* * *
Matanya mengerjap ketika ada remang terang yang terasa mulai menembus kelopak yang terkatup. Rasa nyeri itu kembali. Tak sedahsyat yang ia rasakan sebelumnya. Tapi tetap saja mengganggu kenyamanannya. Tanpa bisa menahan, ia mengerang.
“Kamu sudah bangun, Nak?”
Suara yang sedikit parau tapi mengandung kelembutan itu menyapa telinganya. Pelan-pelan, ia membuka mata. Pertama adalah bayang-bayang baur. Lalu semuanya jadi lebih jelas setelah ia mengerjap beberapa kali lagi. Pada detik itu ia ingat peristiwa yang melintas di kepalanya semalam.
Ibu?
“Ibumu sedang mandi,” gumam perempuan tua berambut nyaris gundul itu.
Seketika Kresna tersentak. Di tengah pening yang masih mendera kepalanya, dicobanya untuk fokus menatap perempuan tua itu. Perempuan yang seolah bisa membaca pikirannya.
Mimpi apa ini?
“Ibumu sedang mandi,” ulang perempuan itu. “Dan yang kamu alami ini sama sekali bukan mimpi.”
Kresna nyaris kehilangan kesadaran lagi. Pelan-pelan tatapannya kembali memburam. Ia mengatupkan kelopak matanya, tapi kesadarannya sudah kembali secara utuh.
Di mana ini?
“Kamu berada di Bawono Kinayung.”
Suara sedikit parau itu kembali menembus telinganya. Seketika Kresna membuka mata.
Bawono... apa?
“Bawono Kinayung,” perempuan tua itu tersenyum.
Dan, tatapan Kresna berubah jadi menyiratkan kengerian.
Dia bisa membaca pikiranku!
Ia ingin bangun dan lari sejauh-jauhnya, tapi...
“Aaah...,” ia terpaksa mengerang ketika rasa nyeri terasa menusuk pinggang kirinya. Ia terpaksa mengerang sekali lagi ketika pergelangan kaki kirinya pun terasa sangat sakit.
“Jangan takut,” perempuan tua itu mencoba menenangkannya. “Aku tahu namamu Kresna. Aku Paitun. Panggil saja Nini Paitun.”
Kresna mendegut ludah. Terasa pahit. Dan, tak berani memikirkan apa-apa lagi. Ia hanya mampu menatap Paitun. Sejuta tanya yang bermain memenuhi benak ditekannya. Membuat peningnya terasa makin parah.
“Yang kamu butuhkan sekarang adalah istirahat,” ujar Paitun lagi. “Jangan berpikir macam-macam. Kamu aman di sini. Masih hidup. Utuh jiwa dan raga. Dan... ibumu akan menjagamu.”
Kresna kembali tersentak
“Ibu...,” gumamnya, tanpa suara.
Tepat saat itu pintu terbuka. Paitun beringsut keluar. Seorang perempuan cantik melangkah masuk. Demi melihat sosok yang terbaring di atas tilam sudah membuka mata, ia pun bergegas mendekat.
“Kresna... Kresna...,” bisiknya berkali-kali.
Perempuan itu memeluknya yang masih terbaring. Dengan penuh cinta. Dengan kehangatan yang masih tetap sama dengan kenangan yang disimpannya rapi jauh di lubuk hati. Pelan-pelan kedua tangannya terangkat. Balas memeluk perempuan itu. Wilujeng. Ibunya. Ibu kandungnya. Dan, aromanya pun masih tetap sama.
“Bu...,” hanya itu yang ia mampu bisikkan.
“Iya, Kresna...,” jawab Wilujeng terbata di tengah tangis bahagianya. “Ini Ibu. Ibu, Nak...”
Mereka berpelukan. Menumpahkan rindu. Melepas kesedihan yang tertahan karena sekian belas tahun tak bisa bertemu. Hanya bisa saling menyapa dalam ruang ingatan, dalam sunyinya bilik hati.
“Bu... Ini tempat apa?” bisik Kresna, pada akhirnya.
Wilujeng melepaskan pelukannya. Ditatapnya wajah pucat Kresna. Dielusnya pipi kiri pemuda itu, yang lebamnya mulai pudar.
“Nanti juga kamu akan tahu,” jawab Wilujeng lembut. “Yang penting sekarang kamu sembuh dulu. Nini Paitun akan mengobatimu. Pergelangan kaki kirimu terkilir. Nini akan mengurutnya. Sedikit sakit memang, tapi tangan dan ramuannya sungguh manjur. Kamu akan segera pulih.”
Tanpa sadar Kresna meringis. Saat itu, ia menyadari bahwa ada yang mengintip dari sela daun pintu yang terbuka sedikit. Wilujeng menyadari pula hal itu. Ia memutar badannya dan melambaikan tangan.
Seorang gadis muda dengan rambut lurus terurai sepunggung, mata besar bening dengan iris berwarna coklat. Jajaran bulu mata yang sangat lentik menaungi mata itu. Hidungnya mungil dan bangir. Sementara bibirnya yang terkatup rapat berwarna merah muda menggemaskan. Dengan langkah ragu-ragu, gadis muda itu berjalan mendekat. Wilujeng meraih tangannya.
“Ini Pinasti,” Wilujeng kembali menatap Kresna. “Adikmu.”
Adik?
Kresna ternganga. Adik? Ya, ia ingat bahwa pada suatu waktu yang lalu ia sangat gembira karena akan memiliki adik. Tapi sayangnya Adik pergi bersama Ibu. Tak pernah sekali pun kegembiraan itu jadi nyata. Bahkan yang tersisa adalah kesedihan panjang. Ibu dan adiknya tak diketemukan. Bagai hilang ditelan bumi.
“Pin, ini Mas Kresna,” ujar Wilujeng dengan sangat lembut. “Saudaramu. Abangmu.”
Mata besar Pinasti mengerjap. Ditatapnya laki-laki muda tampan itu. Detak liar jantungnya kembali lagi. Dengan ragu, ia menatap uluran tangan Kresna. Dengan ragu pula, ia menyambut uluran tangan itu. Tapi...
Zzzrrrt...
Hanya sedetik bersentuhan, keduanya sudah saling menarik tangan bersamaan. Seolah ada aliran listrik yang menyengat.
‘Hei! Kendalikan dirimu!’
Pinasti terdiam sejenak ketika suara jiwa Janggo menegurnya. Tanpa melihat ke arah jendela pun ia tahu bahwa Janggo setia mengintip dari luar sana. Pelan-pelan ia mulai mengatur napas dan mengendalikan diri.
Ketika detak jantungnya kembali normal, ia mengulas senyum dan kembali mengulurkan tangan. Kresna menatap tangan itu ragu-ragu. Sengatan yang ia rasakan baru saja seperti masih mencubit-cubit telapak tangannya.
“Tidak apa-apa,” gadis muda itu menggeleng. “Aku Pinasti, anak Ibu.”
Maka, Kresna pun menyambut uluran tangan itu. Telapak tangan mungil yang terasa sangat hangat dalam genggaman.
“Kamu sudah besar, Dik...,” gumam Kresna. “Cantik sekali seperti Ibu.”
Pinasti tersipu dan buru-buru menarik tangannya dari genggaman sang abang. Bertepatan dengan itu, Paitun masuk dengan membawa sebuah baskom besar yang diletakkannya di lantai.
“Sebelum aku mengurut pergelangan kakimu, kamu harus bersih dulu, Kresna,” ucap Paitun tegas. “Karena kamu belum boleh bangun, maka Wilujeng akan menyekamu.”
Tanpa menunggu jawaban Kresna, Paitun menarik tangan Pinasti. Keduanya kemudian keluar dari kamar dan menutup pintu rapat-rapat.
“Ayo, bayi besar, mandi kucing dulu,” senyum Wilujeng sambil tangannya dengan cekatan mulai meraih handuk yang sudah disiapkan Paitun sejak kemarin. “Baumu sudah mulai apek.”
“Memangnya sudah berapa lama aku di sini, Bu?”
“Dua hari dua malam,” jawab Wilujeng seraya menyingkap sedikit demi sedikit selimut yang menutupi tubuh Kresna, dan menyekanya dengan sangat berhati-hati.
Dua hari dua malam?
Kresna terhenyak.
Semua yang dialaminya terasa terlalu absurd. Ia didorong begitu saja ke jurang, bertemu dengan ibunya yang hilang tiga belas tahun lalu, bertemu dengan adik cantik yang tangannya menyengatkan aliran serupa listrik, pingsan dua hari dua malam di...
Apa tadi? Bawono... apa?
“Kinayung,” Wilujeng menjawab tiba-tiba, di tengah kesibukannya.
Kresna hampir kehilangan napas. Ibunya...
‘Ya, Kresna, Ibu bisa membaca pikiranmu...’
Kali ini jantungnyalah yang hampir berhenti berdetak. Suara lembut Wilujeng menyeruak masuk. Tidak melalui telinganya. Tapi langsung ke benaknya.
Seketika, sekelilingnya terasa beku dan senyap.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar