Sebelumnya
* * *
Satu
Meretas Sejumput Rindu
Suara berdebum itu seolah meledak di telinga Wilujeng. Seketika ia terjaga. Untuk mengusir rasa pening, ia mengerjapkan mata beberapa kali. Sambil mengatur napas, matanya kemudian terpejam. Mengumpulkan bersit-bersit naluri yang ia miliki. Pada suatu detik, ia kembali membuka mata. Sedikit terbelalak dengan apa yang baru saja melintas di kepalanya.
Tanpa membuang waktu, ia meloncat dari atas tempat tidur, dan nyaris berlari menjangkau pintu. Tapi sebelum pintu itu terbuka, sebuah suara mengusik telinganya.
“Mau ke mana, Bu?”
Wilujeng menoleh. Ditatapnya gadis muda yang sedari bayi selalu berbaring di sebelahnya kala waktu tidur tiba. Pinasti. Putrinya.
“Ada orang jatuh,” bisik Wilujeng.
Mata mengantuk Pinasti seketika terbuka lebar. Dan, Wilujeng tahu artinya. Seketika ia menggeleng.
“Kamu di sini saja, tak perlu ikut,” tegasnya. “Siapkan saja tempat. Siapa tahu dia butuh perawatan kita.”
Pinasti pun mengangguk patuh. Tak berusaha membantah sedikit pun. Wilujeng segera meneruskan langkahnya. Di luar kamar, ia berpapasan dengan Paitun. Perempuan tua berambut nyaris gundul itu menatapnya.
“Ada orang jatuh?” Paitun menaikkan alisnya.
Wilujeng mengangguk seraya bertanya “Apa harus aku bawa ke sini, Mak?”
“Ya,” tegas Paitun. “Tapi kamu jangan pergi sendirian. Ajak Tirto. Suruh dia bawa Janggo.”
“Baik, Mak.”
Wilujeng pun berpamitan dan keluar dari pondok. Senyap dan gelap menyambutnya. Setengah berlari ia kemudian menuju ke ujung jalan. Ada sebuah gubuk di sana. Kali ini, ia tak perlu mengetuk pintu gubuk itu. Tirto tampak sudah bersiaga di depan gubuk.
“Ayo, Mbak!” ucap laki-laki tinggi besar berambut gondrong bersemburat uban keperakan itu. Tampaknya ia sudah memahami apa yang tengah terjadi.
Wilujeng mengangguk. Tirto segera melangkah ke arah belakang gubuknya. Tangannya yang kekar kemudian menyibakkan serumpun pakis raksasa yang menutupi mulut sebuah lorong. Wilujeng berjalan di belakang Tirto. Laki-laki itu menggenggam erat ujung rantai yang terhubung dengan kalung kulit yang melingkari leher Janggo, ajak[1] raksasa kesayangannya.
Dalam diam ketiganya menyusuri lorong gelap itu. Tak diperlukan mata. Yang harus dibuka kini adalah mata hati, dan juga kepercayaan pada Janggo. Agar tak tersesat dalam lorong gelap pekat dengan begitu banyak cabang yang melingkar-lingkar, bersilang-silang, dan terkadang berujung buntu bagaikan labirin.
Lalu, perjalanan itu pun berujung pada sebuah dinding masif. Dengan lembut, Tirto menyentuhkan telapak tangan kanannya pada dinding itu. Nyaris tanpa suara, dinding itu pun bergeser. Menyisakan juntaian akar pohon beringin dan liukan batang pohon akar raga sakti di luarnya. Ketiganya pun menyelipkan diri di antara juntaian itu, keluar dari lorong.
Keadaan di luar lorong jauh lebih terang. Purnama penuh berpendar di langit. Dan, dalam keremangan cahaya itu mereka menemukan sesosok tubuh tergeletak dalam diam, tak jauh dari ujung lorong tempat mereka keluar. Sejenak, Tirto merentangkan tangan kirinya, merintangi langkah Wilujeng. Perempuan itu pun berdiam diri, tak lagi bergerak.
Terdengar sayup-sayup keributan di atas sana. Jauh di atas tebing.
“Dia jatuh di sini.”
“Busset! Ini jurang dalem banget, Set.”
“Gimana, dong? Tolongin Kresna! Tolongin Kresna!”
“Ambil tali!”
“Siapa yang mau turun?”
“Gue.”
“Gila! Gak sampai tali kita.”
“Sambung!”
“Pokoknya Kresna harus ketemu!”
Kresna... Kresna? Kresna! Wilujeng terbelalak. Gusti… Kresna? Pantas saja!
Tangan Tirto tak lagi terentang menghadang. Wilujeng segera berlari memburu tubuh yang tergeletak itu. Sosok itu terbaring menelungkup. Pelan, pelan sekali, dengan sangat lembut, dengan sedikit gemetar, kedua tangan Wilujeng membalik tubuh itu.
Pantulan cahaya bulan purnama jatuh seutuhnya pada sosok itu. Garis wajahnya, walaupun agak kotor dan bernoda darah yang merembes dari goresan luka di kening dan pelipisnya, masih dapat dikenali Wilujeng dengan sangat baik. Waktu sudah banyak berlalu, tapi masih banyak hal yang melekat kuat di dalam ingatan.
“Kresna, duh, Gusti... Kresna...,” tangan halus Wilujeng membelai wajah itu, disertai tangis tanpa suaranya.
Dari arah atas, terdengar gemerisik dedaunan tumbuhan liar bergesek dengan sesuatu. Tampaknya ada yang berusaha turun ke dasar jurang. Janggo seketika menggeram. Geraman bernada berat dan dalam yang menggema di sekeliling dasar jurang.
“Tarik! Tarik! Hoi! Tarik! Tarik!” terdengar teriakan bernada panik.
“Ada apa, Yop?” ada balasan dari nun jauh di atas sana.
“Binatang buas! Tarik gue! Buruan! Buruan!”
Suara gemerisik itu perlahan menjauh dan sirna. Tirto segera meraih tubuh yang masih didekap Wilujeng.
“Ayo, cepat, kita masuk, Mbak,” bisiknya sembari membopong tubuh tak berdaya itu.
Wilujeng pun segera berdiri sembari meraih ransel yang talinya sudah putus semua, yang tergeletak tak jauh dari mereka. Ia mengikuti langkah Tirto. Kali ini, ia yang memegang ujung rantai Janggo. Ajak setinggi hampir satu meter itu menggeram sejenak sebelum dinding perlahan bergerak menutup. Geraman itu pun diakhiri dengan lolong panjang yang membuat hati siapa pun yang bisa mendengarnya merasa giris.
Pun segerombolan anak manusia di atas sana. Hanya bisa berlari tunggang langgang ketika mendengar ada lolongan panjang dan menyeramkan dari dasar jurang.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
[1] Ajak (atau ajag) = anjing hutan (Cuon alpinus javanicus), umumnya bertinggi badan sekitar 40-55 cm.
Waaaaaiki ....... Nggebrak meneh ta wes nyonyah iki rek !
BalasHapusGa e koyok familier kambek jeneng Paitun sopo se nyah ?
Aku pny pertanyaan yg sama ttg Paitun he he
HapusBTW, maca bagian iki aku kaya-kaya a melu mlebu jero lorong. Jan apik nan ki 👍
Makasiiih mamapirnya... 🙏
HapusPaitun (dikenal sebagai Paitun Gundul) itu perempuan kurang waras yang duluuu beredar di Malang. Hobinya gendong-gendong / pelihara kucing, dibawa wira-wiri 😊
Legendaris banget dia pokoknya 😁
Lanjut
BalasHapusWokeeeh... 👍
Hapus