telapak kakinya. Satu demi satu tetes hujan menyapanya. Membasahi sekujur tubuhnya dengan kesejukan dan rasa dingin yang menenteramkan hati.
Sejenak ia tertegun. Kebenciannya terhadap hujan sudah menguap entah ke mana. Rasa cinta pada sekeranjang hujan yang tercurah dari langit itu sudah kembali. Ia tertawa sekaligus menangis dalam belaian rinai hujan. Membiarkan butir-butir basah itu membasahi pula hatinya. Membasuh setiap luka dan membilasnya hingga bersih kembali.
* * *
Maxi duduk diam di teras depan. Menatap sebuah mobil yang menggantikan posisi mobil Livi yang biasanya parkir di carport, sebelum Livi menikah. Dihelanya napas panjang. Ingatannya berputar pada kejadian menjelang sore tadi, saat ia kembali dari segala kemeriahan yang berhubungan dengan wisuda.
Acara wisudanya akhirnya usai. Pun segala macam seremonialnya. Yang membuat momen itu berkesan adalah ia bisa diwisuda bersama dengan Pingkan. Gadis itu dengan senang hati memperlambat pendaftaran wisudanya, supaya bisa berbarengan dengan sang kekasih. Lebih dari itu, ia pun suda berhasil ‘melamar’ Pingkan di hadapan kedua keluarga mereka.
“Ada tamu,” gumam Prima yang mengemudikan mobil, sepulangnya mereka dari Kedai Kopi Om James.
Dari balik kaca jendela belakang, Maxi melongokkan kepalanya. Ada sebuah mobil HRV berwarna steel metallic terparkir di carport. Tapi pintu depan tertutup rapat. Muntik yang muncul dari garasi bergegas membuka pintu garasi dan pintu pagar lebar-lebar. Prima menurunkan kaca jendela.
“Ada tamu?” tanyanya.
“Tadi, Pak. Cuma antar itu.” Muntik menunjuk mobil yang terparkir rapi di carport, di bawah naungan atap fiber. “Dari Royal, katanya. Punya Mas Maxi.”
Seketika Maxi ternganga. Mobil itu bahkan masih berplat putih. Plat sementara. Ia terhenyak.
Baru saja ia shock ketika mampir ke ATM di kompleks ruko dekat Kedai Kopi Om James. Ibunya bermaksud mengambil uang tunai. Sekalian ia juga karena uang di dalam dompetnya sudah mulai menipis. Tapi ia nyaris lupa bernapas ketika mendapati saldonya bertambah tiga milyar rupiah dari nilai yang diingatnya.
Satu-satunya nama yang terpikir olehnya adalah nama atasannya. Segera ia menelepon Andries. Dan, jawaban Andries adalah, “Wah, aku nggak tahu, Max. Aku nggak mengurus soal keuangan. Coba nanti aku tanya Papa atau Nicholas. Kamu di mana ini?”
“Masih di jalan, Pak,” jawabnya. “Tadi mampir ke ATM, mau ambil uang. Kok, nambahnya banyak banget.”
Jawabannya ia terima tak lama kemudian. Harvey meneleponnya langsung.
“Kamu ingat, kan, Max, mengerjakan desain mesin sekaligus merakitnya sendiri beberapa bulan lalu? Nah, kita hemat banyak sekali. Yang masuk ke rekeningmu itu hanya sebagian dari penghematan kita. Kamu pantas menerimanya. Pantas sekali! Walaupun keberadaanmu di Royin benar-benar tak ternilai dengan uang segitu. Dan, jangan coba-coba menolaknya.”
Maxi terhenyak. Makin terhenyak ketika mendapati sebuah mobil baru sudah menunggunya di carport rumah.
Harvey tertawa lebar ketika ia balik menelepon laki-laki itu. Katanya, “Itu hadiah kelulusanmu, Max. Sekali lagi, jangan coba-coba menolaknya!”
Dihelanya napas panjang. Diberi hadiah sedemikian besar nilainya, siapa yang tidak merasa gembira? Tapi di balik kegembiraan itu, terselip pula rasa tak enak. Tak nyaman. Ia menyadari bahwa mungkin benar ia berhak memperoleh penghargaan itu. Hanya saja kemudian ada perasaan kecil di depan Pingkan, walaupun ia tahu benar bahwa keluarga Pingkan bukanlah keluarga yang kemaruk soal harta dan fasilitas.
Tapi tertap saja ....
Kembali dihelanya napas panjang. Ia kemudian menatap benda yang sedari tadi digenggamnya. Ponselnya. Setelah berpikir sejenak, ia mencoba menghubungi Pingkan. Tapi hingga belasan kali ia menelepon, Pingkan di seberang sana tak menjawabnya.
Ah, barangkali dia kecapekan, pikirnya, mencoba menghibur diri. Pasti sudah tidur.
Ia pun beranjak. Hujan masih setia mencurahkan setiap butirnya dari langit. Menciptakan embusan udara dingin yang membuatnya mendadak menggigil.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)