Sebelas
Pesta nama paroki berlangsung sangat meriah menjelang siang hari Minggu itu. Berbagai acara di panggung gembira yang diselingi berbagai door prize membuat suasana kian gegap gempita. Tepuk tangan menggemuruh pecah ketika BIA usia 4-6 tahun membawakan gerak dan lagu yang sungguh padu dan jenaka.
Pembina BIA termasuk Kencana menyambut anak-anak yang turun dari panggung dengan wajah puas dan riang. Usaha mereka selama beberapa minggu ini untuk melatih anak-anak sama sekali tidak sia-sia. Anak-anak pun berceloteh riang dan terlihat sangat gembira mendapat sambutan gempita dari para penonton.
“Ayo, sekarang kita ke aula. Tante Ican punya hadiah buat yang sudah tampil bagus!” Kencana menggiring anak-anak yang segera berlarian ke arah aula.
Sesampainya di sana, di tengah segala keriuhan dua puluh tiga anak usia 4-6 tahun itu, dengan sabar Kencana menyuruh mereka tenang dan duduk. Suaranya yang tegas tapi lembut berhasil mengalahkan anak-anak itu. Tak sampai lima menit, semua anak sudah duduk manis di atas karpet, berkumpul di sekitar Kencana. Sementara pembina BIA yang lain sibuk menyiapkan sesuatu.
“Siapa yang hatinya senang tampil seperti tadi?” senyum Kencana.
“Saya! Saya!” semuanya berseru sambil mengacungkan telunjuk mungilnya masing-masing.
“Oke, pintar... Terus, siapa yang besok-besok tetap mau rajin ikut BIA?”
“Saya! Saya!”
“Owh... Semua anak kesayangan Tuhan, ya? Oke... Terus, siapa yang sekarang haus?”
“Saya! Saya!”
Kencana tertawa geli. “Yang lapar?”
“Saya! Saya!”
“Nah, sekarang kita mau makan dan minum. Sabar, ya. Tunggu dibagikan dulu. Setelah itu kita harus ber...”
“...doa...!”
“Sip! Anak pintar semuanya,” Kencana mengacungkan jempol.
Pembina BIA yang lain dengan cekatan mulai membagikan kotak makanan dan kotak snack. Tak ada acara berebut. Anak-anak itu tetap duduk manis di tempat masing-masing. Walaupun ada yang iseng mengintip apa isi kotak, tapi belum ada yang mulai makan duluan. Setelah selesai, Kencana bertepuk tangan sejenak untuk meminta perhatian anak-anak.
“Sudah dapat semua?”
“Sudaaah!”
“Nah, sekarang kita ambil sikap berdoa, tutup mata, hening sejenak...”
Lalu Kencana mulai memimpin doa dengan suaranya yang bening. Setelah itu, barulah anak-anak mulai makan. Para orang tua yang menyusul belakangan segera membantu anak masing-masing untuk membuka minuman dan kotak makanan.
Di sudut kanan, Kencana melihat bahwa Rika dan Neri duduk di agak di tepi. Kencana mendekati keduanya. Rika mencoba menusukkan sedotan ke dalam minumannya, tapi berkali-kali gagal. Kencana segera berlutut dan meraih minuman Rika. Setelah berhasil, Neri pun menyodorkan minumannya.
“Punya Neri juga, Tante,” perjaka kecil itu meminta dengan nada manis.
“Siap, Kapten!” Kencana tersenyum lebar.
Tangannya kemudian terulur untuk mengelus kepala anak kembar itu, setelah keduanya serempak mengucapkan terima kasih. Keduanya lalu terlihat sudah sangat terampil makan sendiri tanpa dibantu. Kencana dengan santai duduk lesehan di samping keduanya.
“Papa kamu mana?” tanya Novia, yang duduk di dekat mereka, tiba-tiba.
“Lagi main kibot, Kak,” jawab Rika pada remaja tanggung yang sedang menunggui adiknya itu.
“Oh...”
“Can!”
Kencana menoleh dan memutar badan sedikit. Ia mendapati Nina tengah berjalan cepat ke arahnya dengan sedikit terengah.
“Hah! Lo kayak dikejar setan,” Kencana tertawa.
“Hooo... Gue lupa dipesenin Mas Daru supaya jaga anak-anak,” ucap Nina sambil menghela napas panjang. “Mana Rika sama Neri?”
“Nih!” Kencana menunjuk ke belakang punggungnya.
Nina kembali menghela napas lega. Apalagi melihat si kembar terjaga dengan baik. Tengah asyik menikmati makanan dan minuman sambil berceloteh dengan kawan-kawan di sekitarnya. Nina pun menjatuhkan diri di sebelah Kencana.
“Sudah, gue yang temenin anak-anak. Lo dicari Frater Amadeus, noh!”
“Hah?” Kencana ternganga sejenak. “Ngapain?”
“’Bentar lagi acara saweran sosial. Dia mau nyanyi duet sama lo biar dapet banyak.”
“Kenapa dadakan, sih?” Kencana mengerucutkan bibir.
“Lha, itu juga si Frater ditodong sama Romo. Dah, sono!”
“Halah...,” Kencana menggerutu sejenak.
Tapi ia bangkit juga dan meninggalkan aula. Kembali ke halaman belakang gereja. Ternyata kedatangannya memang sudah ditunggu. Kencana tidak bisa ngeles lagi karena Romo Thomas sendiri yang kini menodongnya. Alvin tertawa lebar melihat Kencana kini beringsut ke arahnya.
“Sudahlah, terima nasib,” ujar Alvin.
Kencana menggelengkan kepala dengan ekspresi jenaka. Keduanya masih sempat berunding karena saat ini di panggung masih tampil paduan suara senior paroki, yang terdiri dari anggota kor inti paroki yang berusia lima puluh plus – termasuk Paul, Jati, dan Ndari. Mengalunkan ‘Lord’s Prayer’ dengan begitu indahnya. Kencana dan Alvin kemudian sepakat untuk menyanyikan ‘The Prayer’.
“Cuma satu lagu, kan?” celetuk Kencana.
“Enak saja, cuma satu,” mendadak terdengar sahutan penuh nada canda dari arah belakang mereka. Romo Sapto. “Minimal tiga.”
“Waduh!” Kencana terjingkat sedikit.
Alvin tertawa melihatnya.
“Hafal ‘Veni Domine’ nggak, Can?” celetuknya kemudian.
“Hafal, sih.”
“Ya, sudah,” putus Alvin. “Tambah itu. Tinggal satu lagi. Habis ini masih ada gregorian[1] dari tahun rohani[2]. Kita masih sempat mikir.”
Keduanya kemudian menepi sejenak sambil berbincang-bincang. Akhirnya mereka sepakat untuk menambah satu judul lagi, ‘Nella Fantasia’. Dari tempat mereka duduk, masih terlihat kesibukan di panggung. Pergantian tim paduan suara.
“Aku...,” suara dan tatapan Alvin begitu ragu-ragu, “... ikut prihatin... soal hubunganmu... dengan mantanmu..., Can. Denta.”
Kencana tercenung sedikit. Tapi gadis itu menyambungnya dengan senyuman.
“Mungkin Tuhan sedang ingin bercanda sejenak denganku, Frater,” ucapnya kemudian.
Alvin tertawa kecil mendengarnya. Ada nada lega dalam tawa itu.
“Akan ada yang terbaik untukmu,” gumamnya.
“Amin...,” senyum Kencana melebar.
Sambil menunggu selesainya para frater tahun rohani selesai menyanyi, Kencana dan Alvin mengobrol tentang banyak hal. Entah bagaimana awalnya, obrolan mereka menyentuh soal Owen.
“Aku dengar dari anak-anak OMK, Owen dan Tinus ‘menunggu jandamu’, Can,” Alvin tergelak.
Kencana tersenyum masam. Soal Tinus, dia sudah tahu itu. Hanya saja sepertinya ia aman karena Tinus sudah pindah kerja ke Palembang beberapa minggu lalu. Tapi kemudian ia tersentak.
“Eh? Owen?” ia menoleh cepat.
“Owen teman SMP-mu dulu, kan?” Alvin mengangkat alisnya.
Owen? Owen???
Kencana terhenyak.
Dari tempatnya duduk, Kencana bisa menatap Owen yang setia stand by di samping alat pengatur sound system. Pemuda itu tampak sibuk memantau agar tidak terjadi lengkingan pengeras suara yang mengganggu telinga. Sesekali Owen bercakap dengan Sunu yang duduk di sebelahnya.
Owen?
Kencana mengerjapkan mata.
Semua perhatian yang kuterima dari Owen, semua kebersamaan kami, apakah...
Kencana tak berani melanjutkan pikirannya. Owen, sahabat lawan jenisnya yang paling baik... Kencana mendegut ludah.
* * *
Saweran sosial yang digawangi Alvin dan Kencana selama sekitar dua puluh menit menghasilkan uang yang bernilai cukup fantastis. Hampir dua puluh juta rupiah. Hanya kurang tiga puluh lima ribu rupiah saja, yang langsung digenapi oleh Kencana. Ketika hasil itu diumumkan menjelang berakhirnya acara pesta nama, semua yang hadir bersorak gembira.
Alvin segera mendatangi Kencana yang duduk di sebelah Nina di tepi tempat acara. Sedang memangku Rika yang tertidur. Sedangkan Neri sama, hanya saja dipangku Nina. Dijabatnya tangan Kencana dengan ekspresi wajah riang.
“Nggak sangka, duet kita masih nendang, ya, Can?” Alvin tertawa lirih.
Kencana nyengir lebar.
“Ingat dulu pas kita duet saat penutupan masa orientasi angkatanmu,” sambung Alvin.
Kencana nyengir lagi. Masa yang cukup indah...
Ketika hendak duduk di dekat Kencana, segerombolan anak PAPSi memanggil Alvin untuk berfoto bersama. Alvin pun menurutinya dengan senang hati. Sementara itu, Nina menatap Kencana dengan curiga.
“Lo pernah duet sama Frater?” usik Nina. “Di mana?”
Kencana menoleh, menatap Nina dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Waktu SMP,” jawab Kencana. “Gue, kan, pernah pacaran sama dia.”
Nina ternganga. “Serius?”
“Serius,” angguk Kencana. “Dia kakak kelas di atas gue persis. Sempat hampir dua tahun pacaran dari awal gue kelas satu, sampai dia lulus dan lanjut ke seminari.”
Nina masih terbengong. Ternyata... Ckckck... Ican... Sejarah lo... Tapi dilihatnya Kencana tetap bersikap santai. Dan, Nina sungguh-sungguh memahami, bahwa Kencana bukanlah gadis yang suka lepas kendali ‘lompat pagar’ hanya demi mengejar cinta.
Keduanya mendongak ketika Handaru datang menghampiri, kemudian duduk di sebelah Kencana. Laki-laki itu segera meraih Rika dari dekapan Kencana. Tapi gadis kecil itu malah merengek dan memeluk Kencana lebih erat lagi ketika tidurnya terusik. Matanya tetap terpejam.
“Lho... Anak ini...,” gumam Handaru.
Tapi ia berhasil meraih dan memindahkan Neri ke pangkuannya. Ditatapnya Rika dengan tak berdaya.
“Biarin saja, Mas,” bisik Kencana. “Kasihan. Capek mereka. Mana sudah siang begini.”
“Iya, sih,” gumam Handaru. “Biasanya jam segini pada bobok siang.”
“Mas Daru mau pulang ini?”
“Iya, Can,” Handaru mengangguk. “Om Paul juga sudah capek kelihatannya. Sudah hampir jam tiga ini.”
“Yuk, aku bantu gendong Rika ke mobil,” pelan-pelan Kencana berdiri.
Handaru kembali mengangguk dan menjajari langkahnya. Sementara itu Nina mengekor di belakang. Kalau Kencana pulang, ia juga harus pulang. Karena hari ini ia sepenuhnya nebeng Kencana. Ketika mereka keluar, Paul, Jati, dan Ndari tampak sudah menunggu di area parkir dekat mobil mereka yang parkir berdekatan. Paul buru-buru menyongsong Kencana, hendak mengambil alih Rika. Tapi kejadian yang sama terulang. Gadis kecil itu tak mau lepas dari pelukan Kencana. Paul dan Kencana saling menatap sejenak. Kencana tersenyum simpul.
“Sudah, Ican biar ikut saja,” celetuk Jati. “Kasihan Rika. Bisa rewel nanti kalau tidurnya terganggu.”
Kini, Kencana ganti menatap Handaru. Laki-laki itu mengirimkan sinyal permohonan. Akhirnya Kencana mengangguk.
“Nanti kuantar pulang,” ujar Handaru.
“Nggak apa-apa, aku jalan kaki saja nanti,” elak Kencana. “Dekat begitu.”
“Sudah mau hujan ini, Can,” tukas Handaru lembut sambil membuka pintu mobil.
“Biar dijemput Nina,” Ndari memberi solusi. “Nanti biar Nina drop dulu kami di rumah.” Ndari beralih menatap Nina, “Kamu masih bisa nyetir, kan, Nin?”
“Siap, Tante!” jawab Nina dengan sigap.
Kencana pun kemudian masuk melalui pintu kiri belakang sedan Paul. Melalui pintu di sisi satunya, Handaru mendudukkan Neri, yang segera menempel pada Kencana dan kembali memejamkan mata. Dengan tangan kanannya yang bebas, Kencana merengkuh Neri.
“Makasih banyak, ya, Can,” ucap Handaru sambil mulai meluncurkan sedan Paul. “Maaf, bikin kamu repot.”
“Nggak apa-apa, Mas,” senyum Kencana. “Santai saja.”
Hujan turun merinai sebelum lima menit mereka meluncur pulang. Dengan suara rendah, Paul dan Handaru bercakap tentang acara meriah yang baru saja mereka ikuti.
“Baru kali ini, ya, Can, saweran sosial bisa tembus nominal hampir dua puluh juta?” Paul berusaha melibatkan Kencana yang duduk di jok belakang.
“Hehehe... Nasib baik, Yah,” lirih Kencana menanggapi.
“Tapi duetmu sama Frater memang dahsyat,” puji Paul. “Itu si Frater harus hati-hati mulai dari sekarang. Sebentar lagi gerombolan gadis-gadis nekad pasti nginthil. Sudah ganteng, suaranya bagus pula.”
“Cukup tahan banting dia, Yah. Kayaknya memang panggilan benar dia.”
“Kamu kelihatannya paham betul soal beginian, ya, Can?” gumam Paul.
“Paham, sih, mungkin nggak sedalam itu, Yah. Tapi saya kenal Alvin. Frater Amadeus, maksud saya. Dia dulu kakak kelas saya di SMP. Mm... Dulu kami sempat pacaran dua tahun. Cinta monyet, hehehe...”
“Hah?” seketika Paul memutar badannya. “Serius?”
“Serius,” Kencana tertawa lirih.
Paul mengembalikan arah duduknya, kemudian menggumam, “Inilah yang kusebut paham. Kamu memang paham, Can.”
Lalu hening, hingga Handaru membelokkan mobil Paul masuk ke halaman rumah, dan langsung ke garasi. Ketika hendak mengambil alih Rika dari pangkuan Kencana, sekali lagi kejadian yang sama terulang. Rika merengek, tapi kali ini gadis kecil itu membuka matanya.
“Nih, sudah sampai rumah, sayang,” bisik Kencana. “Turun, yuk...”
Rika terlihat bingung sejenak, tapi kemudian mendekap Kencana lagi dengan lengan mungilnya. Handaru terlihat hilang akal. Kencana pun pelan-pelan, dengan susah payah, beringsut keluar dari dalam mobil.
“Rika, Tante Ican capek, sayang,” bujuk Handaru sambil mengulurkan tangannya.
Tapi gadis kecil itu malah menyusupkan wajahnya ke leher Kencana. Handaru terlihat menyerah. Kencana tersenyum lebar.
“Ngantuk banget dia kelihatannya,” ucapnya penuh nada maklum.
Setelah berpamitan pada Paul, sambil menggandeng Neri, Handaru kemudian mengajak Kencana ke rumah sebelah. Bahkan langsung ke kamar si kembar. Sambil menguap, Neri membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan kaki menjuntai ke bawah. Handaru dengan cekatan melepas sepatu Neri dan Rika sekaligus. Kemudian diambilnya dua pasang kaus dan celana pendek mungil dari dalam lemari.
“Neri, ganti baju dulu, ya, Nak,” ucap Handaru sabar. “Atau sekalian mandi saja, ya? Setelah itu lanjut bobok.”
Perjaka kecil itu segera menurut. Sementara Rika tampaknya masih berusaha ‘mengumpulkan nyawa’. Gadis mungil itu menguap lebar sambil masih menyandarkan badannya di dada Kencana yang duduk di tepi ranjang Rika.
“Aku mandikan Neri sebentar, ya, Can?” ucap Handaru.
Kencana mengangguk. Sepeninggal Handaru, Kencana memeluk Rika dengan lebih erat.
“Habis ini Rika gantian mandi, ya?” bisiknya halus.
Gadis kecil itu mengangguk.
“Mau sama Papa apa Tante Ican?”
“Tante Ican,” jawab Rika tegas.
Kencana tersenyum lebar sambil mengecup puncak kepala Rika.
* * *
Anak-anak itu...
Kencana membenamkan wajahnya ke bantal. Entah kenapa kali ini bayangan wajah kedua anak manis itu tak juga mau berlalu dari dalam benaknya. Sudah beberapa minggu ini memang kedua anak itu seolah ingin selalu berada di dekatnya saat BIA berlangsung. Apalagi memang BIA usia 4-6 tahun di bawah asuhan Kencana lebih intensif berlatih untuk penampilan di acara pesta nama. Dan puncaknya adalah tadi, saat Rika enggan lepas dari pelukannya.
Sekecil itu sudah tak pernah merasakan belaian tangan ibu sejak lahir.
Mata Kencana mengaca tiba-tiba, ketika ingat percakapannya dengan Handaru saat mereka menikmati teh berdua di teras rumah Handaru, menunggu jemputan Nina. Anak-anak sudah tidur pulas setelah mandi.
“Maaf, sudah merepotkamu, Can,” ucap Handaru sambil menyesap tehnya.
“Ayolah, Mas. Nggak perlu minta maaflah,” Kencana menanggapi dengan suara halusnya. ”Wajar, kok. Apalagi mereka sudah capek ikut acara dari pagi. Selesai misa langsung ikut memeriahkan pesta nama. Masih bagus mereka nggak rewel.”
Handaru menghela napas panjang. Tatapannya tampak menerawang menembus rapatnya tirai hujan.
“Mungkin di bawah sadar, Rika merindukan belaian tangan mamanya,” gumam Handaru. Suara lirihnya terdengar seperti berasal dari tempat yang jauh.
Kencana tercenung sejenak, sebelum bertanya dengan nada sangat hati-hati, “Kalau boleh tahu, sejak umur berapa anak-anak sudah tidak lagi merasakan belaian kasih mamanya?”
Handaru menoleh. Menatap Kencana. Dengan sorot mata kelam yang terlihat penuh rasa sakit.
“Sejak lahir, Can,” bisiknya, terdengar begitu pahit. “Bahkan sejak dalam kandungan. Saat anak-anak dirawat di NICU selama berminggu-minggu, jangankan menyentuh, menengok pun dia tak pernah.”
Air mata Kencana hampir runtuh mendengarnya.
“Aku sudah pesimis saat itu, rasa-rasanya bakal kehilangan anak-anak,” lanjut Handaru, masih dengan kepahitan yang sama. “Bayangkan saja, lahir prematur, dengan berat masing-masing hanya setara sekantung gula, harapanku sudah tipis. Tapi anak-anak mau berjuang, Can. Itu yang membuat rasa pesimis itu berubah jadi optimis. Sampai akhirnya mereka bisa kubawa pulang. Saat itu masih ada Mama. Mama yang mengajariku merawat anak-anak. Sayangnya Mama dipanggil pulang begitu cepat. Bersama Papa. Kecelakaan lalu lintas dua tahun lalu. Sejak saat itu aku benar-benar sendirian merawat anak-anak. Hanya dibantu Mak Upik. Sampai sekarang.”
Kencana hanya mampu terdiam. Menyesap tehnya pelan-pelan. Hingga Nina datang menjemputnya.
Kencana berbalik dan menyusut air matanya yang mendadak saja sudah meleleh. Ia belum tahu kenapa pernikahan Handaru dengan ibu si kembar bisa berantakan. Mungkin juga tak perlu tahu. Tapi anak-anak itu...
Kencana menghela napas panjang. Sejujurnya ia juga letih di pengujung hari Minggu yang penuh kegiatan itu. Sementara esok pagi ia harus bekerja seperti biasa. Maka setelah mengucapkan doa, ia pun mulai mengosongkan pikiran dan memejamkan mata. Membiarkan alam mimpi mengambil alih dunianya. Tapi kali ini mimpi yang lain. Mimpi tentang dongeng di atas awan dengan anak-anak, Rika dan Neri.
* * *
[1] Gregorian = lagu yang menggunakan notasi yang digubah oleh Paus Gregorius Agung, berupa lagu polos tanpa notasi birama (hitungan/ketukannya berdasarkan perasaan penyanyi), bersifat monofoni (lagu tunggal).
[2] (Frater) Tahun Rohani = frater yang masih berada di tingkatan awal masuk seminari tinggi.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.