* * *
Enam Belas
Selama beberapa hari, Kencana bagai hidup dalam dua lorong yang berbeda. Lorong pertama adalah pekerjaannya. Secara jujur, ia sudah berterus terang pada atasannya bahwa ia sudah memutuskan untuk mengundurkan diri. Sang atasan pun tidak bisa melarang, tapi menekankan bahwa Kencana tidak bisa 'lari' begitu saja. Perlu waktu tiga bulan untuk membereskan segala hal, dan Kencana memahami seutuhnya.
Lorong kedua adalah kehidupan pribadinya. 'Dilamar' dua orang pria pada hari yang sama, bahkan pada waktu yang berimpitan, sama sekali bukan hal yang menimbulkan bunga-bunga hati yang mekar mewangi berwarna-warni. Sebaliknya, hal itu justru seakan menjerumuskannya dalam lautan pemikiran yang seolah tak bertepi.
Mas Daru... atau Owen?
Keduanya sama-sama menarik hati. Mungkin belum bisa secara utuh menggantikan Denta, tapi pesona kedua laki-laki itu tetap ada dan berhasil menjaring serpih-serpih hatinya.
Owen. Ia sudah sangat lama mengenal pemuda itu. Owen seperti buku yang cukup terbuka, sehingga Kencana bisa mengetahui banyak hal tentang pemuda itu. Belum seluruhnya, tapi melihat sikap Owen selama ini, setidaknya selama mereka kembali dekat, tak akan sulit rasanya untuk membuat pemuda itu berbagi apa saja dengan dirinya kelak.
Handaru. Ia belum lama mengenal laki-laki itu. Di mata Kencana, Handaru adalah buku setengah tertutup berisi kisi-kisi yang harus dicarinya dalam setiap halaman. Termasuk kisi-kisi pernikahan sebelumnya laki-laki itu. Tapi, entah kenapa, ia percaya Handaru tak akan menyembunyikan apa pun.
Dan anak-anak...
Kencana menghela napas panjang.
Anak-anak ternyata memiliki lorongnya sendiri yang cukup menyita sudut hati. Sejujur-jujurnya, ia sudah jatuh cinta pada si kembar Rika dan Neri. Cinta yang bercampur rasa kasih tanpa syarat dan rasa kasihan yang begitu sarat. Keduanya lebur dalam kehangatan sikapnya terhadap kedua anak manis itu.
Ya, Tuhan... Apakah hanya karena anak-anak saja? erangnya dalam hati. Apakah harus tak lagi memikirkan cinta?
Kencana mengerjapkan mata.
Cinta?
Kerlip cinta itu jelas-jelas terhambur dari dalam mata Owen. Cinta manis yang terkadang menjahilinya sedemikian rupa. Dan, semua itu sudah bertahun-tahun dipelihara Owen. Sesuatu yang ia sama sekali tak tahu apakah Handaru pun memiliki rasa itu atau tidak.
"Can? Belum tidur?"
Suara berat bernada lembut itu menyapa telinga Kencana tiba-tiba. Membuatnya tersentak dan menoleh.
"Memikirkan apa?"
Mata Kencana mengerjap ketika melihat Jati mendekat, kemudian duduk di sisinya, di sofa panjang teras belakang. Dihelanya napas panjang.
"Ican dilamar, Yah...," desahnya kemudian.
Ada hening sejenak sebelum Jati menanggapi, "Hm... Mas Daru?"
"Kok, Ayah langsung memikirkan itu?" Kencana menoleh cepat.
"Memangnya bukan dia?" Jati pun balas menatap putrinya dengan kening berkerut.
Kencana kembali menghela napas panjang. Terdengar begitu berat.
"Awalnya... Ya," gumamnya seraya mengangguk. "Tapi berikutnya, Owen juga."
"Ooo...," bibir Jati membundar tanpa suara. "Dan kamu harus memilih?"
Kencana mengangguk. Jati merengkuh bahu putrinya.
"Kalau soal itu, Ayah nggak akan ikut campur, Can," dengan sebelah tangannya yang bebas, Jati membelai lembut puncak kepala Kencana. "Kamu sudah dewasa. Pasti tahu apa yang terbaik buat dirimu."
"Tapi setidaknya Ican butuh pandangan lain dari Ayah, tentang Owen dan Mas Daru."
"Hm... Di mata Ayah, keduanya memiliki sisi baiknya masing-masing," ujar Jati dengan nada sabar. "Harus kamu yang memandang, menilai, dan menentukannya sendiri. Tapi siapa pun pilihanmu nanti, tolong, kamu jangan pernah permainkan janji pernikahan. Kamu harus membangun pernikahan itu dengan orang yang benar-benar tepat. Karena pernikahanmu adalah satu untuk selamanya, sampai maut memisahkan. Hanya maut, bukan hal lain-lain."
Kencana tercenung.
Bila ia memilih Handaru, motif utamanya ia tahu pasti. Cinta. Pada anak-anak. Si kembar itu pun membutuhkan uluran kasih seorang ibu. Dan ia yakin dapat memberikannya secara utuh.
Mencintai Mas Daru?
Sepertinya bukan hal yang terlalu sulit. Mengingat semua sikap dan kebaikan yang selama ini sudah laki-laki itu tunjukkan. Lagipula rasa tertarik itu pun sudah beberapa waktu bermukim di hatinya.
Dan Owen?
Ia tahu Owen mencintainya. Sangat mencintainya. Rasa-rasanya, tak akan sulit pula baginya untuk balas mencintai Owen sepenuh hati. Ia yakin ia dan Owen bisa saling menjaga dengan baik.
"Kalau masih bingung...," suara Jati menyentakkan Kencana, "... bikin saja daftar plus minus keduanya. Tapi kamu harus benar-benar menilainya dengan mata hatimu, bukan sekadar emosi sesaat."
Kencana kembali tercenung.
* * *
"Wen!"
Pemuda itu menoleh ketika mendengar sepenggal namanya dipanggil seseorang. Tampak Nina tengah bergegas menghampirinya.
"Ya, Nin?"
"Bisa, nggak, lo gantiin Ican melatih anak-anak komper[1] nyanyi buat misa?" Nina sudah berada di depan Owen. "Soalnya Bu Aster harus ikut rapat pleno depar[2]. Gue sendiri harus gantiin Bu Yos ikut pertemuan pembina BIA. Bu Yos lagi gantiin Mas Olan melatih anak-anak PAPSi. Mas Olan ada pelatihan di keuskupan. Makanya BIA libur, kan, hari ini."
"Oh...," Owen tampak berpikir sejenak. "Tapi gue nggak sendirian, kan?"
"Enggak," geleng Nina. "Masih ada Bu Ermy, Mbak Licke, sama Pak Manuel. Cuma, lo kayaknya lebih menguasai lagu buat misa."
"Oke, deh," Owen pun mengangguk.
Nina terlihat menarik napas lega sembari mengucapkan terima kasih. Ia kemudian menyodorkan sebuah map plastik bersampul bening.
"Ini lagunya. Semua lengkap ada di sini," ujar Nina. "Anak-anak komper sekarang masih pengarahan sebentar di masing-masing kelas. Sebentar lagi pada kumpul di aula."
"Oh... Oke," Owen kembali mengangguk sembari meneliti isi map. "Ngomong-ngomong, Ican ke mana?" sejenak kemudian diangkatnya wajah. Kembali menatap Nina.
"Dia ikut misa pagi di Cikarang," jawab Nina. "Sekalian ketemuan sama Frater Nanan. Emangnya dia nggak pamitan sama lo?"
"Oh.... Mm," Owen menggeleng, "enggak. Dia nggak ngomong apa-apa."
"Oh..."
"Oh..."
Nina kemudian berpamitan untuk melanjutkan kesibukannya. Akhir-akhir ini memang banyak sekali kegiatan yang harus mereka lakukan seusai misa pagi. Apalagi menjelang Paskah seperti ini, ketika mereka harus merencanakan dan menyiapkan ini-itu. Harus pula bisa dan bersedia saling menggantikan peran satu sama lain.
Sambil berjalan ke arah aula, Owen melihat-lihat lagi lembar-lembar teks lagu dalam map di tangannya. Mau tak mau, bayangan sosok Kencana menyelinap ke dalam benaknya.
Gadis itu belum juga menjawab 'lamaran'-nya dua minggu lalu. Dua minggu pula mereka tak bertemu. Ia terpaksa mengangguk ketika Kencana meminta waktu untuk berpikir. Tanpa memberikan batasan yang jelas hingga kapan lagi ia harus menunggu. Bahkan acara 'Jumatan' mereka pun ditiadakan oleh Kencana.
Tapi ia sepenuhnya memahami. Sebuah hubungan serius yang akan bermuara pada gerbang pernikahan tak pernah jadi hal yang mudah untuk dilalui. Apalagi untuk sebuah pernikahan dengan janji untuk setia sehidup semati, tanpa terceraikan oleh apa pun kecuali oleh maut. Yang sebisa mungkin tidak seperti 'membeli kucing dalam karung'. Walaupun terlihat sebagai sebuah hukum yang 'absurd', tapi itulah yang harus dijalani.
Aula masih sepi ketika Owen sampai di sana. Pada sebuah sudut ia duduk dan berdiam diri. Kembali membiarkan angannya dipenuhi oleh bayangan seorang Kencana.
Satu hal yang ia harapkan betul kali ini. Yang ia daraskan bagai litani.
Semoga aku tidak terlambat...
* * *
"Aku menuruti saran Ayah."
Nanan mengangkat alis ketika mendapati adik kesayangannya tengah menatap dengan sorot mata sepolos kanak-kanak. Hanya saja, ada bersit-bersit resah yang berebutan keluar dari bening mata Kencana.
Jumat sore, dua hari lalu, Kencana menghubunginya. Ingin bertemu. Mereka pun janjian untuk bertemu seusai misa pagi di sini, di halaman Sekolah Trinitas Cikarang yang ruang aulanya dipinjam-pakai untuk beribadah. Dan, di sudut aula terbuka itulah keduanya 'mojok' untuk mengobrol di tengah berbagai kegiatan yang dilaksanakan seusai misa.
"Jadi," lanjut Kencana, "aku sudah buat catatan plus-minus keduanya."
Nanan mengangguk. "Dan hasilnya?"
Bahu Kencana turun seketika. Gadis itu menunduk sedikit. "Dua-duanya seimbang. Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing."
"Oke," Nanan kembali mengangguk. "Itu catatannya. Kalau hatimu sendiri?"
Kencana terdiam. Itulah yang membuatnya resah. Ketika hati dan catatannya bicara hal yang bertolak belakang dengan pikirannya. Ketika hatinya cenderung untuk memilih yang lebih ia sayangi dan catatannya lebih berat ke satu orang, sementara pikirannya berseru-seru untuk melakukan hal lain. Hal yang 'harus dilakukan'.
Nanan tercenung ketika gumaman demi gumaman Kencana mengungkapkan semua itu.
"Aku sudah berdoa, mengheningkan diri. Siapa yang pada akhirnya harus kupilih sudah berkali-kali muncul di kepalaku. Aku hanya... takut salah. Mas Nanan, kan, tahu sendiri hukum pernikahan kita. Nggak boleh berpisah dalam kondisi apa pun. Sementara untuk cinta...," Kencana tertunduk. Tak kuasa melanjutkan curahan hatinya.
Nanan paham seutuhnya. Sekian lama waktu yang dilalui Kencana bersama Denta tentunya sulit untuk dihapuskan begitu saja dari benak dan hati Kencana. Apalagi dalam rentang waktu yang baru sekian belas bulan.
"Dan, Ibu...," suara Kencana makin hilang. "Mas Nanan, kan, tahu sendiri seberapa besar keinginan Ibu untuk mantu[3]. Aku nggak mau hanya karena diburu keinginan Ibu itu, maka aku pun jadi terburu-buru dan salah memutuskan."
"Kalau kamu sudah merenungkan baik-baik," ujar Nanan, bijak, "dengan membiarkan Tuhan membantu melalui suara hati, semoga pilihanmu tidak salah, Can."
Kencana manggut-manggut.
"Soal cinta," lanjut Nanan, "biarkan hatimu terbuka lebar untuk itu. Maka kamu akan mendapatkan yang terbaik."
Kencana tercenung dan terdiam. Lama.
* * *
Catatan :
[1] Komper = komuni pertama
[1] Komper = komuni pertama
[2] Depar = dewan paroki
[3] Mantu = menyelenggarakan pernikahan anak perempuan (kalau untuk anak laki-laki = ngundhuh mantu).
Episode-episode sebelumnya akan digeser tanggal penayangannya, disesuaikan dengan jadwal seharusnya penayangan seluruh rangkaian cerbung ini.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar