Senin, 24 Juli 2017

[Cerbung] Infinity #9


Sembilan


Senin pagi itu, suasana kantor berangsur normal. Luken mengawali hari kerja dengan meeting bersama. Mengucapkan selamat datang kembali pada para staf. Sekaligus mengumumkan bahwa jam kerja hari ini akan berakhir pukul dua siang, dan besok akan berjalan seperti biasa lagi. Caesar sebagai perwakilan para staf pun mengucapkan terima kasih atas perhatian Luken.

Sepanjang minggu kemarin, di tengah kesibukannya, Luken memang tak henti memantau kondisi para stafnya melalui grup WA kantor mereka, menyempatkan diri datang menjenguk ke rumah sakit, menghubungi staf yang menjalani rawat jalan di rumah secara pribadi, maupun mengurus kepulangan para staf yang sempat opname. Luken mengumumkan pula bahwa ia sudah mengganti katering, sehingga para staf tidak perlu trauma saat menghadapi makan siang mereka nanti.

Salah satu hikmah yang bisa dipetik Luken dari peristiwa kocar-kacirnya kondisi kantor minggu lalu adalah ia bisa melihat bahwa Olivia tidak beranjak sedikit pun dari sisinya. Gadis itu mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Menangani apa yang bisa ditangani. Tanpa sedikit pun keluar keluhan. Olivia letih, ia tahu, karena ia pun sama letihnya. Tapi semangat tetap terpancar dari wajah gadis itu. Membuatnya merasa bisa melakukan apa saja. Semangatnya timbul kembali setiap melihat wajah teduh Olivia.

Ketika meeting berakhir, mereka pun kembali pada kesibukan masing-masing. Sandra cukup takjub bahwa pekerjaannya tidak menumpuk karena sudah diselesaikan Olivia, sedangkan dilihatnya Olivia juga tampak cukup santai menyelesaikan pekerjaannya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan sepontang-panting apa gadis itu minggu lalu.

“Mbak Liv, makasih banyak, ya,” ucapnya dengan sangat tulus. “Aku cuma nggak bisa bayangkan seandainya kita semua makan dari katering siang itu.”

“Jangan dibayangkan, Bu,” Olivia tertawa ringan sambil tangannya terus memisahkan lembar-lembar dokumen untuk dimasukkan ke dalam beberapa map berbeda. “Disyukuri saja karena hari ini kita semua sudah bisa berkumpul kembali.”

“Selama kacau-balau kemarin, dirimu pulang jam berapa, Mbak?”

“Paling lambat jam enam, kok, Bu. Lumayan dari Rabu sampai Jumat aku diantar-jemput Papa. Jadi nggak terlalu stress saat kena macet.”

“Terus, katering itu gimana?”

“Ya, diputus sama Bapak. Suruh bayar biaya perawatan. Kayaknya, sih, keder juga karena Bapak ancam mau bawa ke polisi kalau mereka nggak mau tanggung jawab.”

Sukurin,” gumam Sandra. “Sudah dibayar mahal-mahal, kok, nggak mau jaga mutu.”

Olivia terkekeh mendengar gumaman Sandra. Setelah selesai dengan pekerjaannya memisahkan dokumen, ia membawa beberapa buah map untuk ditandatangani Luken. Pelan-pelan gadis itu membuka pintu kantor Luken begitu ada jawaban atas ketukannya.

“Duduk, Liv,” ucap Luken begitu Olivia muncul.

“Ada beberapa berkas yang perlu ditandatangani, Pak,” dengan halus Olivia menyodorkan map-map itu sambil duduk.

“Hm...”

Walaupun sudah sangat percaya dengan kinerja sekretarisnya itu, Luken tetap membaca kembali secara singkat dokumen-dokumen itu.

“Tadi sudah dikasih uang sama Tina untuk katering?” tanya Luken sambil mulai menggoreskan tanda tangan.

“Sudah, Pak,” angguk Olivia. “Nanti biar saya titipkan Mama untuk disampaikan ke Budhe. Sebentar lagi Mama antar kateringnya.”

Seketika Luken mengangkat wajahnya. “Mama?”

Olivia mengangguk. Tersenyum.

“Mamamu?”

Olivia mengangguk lagi.

“Kok?”

“Hehehe... Iya, Pak. Budhe, kan, nggak ada fasilitas untuk antar makanan ke sini. Makanya saya minta tolong Mama. Mama, sih, senang-senang saja. Ada kesempatan ngeluyur positif, kan. Sekalian Mama kadang-kadang jalan untuk urusan bisnisnya.”

Luken tersenyum sambil kembali menekuni isi map-map di tangannya.

“Mela kapan selesai UAS, Liv?”

“Sudah selesai Jumat kemarin, Pak.”

“Berarti sudah free, ya?”

Olivia mengangguk.

Tak lama setelah Olivia duduk kembali di belakang mejanya, telepon berdering. Sandra lebih dulu mengangkat dan menjawabnya. Perempuan itu kemudian menoleh ke arah Olivia.

“Tadi dirimu pesen sama Mbak Lila, kalau Bu Arlena datang, suruh tunggu sebentar?”

“Iya,” angguk Olivia.

“Bu Arlena sudah dibawah.”

“Oh? Aku ke sana.”

“Ya, Mbak Livi segera turun, Mbak Lil,” Sandra kembali ke gagang telepon yang masih dipegangnya.

Olivia segera mengambil dari dalam laci sehelai amplop coklat yang didapatnya dari bagian keuangan. Setelah berpamitan pada Sandra, Olivia turun untuk menemui ibunya.

* * *

Menjelang berakhirnya istirahat makan siang, di grup WA Coffee Storage bertaburan berbagai pujian soal menu makan siang baru saja. Dengan harga yang sama, mereka mendapatkan ekstra puding walaupun sudah ada buah. Dan rasa makanannya pun benar-benar enak. Porsinya pun lebih banyak. Luken sempat mengerutkan kening.

“Ini Bu Min nggak rugi, Liv?” tatapannya tampak khawatir.

Olivia pun berpikiran sama. Maka ia berinisiatif menelepon Minarti dan membuka speaker. Dengan tegas Minarti menyatakan bahwa semuanya sudah dihitung dengan cermat, termasuk ongkos bensin Arlena walaupun yang bersangkutan tidak mau menerimanya, juga ekstra berbagai variasi puding atau kue. Bahkan ia menggenapinya menjadi 20 kotak, siapa tahu ada yang bermaksud menambah. Ia sama sekali tidak rugi. Hanya saja ia meminta tolong agar kotak-kotak kembali padanya keesokan hari dalam keadaan lengkap, bersih, dan siap pakai.

“Keuntungannya lebih dari cukup, Liv. Sepadan dengan tenaga yang sudah Budhe keluarkan. Ayolah, jangan terlalu khawatir begitu.”

Olivia kemudian menutup pembicaraan itu dengan ucapan terima kasih. Ia menatap Luken yang wajahnya tampak lega.

“Syukurlah,” angguk Luken. “Sayangnya... nggak dari dulu kita katering ke Bu Min.”

Baik Sandra maupun Olivia tertawa.

“Rupanya harus jatuh korban dulu, Pak,” timpal Sandra.

Luken tertawa sambil menggelengkan kepala, kemudian masuk ke ruang kerjanya.

* * *

Lewat sedikit dari pukul dua siang, satu demi satu staf di lantai bawah mulai meninggalkan kursi mereka. Di lantai atas, Sandra ragu-ragu sejenak karena melihat Olivia masih duduk manis di kursinya, sibuk mengetik dan memelototi layar laptop.

“Mbak...,” panggilnya kemudian. Ragu-ragu.

“Ya?” Olivia menoleh.

“Ini sudah boleh pulang, kan?”

Olivia mengalihkan tatapan ke arah jam dinding di seberangnya. Pukul 02.09 Ia kemudian kembali menatap Sandra.

“Bolehlah...,” dikerutkannya kening. “Kan, Bapak tadi bilang boleh pulang jam dua.”

“Dirimu nggak siap-siap?”

“Oh...,” Olivia tersenyum. “Aku nanti dulu, Bu. Sekalian mau jemput Papa. Kalau aku cabut sekarang, malah kelamaan bengong tunggu Papa keluar. Ibu kalau mau pulang, pulang saja.”

Sandra mengangguk, kemudian melangkah ke kantor Luken untuk berpamitan. Laki-laki itu keluar hampir bersamaan dengan Sandra mulai menuruni tangga. Sudah menenteng tas laptopnya.

“Liv? Nggak pulang?”

Olivia mengalihkan tatapan dari layar laptop.

“Tanggung, Pak. Sekalian saya mau jemput Papa.”

“Ya, sudah, aku temani kamu dulu.”

“Lho, Bapak kalau mau pulang, silakan. Saya nggak apa-apa, kok, ditinggal.”

“Santai saja, Liv.”

Laki-laki itu kemudian duduk di belakang meja Sandra. Asyik dengan ponselnya. Sekilas Olivia melirik. Sebersit rasa iba timbul dalam hatinya.

Laki-laki itu sepertinya menghabiskan waktu dengan tenggelam dalam pekerjaan. Di luar itu, Olivia sama sekali tak tahu tentang kehidupan pribadi Luken. Karena laki-laki itu juga tak pernah menceritakan apa-apa, dan ia sendiri merasa terlalu rikuh untuk bertanya, pada Sandra sekalipun.

Seandainya dia seorang ayah, pastilah dia ayah yang sangat baik...

Satu baris ketikan terakhir Olivia penuh dengan typo. Gadis itu buru-buru mengembalikan fokus pikirannya. Tapi sudah telanjur terburai tak keruan. Maka ia memutuskan untuk menyudahi dan menyimpan saja pekerjaannya itu. Setelah menyimpan file dan mematikan laptop, ia kemudian merapikan berbagai berkas dan tumpukan map di mejanya. Diperiksanya dengan teliti semua isi map sebelum diikembalikannya ke lemari arsip.

“Sudah selesai, Liv?”

“Iya, Pak, sudah,” angguknya.

Keduanya bersamaan turun dan menuju ke mobil masing-masing.

“Sampai ketemu lagi, Liv,” senyum Luken sebelum menghilang ke dalam mobilnya.

* * *

Prima menepikan mobilnya pelan-pelan di depan penjual martabak langganannya. Di jok sebelah yang sandarannya agak rebah ke belakang, Olivia masih terlelap. Pelan-pelan Prima keluar untuk mengambil pesanan, dan kembali tak sampai lima menit kemudian. Diletakkannya tas kertas berisi tiga kotak martabak di jok belakang sebelum kembali melajukan mobil Olivia.

Ia menoleh setelah menghentikan mobil pada lampu merah terakhir, satu belokan sebelum masuk ke komplek perumahan mereka. Gadis sulungnya masih terlelap dengan wajah polos bak seorang bayi. Ia tersenyum.

How time flies so fast.

Ia menggeleng samar.

Too fast. Bahkan si bungsu pun sudah mulai kenal yang namanya ketertarikan pada lawan jenis.

Tapi ia sungguh bersyukur karena tidak terlalu banyak kehilangan saat-saat berharga bersama ketiga buah hatinya. Ia masih bisa melihat dan mengikuti pertumbuhan dan perkembangan ketiganya nyaris detik demi detik. Baginya, itulah harta yang paling berharga sepanjang hayat.

Ketika arus lalu lintas mulai terurai kembali, dengan halus ia menginjak pedal gas. Mobil itu melaju kembali. Nyaris tanpa tersendat berbelok masuk ke kompleks. Ketika ia berbelok lagi di ujung jalan, bibirnya membundar karena melihat ada sebuah SUV parkir di depan pagar. Ketika ia mendekat, diilihatnya mobil itu tidak menutupi pintu pagar yang sudah terbuka lebar. Maka ia langsung melajukannya hingga berhenti di carport.

Hingga Prima mematikan mesin mobil, si putri tidur belum juga membuka mata. Terpaksa ditepuk-tepuknya pipi Olivia dengan lembut.

“Liv... Livi... Liv... Bangun, dong... Sudah sampai rumah ini...”

Tapi gadis itu begitu lelapnya sehingga hanya bergerak sedikit saja, masih dengan mata terpejam rapat. Arlena yang keluar menyambut melalui pintu depan segera mendekat begitu diihatnya Prima tidak langsung turun dari mobil. Prima membuka pintu kiri depan dari dalam. Ia membungkuk sedikit ke arah Arlena yang melongok.

“Anak ini pulas banget, nggak bisa dibangunin,” bisik Prima.

Arlena menggelengkan kepala. Ditatapnya Prima.

“Ya, sudah, Papa masuk dulu. Biar aku yang bangunin Livi. Ada Mas Luken itu.”

“Mela ada?” tanya Prima sebelum keluar.

Arlena mengangguk.

“Biar kusuruh bawakan barang-barang Livi. Ada martabak juga di belakang.”

Arlena kembali mengangguk. Dengan lembut, ia kemudian mencoba membangunkan gadis sulungnya. Bahkan hingga Carmela selesai mengurusi semua barang bawaan yang tertinggal di mobil, Olivia masih juga memejamkan mata.

Baru lima menit kemudian usaha Arlena berhasil. Dengan wajah linglung, Olivia mengerjapkan matanya yang sedikit merah. Ditatapnya Arlena dengan sorot mata bingung. Ia kemudian mengerjap lagi dan melihat ke arah luar.

“Lho, sudah sampai rumah?”

Ia menengok ke kanan. Kosong. Arlena tertawa ringan. Olivia menguap lebar sambil mengucek matanya. Ia kemudian kembali menegakkan sandaran jok dan beringsut keluar. Saat hendak masuk melalui garasi, langkahnya terhenti. Sosok tinggi tegap itu berdiri di sudut teras di dekat carport. Menatapnya sambil tersenyum.

* * *

Kenapa waktunya selalu tidak tepat?

Dengan frustrasi, Olivia menatap wajah jeleknya melalui pantulan cermin. Cemberut, dengan kelelahan jelas-jelas terlihat menggantung di bawah kedua matanya. Seandainya Luken mau berterus terang hendak mampir sepulang kerja, tidak perlulah ia berharap terlalu tinggi agar seluruh tubuh letihnya dipijat Mpok Ranti setibanya di rumah.

Ia sudah telanjur mengirim pesan pada Muntik agar memesan jasa Mpok Ranti setelah pukul tujuh petang. Tapi ia terpaksa membatalkannya begitu tahu Luken sudah menunggunya di rumah. Kemarin, sepanjang akhir pekan, Mpok Ranti sudah penuh dipesan para pelanggan jasa pijat urutnya. Sama sekali tidak ada waktu untuk Olivia.

Dan tadi, ia menjemput Prima, karena menyukai waktu yang berlalu bersama ayahnya itu. Hanya mereka berdua. Walaupun ia terpaksa membiarkan Prima menyetir sendirian karena ia sudah tak kuat lagi menahan kantuk.

Tentunya Luken juga tidak bisa disalahkan begitu saja. Laki-laki itu bebas berkunjung kapan saja ia mau. Toh, Luken punya Carmela sebagai penggemarnya. Tapi apakah tega tidak meladeni laki-laki itu, yang juga sama-sama merasakan lelah?

Dihelanya napas panjang ketika mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Dengan malas-malasan ia beringsut. Wajah Arlena menyembul begitu ia membuka pintu.

“Mama urut, ya, Liv?” ucap Arlena lembut. “Mama tahu kamu sudah beberapa hari menumpuk lelah. Pijatan Mama pastinya nggak senyaman Mbok Ranti. Tapi daripada kamu malah jadi keterusan nggak enak badan...”

Tanpa daya, Olivia mengangguk. Ia tidak punya pilihan lain. Lebih tepatnya lagi, ia sudah tidak mampu berpikir panjang.

“Tunggu, Mama ambil minyaknya dulu,” Arlena terlihat bersemangat. “Kamu siap-siap, ya?”

Olivia mengangguk lagi.

* * *

Kenapa waktunya selalu tidak tepat?

Dengan kesal Luken membanting punggungnya di atas ranjang. Diam-diam ia kesal pada dirinya sendiri.

Kenapa rasanya sulit sekali sekadar mengatakan ‘Liv, aku nanti ke rumahmu, ya?’.

Tak perlu menggunakan mata hati. Mata telanjangnya jelas-jelas melihat wajah letih Olivia yang sedikit pucat. Entah karena riasan wajah gadis itu sudah luntur, ataukah memang benar-benar memucat. Yang jelas, wajah bangun tidur gadis itu terlihat benar-benar tidak ‘hidup’.

Saat ia hendak buru-buru berpamitan karena melihat kondisi Olivia yang seperti itu, baik Arlena maupun Prima menahannya. Memintanya untuk ikut makan malam bersama lebih dulu. Lagi-lagi ia merasa tidak punya alasan untuk menolak. Tidak mampu.

Dan Olivia? Tetap dengan keheningan dan sikap diamnya. Sedikit saja menanggapi pembicaraan. Seperlunya. Dengan kelelahan yang terlihat makin kental.

Seharusnya aku...

Sedetik kemudian Luken meralat pikirannya dengan kekesalan bertumpuk. Kekesalan terhadap diri sendiri.

Penyesalan memang selalu datang belakangan!

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

3 komentar: