Sebelumnya
* * *
“Kita turun!” putus Yopie dengan napas terengah, begitu ia sampai lagi di atas, di bibir jurang.
“Tapi, Yop...,” Seta membelalakkan matanya.
“Nggak ada tapi,” Yopie berucap tegas. “Kita turun sekarang! Se-ka-rang!”
“Kresna masih di jurang bawah sana, dan kita turun?!” teriak Seta. “Lo sudah gila!”
“Lo dengar gak lolongan tadi?!” Yopie terlihat gusar. “DENGAR GAK?! Entah itu hewan iblis apa! Gue bisa mati konyol di bawah!”
Bahu Seta turun seketika. Yopie segera berkemas, diikuti yang lain. Seta masih terduduk di atas sebuah batu.
“Set,” suara Yopie kini bernada halus. Dipegangnya bahu kanan Seta. “Gue ngerti perasaan lo. Tapi kita harus turun, lapor ke pihak berwenang. Secepatnya. Supaya nasib Kresna bisa segera diputuskan.”
Tampaknya tak ada yang bisa dibantah dari ucapan Yopie sebagai pemimpin rombongan. Rencana mereka bertujuh untuk sampai ke puncak Gunung Nawonggo nanti dini hari gagal total. Kresna yang berada paling belakang tampaknya terpeleset di bawah keremangan cahaya bulan dan jatuh di salah satu jurang menganga di sisi jalur pendakian. Dan, jurang-jurang ‘eksotis’ Gunung Nawonggo tak ada yang berdalam kurang dari lima puluh meter. Susah sekali membayangkan nasib Kresna di bawah sana. Apalagi sempat ada lolongan seram ‘tak bertuan’ dari arah dasar jurang.
Setelah semuanya siap untuk turun, Yopie melepaskan syal berwarna putih yang melingkar di lehernya. Diikatkannya syal itu pada sebuah pohon, setinggi yang ia bisa jangkau. Sebagai penanda titik awal dimulainya pencarian Kresna.
Bila memang jasadnya kelak dicari.
* * *
Dengan sangat hati-hati, Tirto menurunkan tubuh pemuda itu di atas pembaringan yang sudah disiapkan Pinasti dalam sebuah kamar kosong di pondok Paitun. Laki-laki itu berpamitan pada Paitun dan Wilujeng sebelum menyelinap keluar.
Luka di kening dan pelipis pemuda itu masih merembeskan darah segar. Dibantu Pinasti, Paitun segera membersihkan lelehan darah yang mulai kering dari wajah pemuda itu dengan kain bersih dan air hangat. Setelah wajah itu bersih, Paitun membubuhkan ramuan daun senggani[1] yang sudah halus lumat pada luka-luka pemuda itu. Pinasti tanpa disuruh segera membalut dengan rapi luka-luka yang sudah diobati Paitun. Sambil tangannya terus bergerak, Paitun menoleh sekilas pada Pinasti.
“Kamu keluar sebentar, ya, Nduk,” ucapnya lembut. “Nini sama Ibu mau buka pakaian Mas ini.”
Dengan patuh Pinasti mengangguk, kemudian beringsut keluar dari kamar.
Paitun menatap Wilujeng yang masih duduk diam di tepi ranjang, di dekat kaki pemuda itu. Dilihatnya mata Wilujeng mengaca.
“Jadi benar, dia anakmu?” bisik Paitun.
Wilujeng mengangguk tanpa suara. Paitun menghela napas panjang.
“Kresna?” Paitun menegaskan sekali lagi.
Wilujeng kembali mengangguk. Paitun pun mengembalikan arah tatapannya ke pemuda itu. Kresna.
“Ada yang mencelakainya,” gumam Paitun sambil membuka baju dan celana yang dikenakan Kresna. “Penglihatanku mengatakan begitu.”
Kendati hatinya tercekat, Wilujeng membantu Paitun menelanjangi pemuda itu. Ternyata ada beberapa memar dan luka terbuka pada beberapa bagian tubuh Kresna. Paitun pun memeriksa, mengobati, dan membalut semua luka itu.
“Dia tidak akan kenapa-kenapa, kan, Mak?” Wilujeng berusaha memastikan dengan suara lirihnya.
Paitun mengangguk. “Tidak ada patah tulang. Hanya saja pergelangan kaki kirinya sedikit terkilir. Nanti kalau dia sudah bangun, aku akan mengurut kakinya. Belukar yang ada di punggung tebing pasti sudah memperlambat jatuhnya. Dia akan sembuh. Sama sepertimu.”
Wilujeng tertegun. Dan akan hidup di sini sampai entah?
Paitun menyelimuti tubuh telanjang itu dengan sehelai kain tebal berwarna putih. Wilujeng masih menatap sosok itu.
Masih ingatkah kamu padaku, Nak?
Tangannya terulur, membelai wajah pemuda itu. Air matanya pelan-pelan menetes.
Kenapa nasibmu sama denganku?
Perempuan ayu itu sedikit tersentak ketika Paitun meremas lembut salah satu bahunya.
“Aku akan menyiapkan ramuan akar senggani, Nduk,” gumam Paitun. “Siapa tahu dia akan cepat siuman. Kamu tungguilah dia di sini.”
Wilujeng mengangguk dan beringsut. Ia pun duduk di lantai kayu, di dekat kepala pemuda itu. Pemuda bernama Kresna, salah seorang putranya. Ditatapnya wajah tampan itu dengan penuh kerinduan. Pelan dan lembut, jemari halusnya menyentuh dan mengusap wajah Kresna.
Akhirnya kita bertemu lagi... Dengan sepenuh hati Wilujeng membelai pipi Kresna yang sedikit lebam di sebelah kiri. Kamu tahu? Ibu rindu sekali padamu. Pada kalian...
Tiba-tiba gumaman Paitun menggema di telinganya. “Ada yang mencelakainya…”
Siapa? Siapa yang tega berbuat seperti itu?
“Bu...”
Panggilan lirih itu membuat Wilujeng sedikit tersentak. Ia menoleh ke arah pintu. Pinasti menyembulkan setengah badannya. Gadis cilik itu menatapnya dengan mata bulat bening yang dinaungi barisan bulu mata sangat lentik. Wajahnya terlihat ragu-ragu.
“Ya?” bisik Wilujeng sembari menyeka air matanya.
“Ibu mau tidur di sini?”
Wilujeng mengangguk.
“Kalau begitu, aku tidur lagi, ya, Bu?”
Wilujeng kembali mengangguk.
“Berani tidur sendirian, kan?” senyum Wilujeng kemudian.
Pinasti mengangguk. “Aku sudah besar.”
Wilujeng tertawa lirih. Dalam sekejap, Pinasti mengudurkan diri, dan pintu kembali tertutup tanpa suara. Wilujeng mengembalikan tatapannya pada Kresna yang masih terbaring diam dengan mata terpejam rapat.
Seolah ia tak ingin mengerjapkan mata. Agar ‘mimpi’ ini tak terbang berlalu begitu saja dari hadapannya. Sehingga ia bisa meretas sejumput rindunya. Pada Mahakresna Prabangkara, salah seorang anak laki-lakinya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
[1] Senggani = tumbuhan yang dikenal juga sebagai harendong, kaduduak, kluruk, kemanden. Merupakan tumbuhan semak dengan tinggi bisa mencapai empat meter, hidup di tanah hingga ketinggian 1650 dpl, bisa digunakan sebagai obat herbal. Nama spesiesnya Melastoma candidum D.Don.
Yg ini aromanya mistik sedap gitu deh. Saya jadi makin kepo.
BalasHapusAku sendiri lebih senang pakai istilah 'fantasi' daripada 'mistik' 😊
HapusHeluuuuuk ...... Terbite bendino kon ! Babahno gas terus nyah !
BalasHapusGas pol rem pol 😆😆😆
HapusGood post mbak
BalasHapusMakasih banyak atas singgahnya, Pak Subur... 🙏🙏🙏
HapusCerbung iki kate onok saben ndino ngono a critane? Lek iyo ora mlebu bookmark. Tak wocoe ae saben ndino. Apik..👍 Garai penasaran.
BalasHapusJatahnya seminggu 2 bab, Mas, Senin dan Kamis. Tiap hari karena ada pemecahan bab 😊
Hapus