Jumat, 24 Maret 2017

[Cerbung] Affogato #22-2








Sebelumnya  



* * *


Dengan telaten Olivia menyuapkan sedikit demi sedikit puding buah dengan saus berries smoothie pada Prima. Sambil menyuapi, Olivia mengajak Prima mengobrol tentang berbagai hal ringan.

Sebetulnya, ingin rasanya Prima bertanya pada Olivia tentang Miko. Sejak ia sadar dan bisa mengingat keberadaannya di sini, belum sekali pun ia melihat pemuda itu. Yang setiap kali dilihatnya justru Luken. Muncul setiap sore sepulang kerja. Selalu menanyakan apa yang dibutuhkannya, Olivia, Maxi, dan Carmela.

Jujur, sejak awal ia sudah pesimis akan langgengnya hubungan Olivia dan Miko. Di matanya, Olivia – si sulung yang terbiasa mandiri itu – membutuhkan laki-laki yang jauh lebih kuat dan dewasa daripada sekadar anak mami seperti Miko. Mungkin Olivia sendiri sudah menyadari hal itu, hingga bersikap santai saja. Tidak berharap terlalu banyak dari Miko.

Tentu saja ia tak pernah mengungkapkan hal itu pada gadis sulung kesayangannya. Sudah lebih dari cukup baginya melihat Olivia bahagia dengan apa pun pilihan gadis itu. Apalagi ia memahami seutuhnya, bahwa Olivia selama ini bisa menjaga diri dengan baik. Sangat patut menjadi teladan buat adik-adiknya.

“Pa? Kok, malah melamun?”

Teguran halus Olivia itu membuatnya sedikit tersentak. Ia mengerjapkan mata. Menemukan Olivia tengah menatapnya, seolah menunggu sesuatu. Sesendok puding beserta sausnya sudah siap untuk disuapkan.

“Tinggal sedikit lagi, Pa. Yuk, dihabisin.”

Dengan patuh, Prima membuka mulutnya. Ketika tinggal satu sendok lagi, seorang perawat masuk ke ruangan itu.

“Maaf, Pak, Mbak,” ucap perawat itu, “di luar ada rombongan dari kantor Bapak. Sekitar dua puluh orang. Kalau bisa jangan masuk semua, nanti mengganggu Bapak.”

“Oh, iya, sebentar lagi saya temui dulu,” senyum Olivia.

Begitu perawat itu keluar, Olivia memberikan suapan terakhir puding bersaus pada Prima. Setelah itu ia berdiri dan menaikkan side rail.

“Papa kuat, nggak, posisinya tetap kayak gini?”

“Masih kuat,” angguk Prima. “Cukup nyaman, kok.”

“Tapi nanti kalau pusing bilang, ya?”

Prima mengangguk. Olivia kemudian keluar untuk menemui rombongan dari Chemisto. Yang pertama disalaminya adalah Nando dan Dino, orang-orang yang sudah dikenalnya dengan cukup baik. Pada jabat-jabat tangan berikutnya, barulah ia menemukan Navita.

“Mau dibagi jadi berapa rombongan kami ini, Liv?” celetuk Nando.

“Dibagi tiga, bagaimana, Om?” tawar Navita.

“Ha! Kau aturlah, Liv. Kami nurut saja.”

Olivia tergelak ringan. Ia kemudian menggiring tujuh orang untuk masuk pertama ke dalam kamar. Sebelum mereka berangkat, Dino sudah memberikan briefing singkat tentang ‘pelarangan’ untuk bertanya tentang ‘istri Pak Prima’. Semua maklum. Desas-desus itu memang begitu santer beredar di tengah mereka, bahwa ‘Pak Prima kolaps karena ulah istrinya’. Dan sepertinya memang benar, karena Prima hanya ditunggui oleh putri sulungnya, bukan istrinya.

Navita yang masuk ke dalam ‘kloter’ kedua bisa melihat betapa wajah pucat Prima jadi lebih bercahaya ketika bercerita tentang ketiga putra-putrinya yang selalu menemani saat senggang. Terutama Olivia yang tak pernah pulang. Tak sekali pun laki-laki itu menyebut tentang istrinya.

Apakah mendiang Bapak akan sebangga itu padaku kalau dia masih ada?

Navita mengerjapkan mata. Entah kenapa perasaannya jadi teraduk ketika melihat Prima dalam kondisi seperti ini. Benar-benar bertolak belakang dengan sosok gagah Prima yang biasa ia temui.

Dan kalau memang benar istrinya itu... Ah! Kenapa sulit sekali bagi sebagian orang untuk bersyukur?

Saat ‘kloter’-nya hendak keluar, Navita pun mengikuti arus. Tapi Olivia menggamit lengannya, menyingkir sejenak ke arah pantry dalam ruangan itu.

* * *

“Ada apa, Vit?”

Seutuhnya Gandhi menangkap kegelisahan Navita. Sejak meninggalkan area parkir Chemisto beberapa belas menit lalu, Navita sudah terlihat tidak seperti biasanya. Jauh lebih pendiam, dan tampak tidak fokus ketika diajak bicara.

Gadis itu menghela napas panjang. Ia menoleh sekilas.

“Entahlah, Mas,” ia menggeleng samar. “Aku masih kepikiran omongan putri Pak Prima tadi.”

“Putri Pak Prima?” Gandhi mengerutkan kening. “Olivia? Yang tempo hari kasih tempat kita di resto fastfood itu? Memangnya ketemu di mana?”

“Iya, Olivia. Jadi, tadi itu aku kena ‘garuk’ Bu Rinjani,” Navita mulai menjelaskan. “Masuk daftar yang besuk Pak Prima tadi menjelang siang. Karena yang ikut banyak, masuknya ke kamar Pak Prima dibagi jadi tiga kelompok. Aku masuk kelompok kedua. Pas mau keluar...”


Olivia menggamit lengannya, menyingkir sejenak ke arah pantry dalam ruangan itu. Navita sedikit terperanjat dengan perbuatan Olivia, tapi ia menurut saja.

“Maaf, Mbak,” ucap Olivia halus. “Saya nggak tahu kenapa, ingin sekali punya waktu untuk ngobrol sama Mbak. Tapi saya masih belum bisa meninggalkan Papa. Kapan, ya, enaknya?”

“Oh...,” Navita tersenyum lega. Kukira soal apa... “Rencananya, sih, hari Sabtu besok saya mau besuk ke sini. Sekalian sama Mas Gandhi, mau ajak Ibu keluar jalan-jalan. Tadi kebetulan kena jaring Bu Rinjani.”

Olivia tersenyum lebar. Tatapannya tampak penuh harap.

“Ya, besok Sabtu saya ke sini lagi,” angguk Navita.

“Kalau merepotkan Mbak, nggak usah juga nggak apa-apa, lho, Mbak,” Olivia terlihat sedikit rikuh.

“Enggak repot,” Navita menepuk lembut lengan kiri Olivia. “Memang sudah direncanakan, kok.”

Olivia tersenyum lega. Ada ucapan terima kasih melompat keluar dari matanya.


“Entah apa yang mau dibicarakannya denganku,” Navita mengangkat bahu.

“Kamu dekat banget dengan Pak Prima, ya, Vit?” celetuk Gandhi tiba-tiba.

Spontan Navita menggeleng. “Dekat banget, sih, enggak, Mas. Pak Prima memperlakukan semua stafnya sama rata. Nggak ada yang istimewa. Aku sendiri menganggapnya sebagai orang yang bisa aku tuakan. Aku anggap panutan. Dulu, sih...,” Navita menghela napas panjang. Berpikir sejenak apakah ia harus jujur ataukah tidak, sebelum memutuskan untuk berterus terang saja.

Navita kembali menghela napas panjang. “Jujur, aku sempat salah mengenali perasaanku. Maksudku... ya, aku tertarik pada Pak Prima. Aku melihatnya sebagai sosok yang bisa mengayomi, sayang pada keluarga, baik, profesional.”

Sejenak Navita berhenti. Seolah mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan kejujurannya.

“Ketika... aku menerima tawaran Selly untuk berkenalan dengan Mas, aku sedang dalam kondisi kecewa. Saat itu Pak Prima absen karena sakit. Aku mengirimkan pesan padanya melalui Whatsapp, tapi dia nggak membalasnya. Lalu... kita bertemu. Dan... aku mulai bisa mengenali perasaanku yang sebenarnya. Bahwa... aku benar-benar mencintai Mas, sebagai seorang perempuan terhadap seorang lelaki. Sedangkan perasaanku pada Pak Prima... hanya perasaan seorang anak perempuan yang merindukan ayahnya. Dan aku sendiri merasa senang, putra-putri Pak Prima sangat menghormati dan menyayangi ayah mereka, sekaligus menyadari bahwa mereka punya ayah yang lurus dan sangat baik.”

Navita cepat-cepat menarik selembar tissue dan mengusap butiran air mata yang menggelincir di kedua pipinya. Seutuhnya, Gandhi menangkap kejujuran dalam nada suara Navita. Semua ungkapan itu membuatnya lega.

“Vit, aku senang kamu memilihku untuk berbagi tentang semua perasaanmu ini,” ucap Gandhi lembut. “Sejak awal aku sudah percaya bahwa kamu adalah perempuan luar biasa yang mampu mengenali perasaan sendiri dalam ketenangan. Aku memahami perasaanmu terhadap Pak Prima. Seutuhnya. Dari pertemuan kita dengannya di resto fastfood tempo hari, aku melihat hal yang sama dengan yang kamu lihat. Bahwa Pak Prima adalah seorang ayah yang baik. Yang pantas untuk diinginkan dan dirindukan setiap anak perempuan. Dan aku sungguh-sungguh memahami latar belakangmu.”

“Mas Gandhi nggak marah?” Navira menoleh cepat.

“Kenapa harus marah?” Gandhi tersenyum. Menoleh sekilas. “Marah untuk apa? Untuk kejujuranmu? Untuk perasaanmu yang sudah menemukan kebenarannya? Enggak, Vit,” Gandhi menggeleng. “Aku justru senang mendengarnya. Itu artinya kamu mempercayaiku, seperti aku mempercayai bahwa kamu adalah belahan jiwa yang sudah disediakan Tuhan untukku.”

Seketika, Navita merasa seolah kehilangan seluruh perbendaharaan katanya.

* * *

“Max, Mbak Liv mana?” celetuk Prima tiba-tiba. Lirih.

Malam sudah menghening walaupun belum larut. Hari ini tadi mereka menerima cukup banyak tamu yang menjenguk. Baik siang maupun sore. Cukup melelahkan bagi Prima. Tapi ia masih terjaga. Carmela masih duduk di sofa, membaca sebuah buku pelajaran dengan telinga tersumpal earphone yang terhubung ke ponselnya.

“Ada, lagi tidur, Pa,” Maxi menengok sekilas ke arah sofa bed. “Mau dibangunkan, Mbak Livi-nya?” Maxi sudah hendak beranjak.

“Jangan, Max,” cegah Prima. “Biarkan saja. Kasihan, Mbak Liv pasti capek.”

"Papa butuh apa?” Maxi memperbaiki letak selimut Prima.

“Enggak...,” Prima menggeleng sedikit. Suaranya terdengar lirih dan rendah. “Sebenarnya Papa mau tanya soal Miko. Cuma Papa nggak berani.”

Prima berusaha memiringkan tubuhnya ke arah kanan. Melihat itu, Maxi buru-buru membantunya. Setelah dilihatnya Prima cukup nyaman, Maxi kemudian duduk kembali di kursi sebelah ranjang.

“Papa mau tahu soal apa?” bisiknya.

“Miko, bagaimana kabarnya?”

Wajah Maxi terlihat ragu sejenak. Tapi tatapan Prima menguncinya. Membuatnya tak punya pilihan lain.

“Kemarin Mbak Liv bilang,” jawab Maxi, nyaris tanpa suara, “sejak long weekend berakhir, Mas Miko nggak lagi bisa dihubungi. Pertamanya, telepon dari Mbak Liv nggak diangkat. Berikutnya di-reject. Berikutnya lagi, mungkin nomor Mbak Liv sudah diblokir. Setelahnya, Mbak Liv nggak pernah coba untuk menghubunginya lagi. Terakhir, yang kelihatannya diblokir itu, hari Senin kemarin.”

Prima mendesah panjang. Sepertinya, ia tahu sebabnya. Tapi...

“Apa karena soal itu, Max?” ia mencoba memastikan.

“Kemungkinan besar iya,” dengan sangat berat, Maxi mengangguk. “Karena gosip tentang foto itu sudah mulai menyebar di kalangan BlogSiper. Setahuku, Mas Miko penyuka artikel Mama. Mungkin...,” Maxi mengangkat bahu. “Tapi Papa nggak apa-apa kita ngomongin ini?”

“Nggak apa-apa, Max,” Pima mengerjapkan matanya. “Melihat kalian bertiga sekuat ini, Papa jadi ikut kuat.”

“Mbak Liv nggak apa-apa, kok, Pa,” Maxi mengelus lengan kiri Prima. Tersenyum. “Yang penting sekarang ini adalah Papa. Kondisi Papa. Kesembuhan Papa. Papa jangan pikirkan hal lainnya. Nggak perlu khawatirkan apa-apa. Mbak Liv, Mela, dan aku baik-baik saja.”

Prima mengangguk. Dicobanya untuk tersenyum walaupun hatinya terasa remuk.

“Papa sekarang istirahat, ya?” ujar Max dengan nada membujuk. “Tidur. Biar cepat pulih. Sudah hampir jam sembilan. Sebentar lagi aku bawa Mela pulang. Besok pagi setelah antar Mela sekolah, aku ke sini lagi.”

Prima kembali mengangguk. Dibiarkannya Maxi membantunya untuk kembali telentang dan memperbaiki letak selimutnya. Setelah itu Maxi memanggil Carmela untuk berpamitan. Dengan hangat, Prima mencium kening gadis bungsunya itu, diikuti dengan sebuah bisikan, entah apa. Carmela mengangguk, kemudian memeluk Prima. Seperti kemarin malam, Carmela akan menunggui Prima hingga terlelap, baru ia mau beranjak untuk pulang.

* * *

Arlena berbaring di ranjang dengan gelisah. Berguling ke sana-sini dengan resah. Betapa terasa dingin peraduannya kini. Tanpa adanya Prima berbaring di sampingnya. Kehidupannya terasa makin limbung. Sama sekali kehilangan arah.

Apalagi...

Melihat pisau, Arlena ingin segera menyabetkan benda itu ke pergelangan tangannya, agar nadinya teriris dan darahnya mengucur habis. Melihat kaleng semprotan racun serangga, Arlena ingin memindahkan isinya ke dalam gelas dan meminumnya habis, atau sekalian saja menyemprotkannya langsung ke dalam mulut. Melihat gulungan tali plastik di garasi, Arlena ingin menggantung dirinya memakai tali itu. Melihat blister obat flu dan sakit kepala di kotak obat, Arlena ingin menelan semuanya dalam sekali gerakan. Tapi semua itu berujung pada keraguan.

Iya kalau aku langsung mati. Kalau tidak?

Diabaikan seluruh anggota keluarga dalam keadaan sehat seperti ini saja sudah luar biasa menyakitkan, apalagi kalau diabaikan dalam kondisi gagal mati karena bunuh diri.

Apa tidak lebih memalukan?

Untungnya Anggara masih bersedia mendengarkannya. Menerimanya tetap sebagai teman. Walaupun Arlena benar-benar tak tahu apa yang ada dalam pikiran laki-laki itu.

Sesungguhnya, ia masih sangat merindukan Prima. Hati kecilnya yakin bahwa memang benar ‘tidak ada apa-apa’ antara Prima dengan gadis bernama Navita itu, walaupun ia sama sekali tidak memahami mekanisme bagaimana nama gadis itu bisa muncul dalam igauan Prima.

Ia memang sudah tahu di mana Prima dirawat. Tapi kini ia hanya bisa tercenung menatap layar ponselnya. Pesan dari Olivia beberapa hari lalu sudah nyaris dihafalnya di luar kepala. Tapi entah kenapa ia masih saja membacanya dan membacanya lagi. Berharap ia salah dan kalimat itu berubah. Tapi ternyata sia-sia.

‘Ma, Papa bilang nggak mau ketemu Mama untuk sementara waktu. Tolong, Mama hargai keinginan Papa.’

Harus bagaimana aku sekarang?

Arlena menggeleng lemah dengan pikiran pepat.

* * *

Sorry, Liv, aku tak bisa lagi meneruskan berpacaran denganmu. Aku tak bisa memberi Mami menantu anak seorang pelacur. Pelacur tubuh dan kata-kata. Kalau kata-kata seorang ibu saja sudah tidak bisa dipercaya, bagaimana aku bisa mempercayai anaknya?”

Miko menatapnya. Mengucapkan semua kalimat itu dengan wajah datar dan suara dingin.

Olivia ternganga. Tak pernah mengira kata-kata keji itu bisa diungkapkan oleh Miko.


Lalu ia terjaga. Begitu saja keluar dari mimpi yang menggulungnya. Ia bangun pelan-pelan Sejenak duduk mencangkung di atas sofa bed. Memikirkan apa yang menjadi bunga tidurnya baru saja. Kemudian ia menyingkapkan selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Dan tiba-tiba gerakannya terhenti.

Maxi...

Pasti adiknya itu yang menyelimutinya tadi. Saat ia sudah terlalu letih dan terlelap begitu saja. Ia tersenyum sedikit, berdiri, dan melangkah dengan kaki telanjang menuju ke pantry. Bermaksud untuk membuat secangkir kopi demi mengusir rasa pening. Tapi sebelumnya, ia mendekati ranjang Prima. Memeriksa apakah ayahnya baik-baik saja. Ia menarik napas lega ketika melihat laki-laki itu tengah terlelap dengan napas teratur. Tampak baik-baik saja. Dan ia meneruskan langkahnya ke pantry.

Masih tersisa satu sachet kopi instan di atas meja pantry. Ia tak punya pilihan lain. Setelah memasukkan isi sachet ke dalam sebuah cangkir, diseduhnya kopi itu dengan air panas dari termos, tanpa gula. Tanpa suara, ia kembali ke sofa bed.

Sambil duduk dan menyesap kopi, ia memikirkan semua yang sudah dialaminya. Termasuk pesan Whatsapp dari Miko, yang mendadak saja menjelma jadi sosok Miko yang mengucapkannya sendiri dalam mimpi. Dengan begitu tanpa perasaan. Ia menengadah, menyandarkan kepalanya ke dinding.

Apakah semua ini adil buatku?

Lalu ia mencibir.

Adil atau tidak, ada akibat yang harus kutanggung, sudah kutanggung, dan masih akan kutanggung.

Ia mengerjapkan mata. Membasah tiba-tiba.

Dan seberapa banyak beban yang selama ini dan besok-besok masih akan ditanggung Papa?

Mengingat itu, seketika ia merasa kecil dan tak berarti. Dihelanya napas panjang. Hingga saat ini ia masih kuat. Karena banyak sekali orang di sekelilingnya yang turut menguatkan dan menopangnya.

Terutama Pak Luken...

Ia tahu bahwa Luken adalah laki-laki yang baik. Tapi sangat baik? Ia baru mengalaminya sendiri akhir-akhir ini. Tak hanya padanya, tapi juga pada orang lain. Saat iseng menanyakan hal itu, jawaban Luken sungguh tak terduga.

“Aku banyak menerima kebaikan dari orang lain, Liv. Kadang-kadang aku nggak bisa membalas atau mengembalikan kebaikan itu pada orang yang sudah memberikannya padaku. Maka aku menyalurkannya saja pada orang lain. Sesederhana itu.”

Ia mengerjapkan mata.

Pikiranku mulai susah fokus. Lari ke mana-mana.

Tanpa suara ia menguap, kemudian membaringkan dirinya lagi. Ditariknya selimut menutupi kaki hingga bahunya. Segera saja ia terlelap kembali.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

  

6 komentar:

  1. Miko gendeng....


    Gregeten aku...
    Livi g tau apa2 jd korban
    😖😖

    BalasHapus
    Balasan
    1. Miko minta dimutilasi, dikarungi, dibuang ke kali 😁😁😁

      Hapus
  2. Hih jegurno sumur ae miko iku mb Liiiis.
    Lanangan ganok regoe blas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Diceburno sumur, sumure malah gilo 😆😆😆

      Hapus