Kamis, 16 Maret 2017

[Cerbung] Affogato #20-1








Sebelumnya  



* * *


Dua Puluh

Apa yang terlihat di balik pintu ruang baca yang terbuka sedikit membuat Arlena membatalkan niatnya sejenak menyepi di sana. Ada Prima di dalam. Tengah duduk menghadap ke meja tulis, sibuk dengan laptopnya. Tampak nyaman di bawah kipas angin besar yang berputar cukup kencang di langit-langit ruangan.

Arlena pun memutuskan untuk tak hendak mengganggu Prima. Apalagi ia tahu bahwa Prima hanya akan menganggapnya sebagai sebuah patung hidup yang tak patut dihitung untuk diajak bicara. Maka ia pun berbelok ke dapur. Memutuskan untuk menemani Muntik yang tengah sibuk menyiapkan menu makan siang.

“Ini bawangnya mau dikupas semua, Tik?” Arlena duduk menghadap island sambil meraih mangkuk plastik berisi bawang merah dan bawang putih yang belum dikupas.

“Sudah, Bu, itu sisanya.”

Arlena pun meraih mangkuk lain yang lebih besar, berisi wortel dan buncis yang sudah dicuci bersih. “Ini mau dipotongi? Seberapa?”

Dengan sabar Muntik kemudian menjelaskan seberapa besar Arlena harus memotong kedua jenis sayur itu. Dan Arlena melakukannya sambil setengah melamun.

Setelah semalam tidak berkomunikasi dengan Anggara, Arlena merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Laki-laki itu Kamis siang kemarin berpamitan padanya melalui pesan Whatsapp, hendak pergi berlibur menghabiskan long weekend bersama istri dan kedua anaknya ke Anyer. Berangkat saat itu juga.

Anggara tampaknya masih normal-normal saja menjalani kehidupan berkeluarganya. Dari yang pernah diceritakan laki-laki itu, sang istri memang tak peduli dengan kelakuan sang suami. Marini tak pernah mempermasalahkan kesenangan Anggara untuk bermain api dengan perempuan lain, sepanjang masih ada gelimang uang untuk mendukung gaya hidupnya.

Seusai mendengar penuturan Anggara tentang hal itu, Arlena sempat mencebik dalam hati. Ternyata benar, sudah sama-sama gilanya...

Mungkin penampilan Anggara memang benar norak dan menggelikan, bahkan menjijikkan, bagi sebagian perempuan. Tapi makin Arlena mengenalnya, makin ia menemukan sisi lain dari laki-laki itu. Sisi manis yang memabukkan. Sisi manis yang sebetulnya bisa membuat seorang perempuan normal merasa mual. Sisi manis yang kini tak didapatnya lagi dari Prima yang memilih untuk menggantungnya dalam diam. Uang yang didapatnya selama hampir empat bulan ini dari hasil menjualkan perhiasan milik Anggara pun sangat terasa manisnya.

Arlena masih menjalani kehidupannya seperti biasa. Lebih mengurusi soal rumah dan terutama Carmela, tidak lagi terlalu aktif di BlogSip, tapi masih meluangkan banyak waktu selepas pukul sebelas malam tiap hari untuk mengobrol dengan Anggara melalui skype atau sekadar chatting melalui Whatsapp. Obrolan yang selalu diawali dengan urusan bisnis, kemudian berkembang ke hal ‘lain-lain’.

Ia mulai melupakan ancaman yang pernah dilontarkan Harmono. Ia merasa aman, karena merasa memegang kartu truf. Ia pun agak sedikit lebih lega ketika Anggara berjanji padanya untuk tidak mengganggu Olivia.

“Sebetulnya aku lebih tertarik padamu daripada daun muda seperti anakmu itu,” begitu ucap Anggara.

Entah ia harus percaya ataukah tidak.

“Ma, aku mau keluar sama Papa.”

Suara Maxi tiba-tiba saja mengusik keasyikan Arlena. Ia menoleh sekilas ke arah jam dinding sebelum menatap anak laki-lakinya itu. Masih belum genap pukul sembilan pagi.

“Mau ke mana, Max?”

Maxi yang sudah hampir berbalik menghentikan gerakannya.

“Ke bengkel, servis rutin mobil Mbak Liv.”

“Makan siang di rumah, nggak?” tatapan Arlena tampak penuh harap.

“Enggak,” Maxi menggeleng, kemudian benar-benar berbalik.

Arlena menatap Muntik dengan putus asa.

“Cuma kita berdua, Tik,” desahnya.

Muntik tampak serba salah. Bahan makanan sudah siap untuk diolah. Sementara yang hendak makan tidak ada.

“Ya, sudah, tetap masak saja, buat nanti sore,” putus Arlena. “Sup kacang merah, kan, nggak apa-apa dihangatkan lagi.”

Muntik mengangguk.

“Ibu nggak pesiar sama Bapak?” usik Muntik tiba-tiba.

Arlena terdiam.

Pesiar? Diajak ngomong saja enggak, kok, mau pesiar?

“Enggak, Tik,” gelengnya kemudian.

Keduanya kemudian kembali dalam keasyikan masing-masing. Muntik sibuk menumis, merebus, dan membumbui ini-itu, sementara Arlena sibuk membentuk adonan kentang untuk dijadikan perkedel.

Rumah yang lumayan besar itu memang lengang saat ini. Jauh sebelum Maxi dan Prima pergi, Carmela ikut Olivia berwisata ke Taman Safari Cisarua beserta seluruh staf Coffee Storage. Keduanya berangkat pagi-pagi sekali, sebelum pukul lima, dijemput oleh Luken.

Kehidupan macam apa ini?

Samar, Arlena menghela napas panjang. Tepat saat itu, ponsel yang ada di kantong celana pendeknya berbunyi. Ia segera membaca pesan yang masuk dari Virnie dan tersenyum lebar seketika.

‘Len, lu di mana? Lagi ngapain?’

‘Di rumah. Nggak ngapa-ngapain. Ada apa?’ balasnya.

‘Lu buruan dandan, deh! Gue tunggu di cafe dekat rumah gue yang biasanya kita tongkrongin itu. Jam sebelas ya?’

‘Lho, katanya lu mau ke S’pore?’

“Males gue! Nanti gue ceritain, deh!’

‘Oke, deh.’

Arlena mengalihkan tatapannya ke arah Muntik. “Aku keluar dulu, Tik. Kalau Bapak tanya, bilang aku keluar sama Bu Virnie. Nggak tahu pulang jam berapa.”

Muntik hanya bisa mengangguk dengan wajah masih terbengong-bengong.

* * *

“Kamu kenapa nggak ikut Mbak Liv, Max?”

Maxi yang tengah asyik menyetir sedikit tersentak mendengar gema suara Prima. Ia menoleh sekilas.

“Biar Mela saja, Pa,” senyumnya. “Akhir-akhir ini, kan, Mela agak jauh dari Mbak Liv.”

Prima tercenung lama.

Sudah berminggu-minggu ia memikirkannya. Tentang kemungkinan perpisahan itu. Tapi ia tetap belum bisa menjatuhkan pilihan. Sejujurnya, ia lebih memikirkan Carmela. Olivia dan Maxi jauh lebih dewasa daripada Carmela. Jauh lebih kuat bila harus dihantam masalah apa pun. Tapi usia Carmela saat ini masih berada dalam posisi labil. Mudah terguncang. Dan perpisahan pasti akan sangat mengguncang si bungsu itu. Apalagi ia tahu Carmela sayang padanya, sekaligus sayang pada Arlena.

Beberapa minggu ini, ia cukup lega karena Olivia ternyata tidak melaksanakan niatnya untuk kost. Ucapan Olivia saat itu hanya emosi sesaat. Dan tak pernah lagi ia mendengar laki-laki itu menggoda Olivia. Tapi Olivia telanjur menyisihkan diri dan makin hening. Tetap menjawab bila ditanya, tapi selebihnya sunyi. Pun terhadap Carmela.

Dan laki-laki itu...

Sedikit banyak ia sudah mencium perbuatan Arlena. Tapi perasaannya sudah telanjur tawar. Entah ke mana rasa cemburu tanda cintanya menguap. Ia merasa sudah terlalu lama telanjur melangkah dengan timpang. Ia ngoyo, sementara Arlena tak begitu peduli.

Tapi aku memang ada andil di dalamnya...

Prima mendesah.

Seandainya saat itu aku tidak memimpikan Navita, mungkin keadaannya akan lain. Tapi apa gunanya berandai-andai sekarang?

“Sepertinya Papa akan bicara soal itu dengan Mama, Max,” gumamnya kemudian. “Kalau memang masih bisa diperbaiki, kenapa tidak? Kalau memang sudah tidak bisa, ya...,” Prima mengangkat bahu.

Maxi mengangguk mengerti.

* * *

Selesai berkeliling Taman Safari, rombongan dari Coffee Storage pun sibuk menggelar tikar dan menyiapkan makan siang di dekat area parkir. Sudah lewat dari pukul satu siang. Ada beberapa anak kecil dan balita dalam rombongan itu, yang nyaris semuanya membuntuti ke mana pun Luken bergerak. Luken tergelak ketika bayi Tina yang digendongnya justru menangis ketika hendak diambil alih sang ayah. Bayi cantik berusia enam bulan bernama Chicha itu justru makin lengket dalam pelukannya.

“Sudah, Chicha nanti ikut Papa Luken pulang saja, ya?” Luken menciumi pipi bulat bayi itu.

Chicha segera melupakan tangisnya. Ditatapnya Luken dengan sorot mata bening tanpa dosa, seolah memahami apa yang dikatakan Luken. Sedetik kemudian, diulasnya senyum lebar yang membuat Luken gemas.

“Wah, Pak, ini gimana?” protes Tina.

Luken kembali tergelak. “Sudah, kalian makan dulu,” ucapnya. “Anak-anak biar sama aku.” Ia kemudian menatap berkeliling. “Ayo, anak-anak! Yang bisa makan sendiri, duduk manis, nanti dapat hadiah dari Papa Luken!” serunya.

Tanpa perlu usaha berlebih, ucapan Luken cukup ampuh mengendalikan anak-anak para staf Coffee Storage. Dengan manis mereka duduk menunggu pembagian makan siang. Beberapa ibu yang anaknya masih balita pun berhasil menyuapi dengan mudah.

Olivia diam-diam tersenyum melihat keajaiban Luken yang baru kali ini dilihatnya. Sejenak kemudian, ia menangkap isyarat Sandra. Olivia mengangguk tanda mengerti. Didekatinya Luken yang duduk di atas sehelai tikar di tengah anak-anak, masih sibuk dengan Chicha.

“Pak, makan dulu,” ujarnya sambil meletakkan dua kotak nasi di dekat Luken.

Gadis itu kemudian mencoba untuk mengulurkan tangannya pada Chicha. Ajaib, bayi itu balas mengulurkan tangan pada Olivia, yang segera mengambilalihnya. Luken ternganga sejenak sebelum melepas tawanya.

“Kayaknya perlu juga kita culik bayi ini, Liv,” ujarnya.

Olivia tergelak. Ia kemudian duduk di dekat Luken sambil mencandai Chicha yang berkali-kali terkekeh lucu. Tak berapa lama, Tina yang sudah selesai makan menghampirinya dan mengambil alih Chicha. Tanpa perlawanan, bayi imut itu pun berpindah tangan. Olivia kemudian mengambil sekotak nasi dan mulai makan.

Di kejauhan, ia melihat Carmela dan Angie, putri Sandra dan Riza, tengah menikmati makanan sambil mengobrol dengan asyik. Sejak di kantor Coffee Storage tadi sebagai titik keberangkatan, keduanya sudah tampak akrab.

Olivia sendiri berusaha meninggalkan jauh-jauh di belakang masalah yang membelitnya akhir-akhir ini. Saatnya bersenang-senang. Ia tersenyum melihat keceriaan yang tampak begitu murni ditunjukkan oleh Carmela. Dalam hatinya ada segunung penyesalan. Ia sudah membiarkan dirinya sendiri digulung mendung yang membuatnya tanpa sengaja menjauh dari Carmela.

Sementara itu, Luken mulai dihinggapi perasaan lega. Cahaya itu kembali. Cahaya dalam wajah Olivia. Hanya sedikit. Tapi sudah membuat Luken merasa bebannya mulai terangkat. Sedikit juga.

Selama beberapa minggu belakangan ini, ia memang mendapati ada perubahan dalam diri Olivia. Makin datar dan pendiam. Tapi ia tahu ke mana harus mengorek keterangan. Tanpa banyak mengelak, Carmela menceritakan semua yang diketahuinya pada Luken melalui Whatsapp.

Tanpa berpikir panjang, Luken pun datang menemui Anggara pada suatu ketika. Sesungguhnya ia tak bisa terlalu mempercayai laki-laki itu. Termasuk janji Anggara untuk menjauhi dan tidak mengganggu Olivia.

“Aku ada bisnis dengan ibunya, Luk,” begitu ucap Anggara saat itu. “Oke, aku tidak akan mengganggunya.”

Sejauh ini, tampaknya Anggara masih memegang janji itu. Kalau urusan dengan Arlena, Luken benar-benar tak mau ikut campur. Yang penting baginya hanya Olivia, dengan segala mendung yang menaungi dan kabut yang menyelimuti gadis itu.

Seksi acara yang cepat-cepat menyelesaikan makan mereka segera memulai acara door prize. Meriah sekali suasananya. Pun ketika anak-anak mulai ikut menjawab dengan hadiah khusus yang berasal dari Luken pribadi.

Melihat keceriaan anak-anak, hati Luken terasa meleleh. Saat ini ia memang belum memiliki satu pun. Tapi dengan senang hati ia membiasakan anak-anak para stafnya itu untuk memanggilnya ‘Papa Luken’. Baginya, anak-anak itu adalah anak-anaknya juga.

Olivia yang duduk di dekat Luken merasa sedikit terganggu ketika  ponsel yang ada di dalam saku kemejanya berbunyi nyaring. Keningnya berkerut ketika melihat nama yang terpampang di layar.

“Ya, Max?”

Hening sesaat.

“Max! Kamu jangan main-main!”

Luken menoleh dan mendapati wajah Olivia memias.

“Gimana kejadiannya? Sekarang di mana?”

Luken menjangkau bahu Olivia dengan tatapan bertanya. Olivia hanya balas menatapnya dengan mata bulat besar yang memancarkan ketakutan, dengan ponsel yang masih menempel di telinga.

“Liv?” tatapan Luken mulai terdengar menuntut begitu Olivia mengakhiri pembicaraan.

Wajah Olivia tampak sepenuhnya linglung. Luken terpaksa mengembalikan kesadaran gadis itu sedikit dengan mengguncangkan kedua bahunya. Pelan kesadaran Olivia pulih.

“Papa...,” bisiknya. “Kena serangan jantung.”

“Sekarang di mana?” kedua tangan Luken tetap memegang bahu Olivia.

“Rumah Sakit Jantung Jakarta. Oleh klinik dekat rumah dirujuk ke sana.”

Luken berdiri dan meninggalkan Olivia yang masih terduduk dengan wajah kembali linglung. Dihampirinya Caesar, sang ketua panitia. Setelah bicara sejenak dengan laki-laki itu, Luken segera mendekati Carmela. Sementara itu, Sandra yang mengamati ada situasi ganjil segera mendekati Olivia. Sejenak kemudian ia mendapatkan jawabannya, sekaligus memeluk Olivia untuk memberi sedikit kekuatan. Luken kembali bersama Carmela yang wajahnya tak kalah pias.

“Barang-barangmu di mana, Liv?” tanya Luken lembut.

“Tasnya ada sama saya, Pak. Sebentar,” sahut Sandra seraya berdiri dan bergegas pergi.

Tak berapa lama, perempuan itu kembali dengan hobo bag Olivia. Luken segera membawa Olivia dan Carmela ke SUV-nya. Tadi pagi, ia hampir saja meninggalkan mobilnya di kantor. Tapi telanjur ada hadiah buat anak-anak termuat dalam mobil itu, sehingga ia memutuskan untuk membawa saja mobilnya ikut serta ke Taman Safari. Mendampingi mobil Riza yang memang disediakan laki-laki itu untuk kondisi darurat.

Tanpa banyak kata, Luken meluncurkan mobilnya turun ke arah Jakarta. Olivia duduk diam di sebelahnya, sementara Carmela berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya di jok tengah. Olivia membuang pandangan jauh melampaui kaca jendela samping kiri.

Yang kutakutkan terjadi juga...

Olivia mengerjapkan matanya yang basah.

Apa lagi sekarang? Kenapa Papa bisa drop lagi? Tadi pagi sepertinya baik-baik saja. Melepasku dan Carmela dengan wajah riang...

Sebutir air mata mengelincir di pipi. Pelan ia menghapusnya.

Tolonglah, Tuhan, bantu Papa bertahan untuk kami...

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



6 komentar: