* * *
Lima Belas
Dengan langkah tenang Kencana menyusuri tepi jalan yang teduh di bawah naungan deretan pohon trembesi. Tujuannya hanya satu. Rumah Paul, yang tak begitu jauh dari rumahnya.
Ketika sudah hampir memasuki ujung jalan, Kencana menghela napas panjang. Berusaha memantapkan langkah yang mendadak terasa sedikit goyah.
Ia sudah mengambil keputusan. Pada detik-detik terakhir sebelum hari H yang dijanjikannya pada Paul untuk memberikan jawaban. Apa pun jawaban itu. Sebuah keputusan besar yang ia masih juga tak tahu apakah benar atau salah. Ia hanya menuruti hati nuraninya setelah berhari-hari merenung, berdoa, dan menimbang-nimbang segala kemungkinan dan risiko.
Tepat saat itu ada sebuah city car berwarna silver berbelok ke kanan, keluar dari jalan yang hendak dituju Kencana. Pelan-pelan mobil itu melambat dan menepi di seberang, dan kaca kanan depan mobil itu pun terbuka.
"Can, mau ke mana?" Handaru menatapnya dari balik kemudi.
Kencana memutuskan untuk menyeberangi jalan sepi itu, menghampiri mobil Handaru.
"Mau ke rumah Ayah," jawab Kencana.
"Can?" Paul melongokkan kepalanya dari arah kiri Handaru.
"Oh, Ayah mau pergi?" Kencana sedikit meringis.
"Ayah mau kontrol ke dokter, Can," jawab Paul. "Yuk, ikut!"
"Mm...," Kencana menatap Handaru. "Anak-anak di rumah?"
Handaru menggeleng sambil tersenyum. "Nih, pada ikut."
"Oh..."
"Ayo, ikut saja," Handaru meneruskan ajakan Paul.
"Iya, Can," tegas Paul. "Masuklah."
Setelah menimbang-nimbang sejenak, Kencana pun memutuskan untuk menyambut ajakan Paul. Bukankah tujuannya memang ingin bertemu dan bicara dengan Paul?
Hanya butuh waktu sekian detik, Kencana sudah berada dalam mobil Handaru. Menerima sambutan meriah dari si kembar dan alunan suara hangat Michael Bublé. Segera saja seisi kabin mobil itu dipenuhi celotehan berisik dari si kembar yang berebutan bercerita ini-itu pada Kencana. Dengan penuh kesabaran dan kehangatan, Kencana pun menanggapi keduanya. Sesekali derai tawa terdengar dari arah jok belakang. Membuat Paul menengok sekilas ke arah Handaru yang tengah menyetir dengan wajah serius.
"Semoga, ya, Dar," gumam Paul. "Semoga..."
Handaru hanya menanggapinya dengan senyum tipis.
* * *
Seutuhnya ia memahami keinginan anak-anaknya. Keinginan yang benar-benar berdasarkan kebutuhan anak-anak akan kehadiran seorang ibu dalam kehidupan mereka. Apalagi keduanya kini sudah mulai bersekolah.
Pertanyaan itu mulai sering muncul dari bibir anak-anak. Tentang ketiadaan sosok seorang mama dalam hidup mereka, sementara semua teman mereka memilikinya. Tentang kenapa 'Mama meninggal' sementara mama teman-teman mereka masih ada. Terkadang sebuah jawaban sederhana sudah cukup untuk 'membungkam' keingintahuan anak-anak, tapi terkadang juga tak cukup berangkai-rangkai jawaban panjang.
"Anak-anak benar-benar membutuhkan ibu dan kamu butuh istri, Dar," tegas Paul suatu ketika. Beberapa minggu lalu saat Handaru harus merawat si kembar yang kena flu dan radang tenggorokan. Sementara pada saat yang bersamaan Handaru sendiri harus menahan sakit karena maag-nya kambuh.
Lalu, seketika itu juga pikirannya melayang pada sosok seorang Kencana yang tengah berada jauh di Boston. Anak-anak butuh seorang ibu. Itu benar. Tapi apakah benar ia membutuhkan seorang istri?
* * *
Handaru mengerjapkan mata. Dengan halus kaki kanannya menginjak pedal gas ketika mobil di depannya mulai bergerak melintasi lampu hijau.
"Yah, memangnya Ayah belum pulih betul?"
Suara halus Kencana itu memecahkan keheningan dalam kabin mobil ketika celoteh anak-anak terjeda sejenak.
"Ini kontrol terakhir, Can," jawab Paul, sekilas menoleh ke belakang. "Ya, maklum sajalah, makin dekat dengan ujung umur."
"Masalahnya," timpal Handaru halus, "Om itu makannya kurang teratur. Kalau nggak merasa lapar, nggak makan. Nah, laparnya saja jarang."
"Hehehe...," Paul hanya bisa terkekeh tanpa bisa menimpali.
Mobil itu berbelok mulus ke halaman Rumah Sakit Eternal Husada. Begitu mobil itu berhenti, segera saja Kencana keluar untuk membantu Paul, kemudian beralih membantu anak-anak. Gadis itu menggandeng Paul setelah memastikan Handaru sudah menggandeng kedua anaknya di tangan kanan dan kiri dengan baik. Berlima mereka menyeberangi area parkir dan masuk ke lobi rumah sakit.
* * *
Antrean di poli penyakit dalam cukup panjang. Tapi, ada tiga orang dokter spesialis yang melayani, dan ruang tunggu pun suasananya cukup nyaman. Paul dan Kencana duduk berdampingan di sebuah sudut. Sementara itu, Handaru membawa si kembar menyisih ke sebuah kafe di kompleks niaga sebelah rumah sakit.
Paul menepuk lembut punggung tangan Kencana sembari berbisik, "Tadi mau ke rumah? Ada kabar apa?"
"Oh...," Kencana menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Mm... Saya janji untuk kasih jawaban hari ini, kan? Soal permintaan Ayah.”
“Hm...,” Paul manggut-manggut dan menunggu Kencana menyampaikan keputusan itu padanya.
“Yah, saya sudah memikirkan baik-baik permintaan Ayah,” lanjut Kencana. “Soal pindah ke perusahaan Ayah. Banyak hal yang harus saya pertimbangkan, Yah. Makanya saya nggak bisa secepat itu memberi jawaban."
"Ya," angguk Paul. "Ayah mengerti, Can."
Kencana tersenyum tipis, kemudian melanjutkan bicaranya. "Ya, Yah. Saya bersedia pindah. Tapi..."
"Ha! Yang benar?" Paul memutar tubuhnya sedikit. Kini menatap Kencana sepenuhnya.
Seketika Kencana tersentuh saat melihat binar yang melompat keluar dari sorot mata Paul. Ada segunung harapan pula tergambar di sana. Juga perasaan lega. Membuat Kencana makin yakin bahwa keputusannya kali ini tidak salah.
"Tapi? Kenapa?" Paul mengerjapkan mata.
"Tapi saya minta waktu lagi, Yah. Saya baru mengambil keputusan, belum bicara dengan atasan saya. Dan mungkin itu juga butuh waktu yang tidak sebentar. Setidaknya sampai ada pengganti saya. Biasanya prosesnya begitu."
"Hm... Ya... Ya...," angguk Paul. "Ayah sangat memahami itu, Can. Oke, kamu selesaikan dulu apa yang harus diselesaikan. Baru kamu mulai di perusahaan Ayah."
"Mm... Tapi...," sebersit keraguan mendadak muncul di benak Kencana. "Apa Mas Daru nggak apa-apa kalau saya masuk dan membantu."
Paul tersenyum lebar. "Soal itu, kamu nggak perlu khawatir. Ayah sudah bicara banyak dengannya. Juga dengan Stella dan Denta. Semua mendukung keinginan Ayah untuk menarikmu masuk secara profesional."
Kencana menyambut senyum itu dengan hati lega.
"... Juga seandainya ada alasan yang tidak profesional, Can...”
Kencana sedikit tersentak mendengar gumaman Paul. Ia menegakkan punggungnya.
"Maksud Ayah?"
Paul menatapnya dalam. Sangat dalam.
"Kamu pasti mengerti," bisik Paul.
Kencana tertegun.
Anak-anak... Ya, aku tahu.
"Bapak Paulus Satyo Harjanto..."
Panggilan itu membuat Kencana kembali tersentak. Ia ikut berdiri ketika Paul mengajaknya ikut serta mengambil obat di loket. Dengan pikiran masih sarat berbagai hal yang terasa berjumpalitan secara acak, Kencana mengiringi langkah Paul.
* * *
Mandi membuat tubuh dan pikiran Owen jadi sedikit lebih segar menjelang siang itu. Tapi ketika teringat 'Jumatan berantakan'-nya dengan Kencana kemarin sore, semangatnya terjun bebas kembali. Ditatapnya wadah berbentuk hati berisi cincin yang masih bertengger manis di atas mejanya.
Ayolah! Datangi dia dan katakan apa maumu! Ayolah! hatinya berseru-seru tanpa henti.
Owen mengerjapkan mata.
Owen mengerjapkan mata.
Setelah semua yang berlalu, sekian tahun yang sia-sia, sebaiknya...
Bersit pikiran itu membuat Owen bergegas menghampiri lemari baju, dan mencari busana yang pantas dikenakannya untuk menemui Kencana siang ini.
Ia merasa sudah tidak bisa lagi hanya diam dan menatap Kencana dari kejauhan. Apa pun keputusan Kencana tentang perjalanan kariernya. Di mana pun gadis itu bekerja kelak.
Penantian dirasanya sudah lebih dari cukup. Sepanjang waktu itu cintanya pada Kencana tak pernah berkurang sedikit pun. Bahkan bertambah menggunung akhir-akhir ini. Saat mereka makin dekat.
Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang begitu saja. Sudah terlalu banyak kesempatan yang berlalu percuma hanya karena ia kurang berani bicara. Dan, masih ada 'sekarang'. Rasa-rasanya, ia sudah tak boleh lagi membiarkan 'sekarang' itu menggelinding berlalu begitu saja dalam diamnya.
Dengan tegak, ia melangkah keluar dari kamar setelah meraih dan memasukkan wadah berisi cincin itu ke dalam saku celananya.
* * *
Oleh dokter, Paul dinyatakan sudah pulih. Hanya perlu menghabiskan rangkaian obat terakhir, menjaga pola dan jadwal makan, dan menghindari stress. Kencana ikut bernapas lega karenanya. Kini keduanya duduk berhadapan di kafe mini di sudut lobi. Menunggu Handaru dan anak-anaknya datang.
"Mas Nanan kapan tahbisannya, Can?" tanya Paul setelah menyesap ginger tea-nya.
"Belum tahu, Yah," Kencana menggeleng. "Yang penting TOP di Cikarang selesai dulu."
Paul manggut-manggut. Masih ditatapnya Kencana.
"Mm... Boleh Ayah tanya, Can?"
"Ya, Yah?" Kencana balas menatap Paul.
"Kamu dan Owen...," sorot mata Paul terlihat ragu-ragu, "... sudah jadian?"
"Oh...," Kencana tersenyum lebar. "Kami hanya berteman baik saja, kok, Yah. Bersahabat. Sebetulnya sudah sejak kami masih bertetangga di Bogor dulu. Tapi kalau lihat saya lagi punya pacar, dia menjauh. Nggak mau ganggu."
"Oh...," Paul kembali manggut-manggut.
"Memangnya kenapa, Yah?" usik Kencana, masih dengan senyumnya.
"Nggak apa-apa," Paul membalas senyum Kencana. "Ayah senang kamu berteman dengan Owen. Anaknya baik."
Kencana mengangguk sambil kembali menekuni pizza slice-nya. Sesungguhnya, ia juga tak sepolos itu untuk menduga arah pertanyaan Paul. Tapi tampaknya Paul masih ragu-ragu. Laki-laki sepuh itu kemudian mengalihkan bahan pembicaraan. Kembali ke tujuan utama Kencana ingin menemuinya.
"Jadi kesimpulannya, deal, ya, kamu nantinya pindah ke perusahaan Ayah?"
"Iya, Yah," Kencana mengangguk mantap. "Saya sudah memikirkannya baik-baik, kok."
Paul kelihatan tercenung sejenak. Kencana sedikit resah melihatnya. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia pun memutuskan untuk kepo.
"Yah...," usiknya halus. "Sebenarnya ada apa?"
Paul sedikit tersentak. Ia kemudian kembali menatap Kencana sambil menghela napas panjang. Mendadak saja, di mata Kencana, wajah Paul terlihat begitu letih dan sarat beban.
"Kenapa sulit sekali untuk merasa ikhlas?" gumamnya, dengan nada terdengar patah.
Kencana terhenyak karenanya.
"Pada awalnya," lanjut Paul, lebih menyerupai desahan, "Ayah merasa senang dan bangga Stella dan Vito terpanggil untuk berkarya di ladang Tuhan. Sambil terus berdoa dan meminta agar Tuhan berkenan menyisakan Denta untuk kita. Ibu, kamu, Ayah. Berharap apa yang sudah Ayah mulai dan perjuangkan, kelak akan menjadi bekal untuk kalian. Kamu dan Denta. Tapi... ternyata Tuhan memutuskan lain," Paul menghela napas panjang. "Tuhan memanggil pula Denta. Kemudian membawa pulang Ibu. Baik jujur maupun menyembunyikan ini, sama saja sulitnya, Nak..."
Telaga bening dalam mata Paul nyaris runtuh. Kencana mengulurkan tangan. Menggenggam hangat jemari Paul. Tak urung, matanya pun berkaca-kaca.
"Ayah berusaha terlihat baik-baik saja," Paul melanjutkan dengan suara kian hilang. "Tapi di balik semua itu, jujur, Ayah kesepian. Sangat kesepian. Walaupun sudah ada Daru dan cucu-cucu Ayah, tetap saja rasanya lain. Ayah telanjur menggantung harapan itu terlalu tinggi. Harapan untuk melihatmu jadi anak Ayah."
Paul mengerjap untuk mengusir air mata yang menggenang. Kencana sendiri terlalu kelu lidahnya untuk menanggapi.
"Maka Ayah beranikan diri, Can," suara Paul terdengar sedikit serak, "untuk memintamu masuk ke perusahaan, sesuai dengan harapan yang pernah Ayah gantung, pupuk, dan pelihara. Sesuai dengan kebutuhan perusahaan akhir-akhir ini dan ke depannya. Walaupun sudah tak bisa lagi ada apa-apa di antara kamu dan Denta. Dan, Ayah berterima kasih sekali kamu bersedia. Maafkan Ayah, permintaan Ayah terlalu berlebihan."
Kencana berusaha tersenyum sambil menelan bulat-bulat rasa harunya. Terasa menyumbat kerongkongan dan membuatnya sedikit nyeri. Kembali diremasnya jemari tangan Paul.
"Yah, saya nggak bisa janji apa-apa," ucap Kencana, halus. "Tapi saya akan berbuat yang terbaik untuk perusahaan Ayah. Semoga saya nggak akan mengecewakan Ayah. Dan, semoga Ayah bisa menemukan kembali keikhlasan itu."
Paul tersenyum seraya mengangguk. "Ya, Ayah percaya padamu, Can. Nanti kalau kalian sudah bisa bekerja sama dengan baik, Ayah akan segerakan mengalihkan perusahaan pada Handaru."
Kencana sedikit terperanjat mendengarnya. Dan, rupanya Paul mengetahui perubahan ekspresi Kencana. Ia kembali tersenyum.
"Semua ini sudah atas persetujuan Stella, Vito, dan Denta, Can," Paul menerangkan. "Vito dan Stella sudah lama melepaskan hak untuk jadi ahli waris Ayah. Denta belum, tapi melihat bagaimana ia berusaha memenuhi panggilan itu dengan segenap hatinya, tampaknya hak itu akan dia lepas juga. Jadi... harus ada ahli waris yang lain. Satu-satunya yang mungkin hanya Daru. Apalagi ia mampu dan serius sekali bekerja di sana."
Kencana mengangguk. Seutuhnya memahami alur pikiran Paul.
"Dan, harapan Ayah selanjutnya...," tatapan Paul tampak menerawang, "... barangkali kamu dan Daru nanti..."
Kencana merasa seolah tubuhnya membeku ketika menduga-duga arah bicara Paul.
"Ah, sudahlah," Paul mengibaskan tangan kanannya di depan wajah dengan ringan. Tatapannya kembali fokus. "Ayah terlalu banyak keinginan." Ia lalu menyambungnya dengan tawa kecil.
Tepat saat itu, Handaru yang menggandeng kedua permata hatinya melangkah mendekat. Mau tak mau, sosok itu kemudian melekatkan diri dalam benak Kencana. Gadis itu mengerjapkan mata.
Apakah hidupku akan segera merapat ke pelabuhan berikutnya?
Tanpa bisa diduga, mendadak saja ada sosok lain yang juga menyelinap masuk ke dalam benak Kencana. Seorang Owen. Tanpa bisa dicegah.
* * *
Owen melajukan mobilnya dengan wajah redup, meninggalkan rumah Kencana. Gadis itu sedang tidak ada di rumah. Sedari tadi pamit pergi ke rumah Paul.
Ndari sempat menelepon anak gadisnya, dan mendapat jawaban bahwa anak gadisnya itu saat ini tengah 'keluar' bersama Paul, Handaru, dan si kembar. Tak ada yang bisa dilakukannya selain berpamitan, kemudian meninggalkan rumah keluarga Jati.
Selalu tak pernah mudah..., diam-diam Owen mengeluh dalam hati. Selalu saja ada halangan.
Semangatnya kembali merosot sedikit demi sedikit. Owen melajukan mobilnya tanpa tujuan. Tanpa sadar, ia sudah berada di jalur tol Jakarta-Cikampek. Setelah tergeragap sedikit, pemuda itu kembali memusatkan konsentrasi pada kemudinya. Alih-alih pulang, ia justru mengarahkan mobilnya ke jalur keluar pintu tol Cibatu.
Tak berapa lama, ia sampai di jalan raya yang dipenuhi deretan gerbang cluster perumahan mewah. Sejenak ia menepikan mobil di bawah rimbunnya tajuk pohon akasia, dan mengambil ponsel dari saku kemejanya.
"Ya, halo? Ini gue, Bang, Owen," ucapnya ketika didengarnya sapaan ramah dari seberang sana.
"Tumben lu nelepon, Wen?" Sebuah pertanyaan yang disambung tawa renyah.
"Hehehe...," Owen terkekeh, sedikit kecut. "Iya, gue lagi jalan. Tahu-tahu sudah sampai di tol arah ke sini."
"Lha, lu sekarang di mana?"
"Ada di dekat gerbang cluster Abang."
"Ya, sudah, lu terus aja masuk. Biar gue kasih tahu Nita."
"Abang lagi di mana ini?"
"Gue masih di balai pengobatan paroki, Wen, piket. Tapi sebentar lagi pulang, kok. Lu langsung aja, deh! Sebentar gue teleponin satpam biar lu dibukain gerbang. Lu pakai mobil apa?"
Owen kemudian menyebutkan merk, warna, dan nomor polisi city car-nya. Setelah mengakhiri pembicaraan, Owen kembali menghidupkan mobilnya, kemudian melaju pelan-pelan.
Cluster yang ditujunya masih tiga gerbang lagi di depan. Tapi ia terus melewatinya. Lurus menuju ke plot niaga di ujung sana. Tuan dan nyonya rumah memiliki dua orang balita yang sepertinya akan senang bila ia membawa sedikit oleh-oleh.
Ia menyelinap masuk ke sebuah swalayan dan segera saja sibuk mengisi keranjang. Sekian kotak susu aneka rasa ukuran mini, beberapa bungkus wafer dengan rasa berbeda, dan sekotak es krim ukuran satu liter. Segera setelah menyelesaikan urusan di swalayan itu, ia pun kembali tancap gas. Berbalik ke tujuannya semula.
Ketika ia sampai di depan gerbang cluster yang ditujunya, seorang satpam datang menghampiri. Tanpa banyak pernik, pintu gerbang cluster yang keamanannya cukup ketat itu pun terbuka untuknya. Rupanya sang tuan rumah sudah mengabari tim satpam.
Setelah mengucapkan terima kasih, Owen pun kembali melajukan mobil. Rumah yang ditujunya ada di jalan utama. Sebuah rumah pojok bergaya Mediterania tanpa pagar berwarna krem muda dengan variasi putih. Ketika ia menghentikan mobil di depan rumah itu, seorang perempuan muda berparas cantik menik-menik berpostur mungil dan ramping membuka pintu depan.
"Kak Nita!" sapanya sambil turun dari mobil, menenteng kantong belanjaannya. "Apa kabar?"
"Owen, lama banget nggak main ke sini," sambut sang nyonya rumah dengan ramah. "Kabar baik. Ayo, masuk!"
Setelah berbasa-basi dan menyerahkan oleh-olehnya, Owen mengerutkan kening. Rumah itu sepi. Tak ada celoteh anak-anak seperti biasanya.
"Anak-anak mana, Kak? Bobok, ya?"
"Lagi ulang tahunan anak tetangga di pojok sana," senyum Nita.
"Lho, dilepas berdua aja?" Owen sedikit ternganga. Membayangkan kakak-adik Quirina dan Danzel yang masih berusia empat dan dua tahun dilepas begitu saja di tengah keramaian.
"Oh... Tadinya aku di sana juga," Nita tertawa ringan. "Terus ditelepon Bang Frank, katanya kamu mau main. Ya, udah, aku pulang dulu, bukain kamu pintu. Tapi 'bentar lagi aku balik ke sana ya, Wen. Abang segera pulang, kok. Kalau mau minum atau makan ambil sendiri, 'gi."
Dan, Owen pun ditinggal sendirian di rumah itu. Untungnya, tak sampai sepuluh menit sang tuan rumah muncul dengan mengendarai motor 'sport' 250 cc-nya.
Setelah cukup saling tukar kabar, berbasa-basi, dan ber-'haha-hihi', sampailah Owen pada curhatnya. Frank, laki-laki berusia empat puluh tahun yang merupakan sepupu Owen itu, mendengarkan dengan serius.
Sebagai anak sulung dan abang dari seorang adik perempuan, terkadang Owen butuh juga sosok seorang abang dalam hidupnya. Hubungannya dengan Frank cukup akrab. Keponakan ibunya itu pernah tinggal di pavilyun rumah mereka saat menempuh pendidikan spesialisnya. Frank memang seorang dokter. Kini sudah menjadi dokter spesialis anak.
Sifat Frank yang ngemong membuat Owen menemukan sosok abang dalam diri Frank. Mereka cukup klop. Sama-sama tidak punya saudara kandung laki-laki. Menjadikan keduanya dekat bagai abang-adik kandung.
Dan, sejenak laki-laki itu manggut-manggut setelah curhat Owen mencapai tanda titik. Ditatapnya si adik sepupu.
"Menurut gue," ujar Frank, "lebih baik memang lu bilang terus terang sama Ican. Gak bagus lu simpan perasaan sampai lu sakit-sakit sendiri."
"Kalau ditolak?" wajah Owen tampak memelas.
"Ya, itu risiko, sih, Wen," Frank tertawa ringan. "Yang tegar dan jantanlah lu jadi laki-laki. Kalau dia memang sudah beneran nggak bisa lagi dipegang, baru lu pindah ke lain hati. Sulit, tapi bisa kalau lu niat."
Owen termangu sejenak. Tapi ia percaya seutuhnya akan ucapan Frank. Karena ia tahu abang sepupunya itu sudah mengalami sendiri kejadian serupa. Bahkan Frank baru menikah di usia hampir tiga puluh lima tahun karena susah melupakan cinta pertamanya.
Dan, pada kenyataannya, Frank berhasil menemukan sang belahan jiwa. Seorang gadis yang berusia tiga belas tahun lebih muda telah dipinang dan dinikahinya lima tahun lalu. Kini sudah memberinya sepasang balita yang lucu dan menggemaskan.
"Semua hal akan indah pada waktunya, Wen..."
Suara berat laki-laki tinggi besar itu membuat Owen sedikit tersentak. Sedetik kemudian ia mengangguk.
"Tapi lu juga perlu berusaha mencari keindahan itu dalam setiap kesempatan yang lu punya," lanjut Frank, sangat bijak.
Owen kembali mengangguk. Saat itu yang terbersit dalam pikirannya adalah mengucapkan terima kasih pada Frank, berpamitan, dan kembali ke rumah Kencana. Gadis itu sudah pulang atau belum, ia akan tetap menunggu.
* * *
Gadis itu sendiri yang membukakan pintu rumah untuknya. Disertai sambutan senyum dan sapaan ramah. Membuat hati Owen meleleh.
"Tadi sudah ke sini, ya, Wen?" ucap Kencana sambil menarik tangan Owen, masuk ke rumah.
"Iya," angguk Owen. "Mau nunggu, tapi kayaknya kamu lama."
"Hehehe... Iya, tadi ikut antar Pak Paul kontrol, terus ngobrol banyak sama beliau."
"Oh..." Owen tersenyum tipis. "Mm... Can, soal semalam... aku minta maaf."
Kencana sedikit ternganga menatap Owen. Ada segunung permintaan maaf yang tulus berlayar dalam bening mata pemuda itu. Ia pun memahaminya. Diberinya Owen seulas senyum.
"Nggak apa-apa," gadis itu menanggapi dengan ringan. "Lagipula, aku sudah memutuskan, kok. Dan, kamu benar. Aku memang cenderung lebih condong untuk menerima tawaran Pak Paul."
Itu artinya... Owen mengerjapkan mata.
"Aku akan pindah ke sana, Wen," Kencana seolah menjawab apa yang terbersit dalam benak Owen. "Tapi nggak secepat itu. Banyak yang harus kuselesaikan sebelum resign dan pindah."
Owen mengangguk. Setengah hati.
"Eh, aku buatin minum dulu, ya? Mau minum apa, Wen?" ujar Kencana sambil berdiri.
"Nggak usah, Can," Owen buru-buru mencegah. "Aku nggak lama, kok."
Kencana menatap Owen dengan mata bulat beningnya. Sebetulnya, ia agak heran melihat penampilan Owen kali ini. Pemuda itu tampak rapi seperti biasanya pada hari kerja. Bukan cuma itu, ia melihat bahwa Owen agak...
... gelisah?
Owen tampak tak setenang biasanya. Sorot mata pemuda itu penuh dengan letupan-letupan yang Kencana tak bisa mengartikannya.
"Wen, ada apa sebenarnya?" Kencana mengerutkan kening.
Owen mengerjapkan mata. Kemudian berdehem dan menghela napas agak panjang. Pelan, tangan kanannya meraba ke dalam saku celana. Digenggamnya sesuatu sebelum menarik kembali tangannya. Ditatapnya Kencana.
"Can...," bisiknya. Kedua tangannya membuka benda kecil yang dipegangnya. Disodorkannya benda itu lebih dekat ke arah Kencana. "Maukah kamu... menikah denganku? Jadi belahan jiwaku selamanya?"
Seketika Kencana ternganga. Matanya tak berkedip menatap kilau yang memantul dari mata cincin dalam wadah berbentuk hati yang ada di tangan Owen.
* * *
Seharusnya nggak begini...
Kencana membenamkan wajah ke dalam empuknya bantal. Dibiarkannya sesak memenuhi dadanya.
Seharusnya nggak begini..., sesalnya lagi. Tapi...
Beberapa jam lalu, setelah memastikan Paul sudah nyaman dalam rumahnya, Kencana ikut Handaru pulang. Anak-anak yang sudah waktunya tidur siang itu memintanya mendongeng. Kencana tak tega untuk menolak. Hanya mendongeng sebelum anak-anak tidur, apa susahnya?
Setelah ia memenuhi permintaan si kembar, pelan-pelan Kencana keluar dari kamar. Handaru yang tengah menatap layar ponsel sambil duduk di sofa ruang tengah pun mengangkat wajahnya.
"Mas, aku langsung pulang, ya?" ucap Kencana halus.
Handaru terlihat ragu-ragu sejenak sebelum berucap, "Sudah kubuatkan teh lemon, Can. Sini, minumlah dulu."
Kencana tak lagi punya pilihan selain memenuhi ajakan tuan rumah. Ia pun duduk di sofa di seberang Handaru. Setelah mengucapkan terima kasih, disesapnya teh lemon hangat yang disodorkan Handaru.
"Nanti kuantar pulang," ucap Handaru halus.
"Wah, nggak usah, Mas. Dekat ini," tolak Kencana. "Nanti malah merepotkan."
"Enggak, kok," Handaru menggeleng. "Aku mau sekalian ke hipermarket. Tadi mau mampir-mampir nggak enak. Takut Om Paul kecapekan."
Beberapa menit kemudian, Handaru sudah meluncurkan kembali mobilnya, dengan Kencana duduk manis di sebelah kirinya.
Sejenak suasana hening hingga Handaru memecahkannya dengan suara beratnya, "Aku senang kamu menerima tawaran Om Paul, Can."
Kencana tersenyum sedikit.
"Jujur," lanjut Handaru, "aku mulai kerepotan mengurus semuanya. Apalagi usaha food truck-ku sudah mulai jalan."
"Ya, semoga aku nggak mengecewakan Ayah dan Mas Daru. Aku akan berusaha sebaik-baiknya."
"Aku percaya," angguk Handaru. "Om juga nggak akan sembarangan menawari orang. Pasti cari yang kompeten."
Kencana manggut-manggut
"Mm... Can...," suara Handaru yang biasanya bernada mantap dan tegas, kini terdengar mengambang, penuh keraguan.
Kencana mengerutkan kening sedikit ketika merasakan perubahan itu.
"Anak-anak...," lanjut Handaru, "... membutuhkanmu... Menyayangimu juga. Aku... Maksudku... Mm... Can..., bersediakah kamu... jadi ibu anak-anak? Jadi... pendampingku selamanya?"
Kencana seketika kehilangan kata. Semuanya terasa terlalu mendadak. Tiba-tiba. Sekonyong-konyong. Dan, ia sama sekali tak punya jawaban.
Tapi Handaru mengangguk maklum ketika Kencana minta waktu untuk memikirkan 'lamaran' itu. Seutuhnya ia paham bahwa sebuah pernikahan memang tak seharusnya jadi ajang main-main. Apalagi pernikahan yang tak boleh terceraikan seperti yang mereka imani. Dan ia sama sekali tak mau pengalaman buruknya terulang kembali.
Dan, hati Kencana benar-benar terbelah. Ia menyayangi anak-anak Handaru dan juga ada perasaan 'lebih' terhadap laki-laki itu. Sementara terhadap Owen? Ia tak mau ingkar bahwa terkadang ia memikirkan pemuda itu. Sering malahan.
Sungguh, saat ini ia betul-betul belum tahu jawaban apa yang bisa ia berikan.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar