Kamis, 20 Juli 2017

[Cerbung] Infinity #8



Delapan


Dengan wajah ragu-ragu, Luken menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah mungil yang kental dengan suasana hijau dan sejuk karena aneka tanaman pada hari Minggu menjelang siang itu. Ia sempat diam sejenak, berpikir lagi, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar sambil menenteng sebuah tas kertas, mengunci pintu mobil, dan menghampiri pagar. Seperti biasa, pagar itu tidak terkunci. Pintu depan terbuka lebar, begitu juga sebuah MPV yang parkir di carport, tanda pemiliknya tidak pergi. Dalam beberapa langkah, ia sudah berada di ambang pintu. Dengan sopan diketuknya pintu tiga kali.

“Bapak, Ibu, permisi...,” ucapnya.

“Ya?”

Terdengar suara perempuan menyahut dari dalam, diikuti langkah kaki. Dalam waktu sekian detik, pemilik suara itu muncul. Menatap Luken dengan sedikit terbelalak.

“Mas Luken!”

Laki-laki itu bergegas menghampiri setelah meletakkan tas kertasnya di samping sebuah sofa tunggal. Dijabatnya tangan perempuan berusia 60-an itu sekaligus mencium punggung tangan.

“Apa kabar, Bu?” bisik Luken ketika perempuan itu memeluknya.

“Baik... Baik... Mas Luken sendiri bagaimana?” tangan perempuan itu menepuk-nepuk punggung Luken.

“Baik, Bu.”

Keduanya saling melepaskan pelukan.

“Bapak mana, Bu?” Luken menatap perempuan itu.

“Ada,” angguk perempuan itu. “Lagi mandi. Baru saja pulang main tenis. Sebentar Ibu panggil. Ayo, Mas, duduk dulu.”

Ketika perempuan itu masuk, Luken pelan-pelan menempatkan diri pada sebuah sofa tunggal. Ia menatap berkeliling. Tak ada yang berubah dari ruangan ini dari terakhir ia berkunjung ke sini beberapa bulan lalu.

Oh, ada..., ralatnya tiba-tiba.

Pada dinding di seberang tempat duduknya, tergantung sebuah bingkai berisi foto baru. Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri, seorang balita laki-laki, dan bayi yang digendong sang ibu. Mata Luken mengerjap.

Jadi Julia sudah lahiran...

Sepasang laki-laki dan perempuan dalam foto itu adalah Gama dan Julia. Gama adalah adik tunggal mendiang Irene. Julia adalah istri Gama. Balita laki-laki itu adalah Io, dan tampaknya sekarang sudah memiliki adik.

Sekejap mata Luken mengembun. Ia perlu mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengusir pergi kabut itu. Tepat saat itu, sang nyonya rumah muncul kembali membawa sebuah nampan yang berisi tiga cangkir teh dan sebuah piring berisi lapis Surabaya dan risoles.

“Bu, repot-repot?” Luken buru-buru mengambil alih nampan itu dan meletakkannya di atas coffee table.

“Ah, enggak...,” sahut Mira, sang nyonya rumah, sambil dengan cekatan menata suguhan itu. “Sebentar, Bapak lagi pakai baju,” senyumnya. “Ayo, Mas, minum dulu, kuenya juga dimakan.”

“Terima kasih, Bu,” Luken menjangkau cangkir dan tatakannya di atas meja. “Saya hari Minggu lalu ke sini, tapi Bapak dan Ibu pergi.”

“Oh, iya... Ada undangan nikahan tetangga belakang situ.”

“Oh...,” Luken menyesap sedikit isi cangkirnya.

Setelah meletakkan kembali cangkir itu, Luken meraih tas kertas yang ada di sebelah sofa yang didudukinya. Diulurkannya benda itu pada Mira.

“Ini ada sedikit oleh-oleh untuk Ibu dan Bapak,” senyumnya. “Saya jalan ke Eropa beberapa hari lalu.”

“Wah... repot-repot...,” Mira menerima tas kertas itu dengan mata berbinar. “Makasih banyak, Mas Luken.”

“Sama-sama, Bu.”

“Liburan ke sana?”

Luken menggeleng. “Urusan pekerjaan, Bu.”

Ketika Teja, sang tuan rumah, muncul, Luken menerima pelukan lagi yang begitu hangat dari laki-laki itu. Sejujurnya sambutan yang begitu akrab itu justru menimbulkan perasaan bersalah dalam hatinya.

Ia tak begitu sering meluangkan waktu untuk berkunjung. Hanya tiga atau empat kali setahun. Bahkan hingga sekarang, tiap kunjungan ke rumah ini masih menimbulkan rasa nyeri di hati. Bagaimanapun, rumah ini pernah menjadi sebagian besar hidupnya. Lebih tepatnya, sebagian besar hidup mendiang Irene.

“Mas..., kapan?” senyum arif Teja menyertai pertanyaan dalam nada halus itu.

Seutuhnya Luken memahami arti pertanyaan Teja. Sama sekali tidak ada nada mendesak. Tapi ada aroma dorongan di sana. Sepenuhnya Teja dan Mira memahami bahwa sudah lebih dari cukup Luken membahagiakan Irene hingga detik terakhir hidup Irene. Sudah lebih dari cukup Luken mempertahankan kesendiriannya setelah Irene tiada. Sudah lebih dari cukup Luken mempertahankan kesetiaannya pada Irene. Luken masih memiliki masa depan, walaupun usianya sudah hampir masuk ke angka akhir 30-an.

“Saya...,” Luken menghela napas panjang. “Jarak usia kami cukup jauh, Pak, Bu. Dia masih sangat muda.”

“Mas...,” nada suara Teja masih terdengar sangat halus. “Kalau sudah jodoh, umur itu nggak penting. Wong presiden Perancis terbaru saja jomplang 25 tahun sama istrinya. Lebih tua yang perempuan pula! Memangnya Mas Luken beda berapa tahun sama dia?”

“Sekitar 14 tahun, Pak.”

“Ah, cuma 14 tahun,” senyum Teja melebar. “Ayolah, Mas. Maju!”

“Kalau sudah sama-sama tua, nggak bakal keliahatan beda jauh, Mas,” suara Mira terdengar sangat menyejukkan hati. “Memangnya ketemu di mana?”

“Sekretaris saya, Bu.”

“Nah, itu... Sudah tiap hari ketemu,” Mira tertawa ringan.

Luken tersenyum. Sejauh ini, tanggapan mantan mertuanya itu baik-baik saja. Sebenarnya sudah sejak awal keduanya mendorong Luken mencari pendamping hidup lagi setelah Irene tiada. Tapi Luken berusaha menyibukkan diri. Untuk melupakan kesedihan dan rasa kehilangannya. Hingga tak terasa waktu terus merambat.

Ada banyak perempuan yang berusaha didekatkan oleh teman-teman dan sepupu-sepupunya. Tapi tak ada satu pun yang mampu menggetarkan hati. Kecuali...

Dia yang sudah dua tahun ini kutemui nyaris setiap hari.

Barangkali benar bahwa cinta bisa ada dan hadir karena biasa. Biasa bertemu, biasa bercakap, biasa bersama. Tapi sepertinya yang ia hadapi lebih daripada itu. Tidak sesederhana yang ia bayangkan.

Ia ingat bahwa ia belum mendapat jawaban atas pesan soal lamaran itu. Dan setelah ia kembali dari Eropa, entah kenapa ada rasa ‘jauh’. Membuat keraguannya timbul kembali. Padahal saat di Eropa ia sudah bicara banyak dengan Sandra.

Perempuan itu adalah pendukung nomor satunya. Sudah berjanji untuk membantunya melakukan pendekatan lebih lanjut pada Olivia. Tapi semua itu harus tertunda karena ritme pekerjaan mereka beberapa hari ini sangat tinggi.

“Hanya perlu waktu yang pas, Pak Luken,” ujar Sandra saat itu.

Waktu yang pas...

Luken tercenung. Ia sedikit tersentak ketika Mira dan Teja mengajaknya mengobrol lagi. Hingga tiba waktu makan siang, dan Mira menarik tangannya ke ruang makan.

* * *


Selasa pagi itu, melihat Olivia turun tergesa melalui tangga, Arlena segera menyambutnya. Di tangan perempuan itu ada sebuah tas non-woven besar yang terlihat cukup berisi. Semalam, gadis sulungnya itu sudah mengatakan bahwa akan berangkat sepagi mungkin hari ini.



Hari Senin kemarin, ada kejadian yang luar biasa menggemparkan di kantor. Menjelang pukul sebelas, James ‘meminjam’ Olivia agar mendampinginya dalam urusan sewa-menyewa ruko dengan sekolah musik yang ada di seberang kantor Coffee Storage. Sekolah musik itu akan pindah ke tempat yang lebih besar. Luken turut serta karena setelah urusan itu selesai, ia dan Olivia akan langsung bertemu dengan wakil seorang pemasok di daerah Kebon Jeruk. Karena tidak ada pekerjaan lagi, James pun ikut.

Setelah urusan di Kebon Jeruk selesai lewat sedikit dari pukul dua, Luken bermaksud untuk mengajak paman dan sekretarisnya berbelok ke sebuah kafe untuk menikmati makan siang yang jamnya terpaksa mereka lewatkan di jalanan. Tapi sebelum maksud itu terpenuhi, Olivia mendapat telepon dari Sandra yang mengabarkan bahwa kantor mereka sedang dilanda kekacauan. Semua karyawan, tanpa terkecuali, mengalami keracunan yang diduga berasal dari jatah makan siang mereka yang dikirim oleh katering langganan, dari kadar ringan sampai buruk.

Ketiganya segera melupakan perut lapar yang berteriak minta diisi. Luken memacu mobilnya kembali ke kantor. Ketika mereka tiba, kondisi para staf kantor cukup membuat sport jantung. Beberapa yang parah sudah diangkut dengan ambulans ke rumah sakit terdekat. Yang masih bertahan pun sudah mulai lemas. Luken segera meminta kunci mobil Sandra dan memberikannya pada James. Dengan tiga mobil milik Luken, Olivia, dan Sandra, sisa staf yang masih ada di kantor pun segera diangkut ke rumah sakit, plus sampel makanan yang diduga sebagai sumber keracunan sebagaimana diminta pihak rumah sakit.

Semua urusan itu selesai menjelang pukul tujuh malam. Luken menyuruh Olivia pulang, sementara ia sendiri akan kembali ke kantor untuk membereskan kekacauan yang ada. Olivia yang mengetahui maksud Luken segera bersikeras untuk menemaninya. Dan ternyata memang banyak sekali yang harus dibenahi. Barang-barang pribadi staf seperti ponsel, laptop, tas, dan dompet masih banyak yang tertinggal. Satpam yang shift sore memang menjaga semua itu. Tapi demi keamanan lebih, Luken memutuskan untuk memasukkan semua itu ke dalam brankas besi di dalam ruang kerjanya. Sambil menunggui Luken melakukan semua itu dibantu oleh James, Olivia berusaha menyelesaikan pekerjaannya sendiri dan pekerjaan yang ditinggalkan Sandra.

Menjelang pukul sembilan, James muncul di lantai atas sambil membawa kantong plastik berisi makanan. Olivia segera menyimpan file di laptopnya, sekalian mematikannya. Pekerjaan Sandra sudah beres, tinggal pekerjaannya sendiri yang belum. Tapi masih bisa diselesaikan besok. Bertiga mereka kemudian menikmati nasi goreng yang dibeli James.

“Aku harus menuntut katering soal kekacauan ini,” suara Luken terdengar geram.

“Ya, harus,” James menanggapi tanpa bermaksud memanasi. “Buktinya, cuma kita bertiga dan satpam shift sore yang selamat, karena nggak menikmati makan siang dari katering.”

“Untung masih ada sisa paketan katering. Entah apa masih berguna atau tidak untuk bukti,” gumam Luken. Ia kemudian menatap Olivia. “Kamu sudah hubungi rumah, Liv? Kasihan kamu, sampai begini malam masih di sini.”

“Sudah, Pak,” angguk Olivia. “Nggak apa-apa. Kan, kondisi darurat.”

“Setelah ini kita bubaran, sudah. Aku capek,” gumam Luken. “Biar mobilmu dibawa Om James, Liv. Kamu kuantar pulang.”

“Besok aku bantu kalian,” janji James.

“Besok pagi saya akan berangkat sepagi mungkin, Pak,” Olivia menatap Luken. “Tidak perlu dijemput. Biar saya diantar Maxi saja.”

“Nggak apa-apa?” Luken menegaskan.

“Nggak apa-apa,” Olivia mengangguk mantap.

Pukul setengah sebelas malam, barulah Olivia sampai di rumah. Arlena dan Prima menunggunya pulang dengan wajah khawatir. Tapi senyum lelah Olivia meluruhkan segala kekhawatiran itu. Arlena segera membuatkannya secangkir wedang jahe hangat yang dinikmati si anak gadis sebelum naik ke kamar untuk mandi dan beristirahat.



“Ini sarapanmu, Liv,” ujar Arlena. “Mama kemaskan juga untuk Pak Luken dan Pak James. Itu Maxi sudah siap. Pakai mobil Mama saja.”

Tapi Olivia menggeleng sambil menerima tas itu. “Aku dijemput Pak Luken, Ma. Baru saja dia meneleponku. Sudah di jalan.”

“Oh, ya, sudah. Kamu tunggu sambil minum susu dulu. Sebentar Mama buatkan.”

Setelah meletakkan barang bawaannya di atas sofa ruang tengah, Olivia melangkah ke ruang makan. Di sana baru ada Maxi dan Prima. Tampaknya Carmela belum turun.

“Max, aku dijemput Pak Luken, nggak perlu diantar,” ujarnya sambil menjatuhkan badan di kursi sebelah Prima. Laki-laki itu memberinya kecupan hangat di kening. Tak berapa lama Carmela muncul, dan mendapat hal yang sama seperti kakak sulungnya.

“Berarti aku bisa tidur lagi setelah ini,” Maxi meringis.

“Lho, kamu nggak jadi ke kampus?” tanya Arlena yang muncul sambil membawa segelas susu coklat untuk Olivia.

“Pak Emir minta ditunda hari Kamis.”

Bel pagar berbunyi tepat ketika susu di gelas Olivia habis. Gadis itu buru-buru berpamitan, menyambar semua barang bawaannya, dan berlari keluar.

* * *

Dengan wajah tanpa minat Luken membiarkan utusan dari katering berbusa-busa menyampaikan pembelaan. Keduanya duduk berhadapan di depan meja Sandra. Pada ujung pembicaraan itu Luken memutuskan untuk menghentikan kontrak dengan katering yang melayani mereka selama kurang lebih setahun ini, sekaligus meminta pertanggungjawaban atas semua biaya rumah sakit para staf yang tidak ditanggung asuransi.

“Saya tidak menuntut uang saya yang sudah masuk ke kantung katering Anda untuk dikembalikan,” ucap Luken dengan nada dan ekspresi wajah dingin. “Saya juga tidak menuntut katering Anda untuk menutup kerugian atas berantakannya operasional perusahaan saya selama beberapa hari ke depan karena staf saya hampir semua terkapar di rumah dan rumah sakit. Saya HANYA minta katering menanggung semua biaya perawatan korban yang tidak ditanggung asuransi. Kalau Anda mengelak, sampel makanan beracun itu sudah sampai di labfor sekarang. Kita tunggu saja hasilnya. Kalau Anda masih mengelak lagi, saya siap membawa kasus ini ke pihak yang berwajib. Dan mulai hari ini, perusahaan saya tidak akan menerima katering dari Anda lagi.”

Secara halus Luken kemudian mengusir orang itu dengan alasan ‘masih banyak pekerjaan’. Olivia diam-diam saja bekerja di mejanya.

“Sudah jelas bermasalah begitu, masih juga mengelak macem-macem,” gerutu Luken begitu orang itu menghilang dari pandangan.

“Berarti harus cari katering baru, Pak,” gumam Olivia, menoleh sekilas.

“Ada saran?”

“Kenapa bukan Bu Min saja?” celetuk James tiba-tiba.

Dua pasang mata langsung mengarah padanya. Sedetik kemudian tatapan Luken beralih pada Olivia.

“Coba kamu urus, Liv,” tegas Luken. “Cuma 17 paket setiap hari dari Senin sampai Jumat. Aku pikir budhe-mu bisa mengatasi. Mulai Senin depan, ya. Aku pikir Senin depan kita sudah mulai aktif lagi secara penuh, kecuali yang parah banget. Harganya samakan dengan katering lama. Tapi kalau Bu Min mau harga baru, kasih saja. Nggak apa-apa kalau cuma beda tipis.”

“Baik, nanti saya bilang ke Budhe, Pak,” angguk Olivia.

Ketegangan di wajah Luken perlahan mengendur. Suasana di lantai dua itu kembali hening. Hanya sesekali terdengar percakapan antara Luken dan James yang duduk berhadapan di meja Sandra. Sesekali pula terdengar dering telepon.

Menjelang pukul dua belas siang, pesanan makanan dari resto sebelah sudah diantarkan. Mereka istirahat sejenak, menikmati makan siang sambil mengobrol. Sekilas Olivia melihat, tampak ada sedikit gurat kelelahan dalam wajah Luken.

Tentu saja!

Pekerjaan dua belas orang harus dirangkap oleh tiga orang. Pada saat ritme kerja sedang tinggi-tingginya pula. Dengan tanggung jawab terbesar harus disandang Luken.

Benar-benar cobaan...

Olivia menggeleng samar.

* * *

Menjelang pukul tujuh petang, barulah Olivia sampai di rumah. Wajahnya terlihat luar biasa letih. Ketika gadis itu menjatuhkan diri di sebelah Arlena di sofa ruang tengah, Carmela yang duduk di karpet dekat kaki ayahnya segera berinisiatif mengurut dengan lembut kedua kaki kakak sulungnya.

“Aduh... Enak banget...,” desah Olivia sambil merebahkan kepalanya ke belakang.

“Setelah ini kamu mandi, terus kita makan,” ujar Arlena. “Habis itu kalau kamu mau, Mama urut punggungmu, Liv.”

“Besok nggak usah bawa mobil, Liv,” celetuk Prima. “Kamu bareng Papa saja. Sorenya Papa jemput. Gimana, Ma?” laki-laki itu menatap istrinya.

“Begitu juga bagus,” angguk Arlena.

“Nanti, deh, aku pikir lagi,” gumam Olivia. “Sekarang lagi males mikir. Capek banget.”

Beberapa menit kemudian gadis itu menghilang sejenak ke kamarnya untuk mandi. Ketika ia turun lagi, seluruh keluarga sudah duduk manis di depan meja makan.

“Eh, Ma,” ucapnya seraya mengambil sayur dan lauk, “katering kantor, kan, sudah diputus sama Pak Luken. Terus Pak James usul supaya ambil katering saja dari Budhe Min. Aku tadi pas pulang mampir ke sana. Budhe sanggup, sih, cuma bingung cara antarnya. Kan, Budhe nggak ada kendaraan. Mama bisa bantuin, nggak?”

“Mama ambil ke rumah Budhe, terus antar ke kantormu?” Arlena segera tanggap. “Bisa... Bisa...”

“Kalau Mama lagi nggak bisa, boleh juga aku yang handle,” sahut Maxi. “Mulai kapan memangnya, Mbak?”

“Senin depan.”

“Nah!” mata Arlena terlihat berbinar-binar. “Boleh, tuh!

Olivia mengembuskan napas lega sambil mengucapkan terima kasih. Satu masalah sudah selesai. Selanjutnya masih ada tiga hari lagi untuk menyelesaikan kerja serabutannya.

* * *

Keesokan paginya, seusai mengantar Prima, Arlena muncul di rumah Minarti. Masih belum genap pukul setengah sembilan, tapi Minarti sudah mulai meringkas piranti jualannya.

“Yah, nasi uduknya sudah habis, Mbak?” Arlena tampak sedikit kecewa.

“Masih ada, sedikit lagi,” jawab Minarti. “Memangnya kenapa, Dik?”

“Sini, Mbak, aku mau.”

“Hehehe... Pas, ini cukup buat berdua,” Minarti menyiapkan piring.

Sejenak kemudian keduanya sudah duduk berhadapan di meja makan mungil di rumah sederhana itu. Arlena sebenarnya sudah cukup kenyang menikmati sarapan tadi di rumah. Tapi nasi uduk Minarti berhasil membuatnya ngiler dan lapar kembali.

“Mbak Min, dapat pesanan katering dari kantor Livi, ya?” tanya Arlena sambil menyuapkan sesendok nasi uduk ke dalam mulutnya.

“Livi sudah cerita?” Minarti mengangkat alisnya. “Kaget, aku... Nggak sangka ada kejadian seperti itu di kantornya. Mau aku tolak gimana, aku terima juga gimana.”

“Soal ambil dan antar, nanti urusanku, Mbak. Mbak Min tinggal mikir masaknya saja.”

“Hah?” Minarti ternganga.

“Livi minta tolong padaku untuk antar katering dari sini ke kantornya,” senyum Arlena. “Dan aku sudah menyanggupi.”

“Wah, jadi merepotkan, Dik,” wajah Minarti terlihat rikuh.

“Enggak...,” Arlena mengibaskan sebelah tangannya. “Tenang saja... Aku juga nggak ada kerjaan kalau jam segitu. Nanti kalau aku memang benar-benar lagi nggak bisa, biar digantikan Maxi. Dia sudah menawarkan diri.”

“Makasih banyak, lho, Dik.”

“Setelah ini ada kerjaan nggak, Mbak?”

Minarti menggeleng. “Luzar minggu ini libur katering. Lagi mau keliling-keliling ke Depok cari tempat kost.”

“Nah,” Arlena menepukkan kedua telapak tangannya. Wajahnya terlihat makin cerah. “Ayo, kita cari lunch box plastik, Mbak. Biar nggak kebanyakan buang dos.”

Minarti ternganga lagi. Arlena mengerjapkan mata. Menunggu jawaban. Ketika Minarti masih terdiam, Arlena bicara lagi.

“Aku punya teman distributor barang-barang plastik, Mbak. Barangnya kualitas nomor satu. Tadi sebelum ke sini aku sudah meneleponnya. Dia bisa kasih harga miring. Berapa pun yang kita mau ambil. Ayo, Mbak. Kesempatan, lho!”

“Begitu, ya?” gumam Minarti.

Makin dipikir, ia makin bersemangat.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

3 komentar:

  1. jadi inget kejadian dulu di tmp kerjaku, sama keracunan katering luar. sebagian besar staff tepar, abis maem menu ikan kembung. masih pre-opening hotel gitu, jadinya ya repot. bawa ke rumah sakit, naek turun tangga hotel gotong temen lemes....

    BalasHapus
  2. Waktu yang pas ????
    Cepetan po o pa Luken hadoooo !!!!

    BalasHapus