Kamis, 02 Maret 2017

[Cerbung] Affogato #16-1








Sebelumnya  



* * *


Enam Belas


Olivia sudah rapi, tapi masih sibuk berkutat di dapur ketika empat orang lainnya sudah duduk di meja makan. Dibuatnya tiga porsi nasi goreng seafood. Ia sudah berjanji untuk membawakan Sandra sarapan pagi ini. Selain itu, ia memang sedang ingin menghindari Prima dan Arlena.

Sebetulnya penyesalan itu menggumpal dalam hatinya. Ia tahu seharusnya tidak berkata sekeras itu pada Prima. Ia, toh, tidak bisa menutup mata terhadap semua yang sudah dilakukan Prima selama ini. Tapi entah kenapa, semalam kemarahannya meluap begitu saja. Novel yang tengah ia coba untuk menuliskannya bukanlah sesuatu yang sangat penting. Kebetulan saja menjadi penting saat ia butuh pelampiasan kemarahannya.

Dihelanya napas panjang sambil menempatkan nasi goreng itu ke dalam tiga kotak plastik foodgrade. Sejenak ia tercenung ketika meletakkan masing-masing satu telur mata sapi di atasnya. Dan tercenung lagi ketika mengiris mentimun dan tomat sebelum dimasukkannya ke dalam tiga lembar plastik bening.

Beberapa minggu lalu, rutinitas itu masih dijalaninya. Memasak nasi goreng pagi-pagi sekali, kemudian muncul Carmela dan Prima membantunya, bahkan terkadang Maxi juga.

Tapi sekarang?

Ia mengangkat bahu. Tak pelak ia harus mengakui bahwa ia kehilangan suasana hangat itu. Dengan cepat ia kemudian memasukkan plastik berisi tomat dan mentimun pada kotak-kotak itu, lalu menutupnya rapat. Dicarinya dua buah kantong non-woven di dalam salah satu laci. Dimasukkannya satu kotak ke dalam kantong berwarrna jingga pastel, dan yang dua lagi ke dalam kantong berwarna biru. Tak lupa ia melengkapinya dengan tiga sendok plastik bening yang tadi sudah dicucinya bersih-bersih. Terakhir, ia melepaskan celemek yang melindungi busananya dari cipratan minyak dan bahan makanan.

Ia berbalik bertepatan dengan Arlena yang masuk dengan membawa piring kotor. Sejenak keduanya bertatapan. Arlena-lah yang lebih dulu memutuskan untuk buka suara.

“Sudah jam segini kamu belum sarapan. Nggak telat?”

Olivia menggeleng sambil berlalu.

“Aku bawa bekal,” suara itu menggema lembut di seantero dapur.

Olivia segera meraih tasnya yang sudah siap di atas sofa ruang tengah. Bawaannya banyak sekali pagi ini. Hobo bag, tas laptop, dua kantong makanan, sepatu. Sementara kakinya masih beralaskan sandal jepit. Dalam hening ia kemudian melangkah cepat keluar ke carport melalui garasi. Ia mengerutkan kening ketika dilihatnya Maxi sudah membuka lebar-lebar pintu pagar dan pintu garasi di belakang mobil Prima. Biasanya Carmela yang melakukan itu ketika mereka hendak berangkat.

“Mbak, mau kucarikan cover buat mobil Mbak?” celetuk Maxi.

Olivia berhenti sejenak sebelum membuka pintu mobilnya. “Kamu nganggur hari ini?”

“Aku antar Papa dan Mela dulu.”

“Tumben...”

“Papa nggak enak badan.”

Olivia urung masuk ke dalam mobilnya. Ditatapnya Maxi. “Serius?”

“Memangnya Mbak nggak lihat Papa pucat begitu?”

Olivia menggeleng dengan wajah polos. Maxi memutar matanya dengan wajah sedikit jengkel.

“Nanti aku transfer uang buat beli cover. Cari yang bagus, yang pas,” dan Olivia pun menghilang ke dalam mobilnya.

* * *

Carmela menatap Prima dengan khawatir ketika laki-laki itu memutar tubuh untuk memberinya kecupan di kening.

“Papa yakin mau masuk kerja dalam kondisi kayak gini?”

Wajah Prima memang tampak kuyu dan pucat. Tentu saja, karena nyaris sepanjang sisa malam ia tak mampu memejamkan mata.

“Nggak apa-apa,” laki-laki itu mencoba untuk tersenyum. “Nanti Papa istirahat di klinik kalau nggak kuat. Kamu belajar baik-baik, ya?”

Carmela mengangguk dengan wajah masih diliputi keraguan sambil keluar dari dalam mobil. Ia menunggu hingga mobil yang dikemudikan Maxi itu menghilang dari pandangannya, baru ia melangkah masuk ke dalam sekolah.

Maxi menoleh sekilas ke arah Prima. “Papa yakin nggak apa-apa?”

“Iya, Max,” jawab Prima dengan nada menenangkan. “Papa cuma kurang tidur semalam. Coba nanti Papa selesaikan pekerjaan dulu, biar besok bisa ambil cuti sakit sehari.”

“Papa terlalu ngoyo kerja,” gumam Maxi.

Prima tak menjawab. Ia menyandarkan kepalanya ke headrest. Berpikir apakah harus menceritakan kejadian semalam ataukah tidak. Tapi ia kemudian memutuskan untuk buka mulut. Sedikit melepaskan beban di hatinya.

“Papa semalam ngelindur lagi,” ucapnya kemudian. Lirih. “Papa pikir mamamu tetap tertidur. Nggak tahunya mamamu dengar.” Prima menghela napas panjang.

Ngelindur gimana?”

“Nama yang pernah kamu dengar.”

“Navita?”

Prima mengangguk. Membuat Maxi terhenyak.

Hadeeeh... Runyam...

“Jujur sama aku, deh, Pa. Ada apa sebenarnya dengan dia?”

“Nggak ada apa-apa, Max,” sahut Prima cepat. “Papa berani sumpah.”

“Terus Papa bilang apa sama Mama?”

“Ya, seperti yang Papa bilang padamu.”

“Mama percaya?”

“Kayaknya enggak,” Prima menggeleng lemah.

Maxi mengembuskan napasnya keras-keras.

Ya, pantaslah nggak percaya! Nggak ada apa-apa, kok, sampai mengigaukan nama itu terus?

“Papa mimpi apa kali ini?”

“Papa nggak ingat, Max. Sama sekali.”

Maxi menoleh sekilas.

Astaga... Lama-lama orang serumah pada nggak waras semua!

Dan sesungguhnya, ia tak tahu harus mengatakan apa dan bersikap bagaimana.

* * *

Kenapa?

Arlena menghempaskan tubuhnya di atas kursi di belakang meja tulis.

Dia mengkhianatiku?

Arlena menggeleng kuat-kuat.

Dia tidak melakukannya! Tapi...

Dengan gusar Arlena menghantamkan kepalan tangannya pada meja di hadapannya.

Bagaimana bisa dia mengigau seperti itu?

Ia sama sekali tidak ingat yang mana staf Prima yang bernama Navita. Lagipula selama ini, yang ia tahu dan lihat, Prima sama sekali tak pernah berulah.

Tapi kenapa?

Tanya itu kembali berpangkal pada kata yang sama. Dan ia sungguh-sungguh terbelah antara keyakinan ‘Prima tidak melakuan apa-apa’ dan ‘ada apa-apa dengan nama Navita’. Makin ia memikirkannya, makin ia tenggelam dalam lautan ketidakmengertian.

Ia bisa berkhianat. Ia sudah pernah melakukannya. Hanya sedikit. Dengan orang dan kisah yang sungguh absurd. Tapi tetap saja pernah. Dan ia sama sekali tak yakin Prima tega melakukannya. Atau bahkan hanya sekadar berpikir sekali pun. Prima sangat menyayangi kedua anak gadisnya. Tak mungkin melakukan hal bodoh yang bisa berimbas pada hal sama yang buahnya akan dituai oleh Olivia dan Carmela.

Mas Prima bukan laki-laki yang seperti itu! Sama sekali bukan! Tapi...

Arlena menggelengkan kepalanya.

Navita... Navita... Navita...

Kembali dihantamnya meja dengan kepalan tangannya.

* * *

“Pagi, Liv...”

Olivia menoleh ketika melihat Luken datang dalam gegas langkah yang lebih bertenaga daripada biasanya. Laki-laki itu datang agak lambat kali ini, walaupun belum lewat pukul delapan. Masih kurang lima menit lagi.

“Selamat pagi, Pak,” balas Olivia manis. “Tumben siangan, Pak?”

“Ha! Aku terlambat bangun,” Luken menjatuhkan badannya di kursi Sandra. “Gimana Bu Sandra, Liv? Jadi kamu kirim sarapan pagi ini?”

“Jadi, Pak,” angguk Olivia. “Malah saya bikin tiga porsi. Gara-gara masak itu, saya malah nggak sempat sarapan. Tadinya saya pikir bisa curi waktu sarapan di sini, sama Bapak. Tapi Bapak nggak datang-datang juga. Bapak masih mau? Biar saya panggil OB buat manasin sebentar.”

“Wah, kebetulan aku belum sarapan,” gumam Luken antusias.

Olivia segera mengangkat telepon untuk memanggil OB atau OG. Secara ringkas dan jelas, Olivia memberi instruksi agar OG yang datang itu memanaskan nasi goreng dalam kedua kotak itu dengan microwave yang ada di pantry. Sepuluh menit kemudian semuanya sudah siap. Nasi goreng seafood yang aromanya sungguh menggugah selera, dan dua gelas teh tawar hangat.

“Kamu masak sendiri, Liv?” tanya Luken setelah suapan pertama.

“Iya, Pak. Kurang apa? Kurang krupuk, pasti.”

“Kurang tadi makannya,” Luken tertawa ringan. “Hahaha... Kurang krupuk juga. Tapi enak banget ini! Betul-betul pas rasanya.”

“Syukurlah kalau Bapak suka.”

“Aku besok mau lagi,” Luken meringis. “Boleh, nggak?”

Olivia tersenyum lebar. “Nasi goreng lagi?”

“Iya,” angguk Luken. “Please...

“Variasi lain, ya, Pak?”

“Apa pun. Eh, tapi nggak merepotkan kamu, kan?”

“Enggaklah, Pak. Biasanya juga saya yang siapkan sarapan di rumah. Besok saya tambah kerupuk, deh!”

“Wah, sip!”

Tiba-tba saja Olivia teringat pesan Maxi yang masuk ke ponselnya sebelum Luken datang tadi.

‘Mbak, tadi Papa cerita. Semalam mengigaukan Navita lagi. Mama dengar. Runyam, deh! Makanya Papa pucet gitu. Nggak bisa tidur.’

Ia belum membalas pesan itu karena belum tahu harus berbuat apa. Tapi tiba-tiba saja selintas pikiran masuk ke benaknya.

“Pak, maaf. Hari ini, kan, Bapak nggak ada jadwal keluar,” ucapnya dengan nada hati-hati. “Kerjaan saya juga saya yakin bisa selesai sebelum tengah hari. Boleh, nggak, saya pulang cepat? Saya mau jemput Papa di kantornya.”

“Oh... Pergi saja, Liv,” ucap Luken ringan. “Selagi kita belum sibuk begini, nggak apa-apa. Tapi Pak Prima sehat, kan?”

“Mm... Pagi ini tadi nggak terlalu, sih,” gumam Olivia dengan wajah diliputi mendung. “Makanya saya agak was-was. Tadi pagi berangkat ke kantor juga disopiri adik saya. Jadi, kan, pulang nanti harus ada yang jemput.”

“Iya, Liv,” angguk Luken. “Pergi saja. Nggak apa-apa.”

“Terima kasih, Pak.”

Luken kembali mengangguk sambil tersenyum. Ketika laki-laki itu sudah selesai sarapan dan masuk ke dalam ruangan kantornya, Olivia menyempatkan diri membalas pesan adiknya.

‘Max, kamu nanti nggak usah jemput Papa. I’ll do it. Aku sudah dapat izin pulang cepat dari Pak Luken. Jadi nggak akan telat sampai ke kantor Papa pas jam pulang di sana. Sekalian aku mau ajak Papa mampir ke kafe atau ke mana lah. Nggak makan malam di rumah.’

Setelah itu, Olivia masih mengirim satu pesan lagi. Pesan yang balasannya tak juga datang hingga  ia bersiap untuk meninggalkan kantor pada pukul tiga siang.

* * *

Meeting itu akhirnya berakhir juga. Setengah mati Prima menahan rasa peningnya. Ia agak limbung ketika berdiri, hendak beranjak dari ruang meeting yang sudah sepi itu. Untung Dino yang masih berada di dekat Prima berhasil menahan lengannya.

“Mas, ayo, kuantar ke klinik,” ucap Dino dengan nada khawatir. “Mas Prima pucat banget, lho!”

“Nggak apa-apa, Mas Dino,” Prima menjawab ucapan GM yang usianya empat tahun lebih muda daripadanya itu. “Aku bisa ke sana sendiri. Minta izin saja untuk istirahat sampai usai jam makan siang.”

“Mau pulang cepat juga aku izinkan, Mas Prim,” sahut Dino. “Biar pinjam sopir kantor satu, ya, buat antar Mas pulang?”

“Nggak usah, Mas,” geleng Prima. “Aku nggak bawa mobil. Tadi juga diantar sama anakku.”

“Atau aku teleponkan Mbak Lena?”

Prima kembali menggeleng. “Aku istirahat sebentar saja di klinik.”

Dino menyerah melihat betapa kukuhnya Prima. Ia pun bersikukuh untuk  mengantarkan Prima hingga ke klinik perusahaan. Walaupun secara struktural kedudukannya lebih tinggi daripada Prima, tapi ia sangat menghormati laki-laki yang terhitung angkatan seniornya itu.

“Saya hanya butuh tidur sebentar, Dok,” bisik Prima pada dokter yang berdinas di klinik, setelah Dino berlalu.

Dokter bernama Inta itu tersenyum lebar.

“Tapi saya harus tetap memeriksa Pak Prima,” tegurnya halus. “Pak Prima ada riwayat serangan jantung, kan?”

Prima mengangguk dan menyerah. Setelah selesai, Inta menyuruhnya untuk pindah dari ruang periksa ke ruang rawat sementara di sebelah. Prima menarik napas lega.

Akhirnya aku menemukan tempat yang nyaman untuk tidur sejenak.

Tapi sebelum memejamkan mata, Prima sempat memeriksa ponselnya, yang sejak meeting dimulai tepat pukul delapan tadi sudah ia kondisikan silent total. Matanya mengerjap ketika melihat ada pesan yang masuk. Dari gadis sulung kesayangannya.

‘Pa, maafkan aku atas sikapku semalam, kemarin, dan selama beberapa waktu belakangan ini. Nggak seharusnya aku marah dan kasar seperti itu pada Papa. Aku sangat menyesal. Nanti aku jemput Papa, ya? Nggak akan telat karena sudah dikasih izin sama Pak Luken untuk pulang cepat. Love you, Pa.’

Prima tersenyum membacanya. Semua ungkapan Olivia itu sudah lebih dari cukup baginya. Tapi ia sudah terlalu mengantuk untuk membalas pesan itu. Dalam hitungan detik, ia sudah terlelap.

* * *

Beberapa belas menit sebelum pukul empat sore, Olivia membelokkan mobilnya ke depan pintu pagar Chemisto. Lalu lintas yang masih cukup lancar membuatnya bisa mencapai kantor Prima dalam waktu sekitar setengah jam saja. Seorang petugas keamanan datang menghampiri. Olivia pun membuka kaca jendela di sisi kanannya.

“Selamat sore, Bu,” sapa laki-laki tinggi tegap berseragam hitam-hitam dengan bordir nama Rizky di bagian dada kanan itu. “Ada yang bisa kami bantu?”

“Selamat sore, Pak,” senyum Olivia, membalas sapaan ramah itu. “Saya mau jemput Pak Prima Arbianto. Boleh masuk?”

“Oh, silakan,” ucap Rizky sambil memberikan kartu plastik bertuliskan GUEST pada Olivia. “Langsung saja ke area parkir dekat lobi, Bu. Ibu ikuti saja petunjuk arahnya.”

Rizky kemudian membuka pintu pagar lebar-lebar. Olivia mengucapkan terima kasih sambil meluncurkan mobilnya kembali. Sesuai dengan petunjuk Rizky, Olivia memarkir mobilnya di samping kiri teras lobi, di antara beberapa mobil yang sudah terparkir rapi di sana. Setelah mematikan mesin mobil, ia mengirimkan pesan pada Prima.

‘Pa, aku sudah di parkiran.’

Sejenak kemudian ia mendapatkan balasannya. ‘Iya, Liv. Tunggu sebentar, ya. Oh, ya, maaf tadi Papa nggak balas pesanmu. Tapi sudah Papa baca, kok. Papa juga minta maaf, ya. Terima kasih. Love you more...’

Olivia menarik napas lega karenanya. Sangat berharap semua kebekuan akan mencair dan kemarahannya meluruh. Walaupun masih ada yang sedikit mengganjal di hatinya. Tentang Navita.

Pukul empat lewat sedikit, mulai muncul rombongan-rombongan karyawan yang keluar melalui lobi. Ada pula yang muncul dari arah samping, jalur menuju dan keluar dari area pabrik. Prima pun akhirnya muncul juga. Melangkah bersama beberapa rekannya sambil bercakap-cakap. Pada satu titik tatapannya bertemu dengan Olivia. Laki-laki itu sekilas melambaikan tangan. Olivia membalasnya dengan senyum. Merasa lega karena melihat kondisi Prima sepertinya baik-baik saja.

“Wah, dijemput anak gadis, nih, Mas,” celetuk Dino sambil berjalan bersama Prima. Mobilnya parkir di dekat mobil Olivia.

“Iya, sampai izin pulang cepat gara-gara mau menjemputku,” senyum Prima.

“Kerja di mana, Mas?”

“Di kantor eksportir kopi, daerah Tebet.”

Coffee Storage?”

“Iya,” angguk Prima. “Tahu?”

“Oh... Staf Mas Luken, ya?”

“Oh, Mas Dino kenal?”

Keduanya sudah sampai di belakang mobil Olivia.

“Ya, kenal lah,” Dino tertawa ringan. “Mas Luken itu sepupuku, Mas. Ayah Mas Luken itu abang ibuku.”

“Oh...,” Prima tertawa. “Dunia sempit, ternyata.”

Ia kemudian memperkenalkan Olivia pada Dino. Sekilas tatapan laki-laki itu menyapu mobil Olivia.

“Jadi yang beli mobil Nugra ini Mbak Olivia, to?” senyum Dino kembali melebar.

“Oh, Bapak kenal Pak Nugra?” Olivia mengangkat alisnya.

“Iya, Nugra itu adik saya.”

Setelah bercakap sejenak, mereka pun berpisah. Dino melangkah sedikit lagi untuk mencapai mobilnya, sedangkan Prima dan Olivia langsung masuk ke dalam mobil Olivia.

“Hm... Masih mulus banget mobil ini, Liv,” gumam Prima sambil mengenakan sabuk pengaman.

“Jarang dipakai, Pa,” Olivia memutar kunci kontak. City car itu menderum halus. “Sudah dicek sama Maxi semalam. Kondisinya masih sempurna.”

Prima manggut-manggut. City car itu kemudian masuk dalam antrean keluar dari area parkir Chemisto.

“Maxi bilang, Papa nggak enak badan tadi pagi,” celetuk Olivia.

“Hm... Semalam kurang tidur saja, Liv,” Prima mengedikkan bahunya. “Tapi tadi selesai meeting jam sepuluh sempat istirahat di klinik. Tidur sampai jam dua. Lumayan, Papa sudah segeran sekarang.”

“Kenapa? Soal Navita?”

Suara lembut Olivia itu membuat Prima terperanjat seketika. Ia menoleh cepat ke arah Olivia. “Kamu tahu?”

Olivia menyerahkan kartu plastik yang didapatnya tadi pada petugas keamanan yang bertugas di pintu keluar. Setelah menutup rapat kaca jendela, ia menghidupkan AC, baru kemudian menanggapi kekagetan Prima.

“Waktu Papa sakit dan tidur di kamar Maxi tempo hari, Papa juga mengigau,” ucap Olivia dengan nada tenang. “Paginya Maxi cerita padaku. Tadi pagi Maxi juga kirim pesan padaku. Soal igauan Papa semalam. Memangnya reaksi Mama gimana?”

Prima menghela napas panjang. Ia menggeleng lemah.

“Sepertinya Mama nggak percaya waktu Papa bilang nggak ada apa-apa,” jawabnya lirih.

“Jelas anehlah, Pa,” sahut Olivia tanpa sedikit pun nada menghakimi. “Nggak ada apa-apa, kok, sampai masuk ke igauan.”

“Jujur, Papa senang melihatnya,” Prima mengalihkan tatapan ke luar jendela kiri. “Rasanya seperti kamu ada di dekat Papa.”

“Cuma itu?”

“Cuma itu,” Prima berusaha menegaskan.

Olivia menggigit bibir bawahnya. Ia menyalakan sign kiri dan bersiap lebih ke tepi untuk berbelok masuk ke area parkir sebuah restoran cepat saji.

“Pa, kita ngobrol sambil makan, ya?” ucapnya manis.

Prima mengangguk.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



3 komentar:

  1. Aq rapelan tekok pagi.
    Hadu mb Lis ......
    Gaisok komen wis !
    Jempol ae sakontener 👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍 dst

    BalasHapus