Enam
Pagi
itu Olivia terjaga dengan perasaan bergairah. Hari Jumat sudah tiba. Sore
nanti, ia ada janji untuk bertemu lagi dengan Allen. Entah kebetulan atau
tidak, sepanjang minggu ini sepulangnya Luken dari Eropa, kantor mereka dilanda
kesibukan yang cukup luar biasa. Banyak kontrak yang harus disiapkan, terutama yang
berhubungan dengan beberapa pemasok baru. Tapi kesibukan itu sangat disyukuri
Olivia karena bisa membuat perhatiannya teralih dan hari-hari serasa lebih
cepat berlalu.
Seusai
mandi, pilihannya jatuh pada sehelai gaun terusan bermodel overslag berlengan tiga per empat dan berkerah lebar. Gaun batik
Madura dengan panjang selutut dalam paduan warna hijau lembut dan oranye itu
tampak begitu manis karena variasi oranye polos mengilap pada bagian kerah,
sekeliling pinggang, dan ujung lengan. Agar tetap rapi sepanjang hari, Olivia
mengepang tempel rambutnya, dan mengikat ujungnya dengan karet berwarna oranye
pula.
Ketika
melihat jam dinding di kamar masih menunjukkan pukul 05.23, Olivia memutuskan
untuk berdandan sedikit lagi. Tidak menor. Hanya menambahkan sedikit nuansa
oranye kecoklatan pada kelopak mata, pipi, dan bibir. Ia juga sempat menjepit
bulu matanya dan memakai maskara. Entah bisa bertahan sampai sore ataukah tidak
dandanan itu, Olivia hanya ingin merasa lebih cantik saja hari ini.
Sebelum
beranjak, ia memindahkan seluruh isi hobo
bag hitam yang dipakainya kemarin ke dalam sebuah hobo bag lain berwarna oranye kecoklatan, terbuat dari bahan suede, termasuk perangkat rias wajahnya.
Terakhir, sebelum keluar dari kamar, ia meraih sepasang peep toe wedges yang berbahan dan berwarna sama dengan hobo bag-nya. Dengan menenteng tas,
sepatu, dan tas laptop, Olivia turun ke lantai bawah. Tatapan Prima
menyambarnya begitu gadis itu muncul di ruang makan.
“Waduh...
Bidadari nyasar dari mana ini?” celetuknya.
“Ecieee...
Yang mau kencan sama Pak Boss...,”
ledek Carmela.
“Apa,
sih...,” gerutu Olivia sambil duduk di sebelah Prima.
Ia
segera mendapatkan kecupan hangat di kening dari laki-laki itu. Arlena
menatapnya dari seberang meja. Tersenyum simpul. Membuat Olivia sedikit
tersipu.
“Nanti
mau pulang jam berapa, Liv?” tanya Arlena.
“Agak
malem, Ma,” jawab Olivia seraya mengambil nasi, tumisan sayur dan sepotong ayam
goreng.
“Wah,
kayaknya pulang kerja nanti, kita kencan saja, Ma,” Prima tersenyum lebar.
“Boleh...,”
Arlena tertawa ringan menanggapi canda itu.
“Lha,
si Ucrit ini apa nggak nangis ditinggal emak-bapaknya kencan?” Olivia nyengir
sambil melirik Carmela.
“Oh...
Jangan khawatir...,” wajah Carmela terlihat sok jemawa. “Nanti pulang sekolah
aku mau main ke Budhe.”
“Sekalian
kencan sama Luzar,” sambar Prima tanpa ampun.
Carmela
tekikik geli. Tadi sebelum Olivia bergabung di meja makan, ia sudah
mengutarakan maksudnya itu pada Prima dan Arlena. Keduanya menyetujui, dengan
syarat Carmela dan Luzar tidak boleh ngeluyur
ke mana-mana. Hanya boleh ke rumah Minarti, kemudian langsung pulang pada sore
hari.
Menjelang
pukul enam, kesibukan sarapan di meja makan itu pun bubar. Muntik sudah datang.
Dengan cekatan perempuan itu membersihkan meja, sementara yang lain
bersiap-siap untuk berangkat.
“Kamu
ikut mobil Mbak Liv atau Papa, Mel?” tanya Olivia sambil meletakkan barang
bawaannya di jok depan.
“Boleh
nebeng Mbak Liv?” gadis remaja yang
baru saja membuka lebar-lebar pintu pagar itu malah balas bertanya.
“Ayo,
saja,” Olivia berjalan memutari mobil untuk membuka pintu kanan depan. “Tapi
bilang dulu sama Papa-Mama.”
Carmela
meneruskan langkahnya ke dalam garasi. Arlena sudah menghidupkan mesin
mobilnya. Siap meluncur begitu mobil Olivia keluar. Carmela berpamitan pada
Prima dan Arlena. Olivia menurunkan tas dan tas laptopnya ke depan jok. Sejenak
kemudian, Carmela sudah duduk manis di sebelah kiri Olivia. Pelan-pelan, Olivia
memundurkan mobilnya.
“Boleh
ngomong jujur, nggak?” celetuk Carmela begitu mobil Olivia meluncur membelah
jalanan kompleks yang sudah ramai.
“Ya?”
Olivia menoleh sekilas.
“Mm...
Aku senang kita semua sudah mulai pulih,” suara Carmela terdengar lirih. “Aku
hanya berharap semua ini bukan cuma mimpi.”
“Semoga
tidak, Mel,” ucap Olivia, halus. “Semoga bukan mimpi. Papa juga terlihat lebih
santai dan lepas belakangan ini. Mama juga tampaknya bersungguh-sungguh.”
Carmela
mengangguk. Semuanya terasa lebih ringan sekarang. Apalagi ia juga mendapat
kelonggaran untuk mengenal Luzar lebih dekat, walaupun Prima sudah mengikatnya
dengan berbagai syarat ‘tidak boleh ini-itu’ dan ‘jangan begini-begitu’. Tapi
ia sungguh memahami bahwa semua itu demi kebaikannya. Begitu juga Luzar.
* * *
Dengan
kening sedikit berkerut, Olivia melirik jam digital di dashboard. Masih menunjukkan angka 07:05. Tapi SUV Luken sudah
terparkir di tempat biasanya. Sejenak ia membuka visor untuk memeriksa dandanan wajahnya. Masih terlihat sangat
rapi. Lima menit kemudian, ia sudah sampai di lantai atas.
Obrolan
antara Luken dan Sandra terputus begitu Olivia muncul. Keduanya sempat
terbengong melihat penampilan Olivia. Sama sekali tidak berlebihan, tapi sangat
cantik.
“Selamat
pagi, Pak Luken, Bu Sandra,” ucapnya manis sambil mengangguk dan terus
melangkah ke arah mejanya.
“Pagi...,”
jawab Luken dan Sandra serempak. Sama-sama setengah bergumam.
Olivia
berusaha untuk tidak acuh dengan sikap aneh yang ditunjukkan Luken dan Sandra.
Ia tahu sebabnya, yaitu dandanannya yang agak luar biasa. Tapi ia yakin bahwa
semua yang ada pada dirinya masih ada di dalam batas kewajaran. Busananya tergolong
sopan. Dandanannya juga biasa-biasa saja walaupun sedikit lebih berwarna
daripada kemarin-kemarin. Maka ia pun berlaku seperti biasa. Menyiapkan piranti
kerja, merapikannya, dan bersiap menunggu jam kerja dimulai.
“Tumben,
Liv?”
Olivia
menoleh cepat. “Ya, Pak?”
“Tumben...,”
ulang Luken. Tersenyum.
“Oh...,”
Olivia tersipu sedikit. “Lagi mabuk kecubung, Pak.”
Luken
tergelak mendengar candaan Olivia. Begitu pula Sandra. Tapi perempuan itu
mencium aroma perubahan Olivia sejak ia dan Luken pulang dari Eropa. Gadis itu
terlihat lebih cerah wajahnya, dan ada semangat ‘lebih’ yang terpancar dari
gerak-gerik tubuhnya. Bukan sesuatu yang ‘biasa’.
Apakah karena senang bertemu
Pak Luken kembali?
Samar,
Sandra mengerutkan kening.
Lantas, kiriman yang diantar
ojek online Senin lalu
itu?
Olivia
cukup tertutup soal itu. Tapi Sandra kemudian menyadari, bahwa mereka tak lebih
dari rekan sekantor, seprofesi. Kalaupun ada kedekatan yang lebih, seharusnya
tidak jadi alasan untuk ia tahu segala hal detail tentang Olivia dan kehidupan
pribadi gadis itu. Toh, kalau dipandang perlu, tanpa diminta pun Olivia akan
bercerita kepadanya.
Maka
yang bisa ia lakukan adalah menunggu, walau tanpa menyimpan harapan berlebih.
* * *
Seusai
menerima telepon, Sandra langsung beranjak dan mengetuk pintu ruang kantor
Luken. Ia masuk begitu mendengar jawaban laki-laki itu.
“Maaf,
Pak, saya mengganggu?”
“Oh,
enggak,” Luken menyisihkan sedikit lapop dari depannya. “Duduk, Bu.”
Sandra
mengangguk sedikit dan mengambil tempat di depan Luken, di seberang meja.
“Baru
saja ada telepon dari Pak Madi,” lapor Sandra. “Beliau minta pertemuan dengan
Bapak yang dijadwalkan hari Selasa depan dipercepat jadi besok, karena Pak Madi
harus terbang ke Sulawesi. Ibu beliau sakit keras.”
“Wah...,”
Luken mengerutkan sedikit keningnya. “Besok, kan, ada undangan nikahnya Mei.”
“Iya,
Pak,” angguk Sandra. “Yang pasti saya nggak bisa dampingi Bapak. Kan, saya sama
papanya Angie didapuk jadi saksi
nikah.”
“Ya,
sudah,” Luken berdiri. “Ayo, Bu. Sekalian kita bicarakan sama Livi sembari
siap-siap makan siang.”
Sandra
pun mengikuti langkah Luken. Laki-laki itu kemudian duduk di depan meja Sandra,
sedangkan perempuan itu berjalan memutari meja dan duduk di kursinya sendiri.
Olivia terlihat sedang sibuk mencetak dan menggandakan beberapa dokumen.
“Masih
lama, Liv?” celetuk Luken.
“Sebentar,
Pak, maaf,” gadis itu hanya menoleh sekilas.
Luken
mengangguk maklum. Olivia ‘tidak boleh diganggu’ pada saat seperti ini, agar
pekerjaannya tidak salah dan mubazir kertas.
“Sebentar
lagi saya siapkan dokumen Pak Madi, Pak,” ucap Sandra lirih. “Seandainya harus
Bapak sendirian bertemu Pak Madi kalau dia--,” Sandra melirik Olivia sekilas,
“—tidak bisa mendampingi Bapak, tidak ada dokumen yang tercecer.”
Luken
mengangguk. Keduanya kemudian membicarakan waktu yang memungkinkan untuk bertemu
Madi. Setelah waktunya disetujui Luken, Sandra menelepon balik Madi. Laki-laki
itu sepakat pertemuan akan diadakan pada pukul setengah dua belas siang di
sini, kantor Coffee Storage. Sekalian
setelah itu ia akan meluncur ke bandara.
Pekerjaan
Olivia mencetak dan menggandakan dokumen selesai bersamaan dengan diantarnya
makan siang mereka oleh seorang OB. Tiga kotak nasi, dan tiga gelas es teh
tawar. Karena mejanya sedang penuh, maka Sandra meminta OB itu meletakkan
nampan di coffee table di seberang
mejanya.
“Ayo,
Liv, makan dulu,” ucap Luken sambil berdiri untuk menghampiri perangkat sofa
tamu di lantai dua itu.
Olivia
masih sibuk memisahkan dokumen ke dalam beberapa map berbeda.
“Silakan
Bapak dan Bu Sandra makan dulu,” Olivia menoleh, tersenyum manis. “Ini
tanggung, tinggal merapikan saja.”
Luken
mengangguk dan beranjak bersama Sandra. Olivia menyusul sekitar lima menit
kemudian. Sambil menikmati makan siang, ketiganya kemudian bicara soal meeting dengan Madi besok. Ternyata
Olivia menyanggupi untuk mendampingi Luken.
“Sekalian
saja berangkat kondangan bareng,
Liv,” celetuk Luken. “Jam dua belas mulainya, kan? Paling Pak Madi nggak lama,
cuma tinggal baca dokumen dan tanda tangan saja. Aku jemput kamu, ya? Jam
berapa?”
Olivia
terdiam sejenak. Berpikir.
“Jam
setengah sebelas gimana, Pak?” putusnya kemudian. “Atau langsung saja saya ke
sini?”
“Oh,
jangan...,” geleng Luken. “Aku jemput saja. Sekalian kalau sudah selesai, aku
antar pulang.”
“Wah,
Bapak jadi repot.”
“Enggaklah,”
Luken kembali menggeleng. “Justru kamu yang jadi repot karena harus ke sini
segala sebelum kondangan. Hari libur
lagi.”
“Nggak
apa-apa, Pak,” senyum Olivia. “Namanya juga darurat.”
Seusai
istirahat makan siang, Sandra segera sibuk menyiapkan dokumen untuk esok hari.
Olivia lanjut menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Sedangkan Luken masuk ke
ruangan kantornya, sebelum keluar lagi pada pukul dua dan berpamitan hendak
keluar karena ada keperluan.
“Aku
nanti langsung pulang,” ucap Luken. “Nggak balik lagi. Kalian jangan telat
pulangnya.”
Olivia
dan Sandra mengangguk serempak.
* * *
Ketika
Prima keluar dari area kantor Chemisto, dijumpainya Arlena dan Navita tengah
asyik mengobrol di teras lobi. Dihampirinya kedua perempuan itu. Dengan gerakan
biasa, ia menyapukan bibirnya pada rambut Arlena. Mereka sempat mengobrol
sejenak sebelum meninggalkan Navita yang masih menunggu jemputan Gandhi.
Kening
Prima sedikit berkerut ketika mendapati penampilan Arlena lain daripada
biasanya. Saat menjemput Prima, tak jarang Arlena hanya bercelana pendek dan kaus
oblong saja, atau memakai celana bermuda yang panjangnya di atas lutut dan kaus
tanpa lengan. Oleh karenanya perempuan itu hampir tak pernah keluar dari dalam
mobil. Tapi kali ini ia memakai celana jeans
berwarna biru gelap dan sehelai blus berwarna merah hati dengan aksen ruffles pada kerah dan kedua ujung
lengannya. Penampilan itu dipermanis dengan seuntai kalung mutiara panjang
berwarna putih, sewarna dengan sandal wedges-nya.
Terlihat sangat senada dengan Prima yang mengenakan kemeja batik katun lengan
pendek berwarna dasar merah hati dan pantalon hitam.
“Tumben...,”
gumam Prima sambil duduk dan menutup pintu kanan depan mobil. Sudah
seminggu ini ia yang mengemudikan mobil saat pulang.
“Aku
baru saja tutup transaksi,” Arlena tersenyum simpul. “Ingin ajak Papa makan di
luar. Mau?”
“Lho,
ya, mau!” jawab Prima seketika. “Tapi kalau cuma fried chicken di situ--,” Prima menggerakkan dagunya ke satu arah,
“—kayaknya, kok, kurang nendang.”
Arlena
tertawa. “Nggak di situ lah...”
“Mela
gimana? Jadi ke rumah Mbak Min?” Prima mulai menekan pedal gas.
“Jadi,”
angguk Arlena. “Tadi pagi habis sarapan aku kasih uang ekstra, untuk beli
oleh-oleh buat Mbak Min. Tadi sebelum aku berangkat ke sini, Mbak Min juga
sudah telepon aku. Bilang kalau Mela sudah sampai. Sekalian aku bilang titip
Mela sama Luzar. Minta tolong diawasi.”
“Oh,”
Prima mengangguk singkat. “Terus, ini kita mau ke mana, nih?”
Arlena
menyebutkan suatu tempat. Dan Prima pun menurutinya dengan senang hati.
* * *
Mereka
berjanji untuk bertemu di sebuah restoran Jepang di Kota Kasablanka. Tidak
terlalu jauh dari kantor Olivia, dan juga mudah dicapai dari kantor Allen.
Laki-laki itu sudah duduk menunggu ketika Olivia muncul, karena Olivia memang
menunda sejenak jam pulangnya. Wajahnya terlihat bertambah cerah ketika melihat
kehadiran Olivia. Ia melambaikan tangan, dan ke arah itulah Olivia menuju.
“Maaf,
aku terlambat,” ucap Olivia sambil menempatkan diri di seberang Allen.
“Tidak
apa-apa,” senyum Allen. “Aku juga belum lama.”
Keduanya
kemudian sibuk memilih makanan. Olivia tertawa ketika Allen dengan terus terang
menyatakan suka dengan Olivia yang tidak terlalu repot dengan urusan makanan.
“Tidak
seperti kebanyakan gadis yang pernah aku kenal,” ujarnya.
“Aku
makan banyak, semuanya keluar jadi tenaga dan pikiran,” jawab Olivia. “Hidup di
Jakarta itu melelahkan, Allen. Terutama kemacetannya.”
“Hm...
Ya,” angguk Allen. “Oleh karena itu aku bersyukur punya banyak waktu di field. Selama ini aku memanfaatkan waktu
liburku dengan mengunjungi tempat-tempat wisata menarik di sini.”
“Sudah
ke mana saja?” Olivia tampak antusias.
“Raja
Ampat, Bunaken, Toba, Derawan, Bali, Lombok, Jogja, Jawa Timur, Komodo, and... so many places.”
“Wow!”
mata Olivia seketika berkelip.
“Kesempatan,
Olivia,” senyum Allen. “Selagi aku bisa dan ada waktu. Tapi untuk yang akan
datang, sepertinya aku akan mempersingkat waktu liburku. Aku akan pulang hari
Kamis, supaya Jumat bisa bertemu denganmu.”
Olivia
kehilangan kata untuk menanggapinya.
* * *
Prima
mematikan mesin mobilnya. Bersamaan dengan itu Arlena membuka visor untuk bercermin dan memeriksa
dandanannya. Ia hanya perlu sedikit menambah bedak dan merapikan rambut. Prima
menunggu dengan sabar.
“Papa
perlu kemeja batik baru, nggak?” Arlena menoleh sekilas.
“Kayaknya
perlu nambah beberapa untuk hari Jumat gini, ya?” gumam Prima. “Yang
katun-katun saja.”
“Ayo,
sekalian aku belikan,” Arlena memasukkan sisir ke dalam sling bag putihnya. Bersiap membuka pintu mobil.
Prima
tersenyum senang. “Boleh...”
Keduanya
kemudian keluar dari mobil. Otomatis tangan kiri Prima menggenggam tangan kanan
Arlena. Dengan halus, Arlena melepaskan genggaman itu. Sebagai gantinya, ia
melingkarkan tangan kanannya pada lengan kiri Prima. Dalam jarak serapat itu,
samar hidungnya masih bisa mencium aroma harum maskulin Prima. Terasa begitu
hangat dan menggetarkan hati.
“Ke
Keris, ya, Pa?” ujar Arlena.
Prima
mengangguk.
Tak
butuh waktu lama bagi keduanya untuk sibuk melihat-lihat beberapa kemeja
berbahan katun yang diinginkan Prima. Akhirnya terpilih lima helai kemeja aneka
warna. Dua lengan pendek, tiga lengan panjang. Masih belum cukup, Arlena mampir
ke bagian gaun perempuan.
“Pa,
coba pilihkan yang bagus buat Livi,” gumam Arlena. “Dia cantik sekali ngantor pakai gaun batik seperti pagi
tadi.”
“Hm...,”
Prima pun ikut terseret kesibukan Arlena memilih-milih gaun batik.
Tangan
laki-laki itu kemudian mengangkat sebuah gaun berwarna dasar merah hati seperti
kemejanya. Mata Arlena membulat menatap gaun itu.
“Bagus!”
desisnya.
“Ukurannya?”
“Dia
sama denganku, hanya lebih tinggi. Sini, kucoba dulu.”
Prima
menyerahkan gaun itu pada Arlena. Dalam bayangannya, Olivia pasti cantik sekali
mengenakan gaun itu. Sehelai gaun yang bermodel sederhana tapi terlihat sangat
elegan. Sambil menunggu Arlena selesai mencoba gaun itu, Prima iseng memilih
gaun lain. Didapatnya dua helai lagi. Satu bermotif parang berwarna putih dan
coklat gelap yang terlihat klasik dan sangat elegan, satu lagi berwarna
merah-putih-biru yang terkesan cerah dan ceria.
“Enak
banget dipakai,” ujar Arlena begitu muncul. “Pas ini ukurannya. Di aku sedikit
di bawah lutut. Pas kalau untuk Livi.”
“Ini
lagi, bagus,” Prima mengacungkan pilihannya.
Dengan
cepat Arlena memeriksa ukuran kedua gaun itu. Sama. Begitu pula panjangnya. Ia
tak perlu berpikir panjang untuk membayar semua pilihan Prima itu di kasir
bersama kemeja-kemeja yang sudah dipilih lebih dulu.
Tanpa
ragu Arlena menyerahkan kartu debitnya. Prima menghargai upaya Arlena untuk
menyenangkan hati keluarga. Hari Minggu lalu, Carmela sudah mendapat giliran
untuk diajak Arlena berbelanja. Kali ini giliran ia dan Olivia yang ketiban rejeki. Mungkin besok-besok tiba
giliran Maxi. Dengan wajah cerah, Prima meraih tas berisi semua baju yang sudah
dibayar Arlena.
“Papa
mau makan di mana?” tanya Arlena sambil mereka melenggang keluar dari toko
batik itu.
“Mm...
Sushi Tei?”
“Ayo!”
angguk Arlena. “Oh, ya, nanti sambil pulang, ingatkan aku untuk mampir beli
roti untuk anak-anak, ya? Bisa buat sarapan besok.”
“Oke.”
* * *
Pada
satu detik, sambil tertawa ketika obrolannya dan Allen menyentuh hal yang
jenaka, tatapan Olivia secara tidak sengaja jatuh ke arah pintu masuk restoran.
Dan dua sosok yang baru saja melenggang masuk membuatnya ternganga. Terlupa
akan tawanya.
Allen
seketika menyadari perubahan ekspresi Olivia. Ia mengikuti arah pandang Olivia.
Menemukan ada sepasang laki-laki dan perempuan berusia pertengahan 40-an
menjelang 50 yang rupanya hendak makan juga di tempat itu.
“Do you know them?” celetuk Allen.
Olivia
tersadar mendengar suara laki-laki itu. Ia menoleh, menatap Allen.
“Yes, of course,” Olivia mengangguk lemah.
“My mom and dad.”
“Really?” wajah Allen terlihat antusias.
“Kenapa tidak diajak duduk bersama di sini?”
Mata
Olivia melebar. “Kamu bercanda,” desahnya.
“Of course I’m not,” bantah Allen.
Wajahnya terlihat bersemangat. “Come on,
Liv...”
Olivia
terdiam. Melihat itu, Allen segera berdiri dan menghampiri kedua orang itu,
yang sudah duduk saling berhadapan di depan sebuah meja. Olivia tak bisa
mencegahnya. Pun ketika Arlena dan Prima menuruti permintaan Allen.
Laki-laki
itu segera pindah duduk di sebelah Olivia, sekaligus menarik makanan dan
minumannya mendekat. Dengan jelas Prima melihat betapa pasrahnya wajah sang
putri. Tapi sungguh, baik ia maupun Arlena tidak bisa menolak ajakan Allen
untuk duduk menghadapi meja yang sama.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
panjang juga,
BalasHapusterus berkarya :)
Aq koq kayake kenal kambek baju batik madurae Livi se mb Lis?
BalasHapusDeskripsie jelasssss wakwakwakwak