Senin, 27 Maret 2017

[Cerbung] Affogato #23-1








Sebelumnya  



* * *


Dua Puluh Tiga


Dengan seizin Olivia, Carmela bolos ekskul hari Sabtu ini. Si bungsu itu ingin seharian penuh menemani sang ayah. Sejak Senin hingga Jumat kemarin, kesempatan untuk menemani Prima sangat terbatas. Hanya bisa dilakukannya seusai sekolah hingga maksimal pukul sembilan malam.

Carmela merebahkan kepalanya di tepi ranjang Prima, bertumpu pada lengan kanannya yang terlipat. Wajahnya menghadap ke arah sang ayah yang berbaring miring ke kanan. Tatapan gadis remaja itu tampak ragu-ragu. Prima memahaminya. Segera diulurkannya tangan kiri yang masih dilekati selang infus. Dibelainya kepala Carmela.

“Ada apa?’ tegur Prima lembut.

“Aku...,” Carmela mengerjapkan matanya Tampak berpikir. Dan kembali ragu-ragu.

“Ceritalah sama Papa,” senyum Prima.

“Hm... Aku cuma ingin cerita saja, bukan mau buat Papa kepikiran. Kira-kira gimana?” Carmela menatap Prima. Mencari kepastian.

“Iya, ceritakan saja. Papa nggak akan kenapa-napa.”

“Janji?”

Prima mengangguk. Carmela menghela napas panjang.

“Kemarin aku dipanggil sama Bu Hanna, guru BP,” ucap Carmela lirih. “Ditanya soal Mama. Soal kebenaran kasus foto itu. Ya, aku jawab apa adanya. Aku dikasih tahu soal itu sama Mas Maxi, tapi nggak dikasih lihat fotonya. Ditanya juga kabar Papa. Aku jawab, sudah membaik. Terakhir, ditanya gimana perasaanku. Aku jawab baik-baik saja. Dia bilang, kalau aku butuh teman bicara, dia selalu punya waktu. Katanya lagi, fokus Bu Hanna itu bukan mau kepo masalah foto itu, tapi lebih ke aku. Maksudnya, untuk bantu aku hadapin ganjalan yang mungkin aku rasakan. Gitu aja, sih, Pa.”

Prima menatap Carmela. Tampak menerawang sejenak. Sejurus kemudian, tatapannya kembali terfokus.

“Sekarang kamu jujur sama Papa, gimana perasaanmu sebenarnya?”

“Hm...,” Carmela mengerjapkan mata beningnya. “Bohong lah, Pa, kalau aku nggak merasa marah. Tapi sudah aku lampiaskan, kok. Tempo hari sudah puas teriak-teriak, dipeluk Mas Maxi. Setelah itu, ya, sudah. Cukup lega. Aku mau gimana juga sudah telanjur terjadi, kan? Aku nggak mau mikirin lagi soal itu. Toh, aku masih punya Papa, Mbak Liv, Mas Maxi. Mama mau ngapain saja, terserah.”

“Ada yang bully kamu di sekolah?” tatapan Prima tampak khawatir.

Carmela menggeleng, tersenyum. “Enggak, kok. Iya, sih, Cindy sama Betty sempat nanyain soal itu. Mereka bilang prihatin. ‘Sabar, ya, Mel...’ Begitu...”

Prima kembali membelai kepala gadis bungsunya.

“Ya, aku, sih, nggak berharap semua orang bisa memahami posisiku,” lanjut Carmela. “Tapi sejauh ini, aku masih baik-baik saja. Sepanjang aku masih punya Papa, Mbak Liv, Mas Maxi, aku akan baik-baik saja.”

Prima mengangguk. “Tapi kalau kamu memang merasa nggak bisa cerita ke Mbak Liv, Mas Maxi, atau Papa, kamu boleh cerita ke Bu Hanna itu. Papa pikir nggak apa-apa. Apa pun, asal kamu nyaman? Oke?”

Carmela mengangguk sambil tersenyum. Prima menghela napas panjang.

“Kadang-kadang Papa lupa, kamu sudah makin dewasa,” gumamnya.

But I always wanna be your little girl, Pa,” ujar Carmela dengan nada aleman.

Prima tertawa ringan. Dibelainya kepala Carmela untuk kesekian kalinya.

“Pasti... Jangankan kamu, Mbak Liv saja masih tetap little girl di mata Papa. Always.”

Carmela tersenyum lebar walaupun matanya mengaca. “Jadi Papa nggak apa-apa aku cerita kayak gini?”

Prima menggeleng. “Papa justru sedih kalau kamu menyembunyikan apa pun dari Papa. Ya, mungkin saat ini Papa masih sakit. Tapi kehadiran kalian bertiga, cerita-cerita kalian, apa pun itu, membuat Papa cepat sembuh.”

Diam-diam, Olivia yang duduk di sofa tunggal membelakangi ranjang, yang mendengarkan percakapan lirih itu, menghapus air matanya. Ia bertukar tatapan dengan Maxi. Pemuda itu tersenyum.

“Kita semua saling menyembuhkan, Mbak,” ujarnya tanpa suara. “Saling menguatkan.”

Gadis itu mengangguk.

* * *

Sebelum pukul setengah sembilan pagi, Navita sudah selesai membersihkan peralatan dagang ibunya. Gandhi datang ketika gadis itu baru saja selesai mandi lagi. Dari balik pintu kamarnya saat ia berdandan, bisa didengarnya Gandhi dan Minarti bercakap akrab di ruang makan.

“Sudah sarapan belum, Mas Gandhi?”

“Lho, kemarin Ibu bilang, saya disuruh sarapan di sini,” Gandhi tertawa.

Minarti ikut tergelak. “Jangan khawatir, sudah Ibu sisihkan nasi uduk plus lauknya. Lengkap. Tunggu, Ibu siapkan dulu.”

“Nggak usah, Bu,” cegah Gandhi. “Biar saya ambil sendiri. Lemari makannya belum pindah, kan?”

Minarti tergelak lagi. “Ya, sudah, Ibu tinggal mandi lagi dan dandan, ya?”

Navita tersenyum mendengarnya. Dalam hati ia bersyukur, Gandhi sudah menganggap rumah mungil ini sebagai rumahnya sendiri. Tak canggung lagi ketika berada di dalamnya.

Beberapa menit kemudian ia sudah rapi. Ditemukannya Gandhi tengah asyik menikmati sepiring nasi uduk lengkap dengan ayam goreng suwir, telur balado, bihun goreng, krupuk, dan sambal. Laki-laki itu sengaja pura-pura mengabaikan kehadiran Navita. Baru setelah Navita iseng mencolek bahunya, ia menoleh. Nyengir.

“Eh, dia muncul,” ujarnya, sarat nada canda. “Nih, saking enaknya nasi uduk Ibu, calon istri nongol sampai nggak kelihatan.”

Navita tergelak seketika. Satu hal lagi yang lama-lama ia tahu, di balik wajah lempeng Gandhi, laki-laki itu doyan humor juga.

“Sudah sarapan, Vit?” Gandhi menatapnya.

“Suapin...,” jawab Navita, aleman.

Gandhi terbahak. Tapi disuapinya juga Navita.

“Nanti memangnya kita mau ke mana saja?” tanya Navita sambil beranjak untuk mengambil dua gelas air putih.

“Jadi nengok Pak Prima, kan?” Gandhi menoleh sekilas.

Navita mengangguk sambil kembali duduk. “Tadi pagi aku sudah belanjakan buah di depan. Malah sudah sekalian dibentuk parsel sama yang jual.”

“Hm... Habis dari RS kita ke mall, ya? Aku mau cari celana. Kayaknya aku keseringan makan di sini, celanaku jadi sempit semua,” Gandhi meringis. “Sekalian belanja apalah buat Ibu.”

Navita kembali tergelak.

* * *

Olivia tak heran lagi ketika Luken muncul sekitar pukul sepuluh pagi. Padahal kemarin sepulang kerja, laki-laki itu juga sudah menyempatkan diri untuk mampir.  Memang hanya sejenak karena saat itu bertepatan dengan beberapa rekan sekantor Prima dan tamu-tamu lainnya datang menjenguk.

Akhir-akhir ini, Luken seolah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keluarga Prima Arbianto. Sikapnya yang hangat membawa pula aura positif masuk ke dalam ruang perawatan Prima. Apalagi ia pandai sekali meladeni Carmela, hingga membawa kegembiraan tersendiri bagi gadis remaja itu.

“Weee... Bolos ekskul, yaaa?” laki-laki itu menggoda Carmela, yang segera cekikikan menyambut canda itu.

Mereka berpapasan di depan pintu kamar. Carmela dan Maxi memang disuruh Olivia ke minimarket terdekat untuk membeli biskuit dan minuman ringan. Luken kemudian masuk dan menghampiri ranjang Prima. Menjabat tangan laki-laki itu dengan hangat. Olivia segera menyetel ranjang ayahnya agar bisa mengobrol dengan posisi lebih nyaman. Prima sudah terlihat jauh lebih sehat walaupun masih belum lepas dari selang oksigen.

“Mas Luken sendirian?” sambut Prima.

“Wah, Simbok, ART saya, mana mau diajak pesiar begini, Pak,” Luken tersenyum lebar.

Prima tersenyum. “Bisa saja...”

Keduanya kemudian mengobrol berbagai hal ringan. Prima menyukai semangat dan wawasan laki-laki itu. Di pantry, Olivia mengaduk secangkir teh sambil diam-diam mendengarkan percakapan keduanya.

Bahkan Mas Miko pun belum pernah seenak itu mengobrol dengan Papa...

Tapi sejenak kemudian ia meralat pikirannya.

Kenapa harus memikirkan dia lagi, sih? Dia, toh, sudah tak mau memikirkanku lagi.

Ada sebersit rasa sakit yang tiba-tiba saja muncul, menambah dalam luka hatinya. Tapi buru-buru ditepisnya perasaan itu. Sepertinya Prima sudah tahu tentangnya dan Miko. Tapi laki-laki itu tak bertanya apa-apa padanya.

Mungkin karena ingin menjaga perasaanku. Tapi semua tentangnya memang tak penting lagi sekarang.

Ia segera menghapus nama itu dari catatan hatinya, bersamaan dengan diletakkannya cangkir teh untuk Luken di atas coffee table dekat sofa. Ia kemudian mendekati ranjang Prima. Duduk di kursi lain di sisi seberang Luken.

“Pak, minuman Bapak saya taruh di meja, ya?” ucapnya disertai senyuman.

“Iya, Liv, makasih. Repot-repot saja kamu ini.”

“Enggaklah, Pak.”

Tak berapa lama, makanan selingan untuk Prima datang. Sebentuk puding kentang dengan saus madu.

“Papa makan sendiri saja, Liv,” gumam Prima.

“Malu disuapin?” ledek Olivia.

Prima tertawa. Olivia kemudian lebih menegakkan lagi posisi setengah duduk Prima, dan menggeser meja saji agar Prima bisa menikmati puding itu dengan lebih nyaman. Obrolan ketiganya pun berlanjut.

“Livi apa nggak terlalu lama absen kerjanya, Mas?” tiba-tiba saja Prima menyeletuk. Ada nada khawatir dalam suaranya.

Segera saja Luken menggeleng. “Nggak apa-apa, Pak Prima. Livi ngantor pun, kalau Pak Prima belum pulih benar, pasti kurang bisa fokus. Selama ini pekerjaannya masih bisa ditangani Bu Sandra.”

“Mudah-mudahan dalam seminggu ke depan ini saya sudah boleh pulang, Mas. Jadi Livi bisa secepatnya masuk kerja lagi.”

Olivia dan Luken bertatapan sejenak. Kemarin sore, keduanya sempat menyisih sejenak untuk membicarakan soal  itu. Luken mengerti betul posisi Olivia. Prima pasti masih memerlukan gadis itu walaupun sudah dalam kondisi rawat jalan alias pulang  ke rumah. Maka ia memutuskan untuk memperpanjang cuti Olivia hingga waktu tak tebatas. Hingga Prima siap untuk kembali pada kesibukan kerjanya.

Samar Olivia menggelengkan kepala. Luken langsung memahami maksud gelengan samar itu, “Tak usah bilang Papa soal kesepakatan kemarin.” Dan Luken menanggapinya dengan anggukan, samar pula.

Pada saat yang sama, Maxi dan Carmela masuk dengan dua kantung belanjaan di tangan Maxi. Olivia beranjak untuk mengurusi belanjaan itu. Maxi membantunya memasukkan beberapa di antaranya ke kulkas. Sedangkan Carmela diminta Olivia untuk menemani Prima dan Luken.

“Mbak Navita itu beneran mau datang, Mbak?” bisik Maxi.

“Katanya, sih, begitu,” Olivia menoleh sekilas.

“Apa nggak akan mengganggu Papa, Mbak?”

Kini Olivia menatap Maxi. “Kapan itu ketika dia menjenguk bareng dengan teman-teman sekantor, Papa biasa saja. Dia juga biasa saja.”

Maxi manggut-manggut sejenak.

* * *

Navita membantu Minarti keluar dari mobil. Sejenak kemudian, digandengnya perempuan itu. Selesai menekan tombol alarm mobil, Gandhi mengambil alih parsel buah dari tangan Navita, dan mengiringi langkah Navita dan Minarti menuju ke kamar perawatan Prima.

“VVIP, Vit?” usik Gandhi di dalam lift.

“Fasilitas kantor,” bisik Navita. “Pak  Prima, kan, termasuk senior banget. Tim babat alas Chemisto. Dengar-dengar, kalau Chemisto Pharmaceutical di Sidoarjo sudah siap beroperasi tahun depan, Pak Hendrik bakalan digeser jadi boss di sana, dan Pak Prima loncat jadi wakil Pak Krisno di sini.”

“Pak Hendrik itu siapa?”

“Sepupu sekaligus wakil Pak Krisno. Pak Krisno itu big boss.”

“Oh...,” Gandhi manggut-manggut.

Pintu lift terbuka dan mereka melangkah keluar.

“Vit, nanti Ibu tunggu di luar saja, ya?” celetuk Minarti tiba-tiba.

“Lho, kenapa?” Navita menoleh cepat.

“Segan, Vit. Dia, kan, bossmu.”

“Ikut masuklah, Bu,” bujuk Gandhi. “Orangnya baik, kok.”

“Euh...”

Mereka sudah sampai di depan pintu kamar rawat Prima. Navita mengetuk pintu dengan halus. Seorang pemuda membukakan pintu, dan mengulas senyum ramah.

“Mbak Navita, ya? Mari, masuk!”

Navita, Gandhi, dan Minarti membalas senyum itu.

“Maaf, Mbak. Saya lupa-lupa ingat. Dulu kita pernah bertemu di Gancit, kan, ya?” pemuda itu menyalami Navita, Minarti, dan Gandhi.

Navita membenarkan. Maxi menggiring ketiganya masuk. Gandhi merengkuh bahu Minarti agar perempuan sederhana itu tidak terlalu canggung memasuki ruang rawat dengan fasilitas yang cukup ‘wah’. Navita mendahului menyalami Prima dan semua yang ada di ruangan itu. Olivia, Carmela, dan Luken. Semua menyambut dengan ramah kehadiran mereka.

Ketika tiba giliran Minarti menyalami Prima, terjadi keheningan yang cukup panjang. Keduanya saling menatap. Menggali ingatan tentang raut wajah yang sama-sama sudah berubah menua, tapi tetap terasa tidak asing. Lalu simpul itu terurai tiba-tiba.

“Mbak Mimin?” bisik Prima, seolah tak percaya.

“Dik... Prima...,” desah Minarti dengan mata mulai mengabut.

Semua tertegun. Terutama ketika Prima menarik tangan Minarti dengan lembut dan menenggelamkannya ke dalam pelukan. Navita dan Olivia saling menatap. Merasa terjebak dalam lorong ketidakmengertian yang sama. Tanpa keduanya tahu di mana ujung-pangkalnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

12 komentar:

  1. Waduh ada apalagi ini mbak, tambah penasaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Ditunggu besok ya, Mbak 😁
      Makasih singgahnya... 😘

      Hapus
  2. Lgsg deg pas akhir kalimat...
    Kayak Antara pak prima n bu minarti kena devavecu... Jiaahh...

    BalasHapus
  3. Aaaaww aq gamau ngira".
    Melok hanyut critae ae mb Lis.

    BalasHapus
  4. Luar biasa nih alur ceritanya, good post mbak😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... luar biasa mblasak ke mana-mana 😁

      Hapus
  5. 😭😭😭😭episode ini bikin aku nangis dari awal baca

    Paling mengaduk2 perasaan ku

    BalasHapus
  6. Wanyiiiik kok dadie onok kejutane meneh nyah. Garai stay tune terus. Cik puintere awakmu!

    BalasHapus