Dua Belas
"Mm... Anak-anak kangen padamu."
Kalimat sederhana yang diucapkan laki-laki tampan di seberang sana itu tak pelak mengguncangkan hati Kencana. Jujur, ia pun merasakan hal yang sama.
"Ya," ia mengangguk. "Aku juga."
Handaru tersenyum. Tipis. Ditatapnya Kencana melalui layar video call.
"Baik-baik di sana, ya," senyumnya. "Pikirkan saja training-mu. Jangan hal-hal lain, terutama anak-anak."
Kencana mencoba untuk membalas senyum itu. Terlihat setengah hati.
Tidak memikirkan anak-anak? pikir Kencana sekilas.
Sekilas pula, diliriknya sebuah koper baru yang teronggok di sudut kamar. Sudah nyaris tak bisa ditutup lagi karena berbagai boneka dan mainan yang ia jejalkan di dalamnya.
Sudah hampir tiga minggu ia menjalani training rutin di Boston, Amerika Serikat. Selama tiga minggu itu pula, ada beberapa kali acara santai pada akhir pekan yang diisinya dengan berjalan-jalan bersama rekan-rekannya sesama trainee dari berbagai negara. Dan, salah satu hal yang dilakukannya adalah berburu aneka mainan dan boneka kecil. Untuk Neri dan Rika.
"Ya, sudah..."
Suara berat yang lembut itu menyentakkan kesadaran Kencana. Ia kembali pada layar ponselnya.
"Ini aku masih di kantor," lanjut Handaru. "Pulang dulu, ya."
Kencana mengangguk. "Salam buat anak-anak dan Ayah."
Handaru menggangguk dan mengucapkan salam, kemudian menghilang dari layar setelah Kencana membalasnya. Kencana tercenung seketika. Ia menatap langit pagi di balik jendela kamar penginapannya di lantai dua belas sebuah hotel.
Masih seminggu lagi... Kencana mengerjapkan mata.
Kerinduan itu baru dirasakannya makin pepat saat ia berada jauh dari tanah air. Kerinduan pada semua orang yang disayanginya.
Dan anak-anak...
Kencana menghela napas panjang.
Sepasang anak kembar yang sangat manis itu benar-benar telah mencuri sebagian besar hatinya. Sejak acara pesta nama paroki, tanpa bisa dicegah, mereka memang makin dekat. Tak terlalu banyak pertemuan pada hari biasa, tapi ia nyaris sepenuhnya milik anak-anak sepanjang hari Minggu.
Dan Owen... Ah! diam-diam Kencana mendesah.
Diakui atau tidak, ia juga sangat merindukan pemuda itu.
* * *
Aku pun merindukanmu...
Handaru menatap layar ponselnya yang sudah beberapa detik lamanya menghitam.
Sangat...
Dihelanya napas panjang.
Seandainya...
Ia menggeleng samar. Seharusnya tak boleh lagi ada kalimat yang diawali dengan kata 'seandainya'. Semua yang sudah dilaluinya sudah telanjur terjadi. Sekaligus telanjur menorehkan trauma. Membuatnya dilanda keraguan yang besar untuk memulai lagi.
Tapi anak-anak?
Handaru menggigit bibir bawahnya. Rasanya tak mungkin lagi mengabaikan naluri anak-anak. Naluri untuk merasa rindu terhadap kasih sayang yang berasal dari seorang ibu. Sekeras apa pun usahanya untuk menggantikan dan merangkap posisi itu dalam kehidupan anak-anak.
Dan, hatinya sendiri? Ia mau mengakui atau tidak, sudah sejak awal hatinya terusik oleh sosok seorang Kencana atau ‘Ican’. Sosok yang saat itu bahkan baru ia ketahui kisahnya dari Paul dan Denta, belum bertemu muka. Ketika pertemuan itu pada akhirnya terjadi tanpa disengaja, seketika itu juga hatinya tertambat.
Bukan aku saja, ia mengerjapkan mata. Anak-anak juga.
Baginya, itulah hal yang terpenting. Anak-anak.
Ia melirik ke sudut kanan meja kerjanya. Senyum sepasang anak kembarnya dalam sebingkai foto begitu saja meluluhkan semua rasa letih dan resahnya. Dihelanya napas panjang.
Waktunya pulang...
* * *
Owen melirik sekilas ke arah kiri. Biasanya, walau tidak selalu, mobilnya parkir berdampingan dengan mobil Kencana. Tapi sudah sekitar tiga minggu ini ia 'sendirian'. Sejak Kencana harus mengikuti training berkala, yang kali ini dilangsungkan di Boston.
Owen menghidupkan mesin mobilnya. Sambil menunggu antrean agak lengang, ia kembali melabuhkan sebagian kesadarannya pada sepotong alam lamunan.
"Hm... Rasa-rasanya aku bakal kangen berat sama acara Jumatan kita, Wen," begitu ucap Kencana saat Jumat terakhir sebelum ia terbang ke Boston.
"Wah, aku bakal bisa sedikit irit selama sebulan, nih," Owen menimpalinya dengan canda, sekadar untuk menutupi rasa hati yang sebenarnya.
Dan, tentu saja! Ia merasa sangat kehilangan Kencana. Mengingat itu, ia mulai memikirkan sesuatu.
Sampai berapa kali lagi aku harus kehilangan Ican?
Sebuah kesadaran menyedotnya secara paksa keluar dari lamunannya. Antrean untuk keluar dari basement melengang. Owen pun mulai menekankan kaki kirinya pada pedal gas.
Aku harus melakukan sesuatu!
* * *
Selanjutnya
Catatan : cerbung "Jarik Truntum Garuda #12" sampai tamat sudah mengudara melalui fb, page FiksiLizz. Tapi yang tayang di blog ini adalah edisi revisi (ada sedikit pengembangan) dari yang sudah ada di fb. Seperti apa pengembangannya? Monggo diintip-intip.
Catatan : cerbung "Jarik Truntum Garuda #12" sampai tamat sudah mengudara melalui fb, page FiksiLizz. Tapi yang tayang di blog ini adalah edisi revisi (ada sedikit pengembangan) dari yang sudah ada di fb. Seperti apa pengembangannya? Monggo diintip-intip.
Aku kangen Kak Kania sama Kak Piyik. 😐
BalasHapusIntip aja si piyik 😁😁😁
Hapus